Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi Baru Lahir (BBL) atau neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar

rahim sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan biokimia dan

fisiologis secara signifikan untuk menyesuaikan diri terhadap perbedaan

intrauterine ke ekstrauterin. Banyak masalah kesehatan yang muncul pada

masa ini bahkan dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Menurut

United Nations Children’s Fund (2018), Angka Kematian Neonatal (AKN)

di dunia sebesar 18 per 1.000 Kelahiran Hidup (KH). Bahkan, insiden

kematian bayi baru lahir sebesar 75 % terjadi pada minggu pertama

kehidupan dan 40% diantaranya meninggal dalam 24 jam pertama (World

Health Organization, 2018). Mayoritas dari semua kematian bayi baru lahir

disebabkan oleh komplikasi pernafasan, kelahiran prematur, infeksi dan

cacat lahir (WHO,2018). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2012 dimuat dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016

dan 2017, Angka Kematian Neonatus (AKN) sebesar 19 per 1.000 kelahiran

hidup.

Di tahun 2017, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) terjadi penurunan AKN sebesar 15 per 1.000 KH (Kemenkes RI,

2019b). Data ini menunjukkan bahwa kematian bayi baru lahir di Indonesia
meskipun terjadi penurunan tetapi masih tergolong tinggi. Mengingat target

Sustainable Development Goals (SDG’s) pada tahun 2030 dalam hal

menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua

orang di segala usia, salah satunya adalah mengakhiri kematian bayi dan

balita yang dapat dicegah dengan menurunkan Angka Kematian Neonatal

(AKN) hingga 12 per 1.000 KH (International NGO Forum on Indonesian

Development, 2017).

Di Indonesia, penyebab utama kematian bayi baru lahir pada tahun

2015 adalah prematuritas sebanyak 35,5% dan stagnan diangka 35% pada

tahun 2017 (Healthy Newborn Network, 2017; UNICEF, 2015). Bayi

prematur meninggal dunia akibat sindrom gangguan pernapasan (RDS)

yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya surfaktan paru

perdarahan intraventrikular atau perdarahan ke otak pada saat lahir lahir,

kerusakan usus bayi dan berbagai jenis infeksi (The National Academies

of Sciences Engeneering Medicine, 2014). Data Kementerian Republik

Indonesia pada tahun 2018, penyebab kematian bayi baru lahir tertinggi

disebabkan oleh komplikasi kejadian intraparum, akibat gangguan

pernafasan dan kardiovaskular, BBLR dan prematur, kelahiran kongenital,

akibat tetanus neonatorum, infeksi dan akibat lainnya.


Respiratory Distress Syndrome (RDS)
a. Pengertian
Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan adalah
sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi
yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Malloy, 2009). Sindrom distres
pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyalin
membrane diseaser (Suriadi &Yulianni, 2010). Sindrom distres pernapasan adalah
sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat
ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang
dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas (Bobak, 2009). Respiratory
distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai dengan
hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa
gagal jantung dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009). Respiratory distress
syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas dispnea, frekuensi
pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis, adanya rintihan pada
saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta adanya retraksi suprasternal,
interkostal, dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit membran
hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonal
(zat aktif alveoli yang dapat mencegah kolaps paru dan mampu menahan sisa
udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008). Jadi berdasarkan dari beberapa
sumber dapat disimpulkan bahwa RDS adalah penyakit yang disebabkan oleh
ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel untuk menghasilkan surfaktan yang
memadai.
b. Anatomi Fisiologi Paru
Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak
sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh
karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan
pembuluh-pembuluh besar serta struktur- struktur lain dalam mediastinum.
Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-
paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke
mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks
yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas
klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu
lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk
membentuk radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru
kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu
lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura
oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior (Suriadi & Yulianni,
2010). Paru-paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx, yang
bercabang dan kemudian bercabang kembali membentuk struktur percabangan
bronkus. Proses ini terus berlanjut terus berlanjut setelah kelahiran hingga sekitar
usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan alveolus akan sepenuhnya
berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya bukti gerakan nafas
sepanjang trimester kedua dan ketiga. Ketidak matangan paru –paru akan
mengurangi peluang kelangsungan hidup bayi baru lahir sebelum usia24 minggu
yang disebabkan oleh keterbatasan permukaan alveolus, ketidakmatangan sistem
kapiler paru- paru dan tidak mencukupinya jumlah surfaktan. Upaya pernapasan
pertama seorang bayi berfungsi untuk:
1) Mengeluarkan cairan dalam paru.
2) Mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kali.
Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan
aliran darah ke paru- paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan
dan jumlahnya akan meningkat sampai paru- paru matang sekitar 30 -34 minggu
kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu
untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir
pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap
pernapasan, yang menyebabkan sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan energi ini
memerlukan penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa. Berbagai
peningkatan ini menyebabkan steress pada bayi yang sebelumnya sudah
terganggu. Pada bayi cukup bulan, mempunyai cairan di dalam paru- parunya.
Pada saat bayi melalui jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini
diperas keluar dari paru-paru. Pada bayi yang dilahirkan melalui seksio sesaria
kehilangan keuntungan dari kompresi rongga dada dapat menderita paru- paru
basah dalam jangka waktu lebih lama. Dengan sisa cairan di dalam paru –paru
dikeluarkan dari paru dan diserap oleh pembulu limfe dan darah. Semua alveolus
paru-paru akan berkembang terisi udara sesuai dengan perjalanan waktu (Suriadi
& Yulianni, 2010
c. Etiologi
Faktor predisposisi terjadinya sindrom gawat napas pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang. Pengembangan
kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang
sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga
paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologis paru
sehingga daya pengembangan paru menurun 25% dari normal, pernapasan
menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa
surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang
(Hasan, 2010). Sindrom gawat napas biasanya terjadi jika tidak cukup terdapat
suatu substansi dalam paru-paru yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah suatu
substansi molekul yang aktif dipermukaan alveolus paru dan diproduksi oleh sel-
sel tipe II paru-paru. Surfaktan berguna untuk menurunkan tahanan permukaan
paru. Surfaktan terbentuk mulai pada usia kehamilan 24 minggu dan dapat
ditemukan pada cairan ketuban. Pada usia kehamilan 35 minggu, sebagian besar
bayi telah memiliki jumlah surfaktan yang cukup (Maryunani, 2009).

Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) etiologi dari RDS yaitu:


1) Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
2) Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
3) Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap
dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh
makrofag.
4) Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
5) Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH).
6) Bayi prematur atau kurang bulan. Diakibatkan oleh kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan
minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar
pula kemungkinan terjadi RDS.
d. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi premature
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan
berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax
masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru
menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari
normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis
respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90%
fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan
tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.
Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan
berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan
tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi,
adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal
menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus
alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan
ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau
volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga
menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah.
Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan
mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini
adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang
berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering
berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD) (Suriadi &
Yulianni, 2010).
e.Manifestasi klinis
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan
usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi
dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan
sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang
timbul yaitu adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir,
yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung,
grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam
48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut
kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu:
1) Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara.
2) Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai
ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3) Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, udara lebih luas.
4) seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat

Tanda dan gejala yang muncul dari RDS adalah: pernapasan cepat,
pernapasan terlihat parodaks, cuping hidung, apnea, murmur dan sianosis
pusat
Tabel 2.1 Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes

Evaluasi :

Skor total ≤3 : gawat napas ringan

Skor total 4-5 : gawat napas sedang

Skor total ≥6 : gawat napas berat

Sumber: Mathai (2010)

f.Komplikasi
Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) komplikasi yang kemungkinan terjadi pada
RDS yaitu:
1) Kebocoran alveoli . Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstitial), pada bayi dengan
RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau
bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

2) Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya


perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan
invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventricular, perdarahan


intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada
bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

4)Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi
dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,
inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya
masa gestasi.

5)Retinopathy premature

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan
masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
g. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada respiratory distress syndrome menurut Warman (2012),


antara lain:

1) Tes Kematangan Paru

a) Tes Biokimia

Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru.
b) Test Biofisika .

Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan amnion yang
dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang
lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila
didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion:
ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal,
mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk
terjadinya neonatal RDS.

2) Analisis Gas Darah

Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan


hipoksia. Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over distensi jalan napas
terminal.
3) Radiografi Thoraks

Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran ground-glass
bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air
bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus yang terisi udara didepan
alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali
mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus
(PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan
terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat
h.Penatalaksanaan

Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan
pernafasan meliputi:

1) Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai
efek pada sistem kardiopulmonal. Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi
klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration
of oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator atau volume tidal yang minimal.
2) Terapi surfaktan

Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah


surfaktan sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru- paru sapi atau
dari bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24
jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang
berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis
awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih.
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi
surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih
baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan
juga dapat dilakukan dengan menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi
mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).
3) Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) Continuos Positive Airway
Pressure

(CPAP) adalah merupakan suatu alat untuk mempertahankan tekanan positif


pada saluran napas neonatus selama pernafasan spontan. CPAP merupakan
suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory distress
neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat menurunkan kesulitan
bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen, membantu
memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah
obstruksi saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi
apneu, bradikardia, dan episode sianotik (Effendi & Ambarwati, 2014).
4)Extracorporeal Membrane Oxygenation

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang


menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane
oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian
darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau
aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan
menghindari tekanan tinggi ventilator (Effendi & Firdaus, 2010).
Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory
distress syndrome adalah:

1) Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan


mengadakan pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama
pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara jantung, mempertahankan kepatenan
jalan nafas, memmantau reaksi terhadap pemberian atau terapi medis, serta
pantau PaO2. Selanjutnya melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan
eksogen sesuai indikasi.
2) Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi
seperti turgor, membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi
mengalami kepanasan berikan selimut kemudian berikan cairan melalui
intravena sesuai indikasi.
3) Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral
nutrition dengan memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setiap 24 jam,
mempertahankan gula darah dengan memantau gejala komplikasi adanya
hipoglikemia, mempertahankan intake dan output, memantau gejala
komplikasi gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan lain-lain.
4) Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan
mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa
lendir sesuai kebutuhan, dan mempertahankan stabilitas suhu.
5) Pemberian antibiotik. Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu
mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan
penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100
mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari (Hidayat,
2008).
i. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respirasi Distress Syndrome (RDS)
Faktor yang mempengaruhi kejadian Respirasi Distress Syndrome
(RDS) antara lain (Marfuah, 2013)
1) Kehamilan ganda
Ada hubungan kehamilan ganda dengan kegawatan nafas neonatus, dan
kehamilan ganda mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami gawat nafas
dibandingkan bayi tunggal. Kehamilan ganda menjadi faktor risiko meningkatkan
kegawatan nafas neonatus telah terbukti pada penelitian Neilsen (2007) yang
membandingkan antara kehamilan tunggal dan gemelli pada usia kehamilan 24-26
minggu, 27 – 29 minggu dan 30 - 32 minggu dengan hasil bahwa bayi dengan
kehamilan multipel atau ganda untuk terjadinya kegawatan nafas jumlah hampir
sama, namun pada umur kehamilan 30–32 minggu
terjadinya kegawatan nafas lebih banyak pada kehamilan multipel.
Penelitian lain dilakukan Mieth et al (2011) juga menjelaskan bahwa
insiden kehamilan ganda semua bayi terlahir secara prematur dengan
usia 28 – 32 minggu, dan angka morbiditas dan mortalitis disebabkan
karena kegawatan nafas. Indiarti (2009) menyatakan bahwa teori
persalinan yang salah satunya adalah teori distensi abdomen kapasitas elastisitas
uterus atau abdomen lebih rendah pada saat menampung jumlah janin 2 atau lebih,
sehingga sebagian besar bayi yang lahir kembar baik gemelli, tripel atau lebih
dalam usia kehamilan 28 – 32 minggu atau prematur, sehingga sistem pernafasan
immatur, sehingga terjadi defiensi surfaktan yang menyebabkan paru bayi tidak
mampu mengembang dan penyakit membran hialin sebagai penyebab utama
gawat banyak terjadi pada bayi prematur. Untuk itu kehamilan ganda berisiko
untuk lahir prematur sehingga mempunyai risiko gawat nafas lebih besar.
2) Asfiksia
Penelitian Lee et al (2009) menjelaskan bahwa nilai Apgar Skor < 7 pada
menit pertama mempunyai hubungan yang bermakna dengan Respiratory Distress
Syndrome (RDS) neonatus dan AS < 7 pada menit ke-5 juga mempunyai
hubungan yang bermakna antara AS< 7 menit ke-5 dengan terjadinya RDS
neonatus. Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan
PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (PaCO2 meningkat)
dan asidosis (Sylviati, et al., 2008). Seringkali bayi yang sebelumnya
mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan.
Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau
masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Hermiyanti, et al.,
2011). Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia adalah
keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta
berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang, akibatnya terjadi
gawat janin. Selain itu juga akibat penurunan aliran darah dan oksigen
melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia atau
dari kondisi bayi tersebut yang sudah
mengalami asfiksi di dalam kehamilan seperti kehamilan ganda, prematur,
aspirasi mekonium (Hermiyanti, et al., 2011). Asfiksia dimulai periode apneu
disertai dengan penurunan frekuensi jantung, selanjutnya bayi menunjukkan usaha
bernafas (gasping) yang kemudian diikuti dengan pernafasan teratur, namun pada
asfiksi berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam
periode apneu kedua dan jika terlambat dilakukan resusitasi, maka gawat nafas
dapat terjadi (Hasan, et al., 2007).
3) Usia Kehamilan
Penelitian Meith et al (2011) menjelaskan bahwa risiko kegawatan nafas
terjadi pada bayi <38 minggu, yaitu pada usia kehamilan <26 minggu risiko
kegawatan nafas sebanyak 200/287 (69,7%), usia kehamilan 26–28 minggu terjadi
kegawatan nafas 6/6 (100%), usia kehamilan 29–31 minggu sebanyak 28/28
(100%) dan
usia kehamilan 32–36 minggu sebanyak 64/69 (92,8%). Pada bayi yang
lahir dengan usia kehamilan <38 minggu, maka bayi lahir dalam keadaan
prematur, dan terjadi immaturitas paru dimana paru-paru bayi belum cukup untuk
berkembang dengan penuh, ini terjadi kekurangan substansi perlindungan yang
disebut surfaktan, yang membantu paru mengembang karena udara dan
melindungi kantong udara dari kollap paru sehingga terjadi kegawatan nafas
neonatus, tersering kasus pada bayi lahir kurang 28 minggu, dan sangat jarang
pada bayi yang lahir aterm atau 40 minggu (Cloherty,2008). Clair, et al., (2008)
menjelaskan bahwa pada bayi tanpa RDS, rata-rata ratio
L/S(lechitin/Sphiomyelin) lebih tinggi pada bayi dengan RDS. Ini menunjukkan
bahwa resiko terjadinya RDS karena rendahnya kadar rasio lechitin dan
sphingomyelin yang banyak terjadi pada bayi prematur dan usia kehamilan yang
kurang bulan.
4) Paritas
Penelitian yang dilakukan oleh Ziadeh (2012) dengan retrospektif pada
nullipara dengan umur > 35 tahun, didapatkan wanita nullipara > 35 tahun dan
usia antara 25 – 29 tahun. Korelasi nullipara dengan komplikasi kehamilan dan
kelahiran yaitu pada usia kehamilan, berat lahir, prematur, SGA, BBLR, fetal
distress, AS rendah atau asfiksia. Ini menunjukkan bahwa risiko kegawatan nafas
terjadi pada nullipara lebih besar daripada multipara. Penelitian Beydoun et al
(2009) menjelaskan bahwa ibu nullipara, 5,4% melahirkan bayi prematur dan
5,2% dengan kondisi berat badan lahir rendah.
5) Hipertensi pada ibu
Teori yang dikemukakan oleh UCSF (2009) bahwa stress intra uteri yang
kronik seperti hipertensi pada ibu atau toksemia, ketuban pecah dini dan agen
tokolitik merupakan faktor yang menurunkan kegawatan nafas. Begitu juga
pendapat yang dijelaskan oleh Lee et al (2009) bahwa hipertensi sebagai faktor
terjadinya kegawatan nafas masih menjadi kontroversial, karena dijelaskan secara
tradisional bahwa stress kronik intra uteri termasuk preeclampsia dan ketuban
pecah dini yang berkepanjangan dapat mempercepat maturitas paru janin.
Menurut penelitian Chiswick (2008) menjelaskan bahwa kegawatan nafas
neonatus (RDS) signifikan pada bayi dengan ibu hipertensi sebelum dikoreksi
efek dan variabel confounding atau perancu. Ibu hamil dengan hipertensi dan
menjadi pre eklampsia menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah sehingga
aliran darah menjadi tidak baik dan mengganggu sirkulasi darah termasuk
sirkulasi uteroplasentra, sehingga perfusi ke janin berkurang sehingga beresiko
untuk terjadi gawat nafas seperti asfiksia dan TTN. Selain itu pada pre eklampsia
cenderung dilakukan SC emergensi untuk penyelamatan bayi atau ibu, sedangkan
pada persalinan SC tidak ada penekanan pada dinding dada dan jalan nafas tidak
ada rangsangan oleh kompresi dinding dada sebagaimana pada persalinan
pervagina, dan juga dapat terjadi aspirasi cairan ketuban dari muntah yang berisi
cairan lambung.
Namun jika hipertensi yang diderita terjadi sejak sebelum kehamilan dan
hipertensi kehamilan telah dikoreksi dengan mendapat terapi kortikosteroid
selama hipertensi kehamilan, maka dapat mempercepat maturitas paru, sehingga
dapat menurunkan kejadian kegawatan neonatus. Faktor risiko yang menurunkan
kegawatan nafas neonatus adalah stress intra uteri kronik, PROM, hipertensi
maternal atau toksemia, penggunaan kortikosteroid, agen tokolitik, penyakit
hemolitik karena hal tersebut diatas menyebabkan paru bayi matur lebih awal
(UCSF Children’s Hospital, 2009

Anda mungkin juga menyukai