Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terdapat beberapa penyebab terjadinya gangguan jalan nafas pada bayi baru
lahir. Gangguan jalan nafas salah satunya adalah Respiratory Distress Syndrome. RDS
disebut juga Hyaline Membrane Disease adalah gawat napas pada bayi kurang bulan
atau premature yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya
kesukaran bernafas yang menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama
kehidupan. RDS terjadi pada bayi premature dengan angka kejadian sekitar 7 – 50 %
dari setiap kelahiran (Saboute et al., 2011).
Respiratory Distress Syndrome (RDS) adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru-paru. Defisiensi
surfactan menyebabkan tegangan permukaan meningkat sehingga alveolar menjadi
kolaps dan komplians paru menurun. Hal ini akan mempengaruhi ventilasi alveolar
sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory pada bayi
tersebut. Diagnosis banding pada Respiratory Distress Syndrome adalah Transient
tachypnea of the Newborn (TTN) dan Meconeal Aspiration Syndrome (MAS)
(Hermansen & Lorah, 2007).
Berdasarkan hal tersebut maka sebaiknya dilakukan pembahasan lebih
mendalam mengenai Respiratory Distress Syndrome sehingga dapat dilakukan
penanganan yang tepat apabila menemukan hal seperti itu dan angka morbiditas dapat
berkurang.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui tentang definisi, etiopatofisiologi, manifestasi klinis, klasifikasi,
penegakan diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis Respiratory
Distress Syndrome.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan
pembaca tentang definisi, etiopatofisiologi, epidemiologi, gejala, tatalaksana dan
prognosis Respiratory Distress Syndrome.
1.3.2 Manfaat Praktis
2

Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam
menangani pasien saat praktek.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Respiratory Distress Syndrome (hyaline membrane disease)

HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat
Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau
beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping
hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang
menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Hyaline
membrane disease biasanya terjadi pada bayi premature (Smith, 2013).

Gambar 2.1 Gambaran alveolus yang tertutup membrane hialin (Smith, 2013).

2.2 Etiologi

Penyebabnya RDS adalah kurangnya surfaktan sehingga meningkatkan


permukaan alveolar, atelektasis, penurunan ventilasi alveolar, atau bekurangnya volume
paru. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan
pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat
dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologist ditemukan pola
retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air
bronchogram (Locci et al., 2014).

Faktor resiko terjadinya RDS dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor ibu dan
bayi. Faktor ibu meliputi kehamilan ganda, ibu dengan kehamilan diabetes, dan lain
3

sebagainya. Sedangkan faktor bayi meliputi bayi premature, bayi laki-laki, hipotermia,
infeksi pada paru, pendarahan pada paru, dan lain sebagainya (Pickerd, 2008).

Gambar 2.2 Faktor resiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome (Pickerd, 2008).

2.3 Tahap Pematangan Paru Intrauterine


Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap. Organogenesis
paru dibagi menjadi lima tahapan yang berbeda. Tahapan awal meliputi fase embrionik
(hari ke 26 hingga 52) dan fase pseudoglanduler (hari ke 52 hingga akhir minggu ke-16
kehamilan), yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu kehamilan),
fase sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveolar (36
minggu sampai 24 bulan postnatal). Setelah lima tahapan perkembangan paru, paru
memasuki tahapan postnatal growth pada usia 2-18 tahun (Jobe, 2009 & Sherwood,
2010).
4

Gambar 2.3 Perkembangan morfologi paru-paru manusia (Jobe, 2009).

Pada fase embrional, paru pertama kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang
terpisah dari esofagus dan kaudal dari sulkus laringotrakheal. Celah antara bud paru dan
esofagus akan semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan
mesenkim dan semakin terpisah membentuk calon bronkhi. Pada fase pseudoglandular,
pembelahan cepat membentuk 15 hingga 20 saluran udara. Saluran udara yang terbentuk
dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan glikogen. Pembuluh darah arteri dan
paru juga berkembang seiring dengan perkembangan saluran udara. Di akhir fase
pseudoglanduler saluran udara, arteri dan vena telah berkembang menyerupai pola yang
ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini pula diafragma terbentuk dan memisahkan
rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan menyebabkan hernia diafragma
dan hipoplasia paru (Jobe, 2009 & Sherwood, 2010).
Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan
perubahan dari paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan
kemampuannya untuk melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada
fase ini adalah terbentuknya asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar
udara-darah (air blood barrier) dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Struktur
asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter.
Setelah usia kehamilan 20 minggu, sel kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai
membentuk badan lamelar dalam sitoplasmanya menandakan dimulainya produksi
surfaktan. Badan lamelar mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumosit
tipe II dapat ditemui dalam asinus tubulus pada stadium ini (Jobe, 2009 & Sherwood,
2010).
Fase sakuler merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap
viabel yaitu pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan struktur
terminal dari paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan pembentukan, yaitu bronkiolus
repiratorik, duktus alveolaris, baru kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang
akan membentuk alveoli. Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36
minggu dari sakulus terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat
elastin, dan kolagen. Selama tahap alveolar, dibentuk septa alveolar sekunder yang
terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir (Jobe, 2009 & Sherwood,
2010).
2.4 Fisiologi Pernafasan Bayi Baru Lahir
5

Selama dalam uterus, janin mendapatkan oksigen dari pertukaran gas melalui
plasenta. Setelah bayi lahir, pertukaran gas berubah melalui paru-paru. Pada akhir
persalinan terjadi hipoksia dan rangsangan fisik lingkungan luar rahim yang merangsang
pusat pernafasan di otak. Tekanan terhadap rongga dada yang terjadi karena kompresi
paru-paru selama persalinan merangsang masuknya udara ke dalam paru-paru secara
mekanis (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).
Setelah bayi lahir, kadar CO2 meningkat dalam darah dan akan merangsang
pernafasan. Berkurangnya O2 akan mengurangi gerakan pernafasan janin. Tetapi,
apabila terjadi

kenaikan CO2 maka akan frekuensi dan tingkat gerakan pernafasan janin. Pada keadaan
dingin juga dapat merangsang bayi untuk bernafas. Upaya pernafasan pertama seorang
bayi berfungsi untuk mengeluarkan cairan dalam paru-paru, mengembangkan jaringan
alveolus paru-paru untuk pertama kali (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).

Gambar 2.4 Proses hilangnya cairan dan masuknya udara pada paru-paru bayi baru lahir
(Sherwood, 2010).

Alveolus dapat berfungsi apabila terdapat surfaktan yang cukup dan aliran darah
ke paru-paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlah
meningkat sampai paru matang (sekitar 30-34 minggu). Fungsi surfaktan adalah untuk
mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding
alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernafasan (Sherwood, 2010 & Vonderen et
al., 2014).
6

Gambar 2.5 Gambaran pembuluh darah dan alveoli pada bayi sebelum dan setelah lahir
(Sherwood, 2010).

Bayi cukup bulan mempunyai cairan di paru-parunya. Pada saat bayi melewati
jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru-paru.
Dengan beberapa kali tarikan nafas maka udara akan memenuhi ruangan trakea dan
bronkus. Sisa cairan di paru-paru akan dikeluarkan dari paru-paru dan diserap oleh
pembuluh darah dan system limfatik (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).

2.5 Fisiologi Surfaktan

Surfaktan merupakan suatu senyawa organik yang bersifat ampifilik, yaitu


mempunyai bagian hidrofobik (pada bagian ekor) sekaligus bagian hidrofilik (bagian
kepala). Sehingga sebuah surfaktan mengandung kedua komponen yang bersifat tidak
larut air (larut minyak) dan juga komponen larut air. Surfaktan dibuat oleh sel alveolus
tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 20 minggu. Produksi surfaktan pada janin
dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveolus type II
(Jobe, 2009).

Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga
udara masih 2-3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi
pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32–34 minggu.
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum
mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Setelah 34
minggu kehamilan, materi yang bersifat surface-active sudah cukup diproduksi oleh sel
tipe II di paru, disekresi ke dalam alveolus dan dieksresikan ke dalam cairan amnion
(Locci et al., 2014).
7

Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi


ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula
mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi.
Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin)–80%,
phosphatidylglycerol–7%, phosphatidylethanolamine–3%, apoprotein (surfactant
protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah
pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein
merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film
fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses
perombakan surfaktan (Locci et al., 2014).

Gambar 2.6 Proses pembentukan surfaktan oleh sel alveolar type 2. ER: Endoplasmic
reticulum, G: Golgi bodies, LB: Lamellar bodies, TM: Tubular Myelin, M: Monolayer, I:
type I alveolar epithelial cell, II: type II alveolar epithelial cell (Chakraborty & Kotecha,
2013).

Surfaktan disintesa dari prekursor di retikulum endoplasma dan dikirim ke


aparatus Golgi melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam
badan lamelar, yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan
disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus,
fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut tubular
myelin. Tubular myelin menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi
perbatasan cairan dan udara di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan.
8

Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II,
dalam bentuk vesikel-vesikel kecil, melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom dan
ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang. Beberapa
surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (Chakraborty & Kotecha, 2013; Locci et
al., 2014).

Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan
beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan
kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom
dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan
multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan
disekresikan ke alveolus (Kim, 2010 & Locci et al., 2014).

2.6 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome

Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang
dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pada bayi premature didapatkan
defisiensi surfactant dan struktur paru-paru yang belum matang sehingga alveoli akan
mengalami atelektasis. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan
tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat
diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis
(Locci et al., 2014).
9

Gambar 2.7 Patogenesis Hyaline Membrane Disease atau Respiratory Distress Syndrome
bagian pertama (Locci, 2014).

Atelectasis menyebabkan kemampuan pengembangan paru dan udara sisa atau


Functional residual capacity (FRC) berkurang. Berkurangnya functional residual
capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik HMD.
Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan,
menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting
yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang. Atelectasis juga
meningkatkan kolpas alveoli dan dead space pada pernafasan. Akibat hal tersebut
terjadi hypoferfusi dan hypoventilasi yang menyebabkan hypoxemia atau menurunkan
oksigen pada darah dan hypercapnia atau peningkatan kadar CO2. (Kim, 2010 & Locci
et al., 2014).

Apabila hal tersebut terjadi maka menyebabkan asidosis baik respiratorik dan
metabolic pada bayi tersebut. Kompensasi tubuh akan melakukan vasodilatasi perifer
dan vasokontriksi pulmoner. Kejadian yang terjadi terus-menerus menyebabkan
kerusakan endotel dan kerusakan epitel, serta kerusakan alveolar. Hal tersebut
menyebabkan transudasi plasma ke dalam rongga alveolar. Setelah itu, akan terbentuk
fibrin dan sel nekroktik yang menyebabkan terbentuknya membrane hialin. Membrane
hialin yang terbentuk pada paru bayi akan menyebabkan terjadinya Respiratory Distress
Syndrome (Locci et al., 2014).
10

Gambar 2.8 Patogenesis Hyaline Membrane Disease atau Respiratory Distress Syndrome
bagian kedua (Locci, 2014).

2.7 Manifestasi Klinis

Pada pemeriksaan klinis pasien RDS didapatkan takipnea yang meningkat (>60
x/menit), retraksi dada, sianosis yang menetap atau progresif lebih dari 24-48 jam
pertama kehidupan, foto rontgen yang khas menunjukkan adanya pola retikulogranular
seragam dan bronkogram, menurunnya udara yang masuk, dan grunting / merintih
(Nasir et al., 2017).

Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya
baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal
(60 x / menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit
lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau
distres pernafasan awal yang berat. Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi
intercostal dan subcostal, pernafasan cuping hidung, sianosis yang biasanya tidak
responsif terhadap oksigen (Nasir et al., 2017).

Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan
pada inspirasi dalam dapat terdengar ronkhi basah halus, terutama pada basis paru
posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. Bila tidak
diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan
sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya
penyakit. Apnea dan pernafasan irregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda
perlunya intervensi segera (Nasir et al., 2017).

Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan
oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada
progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebabkan kematian pada bayi
dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3
hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi
mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 –33 minggu kehamilan, fungsi paru akan
kembali normal dalam 1 minggu kehidupan (Nasir et al., 2017).

Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan


ventilasi mekanik. Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan
oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari
11

pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya
kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau
intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi
bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD
berat) (Nasir et al., 2017).

2.8 Klasifikasi
Klasifikasi derajat gangguan nafas pada bayi dapat merujuk pada klasifikasi IDAI Tabel
2.1 (Kosim, 2008).
Tabel 2.1 Klasifikasi Gangguan Nafas Menurut IDAI

Klasifikasi Frekuensi Nafas Gejala tambahan


gangguan napas
Gangguan nafas 60 kali/menit DENGAN Sianosis sentral
berat DAN tarikan dinding
dada atau merintih
saat ekspirasi
ATAU > 90 DENGAN Sianosis sentral
kali/menit ATAU tarikan
dinding dada ATAU
merintih saat
ekspirasi
ATAU < 30 DENGAN atau Gejala gangguan
kali/menit TANPA napas
Gangguan nafas 60 – 90 kali/menit DENGAN Tarikan dinding
sedang tetapi dada ATAU
merintih saat
ekspirasi.
TANPA
Sianosis sentral
ATAU > 90 TANPA Tarikan dinding
kali/menit dada atau merintih
saat ekspirasi atau
sianosis sentral
Gangguan napas 60 – 90 kali/menit TANPA Tarikan dinding
ringan dada atau merintih
saat ekspirasi atau
sianosis sentral
Kelainan jantung 60 – 90 kali/menit DENGAN Sianosis sentral
kongenital
Tetapi
TANPA Tarikan dinding
dada atau merintih
12

2.9 Penegakan Diagnosis


A. Anamnesis
- Riwayat kelahiran kurang bulan.
- Riwayat ibu dengan diabetes melitus.
- Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin).
- Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS (Kosim, 2008).
B. Pemeriksaan Fisik
- Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
- Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala
a. Sesak napas, dengan frekuensi napas >60 kali/menit atau <30 kali/menit
b. Grunting atau merintih
c. Retraksi dinding dada
d. Kadang dijumpai sianosis sentral
e. Nafas cuping hidung
- Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer (Kosim, 2008).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Analisis gas darah
Didapatkan adanya hipoksia, hipercapnia, dan asidosis pada pasien dengan
diagnose Respiratory Distress Syndrome. Analisa gas darah sebaiknya
dipertahankan agar PaO2 ≥ 50 mmHg, PaCO2 ≤ 60 mmHg, pH tetap 7.25, dan
Saturasi Oksigen 90-94 % (Hermansen & Lorah, 2007).

2. Radiologi
13

Grade 1 adanya penampilan seperti ground Grade 2 bronkogram udara menyebar


glass appearance, infiltrate halus dengan sehingga menjadi terlihat
bronkogram udara

Grade 3 bayangan alveolar confluent Grade 4 white lung dengan tidak terlihatnya
batas paru dan jantung
Gambar 2.9 Gambaran radiologi RDS berdasarkan tingkatkan pada pasien Respiratory
Distress Syndrome (Nasir, 2017).

3. Tes kematangan paru


Tes kematangan paru menggunakan lecithin/sphingomyelin (L/S) rasio.
Rasio lecithin/sphingomyelin (L/S) merupakan gold standard pemeriksaan
maturitas paru dari cairan amnion. Konsentrasi lecithin di cairan amnion
menandakan kematangan paru janin. Sphingomielin merupakan adalah fosfolipid
yang berasal dari jaringan tubuh lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lecithin sulit
dihitung sehingga ditentukan rasio lecithin (yang akan meningkat seiring dengan
maturitas) terhadap sphingomyelin (yang menetap selama kehamilan). Rasio L/S
2:1 menandakan kematangan paru. Keberadaan fosfolipid minor, seperti
14

fosfatidigliserol, juga menandakan kematangan paru dan dapat berguna apabila


rasio L/S berada di nilai perbatasan atau kemungkinan dipengaruhi oleh diabetes
Ibu, sehingga mengurangi kematangan paru. Tidak adanya fosfatidigliserol
menunjukkan bahwa surfaktan belum matang (Nasir, 2017).

2.10 Diagnosis Banding


a. Transient Tachypnea of the Newborn
Transient Tachypnea Of The Newborn (TTN) ialah gangguan  pernapasan
pada bayi baru lahir yang berlangsung singkat yang biasanya  berlangung short-lived
(< 24 jam) dan bersifat self-limited serta terjadi sesaat setelah ataupun beberapa jam
setelah kelahiran, baik pada bayi yang  prematur maupun pada bayi yang matur
(lahir aterm). Transient tachypnea of the newborn (TTN) adalah suatu penyakit pada
noenatus yang mendekati cukup bulan atau sudah cukup bulan yang mengalami
gawat nafas segera setelah lahir dan hilang dengan sendirinya dalam 3-5 hari
(Lokesh et al., 2016).
Faktor risiko TTN pada bayi baru lahir di antaranya lahir secara secar
sebelum ada kontraksi, makrosomia, lahir dari ibu dengan diabetes, lahir dari ibu
dengan asma, partus lama, sedasi ibu berlebihan, atau skor apgar rendah (1 menit
kurang dari 7). Bayi dengan TTN mengalami sisa cairan yang masih terdapat di
paru-paru atau pengeluaran cairan dari paru-paru terlalu lambat sehingga bayi
mengalami kesulitan untuk menghirup oksigen secara normal kemudian bayi
bernapas lebih cepat dan lebih dalam untuk mendapat cukup oksigen ke paru-paru )
(Neonatology Clinical Care Unit Guidelines, 2014).
Manifestasi klinis pada TTN antara lain neonatus hampir cukup bulan atau
cukup bulan, bernapas cepat dan dalam (takipnea) lebih dari 60 x/menit, napas
cuping hidung (nasal flare), sela iga cekung saat bernapas (retraksi interkostal),
mulut dan hidung kebiruan (sianosis), grunting atau merintik/mendengkur saat bayi
mengeluarkan napas, takipnea terjadi langsung setelah lahir atau dalam 6 jam setelah
persalinan, gawat nafas ringan sampai sedang, dan keadaan ini biasanya tidak
berlangsung lebih dari 72 jam (Hagen et al,. 2017).
Pemeriksaan radiologi thorax pada pasien TTN memiliki gambaran khas
yaitu hiperexpansi paru, perihiler menonjol, pembesaran jantung ringan hingga
sedang, diafragma datar, dapat dilihat dari lateral, cairan di fisura minor dan
perlahan akan terdapat di ruang pleura, atau dapat terjadi hiperinflasi paru-paru
dengan depresi diafragma. Tatalaksana yang dilakukan adalah pemberian oksigen,
15

pembatasan cairan, pemberian asupan setelah takipnea membaik, dan konfirmasi


diagnosis dengan mengurangi kemungkinan penyebab lain pada TTN (Mahmoud,
2012).

Gambar 2.10 Gambaran Radiologi TTN. Pada gambar didapatkan cairan di fisura sehingga
menyebabkan gambaran cairan pada celah interkosta (Mahmoud, 2012).

b. Meconeal Aspiration Syndrome


Meconium Aspiration Syndrome (MAS) merupakan sekumpulan gejala yang
diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran pernapasan
bayi. MAS adalah salah satu faktor yang paling sering menyebabkan gangguan dan
kegagalan pernapasan pada neonatus aterm maupun post-term (Putra, 2017). MAS
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas, inflamasi berat, hipertensi paru, dan lain
sebagainya (Kosim, 2018).
Etiologi terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan amnion yang
mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Faktor yang mendorong pengeluaran
mekonium intrauterin antara lain insufusiensi plasenta, hipertensi maternal,
preeklamsia, diabetes maternal, KMK, oligohidramnion, pengguaan obat-obatan
selama kehamilan, terutama tembakau dan kokain, infeksi maternal/korioamnionitis,
atau hipoksia fetus (Clark, 2017).
MAS terjadi karena aspirasi mekonium pada waktu janin menarik napas
intrauterin atau ketika bayi bernapas saat lahir. Hipoksia akibat stres janin dapat
menstimulasi aktivitas kolon, yang menyebabkan pasase mekonium dan juga
menstimulasi gerakan menarik napas pada janin yang mengakibatkan teraspirasinya
mekonium selama dalam rahim (Burris, 2012).
16

Patofisiologi MAS merupakan hal yang kompleks. Mekonium yang


teraspirasi dapat mempengaruhi pernapasan normal melalui beberapa mekanisme,
yaitu obstruksi jalan napas akut, disfungsi atau inaktivasi surfaktan, pneumonitis
kimiawi dengan pelepasan vasokonstriktif dan mediator inflamasi, dan persistent
pulmonary hypertension of the newborn (PPHN) dengan shunt right to the left
ekstrapulmoner. Gangguan yang terjadi pada fungsi paru pada MAS adalah
hipoksemia dan penurunan komplians paru. Oksigenasi yang buruk disebabkan oleh
kombinasi antara mismatch ventilasi dan perfusi, shunt intrapulmoner yang
disebabkan atelektasis regional, dan shunt ekstrapulmoner yang berhubungan
dengan PPHN. Berikut merupakan skema patofisiologi dari MAS (Burris, 2012 &

Clark, 2012).

Gambar 2.11 Patofisiologi terjadinya Meconeal Aspiration Syndrome (Burris, 2012).

Manifestasi klinis dari MAS dapat dilihat dari warna kuning kehijauan pada
kuku jari tangan, tali pusat, serta kulit dan adanya tanda-tanda gangguan pernafasan,
seperti takipnea, retraksi, mendengkur, dan bentuk dada barrel-chest (Salvesen,
2009). Diagnosis Banding pada MAS adalah Transient tachypnea of the newborn
(TTN) dan Respiratory Distress (RDS). Untuk membedakan antara gambaran TTN,
RDS, dan MAS, dapat dilihat pada tabel dibawah (Clark, 2010).
17

Tabel 2.2 Perbedaan TTN, RDS dan MAS


Pembeda TTN RDS MAS

Etiologi Cairan paru persisten Defisiensi surfaktan Iritasi dan obstruksi


Paru belum paru
berkembang sempurna
Waktu Kapan saja Preterm Aterm atau post-term
persalinan
Faktor resiko Section cessarea, jenis kelamin laki-laki, Cairan amnion
makrosomia, jenis diabetes pada ibu, mekonial, kelahiran
kelamin laki-laki, asma kelahiran preterm post-term
pada ibu, diabetes pada
ibu
Gambaran klinis Takipneu, sering kali Takipneu, hypoxia, Takipneu, hipoxia
tanpa hipoksia maupun sianosis
sianosis
Temuan infiltrat pada parenkim, infiltrat homogenus, air Patchy atelectasis,
radiologis toraks ”siluet basah” di bronchogram, konsolidasi
sekeliling jantung, penurunan volume
penumpukan cairan paru,
intralobar
Terapi Suportif, oksigen jika Resusitasi, oksigen, Resusitasi, oksigen,
terjadi hipoksia ventilasi, surfaktan ventilasi, surfaktan

Pencegahan Kortikosteroid prenatal Kortikosteroid prenatal Jangan menunda


sebelum operasi sesar jika ada resiko suctioning setelah
jika usia kehamilan 37- kelahiran preterm (usia kelahiran, amnioinfusi
39 minggu kehamilan 24-34 tidak bermanfaat
minggu)
Keterangan :
TTN = takipneu transien pada neonatus (transient tachypnea of the newborn = TTN); SDR =
sindroma distres respirasi (RDS = respiratory distress syndrome); SAM = sindroma aspirasi
mekonium (MAS = meconium aspiration syndrome)

Kunci penatalaksanaan aspirasi mekonium adalah pencegahan selama masa


prenatal. Penatalaksanaan MAS adalah melakukan pembersihan paru (pulmonary
toilet), pemeriksaan kadar gas darah arteri, pemantauan kadar oksigen, radiografi
thoraks, pemakaian antibiotik. Neonatus dengan aspirasi mekonium yang
membutuhkan resusitasi sering kali juga mengalami kelainan metabolik, seperti
hipoksia, asidosis, hipoglikemia, dan hipokalsemia. Pasien-pasien ini kemungkinan
telah mengalami asfiksia perinatal, sehingga diperlukan pemantauan adanya
kerusakan organ (Bhutani, 2008).
18

Gambar 2.12 Algoritma tatalaksana Meconeal Aspiration Syndrome (Bhutani, 2008).

2.11 Tatalaksana
Tatalaksana yang paling utama pada pasien Respiratory Distress Syndrome
adalah mencegah persalinan premature. Pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah
pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada ibu dengan ancaman persalinan
premature atau pemberian profilaksis surfaktan dari luar/eksogen. Pemberian surfaktan
lebih bagus untuk diberikan sebagai terapi pencegahan dibandingkan terapi
penyelamatan. Surfaktan diberikan untuk mengurangi kejadian pneumothorax,
emfisema interstisial pulmonal, dan penurunan mortalitas terutama pada ibu dengan
kehamilan < 30 minggu. Surfaktan diberikan 24 jam pertama melalui pipa endotrakea
setiap 6-12 jam untuk total 2-4 dosis. Salah satu surfaktan yang dapat diberikan adalah
survanta (bovine survactant) dengan dosis total 4 ml/kgBB intratrakea (ETT) terbagi
dalam 4 kali dengan masing-masing pemberian ¼ dosis. Komplikasi yang dapat
disebabkan adalah hipoksia transient, hipotensi, blok ETT, dan pendarahan paru (Kim,
2010 & Nasir, 2017).
Pemberian kortikosteroid sebaiknya > 48 jam dan kurang dari 7 hari sebelum
kelahiran (usia 32 minggu atau kurang) karena efek akan hilang pada 7-10 hari setelah
pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid kurang efektif jika usia kehamilan lebih dari
34 minggu. Kortikosteroid bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik di sel
paru yaitu dengan merangsang produksi phosphatydilcholine oleh sel alveolar type 2.
19

Kortikosteroid yang diberikan adalah betamethasone atau dexamethasone. Dosis


pemberian betamethasone adalah 12 mg secara intramuscular (IM) diulang setelah 24
jam. Total dosis 24 mg selama 24-48 jam diperbolehkan. Dosis dexamethasone adalah 6
mg secara intramuscular (IM) tiap 12 jam untuk 4 dosis. Pemberian kortikosteroid tidak
disarankan untuk diulang dalam jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian steroid
antara lain ibu dengan tiroksikosis, cardiomyophaty, dan lain sebagainya (Kim, 2010 &
Nasir, 2017).
Tatalaksana lain adalah menjaga jalan nafas dengan pemberian CPAP atau
pemberian ventilator mekanik. Pemberian CPAP (Continous Positive Airway Pressure)
diberikan jika PaO2 ≤ 50 mmHg untuk mencegah alveoli kolaps sehingga menurunkan
resiko terjadinya bronchopulmonary dysplasia (BPD). Apabila dengan penggunaan
CPAP, PaO2 tidak dipertahankan diatas 50 mmHg maka diganti dengan penggunaan
ventilator mekanik. Ventilator mekanik digunakan untuk bayi dengan HMD berat atau
disertai komplikasi yang dapat menimbulkan apneu persisten. Indikasi penggunaan
ventilator mekanik adalah pH darah arteri < 7.2, PaCO 2 ≥ 60 mmHg, PaO2 ≤ 50 mmHg,
dan apnue persisten (Kim, 2010 & Nasir, 2017).
Pada bayi dengan RDS sebaiknya dilakukan pemeriksaan Analisa gas darah
untuk melihat kadar PaO2, PaCO2, pH, dan saturasi oksigen dalam darah arteri. Analisa
gas darah sebaiknya dipertahankan agar PaO2 ≥ 50 mmHg, PaCO2 ≤ 60 mmHg, pH tetap
7.25, dan Saturasi Oksigen 90-94 % (Hermansen & Lorah, 2007). Pada bayi dengan
RDS diberikan pemberian nutrisi bertahap dan dosis cairan rumatan. Cairan yang
diberikan pada 24 jam pertama adalah infus glukosa 10% dan cairan melalui vena
perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Setelah itu diberikan penambahan elektrolit dan
peningkatan cairan bertahap 120-150 ml/kgBB/24 jam. Apabila cairan yang diberikan
berlebihan maka dapat meningkatkan resiko terjadinya Patent Ductus Arteriosus (PDA).
Tindakan bedah dilakukan jika didapatkan komplikasi seperti pneumothorax,
pneumomediastinum, atau empisema subkutan (Kim, 2010 & Nasir, 2017).
20

Gambar 2.13 Algoritma tatalaksana bayi dengan distress pernafasan (Hermansen & Lorah, 2007)

2.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Respiratory Distress Syndrome yang sering
diamati pada saat dilakukan autopsy antara lain intraventricular cerebral hemorrhage,
persistence of the patent ductus artiosus, necrotizing enterocolitis, retinopathy of
prematurity (ROP), atau bronchopulmonary dysplasia (BPD). ROP dan BPD umumnya
dianggap sebagai komplikasi akhir RDS yang biasanya terjadi pada bayi kurang dari
1500 gram yang dipertahankan pada respirasi mekanik selama lebih dari 6 hari. Namun,
data terbaru menunjukkan bahwa BPD merupakan penyakit bawaan dan intervensi
setelah kelahiran hanya menentukan tingkat keparahan bentuk, bukan ada atau tidaknya
(Locci, 2014).
2.13 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya Hyaline Membrane Disease diberikan kortikosteroid
antenatal yang terdiri dari betamethasone 12 mg/dose IM 2 dosis, selang 24 jam atau
dexamethasone 6 mg/dose IM 4 dosis, selang 12 jam. Terapi surfaktan dini diberikan
sebagai profilaksis pada neonatus kurang dari 27 minggu. Terapi surfaktan bertujuan
untuk meningkatkan compliance, kapasitas residual, kapasitas fungsional, dan
oksigenasi, menurunkan resiko kebocoran udara, dan menurunkan angka kematian. Pada
21

ruang persalinan dapat juga digunakan CPAP dini untuk mencegah terjadi RDS/HMD
(Nasir, 2017).
2.14 Prognosis
Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding terbalik
dengan kemungkinan timbulnya penyulit). Prognosis baik bila gangguan napas akut dan
tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemi yang lama.
22

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Respiratory distress syndrome (RDS) adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru-paru. Defisiensi
surfactan menyebabkan tegangan permukaan meningkat sehingga alveolar menjadi
kolaps dan komplians paru menurun. Hal ini akan mempengaruhi ventilasi alveolar
sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory pada bayi
tersebut. Diagnosis banding pada Respiratory Distress Syndrome adalah Transient
tachypnea of the Newborn (TTN) dan Meconeal Aspiration Syndrome (MAS)
(Hermansen & Lorah, 2007).
Untuk mencegah terjadinya Hyaline Membrane Disease diberikan kortikosteroid
antenatal yang terdiri dari betamethasone 12 mg/dose IM 2 dosis, selang 24 jam atau
dexamethasone 6 mg/dose IM 4 dosis, selang 12 jam. Terapi surfaktan dini diberikan
sebagai profilaksis pada neonatus kurang dari 27 minggu (Nasir, 2017).

3.2. Saran
Bagi penulis
Penulis diharapkan selalu menambah pengetahuannya tentang Respiratory Distress
Syndrome.
Bagi akademisi
Dalam makalah ini hanya dibahas sebagian kecil dari penjelasan tentang Respiratory
Distress Syndrome, sehingga untuk referensi lainnya, referat ini bisa digunakan sebagai
pelengkap dan penunjang untuk referensi Respiratory Distress Syndrome.
23

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Rembulan; Dewi, Ratna Obstetrik, B., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2017). Peran
Kortikosteroid dalam Pematangan Paru Intrauterin The Role of Corticosteroids in
Intrauterine Lung Maturation, 6, 142–147.

Bhutani VK. (2008). Developing A Systems Approach to Prevent Meconium Aspiration


Syndrome: Lesson learned From Multinational studies. Di dalam: Lawson EE,
Martin GI, Vidyasagar D, editor. Proceedings of the First International Conference
for Meconium Aspiration Syndrome and Meconium-induced Lung Injury. Journal
of Perinatology. Vol 28. Supp 3.
Burris HH. (2012). Meconium Aspiration. Di dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Hansen AR, Stark AR, editor. Manual of Neonatal Care. Ed-7. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Chakraborty, M; Kotecha, S. (2013). Pulmonary surfactant in newborn infants and


children. Department of Child Health, School of Medicine, Cardiff University,
Cardiff, UK.

Clark MB, Clark DA. Meconium Aspiration Syndrome. Medscape Reference. (2012).
[terhubung berkala]. emedicine.medscape.com/article/974110-overview.
Clark, M.B. Meconium Aspiration Syndrome. (2010). www.medscape.com/ http:// portal
neonatal.com.br/outras-especialidades /arquivos/ Meconium Aspiration
Syndrome.pdf

Hagen, E., Chu, A., & Lew, C. (2017). Transient Tachypnea of the Newborn, 18(3), 141–
148.

Hermansen, C. L., & Lorah, K. N. (2007). Respiratory distress in the newborn. American
Family Physician, 76(7), 987–994.
https://doi.org/10.1001/jama.1980.03300370050028

Jobe AH. (2009). Fetal lung development and surfactant. Philadelphia: Saunders Elsevier.
hlm. 193-205.

Kim, S. Y. (2010). Neonatal respiratory distress : recent progress in understanding


pathogenesis and treatment outcomes, 53(1), 1–6.

Kosim MS, Yunanto A & Dewi R . (2008). Buku Ajar Neonatologi; Gangguan Napas
Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Locci, G., Fanos, V., Gerosa, C., & Faa, G. (2014). Hyaline membrane disease ( HMD ):
the role of the perinatal pathologist, 3(2), 1–9. https://doi.org/10.7363/030255

Lokesh Guglani, MD, Satyan Lakshminrusimha, MD, Rita M. Ryan, MD. (2016).
Transient tachypnea of the newborn, 3(11), 3–8. https://doi.org/10.1542/pir.29-
11-e59

Mahmoud Abughalwa, MD; Samer Taha, MD; Nahla Sharaf, MD; Husam Salama, MD
(2012). Neonatology Today. https://doi.org/10.1038/jp2011.87.
24

Nasir, F., Pamela, S., Juan, Q. L., & Li, J. (2017). Recent Understanding of
Pathophysiology , Risk Factors and Treatments of Neonatal Respiratory Distress
Syndrome : A review, 5(1), 70–78.

Neonatology Clinical Care Unit Guidelines. (2014). Transient Tachypnoea of the


Newborn (TTN), 1–2.

Putra TR, Mutiara H. (2017). Meconium Aspiration Syndrome. Medula Unila Journal.
Vol 7 No 1.
Raju ACU, Sondhi MV, Patnaik MSK. (2010). Meconium Aspiration Syndrome: An
Insight. Medical Journal Armed Forces India.
Roett MA, Lawrence D, Bennett K. (2010). Meconium Aspiration Syndrome. Brown P,
editor. Departement of Family Medicine, Georgetown University-Providence
Hospital.

Saboute, M., Kashaki, M., Bordbar, A., Khalessi, N., Farahani, Z., & Saboute, M. (2011).
The Incidence of Respiratory Distress Syndrome among Preterm Infants Admitted
to Neonatal Intensive Care Unit: A Retrospective Study. Open Journal of
Pediatrics, 5(5), 285–289. https://doi.org/10.4236/ojped.2015.54043

Salvesen B. (2009). Pathophysiological and Immunological Aspects of Meconium


Aspiration Syndrome. Departement of Pediatric Research Instituteof Immunology
Faculty of Medicine University of Oslo.

Sherwood L. (2010). Human physiology : from cells to system. United States: Brooks
Cole. hlm. 461-511.

Singh BS, Clark RH, Powers RJ, Spitzer AR. (2009). Meconium aspiration syndrome
remains a significant problem in the NICU: outcomes and treatment patterns in
term neonates admitted for intensive care during a ten-year period. J Perinatol;
29(7):497-503.

Smith, J. H. (2013). Infant Respiratory Distress Syndrome (IRDS).

Swarnam K, Soraisham AS Sivanandan S. (2011). Advances in the Management of


Meconium Aspiration Syndrome. International journal of Pediatrics.

Vonderen, J. J. Van, Roest, A. W., Siew, M. L., & Walther, J. (2014). Measuring
Physiological Changes during, 230–242. https://doi.org/10.1159/000356704

Yeh TF. (2010). Core Concepts: Meconium Aspiration Syndrome: Pathogenesis and
Current Management. American Academy of Pediatrics.

Anda mungkin juga menyukai