BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam
menangani pasien saat praktek.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat
Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau
beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping
hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang
menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Hyaline
membrane disease biasanya terjadi pada bayi premature (Smith, 2013).
Gambar 2.1 Gambaran alveolus yang tertutup membrane hialin (Smith, 2013).
2.2 Etiologi
Faktor resiko terjadinya RDS dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor ibu dan
bayi. Faktor ibu meliputi kehamilan ganda, ibu dengan kehamilan diabetes, dan lain
3
sebagainya. Sedangkan faktor bayi meliputi bayi premature, bayi laki-laki, hipotermia,
infeksi pada paru, pendarahan pada paru, dan lain sebagainya (Pickerd, 2008).
Gambar 2.2 Faktor resiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome (Pickerd, 2008).
Pada fase embrional, paru pertama kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang
terpisah dari esofagus dan kaudal dari sulkus laringotrakheal. Celah antara bud paru dan
esofagus akan semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan
mesenkim dan semakin terpisah membentuk calon bronkhi. Pada fase pseudoglandular,
pembelahan cepat membentuk 15 hingga 20 saluran udara. Saluran udara yang terbentuk
dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan glikogen. Pembuluh darah arteri dan
paru juga berkembang seiring dengan perkembangan saluran udara. Di akhir fase
pseudoglanduler saluran udara, arteri dan vena telah berkembang menyerupai pola yang
ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini pula diafragma terbentuk dan memisahkan
rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan menyebabkan hernia diafragma
dan hipoplasia paru (Jobe, 2009 & Sherwood, 2010).
Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan
perubahan dari paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan
kemampuannya untuk melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada
fase ini adalah terbentuknya asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar
udara-darah (air blood barrier) dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Struktur
asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter.
Setelah usia kehamilan 20 minggu, sel kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai
membentuk badan lamelar dalam sitoplasmanya menandakan dimulainya produksi
surfaktan. Badan lamelar mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumosit
tipe II dapat ditemui dalam asinus tubulus pada stadium ini (Jobe, 2009 & Sherwood,
2010).
Fase sakuler merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap
viabel yaitu pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan struktur
terminal dari paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan pembentukan, yaitu bronkiolus
repiratorik, duktus alveolaris, baru kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang
akan membentuk alveoli. Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36
minggu dari sakulus terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat
elastin, dan kolagen. Selama tahap alveolar, dibentuk septa alveolar sekunder yang
terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir (Jobe, 2009 & Sherwood,
2010).
2.4 Fisiologi Pernafasan Bayi Baru Lahir
5
Selama dalam uterus, janin mendapatkan oksigen dari pertukaran gas melalui
plasenta. Setelah bayi lahir, pertukaran gas berubah melalui paru-paru. Pada akhir
persalinan terjadi hipoksia dan rangsangan fisik lingkungan luar rahim yang merangsang
pusat pernafasan di otak. Tekanan terhadap rongga dada yang terjadi karena kompresi
paru-paru selama persalinan merangsang masuknya udara ke dalam paru-paru secara
mekanis (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).
Setelah bayi lahir, kadar CO2 meningkat dalam darah dan akan merangsang
pernafasan. Berkurangnya O2 akan mengurangi gerakan pernafasan janin. Tetapi,
apabila terjadi
kenaikan CO2 maka akan frekuensi dan tingkat gerakan pernafasan janin. Pada keadaan
dingin juga dapat merangsang bayi untuk bernafas. Upaya pernafasan pertama seorang
bayi berfungsi untuk mengeluarkan cairan dalam paru-paru, mengembangkan jaringan
alveolus paru-paru untuk pertama kali (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).
Gambar 2.4 Proses hilangnya cairan dan masuknya udara pada paru-paru bayi baru lahir
(Sherwood, 2010).
Alveolus dapat berfungsi apabila terdapat surfaktan yang cukup dan aliran darah
ke paru-paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlah
meningkat sampai paru matang (sekitar 30-34 minggu). Fungsi surfaktan adalah untuk
mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding
alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernafasan (Sherwood, 2010 & Vonderen et
al., 2014).
6
Gambar 2.5 Gambaran pembuluh darah dan alveoli pada bayi sebelum dan setelah lahir
(Sherwood, 2010).
Bayi cukup bulan mempunyai cairan di paru-parunya. Pada saat bayi melewati
jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru-paru.
Dengan beberapa kali tarikan nafas maka udara akan memenuhi ruangan trakea dan
bronkus. Sisa cairan di paru-paru akan dikeluarkan dari paru-paru dan diserap oleh
pembuluh darah dan system limfatik (Sherwood, 2010 & Vonderen et al., 2014).
Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga
udara masih 2-3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi
pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32–34 minggu.
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum
mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Setelah 34
minggu kehamilan, materi yang bersifat surface-active sudah cukup diproduksi oleh sel
tipe II di paru, disekresi ke dalam alveolus dan dieksresikan ke dalam cairan amnion
(Locci et al., 2014).
7
Gambar 2.6 Proses pembentukan surfaktan oleh sel alveolar type 2. ER: Endoplasmic
reticulum, G: Golgi bodies, LB: Lamellar bodies, TM: Tubular Myelin, M: Monolayer, I:
type I alveolar epithelial cell, II: type II alveolar epithelial cell (Chakraborty & Kotecha,
2013).
Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II,
dalam bentuk vesikel-vesikel kecil, melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom dan
ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang. Beberapa
surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (Chakraborty & Kotecha, 2013; Locci et
al., 2014).
Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan
beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan
kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom
dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan
multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan
disekresikan ke alveolus (Kim, 2010 & Locci et al., 2014).
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang
dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pada bayi premature didapatkan
defisiensi surfactant dan struktur paru-paru yang belum matang sehingga alveoli akan
mengalami atelektasis. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan
tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat
diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis
(Locci et al., 2014).
9
Gambar 2.7 Patogenesis Hyaline Membrane Disease atau Respiratory Distress Syndrome
bagian pertama (Locci, 2014).
Apabila hal tersebut terjadi maka menyebabkan asidosis baik respiratorik dan
metabolic pada bayi tersebut. Kompensasi tubuh akan melakukan vasodilatasi perifer
dan vasokontriksi pulmoner. Kejadian yang terjadi terus-menerus menyebabkan
kerusakan endotel dan kerusakan epitel, serta kerusakan alveolar. Hal tersebut
menyebabkan transudasi plasma ke dalam rongga alveolar. Setelah itu, akan terbentuk
fibrin dan sel nekroktik yang menyebabkan terbentuknya membrane hialin. Membrane
hialin yang terbentuk pada paru bayi akan menyebabkan terjadinya Respiratory Distress
Syndrome (Locci et al., 2014).
10
Gambar 2.8 Patogenesis Hyaline Membrane Disease atau Respiratory Distress Syndrome
bagian kedua (Locci, 2014).
Pada pemeriksaan klinis pasien RDS didapatkan takipnea yang meningkat (>60
x/menit), retraksi dada, sianosis yang menetap atau progresif lebih dari 24-48 jam
pertama kehidupan, foto rontgen yang khas menunjukkan adanya pola retikulogranular
seragam dan bronkogram, menurunnya udara yang masuk, dan grunting / merintih
(Nasir et al., 2017).
Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya
baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal
(60 x / menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit
lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau
distres pernafasan awal yang berat. Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi
intercostal dan subcostal, pernafasan cuping hidung, sianosis yang biasanya tidak
responsif terhadap oksigen (Nasir et al., 2017).
Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan
pada inspirasi dalam dapat terdengar ronkhi basah halus, terutama pada basis paru
posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. Bila tidak
diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan
sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya
penyakit. Apnea dan pernafasan irregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda
perlunya intervensi segera (Nasir et al., 2017).
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan
oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada
progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebabkan kematian pada bayi
dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3
hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi
mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 –33 minggu kehamilan, fungsi paru akan
kembali normal dalam 1 minggu kehidupan (Nasir et al., 2017).
pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya
kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau
intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi
bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD
berat) (Nasir et al., 2017).
2.8 Klasifikasi
Klasifikasi derajat gangguan nafas pada bayi dapat merujuk pada klasifikasi IDAI Tabel
2.1 (Kosim, 2008).
Tabel 2.1 Klasifikasi Gangguan Nafas Menurut IDAI
2. Radiologi
13
Grade 3 bayangan alveolar confluent Grade 4 white lung dengan tidak terlihatnya
batas paru dan jantung
Gambar 2.9 Gambaran radiologi RDS berdasarkan tingkatkan pada pasien Respiratory
Distress Syndrome (Nasir, 2017).
Gambar 2.10 Gambaran Radiologi TTN. Pada gambar didapatkan cairan di fisura sehingga
menyebabkan gambaran cairan pada celah interkosta (Mahmoud, 2012).
Clark, 2012).
Manifestasi klinis dari MAS dapat dilihat dari warna kuning kehijauan pada
kuku jari tangan, tali pusat, serta kulit dan adanya tanda-tanda gangguan pernafasan,
seperti takipnea, retraksi, mendengkur, dan bentuk dada barrel-chest (Salvesen,
2009). Diagnosis Banding pada MAS adalah Transient tachypnea of the newborn
(TTN) dan Respiratory Distress (RDS). Untuk membedakan antara gambaran TTN,
RDS, dan MAS, dapat dilihat pada tabel dibawah (Clark, 2010).
17
2.11 Tatalaksana
Tatalaksana yang paling utama pada pasien Respiratory Distress Syndrome
adalah mencegah persalinan premature. Pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah
pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada ibu dengan ancaman persalinan
premature atau pemberian profilaksis surfaktan dari luar/eksogen. Pemberian surfaktan
lebih bagus untuk diberikan sebagai terapi pencegahan dibandingkan terapi
penyelamatan. Surfaktan diberikan untuk mengurangi kejadian pneumothorax,
emfisema interstisial pulmonal, dan penurunan mortalitas terutama pada ibu dengan
kehamilan < 30 minggu. Surfaktan diberikan 24 jam pertama melalui pipa endotrakea
setiap 6-12 jam untuk total 2-4 dosis. Salah satu surfaktan yang dapat diberikan adalah
survanta (bovine survactant) dengan dosis total 4 ml/kgBB intratrakea (ETT) terbagi
dalam 4 kali dengan masing-masing pemberian ¼ dosis. Komplikasi yang dapat
disebabkan adalah hipoksia transient, hipotensi, blok ETT, dan pendarahan paru (Kim,
2010 & Nasir, 2017).
Pemberian kortikosteroid sebaiknya > 48 jam dan kurang dari 7 hari sebelum
kelahiran (usia 32 minggu atau kurang) karena efek akan hilang pada 7-10 hari setelah
pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid kurang efektif jika usia kehamilan lebih dari
34 minggu. Kortikosteroid bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik di sel
paru yaitu dengan merangsang produksi phosphatydilcholine oleh sel alveolar type 2.
19
Gambar 2.13 Algoritma tatalaksana bayi dengan distress pernafasan (Hermansen & Lorah, 2007)
2.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Respiratory Distress Syndrome yang sering
diamati pada saat dilakukan autopsy antara lain intraventricular cerebral hemorrhage,
persistence of the patent ductus artiosus, necrotizing enterocolitis, retinopathy of
prematurity (ROP), atau bronchopulmonary dysplasia (BPD). ROP dan BPD umumnya
dianggap sebagai komplikasi akhir RDS yang biasanya terjadi pada bayi kurang dari
1500 gram yang dipertahankan pada respirasi mekanik selama lebih dari 6 hari. Namun,
data terbaru menunjukkan bahwa BPD merupakan penyakit bawaan dan intervensi
setelah kelahiran hanya menentukan tingkat keparahan bentuk, bukan ada atau tidaknya
(Locci, 2014).
2.13 Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya Hyaline Membrane Disease diberikan kortikosteroid
antenatal yang terdiri dari betamethasone 12 mg/dose IM 2 dosis, selang 24 jam atau
dexamethasone 6 mg/dose IM 4 dosis, selang 12 jam. Terapi surfaktan dini diberikan
sebagai profilaksis pada neonatus kurang dari 27 minggu. Terapi surfaktan bertujuan
untuk meningkatkan compliance, kapasitas residual, kapasitas fungsional, dan
oksigenasi, menurunkan resiko kebocoran udara, dan menurunkan angka kematian. Pada
21
ruang persalinan dapat juga digunakan CPAP dini untuk mencegah terjadi RDS/HMD
(Nasir, 2017).
2.14 Prognosis
Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding terbalik
dengan kemungkinan timbulnya penyulit). Prognosis baik bila gangguan napas akut dan
tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemi yang lama.
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Respiratory distress syndrome (RDS) adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru-paru. Defisiensi
surfactan menyebabkan tegangan permukaan meningkat sehingga alveolar menjadi
kolaps dan komplians paru menurun. Hal ini akan mempengaruhi ventilasi alveolar
sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory pada bayi
tersebut. Diagnosis banding pada Respiratory Distress Syndrome adalah Transient
tachypnea of the Newborn (TTN) dan Meconeal Aspiration Syndrome (MAS)
(Hermansen & Lorah, 2007).
Untuk mencegah terjadinya Hyaline Membrane Disease diberikan kortikosteroid
antenatal yang terdiri dari betamethasone 12 mg/dose IM 2 dosis, selang 24 jam atau
dexamethasone 6 mg/dose IM 4 dosis, selang 12 jam. Terapi surfaktan dini diberikan
sebagai profilaksis pada neonatus kurang dari 27 minggu (Nasir, 2017).
3.2. Saran
Bagi penulis
Penulis diharapkan selalu menambah pengetahuannya tentang Respiratory Distress
Syndrome.
Bagi akademisi
Dalam makalah ini hanya dibahas sebagian kecil dari penjelasan tentang Respiratory
Distress Syndrome, sehingga untuk referensi lainnya, referat ini bisa digunakan sebagai
pelengkap dan penunjang untuk referensi Respiratory Distress Syndrome.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Rembulan; Dewi, Ratna Obstetrik, B., Kedokteran, F., & Lampung, U. (2017). Peran
Kortikosteroid dalam Pematangan Paru Intrauterin The Role of Corticosteroids in
Intrauterine Lung Maturation, 6, 142–147.
Clark MB, Clark DA. Meconium Aspiration Syndrome. Medscape Reference. (2012).
[terhubung berkala]. emedicine.medscape.com/article/974110-overview.
Clark, M.B. Meconium Aspiration Syndrome. (2010). www.medscape.com/ http:// portal
neonatal.com.br/outras-especialidades /arquivos/ Meconium Aspiration
Syndrome.pdf
Hagen, E., Chu, A., & Lew, C. (2017). Transient Tachypnea of the Newborn, 18(3), 141–
148.
Hermansen, C. L., & Lorah, K. N. (2007). Respiratory distress in the newborn. American
Family Physician, 76(7), 987–994.
https://doi.org/10.1001/jama.1980.03300370050028
Jobe AH. (2009). Fetal lung development and surfactant. Philadelphia: Saunders Elsevier.
hlm. 193-205.
Kosim MS, Yunanto A & Dewi R . (2008). Buku Ajar Neonatologi; Gangguan Napas
Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Locci, G., Fanos, V., Gerosa, C., & Faa, G. (2014). Hyaline membrane disease ( HMD ):
the role of the perinatal pathologist, 3(2), 1–9. https://doi.org/10.7363/030255
Lokesh Guglani, MD, Satyan Lakshminrusimha, MD, Rita M. Ryan, MD. (2016).
Transient tachypnea of the newborn, 3(11), 3–8. https://doi.org/10.1542/pir.29-
11-e59
Mahmoud Abughalwa, MD; Samer Taha, MD; Nahla Sharaf, MD; Husam Salama, MD
(2012). Neonatology Today. https://doi.org/10.1038/jp2011.87.
24
Nasir, F., Pamela, S., Juan, Q. L., & Li, J. (2017). Recent Understanding of
Pathophysiology , Risk Factors and Treatments of Neonatal Respiratory Distress
Syndrome : A review, 5(1), 70–78.
Putra TR, Mutiara H. (2017). Meconium Aspiration Syndrome. Medula Unila Journal.
Vol 7 No 1.
Raju ACU, Sondhi MV, Patnaik MSK. (2010). Meconium Aspiration Syndrome: An
Insight. Medical Journal Armed Forces India.
Roett MA, Lawrence D, Bennett K. (2010). Meconium Aspiration Syndrome. Brown P,
editor. Departement of Family Medicine, Georgetown University-Providence
Hospital.
Saboute, M., Kashaki, M., Bordbar, A., Khalessi, N., Farahani, Z., & Saboute, M. (2011).
The Incidence of Respiratory Distress Syndrome among Preterm Infants Admitted
to Neonatal Intensive Care Unit: A Retrospective Study. Open Journal of
Pediatrics, 5(5), 285–289. https://doi.org/10.4236/ojped.2015.54043
Sherwood L. (2010). Human physiology : from cells to system. United States: Brooks
Cole. hlm. 461-511.
Singh BS, Clark RH, Powers RJ, Spitzer AR. (2009). Meconium aspiration syndrome
remains a significant problem in the NICU: outcomes and treatment patterns in
term neonates admitted for intensive care during a ten-year period. J Perinatol;
29(7):497-503.
Vonderen, J. J. Van, Roest, A. W., Siew, M. L., & Walther, J. (2014). Measuring
Physiological Changes during, 230–242. https://doi.org/10.1159/000356704
Yeh TF. (2010). Core Concepts: Meconium Aspiration Syndrome: Pathogenesis and
Current Management. American Academy of Pediatrics.