Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Morbus Hansen atau lepra dan kusta merupakan salah satu penyakit
tertua karena telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra
merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa
India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman,
yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 1.
Morbus Hansen merupakan penyakit kronik granulomatosa yang secara primer
menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang organ lain seperti kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis. Morbus
Hansen tidak menyerang sususan saraf pusat. Morbus Hansen disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Pada tahun 2009, telah ditemukan
penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Morbus Hansen dahulu dikenal sebagai
penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana program
Multi Drug Treatment (MDT) mulai diperkenalkan, Morbus Hansen dapat didiagnosis dan
diterapi. Pengobatan Morbus Hansen pada wanita hamil dan anak-anak harus sangat di
perhatikan. Baik dari dosis sampai pemilihan jenis obat. Agar dapat menghindari efek
samping yang tidak dikehendaki. Namun, meskipun telah dilakukan terapi MDT secara
adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan
deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan
tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta 1,2,3.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, manifestasi, petogenesis, diagnosis,
tatalaksana, reaksi, pencegahan serta prognosis morbus hansen?

1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, manifestasi, petogenesis,
diagnosis, tatalaksana, reaksi, pencegahan serta prognosis morbus hansen.
2

1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan adalah agar bagi penulis maupun pembaca lebih memahami
mengenai proses terjadinya penyakit morbus hansen, penyebab, klasifikasi, dan
pengobatan yang tepat dan rasional.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morbus Hansen (MH)


2.1.1 Definisi
Istilah kusta dikutip dari bahasa India (kustha : kumpulan gejala) sehingga
diartikan sebagai kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (MH). MH
merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat juga terjadi mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat
1
.
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia oleh karena perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Kusta masuk ke Indonesia diperkirakan di bawa oleh bangsa
Cina. Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan mempunyai masa tunas yang
panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun) dengan rata-rata 3-5 tahun 2. Kusta bukanlah
penyakit keturunan. Kuman kusta dapat dutemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan air susu ibu. Terkadang juga ditemukan dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Kusta dapat
menyerang semua umur namun anak-anak lebih rentan. Di Indonesia penderita anak-anak
di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang
sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta
terdapat di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan
subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.1
Prevalensi kusta di dunia selama 12 tahun terakhir telah menurun tajam di
sebagian besar wilayah endemis. Pada tahun 2009 tercatat 213.036 penderita dari 121
negara. Di Indonesia sendiri pada tahun 2009 tercatat ada 21.538 penderita kusta.
Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan
Papua.
4

2.1.3 Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae ditemukan
oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Mycobacterium leprae merupakan
bakteri yang bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro,
berbentuk basil gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, serta bersifat tahan asam
dan alkohol. Adapun waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3
minggu. Mycobacterium leprae bereproduksi dengan optimal pada suhu 27°C – 30°C
secara in vivo, tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf
perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan
testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah
punggung.1,2

Gambar 2.1 Mycobacterium leprae

2.1.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Secara umum Morbus Hansen diklasifikasikan berdasakan Ridley & Jopling,
Madrid, WHO dan Puskesmas sebagai berikut:
Tabel 2.1. Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkoloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate
dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
Tabel 2.2 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO
5

Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)


Lesi kulit (makula datar, papul - 1-5 lesi - >5 lesi
yang meninggi, nodus) - Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris - Distribusi lebih simetris
- Hilangnya sensasi yang - Hilangnya sensasi kurang
jelas jelas
Penebalan saraf tepi yang disertai Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
dengan gangguan fungsi

Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai basil tahan Dijumpai basil tahan asam
asam (BTA negatif) (BTA positif)

Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi:3


a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema.
Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan
spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika
imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem
dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa,
dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi
pada kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi
lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di
pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf
tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe
tuberculoid. Bentuk ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe
tuberkuloid atau progresif menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi
sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi
menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy (BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak
dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi.

f. Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus
dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.
Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
6

Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB1

Karakteristik Tuberkuloid Borderline Tuberkuloid Indeterminate


(TT) (BT) (I)

Lesi

Bentuk Makula atau makula Makula dibatasi infiltrat; Hanya infiltrat


dibatasi infiltrat infiltrat saja

Jumlah Satu atau beberapa Satu dengan lesi satelit Satu atau beberapa

Distribusi Terlokasi dan asimetris Asimetris Bervariasi

Permukaan Kering,skuama Kering, skuama Halus agak berkilat

Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai tidak


jelas

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau tidak


jelas

BTA

Pada lesi Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif


kulit

Tes Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah


Lepromin atau negatif
7

Gambar

*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui
setelah 3 minggu.

Tabel 2.4 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB1

Karakteristik Lepromatosa (LL) Borderline Mid-borderline (BB)


Lepromatosa (BL)

Lesi

Bentuk Makula, infiltrat difus, Makula, plak, papul Plak, lesi bentuk
papul, nodus kubah, lesi punched
out

Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit sehat Beberapa, kulit sehat
luas, praktis tidak ada masih ada (+)
kulit sehat

Distribusi Simetris Cenderung simetris Asimetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,


beberapa lesi kering

Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

BTA

Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak


kulit

Sekret Banyak Biasanya tidak ada Tidak ada


8

hidung

Tes Negatif Negatif Biasanya negatif


Lepromin

Gambar

2.1.5 Patogenesis
Mycobacterium leprae mempunyai daya invasi dan patogenitas yang rendah.
Penderita dengan kuman yang lebih banyak belum tentu memiliki manifestasi klinis yang
berat, begitupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Respon imun inilah yang
menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya. Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh belum diketahui dengan pasti,
namun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M.
leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang
avirulens dan nontoksis.
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) melalui sinyal I dan sinyal II. Selanjutnya, APC akan mengaktifkan
sitokin dan sel T. To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Differensiasi To menjadi
Th1 dibantu oleh TNF α dan IL 12. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan
meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.
leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu
akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CD8+.
9

Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran


oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara
kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus
dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar.
Makrofag yang membesar ini disebut sebagai sel epiteloid dan penyatuan sel
epitelioid ini akan membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi eosinofil.
IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk
menghasilkan IgG dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th2, sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th1.3
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit
15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan
tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat
hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Secara inspeksi mirip penyakit
lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun
tidak terlalu jelas. Hal ini dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri,
kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan
tabung reaksi. Ada tidaknya tanda dehidrasi di daerah lesi yang dapat dilihat dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke
arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Dan ditemukan
satu atau lebih tanda kardinal pasien dari daerah endemik, lesi kulit dengan karakter lepra
dengan atau tidak rasa baal, disertai dengan ada atau tidaknya gangguan saraf perifer, dan
menemukan M. Leprae. 1,4
10

Saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri
atau tidak. Saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis
magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh,
sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya.1,4
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak
jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan
wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf. Adapun gejala-gejala
kerusakan saraf:1,4
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari
kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
11

Pemeriksaan Fungsi Saraf


A. Tes sensorik
Menggunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
- Rasa nyeri
- Suhu
B. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:5
- Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
- Tes Pilokarpin
- Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n.
peroneus

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang1


1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama,
ditentukan terlebih dahulu lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil. Untuk
riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang
paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan
ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati
banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
12

1+ Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP


2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila >1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.

IM= (Jumlah solid x 100 %) / (Jumlah solid + Non solid)

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, IB 1+
tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000
sampai 10.000 lapangan, mulai IB 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1

2. Pemeriksaan Histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel
glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Apabila Sistem Imunitas Seluler (SIS)
nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik.
Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan
berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan
dapat berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai
sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu
daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai
sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut.1
13

3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.1
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).1

2.1.8 Diagnosis Banding


Tabel 2.5 Diagnosa Banding Morbus Hansen
DD Etiologi Efluoresensi,Gejala Klinis

Vitiligo Idiopatik Hipomelanosis,adanya makula putih yang dapat


Meluas
Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang
mengandung melanosit, misalnya rambut dan mata.
Makula berwarna putih dengan diameter beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau
lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan
epidermis yang lain.

Pitiariasis Malassezia Bercak berskuama halus yang berwarna putih


Vesikolor furfur Robin sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan
kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha,
lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala
yang berambut
14

Dermatitis Idiopatik,Stat Eritema dan skuama berminyak dan agak


Seboroik us seboroik kekuningan batasnya agak kurang tegas
Psoriasis Autoimun,Ge Bercak eritema yang meninggi (plak)dengan
netik skuama di atasnya. Fenomena tetesan Lilin,Auspitz
dan Kobner
Neurofibromatosis Mutasi gen Neurofibroma,Cafe-au-lait spot
NF1
Granuloma Idiopatik Ruam berbentuk benjol kemerahan
Anulare
Xantomatosis Genetik Deposit lemak kekuning kuningan pada kulit atau
tempat lain (dalam sel retikulo-endotelial) karena
Hiperlipidemia
Skleroderma Idiopatik Bercak skleropatik atau plak soliter (tersering) atau
bercak-bercak multiple (terjarang)
Leukemia Kutis Leukimia Infiltrasi sel-sel leukemia yang bersifata gresif
kedalamlapisanepidermis,dermismaupun
subkutis.
Tuberkulosis Kutis M. Skrofuloderma,chancre
Tuberculosis
Verukosa HPV Kutil berbentuk bulat,berwarna abu-abu,permukaan
Kasar
Birth mark Overgrowth Gambaran kelainan kulit yang timbul saat atau
of setelah lahir
B.V.,Melanoc
ytes,smooth
muscle,fat,fib
roblast, or
Keratinocytes
Dermatofitosis Jamur Gatal dan kelainan berbatas tegas,polomorfi.
Eczema marginatum

2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan Diamino Diphenyl Sulfon (DDS),
15

direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate)
dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin
dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk
pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1,4
1. DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat
bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja
sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati
dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat
badan untuk anak-anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia.
Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat
paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase
RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah
dilaporkan adanya resistensi.
Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh
kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari. Efek samping: hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
16

3. Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi
sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1
mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk
mengurangi reaksi tipe I dan II.5 Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa
gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,4
Obat alternative
 Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in
vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22
dosis akan membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan
saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
 Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian
adalah 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-
kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.1,4
 Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare.2
17

Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut


WHO tahun 1998 adalah sebagai berikut:5
Skema Regimen MDT WHO
Tabel 2.6 Obat dan dosis regimen MDT-PB
OBAT DEWASA

BB<35 kg BB>35 kg

Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)


Dapson swakelola 50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari) 100 mg/hari

Tabel 2.7 Obat dan dosis regimen MDT-MB

OBAT DEWASA

BB<35 kg BB>35 kg

Rifampisin 450 mg/bln (diawasi) 600 mg/bln (diawasi)


Klofazimin 300 mg/bln diawasi dan
diteruskan 50 mg/hari
Dapson swakelola swakelola 100 mg/hari
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)
18

Tabel 2.8 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak
PB MB

OBAT < 10 tahun 10 th – 14 th < 10 th 10 th -14 th


BB < 50kg BB < 50 kg

Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 300 mg/bln 450 mg/bln


Klofazimin - - 100 mg/bln 150 mg/bln
dilanjutkan dilanjutkan
25 mg/hr 50 mg/hr 50 mg, 50 mg/hr
2x/mgg 50 mg/hr
25 mg/hr

Obat morbus hansen dari WHO


 Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan.
 Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan.
 Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan RFT
(Release From Treatment).
 WHO Expert Committee:1,5
o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
o Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
 Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS
sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan klofazimin 50
mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan
klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama
18 bulan.
 Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan.
19

 Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada
keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC).

2.2 Reaksi Morbus Hansen (MH)


Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral. 1
2.2.1 Reaksi Tipe 1 / Reaksi Reversal / RR
Merupakan reaksi yang disebabkan karena hipersensitivitas tipe IV. Antigen dari
M. Leprae bereaksi dengan limfosit T karena adanya perubahan yang cepat dari imunitas
seluler (Cellular Mediated Immunity CMI). Reaksi ini timbul pada tipe borderline (BT, BB
dan BL). Gejala klinisnya adalah : lesi di kulit makula eritematou, menebal teraba panas dan
nyeri tekan. Bila berat bisa membengkak sampai pecah. Gejala sistemik jarang dijumpai.
Gejala saraf biasanya menonjol berupa keradangan saraf yang mendadak pada satu atau
beberapa saraf tepi (paling sering n.ulnaris dan n.medianus), dengan gejala nyeri yang hebat
dan atau adanya gangguan fungsi6,7,8.
2.2.2 Reaksi Tipe 2 / Eritema Nodusum Leprosum/ ENL
Reaksi ini terjadi karena kompleks imun (reaksi antigen-antibodi yang melibatkan
komplemen). Reaksi ini bisa terjadi pada 50% tipe LL dan 25% tipe BL dan bisa terjadi
sebelum, selama atau setelah pengobatan. Gejala pada reaksi ini terutama pada kulit berupa
nodul kemerahan yang nyeri, pada perabaan superfisial atau dalam. Pada reaksi tipe 2 berat,
lesi ENL menjadi lesi vesikuler atau bula dan pecah disebut sebagai eritema nekrotikans. Lesi
ini dapat juga menyerang mata (iridosiklitis), testis (orkitis), ginjal (nefritis), sendi (arthtritis),
lempadenik dan neuritis. Gejala sistemik berupa malaise, badan panas, sakit kepala dan
kelemahan otot6,7,8

Tabel 2.9 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2 3

No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)


20

1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris

2 Peradangan di Bercak kulit lamamenjadi Timbul nodul kemerahan,


Kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)

3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang


lama, umumnya lebih dari 6
bulan

4 Tipe kusta PB atau MB MB

5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi


Umumnya berupa nyeri tekan
saraf dan atau gangguan
fungsi saraf

Keterkaitan
6 organ Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
Lain sendi, ginjal, testis, dll

Faktor
7 pencetus  an Emosi
Melahirkan
Obat-obat yang Kelelahan dan stress
meningkatkan fisik lainnya
kekebalan tubuh kehamilan
21

Tabel 2.10 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 3
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II

Ringan Berat Ringan Berat

1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,


merah, merah, tebal, merah,panas,nyeri panas, nyeri yang
tebal, panas, panas, nyeri bertambah parah
nyeri yang sampai pecah
bertambah
parah sampai
pecah

2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) perabaan (+) perabaan (-) (+)

3 Keadaan Demam (-) Demam (+) Demam (+) Demam (+)


Umum

4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
mata :
iridocyclitis
testis :
epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan

*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
22

(b)

(a)

Gambar 2.2 Reaksi kusta (a) reaksi reversal dan (b) reaksi ENL 9

 Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah
muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke
seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN
seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah.1

 Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya
diturunkan bertahap.
23

Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi.
Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat
dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.1

 Pengobatan Reaksi Reversal


Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat tambahan. Bila
ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya diturunkan
secara bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgesik dan
sedatif kalau diperlukan dapat diberikan.
Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan regimen MDT-MB dari
WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada pasien
ini. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin. Antihistamin yang dipilih disini adalah
antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg. Obat ini dipilih karena
murah serta mudah didapat, namun dapat menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif.1

2.3 Pencegahan Cacat


Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta,
terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga
memiliki resiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan
sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh
kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan
sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen
atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan
teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini
dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf
serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi
24

kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau
ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:
Cacat pada tangan dan kaki
 Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
 Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
 Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.

Cacat pada mata

 Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).
 Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
 Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea)
dan atau visus sangat terganggu.1

2.4 Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat
dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1
25

2. 5 Prognosis
 Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat kronik
dan membutuhkan pengobatan jangka panjang.
 Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan
fungsi organ-organ tubuh, walaupun dapat menyebabkan deformitas pada beberapa kasus yang
terlambat mendapatkan pengobatan.
 Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam jika pasien memiliki pendidikan
yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang terhadap
penyakitnya.
26

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan penulisan referat ini, dapat disimpulkan bahwa Morbus Hansen (MH)
adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh M. leprae. Penyakit ini terutama menyerang kulit
dan saraf, dan jika tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen. Diagnosa pada MH
didasarkan pada diagnostik secara klinis dimana terdapat tiga tanda kardinal yang khas yaitu lesi
kulit yang mati rasa (hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa atau anestesi), penebalan saraf
perifer dan ditemukan M. leprae (bakteriologis positif).
Pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA dan menentukan indeks bakteri
membantu membedakan jenis kusta yang diderita. Pengobatan lepra disarankan memakai
program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan
dari program MDT adalah mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan
angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Komplikasi utama yang ditakutkan
adalah kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya sensitifitas terutama pada kulit. Prognosis
penyakit ini dengan adanya obat-obat kombinasi, menjadi lebih baik, dan pengobatannya
menjadi lebih sederhana.
27

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.

Dalam: Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h. 73-88.

2. Buxton K.P. ABC of Dermatology, 4th ed (BMJ Books); 2003.p.109-10.

3. Lewis S. Leprosy. Update 4 Februari 2010. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, 7 April 2020.

4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine.

6th Edition. Mc Graw Hill; 2008.h. 665-71.

5. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in

leprosy. Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 7 April

2020.

6. Wisnu IM, Dalili ESS, Menaldi SL. Kusta. In : Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi,

editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit

FKUI; 2016. P 87-102.

7. Kemenkes RI. Limfodatin Kusta. Jakarta ; Kemenkes; 2015.

8. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di

Indonesia. Jakarta; PERDOSKI; 2017.

9. Kahawita, IP and Lockwood, DNJ. Towards understanding the pathology of erythema

nodosum leprosum. Transactions of The Royal Society of Tropical Medicine and

Hygiene 2008. 102 ; 329-337.

Anda mungkin juga menyukai