BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, manifestasi, petogenesis,
diagnosis, tatalaksana, reaksi, pencegahan serta prognosis morbus hansen.
2
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan adalah agar bagi penulis maupun pembaca lebih memahami
mengenai proses terjadinya penyakit morbus hansen, penyebab, klasifikasi, dan
pengobatan yang tepat dan rasional.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3 Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae ditemukan
oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Mycobacterium leprae merupakan
bakteri yang bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro,
berbentuk basil gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, serta bersifat tahan asam
dan alkohol. Adapun waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3
minggu. Mycobacterium leprae bereproduksi dengan optimal pada suhu 27°C – 30°C
secara in vivo, tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf
perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan
testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah
punggung.1,2
Puskesmas PB MB
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate
dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
Tabel 2.2 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO
5
Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai basil tahan Dijumpai basil tahan asam
asam (BTA negatif) (BTA positif)
f. Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus
dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.
Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
6
Lesi
Jumlah Satu atau beberapa Satu dengan lesi satelit Satu atau beberapa
BTA
Gambar
*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui
setelah 3 minggu.
Lesi
Bentuk Makula, infiltrat difus, Makula, plak, papul Plak, lesi bentuk
papul, nodus kubah, lesi punched
out
Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit sehat Beberapa, kulit sehat
luas, praktis tidak ada masih ada (+)
kulit sehat
BTA
hidung
Gambar
2.1.5 Patogenesis
Mycobacterium leprae mempunyai daya invasi dan patogenitas yang rendah.
Penderita dengan kuman yang lebih banyak belum tentu memiliki manifestasi klinis yang
berat, begitupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Respon imun inilah yang
menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya. Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh belum diketahui dengan pasti,
namun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M.
leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang
avirulens dan nontoksis.
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) melalui sinyal I dan sinyal II. Selanjutnya, APC akan mengaktifkan
sitokin dan sel T. To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Differensiasi To menjadi
Th1 dibantu oleh TNF α dan IL 12. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan
meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.
leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu
akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CD8+.
9
Saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri
atau tidak. Saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis
magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh,
sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya.1,4
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak
jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan
wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf. Adapun gejala-gejala
kerusakan saraf:1,4
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari
kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
11
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, IB 1+
tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000
sampai 10.000 lapangan, mulai IB 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1
2. Pemeriksaan Histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel
glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Apabila Sistem Imunitas Seluler (SIS)
nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik.
Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan
berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan
dapat berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai
sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu
daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai
sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut.1
13
3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.1
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).1
2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan Diamino Diphenyl Sulfon (DDS),
15
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate)
dan ketidaktaatan penderita.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin
dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk
pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1,4
1. DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat
bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja
sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati
dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat
badan untuk anak-anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia.
Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat
paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase
RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah
dilaporkan adanya resistensi.
Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh
kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari. Efek samping: hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
16
3. Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi
sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1
mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk
mengurangi reaksi tipe I dan II.5 Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa
gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,4
Obat alternative
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in
vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22
dosis akan membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan
saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian
adalah 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-
kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.1,4
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare.2
17
BB<35 kg BB>35 kg
OBAT DEWASA
BB<35 kg BB>35 kg
Tabel 2.8 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak
PB MB
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada
keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC).
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
Keterkaitan
6 organ Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
Lain sendi, ginjal, testis, dll
Faktor
7 pencetus an Emosi
Melahirkan
Obat-obat yang Kelelahan dan stress
meningkatkan fisik lainnya
kekebalan tubuh kehamilan
21
Tabel 2.10 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 3
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) perabaan (+) perabaan (-) (+)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
mata :
iridocyclitis
testis :
epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
22
(b)
(a)
Gambar 2.2 Reaksi kusta (a) reaksi reversal dan (b) reaksi ENL 9
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah
muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke
seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN
seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah.1
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya
diturunkan bertahap.
23
Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi.
Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat
dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.1
kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau
ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta:
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).
Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea)
dan atau visus sangat terganggu.1
2.4 Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat
dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1
25
2. 5 Prognosis
Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat kronik
dan membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan
fungsi organ-organ tubuh, walaupun dapat menyebabkan deformitas pada beberapa kasus yang
terlambat mendapatkan pengobatan.
Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam jika pasien memiliki pendidikan
yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang terhadap
penyakitnya.
26
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penulisan referat ini, dapat disimpulkan bahwa Morbus Hansen (MH)
adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh M. leprae. Penyakit ini terutama menyerang kulit
dan saraf, dan jika tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen. Diagnosa pada MH
didasarkan pada diagnostik secara klinis dimana terdapat tiga tanda kardinal yang khas yaitu lesi
kulit yang mati rasa (hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa atau anestesi), penebalan saraf
perifer dan ditemukan M. leprae (bakteriologis positif).
Pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA dan menentukan indeks bakteri
membantu membedakan jenis kusta yang diderita. Pengobatan lepra disarankan memakai
program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan
dari program MDT adalah mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan
angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Komplikasi utama yang ditakutkan
adalah kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya sensitifitas terutama pada kulit. Prognosis
penyakit ini dengan adanya obat-obat kombinasi, menjadi lebih baik, dan pengobatannya
menjadi lebih sederhana.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam: Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
2020.
6. Wisnu IM, Dalili ESS, Menaldi SL. Kusta. In : Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit
8. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di