Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PERAWATAN HARIAN PADA PASIEN MORBUS HANSEN

Disusun oleh:

Hashifah Shabhati (1102015089)

Pembimbing:

dr. Evy Aryanti, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


PERIODE 11 NOVEMBER 2019 – 14 DESEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI
Tugas Referat Divisi Dermatologi &Venerologi
Nama/NPM : Hashifah Shabhati/1102015089
Judul : Perawatan Harian pada Pasien Morbus Hansen
Tempat/Waktu : RSUD Kab. Bekasi/ 4 Desember 2019
Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp.KK

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kusta termasuk penyakit tertua di dunia. Istilah kusta berasal dari
1
bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Pada zaman itu
telah terjadi pengasingan secara spontan karena pasien kusta merasa rendah diri dan
malu, disamping itu masyarakat merasa jijik dan malu. 2,3

Penyakit kusta atau morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dan
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Bila tidak ditangani,
kusta dapat menjadi progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf, anggota
gerak dan mata. Pada penyakit kusta, kerusakan pada saraf tepi merupakan sumber
awal kecacatan. Mycobacterium leprae dapat merusak 8 saraf perifer, yaitu n. facialis,
n. auricularis magnus, n. ulnaris, n. medianus, n. radialis, n. cutaneus radialis, n.
peroneus lateralis, dan n. tibialis posterior. Empat saraf yang tersering adalah n.
ulnaris, medianus, peroneus dan tibialis posterior. Keempat saraf tersebut mensarafi
anggota gerak, yang utama adalah tangan dan kaki, baik sensorik, otonom maupun
motorik, sehingga dapat terjadi gangguan sensasi dan gangguan gerak yang
menghambat aktivitas fungsional pasien. 1,2

Penelitian pada tahun 1996 di RSK Sitanala menunjukkan bahwa lebih dari
73% pasien yang berobat di poliklinik datang disertai cacat kusta. Ada 2 jenis cacat
kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama

2
kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae, seperti anestesi, claw hand dan
kulit kering; sedangkan cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan sara, seperti ulkus dan kontraktur.9 Meskipun dengan pengobatan
yang benar dan teratur kusta dapat disembuhkan, tetapi cacat yang telah timbul atau
mungkin akan timbul merupakan persoalan yang kompleks. Bila hal ini tidak
ditangani dengan benar, maka akan berlangsung semakin parah dan dapat berakhir
fatal. Makin berat keadaan suatu cacat maka makin cepat pula keadaan memburuk.1

Oleh karena itu, diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai
pengelolaan yang baik benar. Untuk itulah pengetahuan tentang perawatan harian
untuk pasien kusta diperlukan baik oleh tenaga medis maupun pasien dan
keluarganya untuk mengoptimalkan keberhasilan pengobatan kusta sehingga dapat
menghindari terjadinya kerusakan atau kecacatan lebih lanjut.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,2

2.2. Etiologi
Kuman penyebab Morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Mycobacterium
leprae berbentuk batang gram positif berukuran 3-8 m, tahan asam dan alkohol.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat intraseluler
(hanya bisa hidup dalam sel) dan dapat bertahan hidup terhadap aksi fagositosis
karena mempunyai dinding sel yang sangat kuat dan resisten terhadap lisosom.
Mycobacterium leprae mempunyai afinitas yang besar pada sistem
retikuloendotelial dan pada sel saraf (schwann cell).1,2,4

Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan


penderita (keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernafasan, bakteri ini
mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan
bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia
kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-
rata dua hingga lima tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari lima
tahun.2,5

4
2.3. Epidemiologi

Gambar 1. Situasi Kusta menurut Regional WHO tahun 2015


(Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2013-2017, Pusat Data dan Informasi

Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758.
Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (156.118)
diikuti regional Amerika (28.806) dn Afrika (20.004), dan sisanya berada di
regional lain.3,6

Gambar 2. Jumlah dan Tren Kasus Baru Kusta Tahun 2013-2017


(Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2013-2017, Pusat Data dan Informasi)

Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per
10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Angka
prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000

5
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000
penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi yang prevalensi nya masih diatas 1
per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta
dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia. Angka tren kasus baru kusta dalam lima
tahun terakhir dapat terlihat pada Gambar 2.3,6

Gambar 3. Kasus Baru Kusta menurut Provinsi tahun 2017


(Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2013-2017, Pusat Data dan Informasi)

Dari Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa jumlah penderita kusta terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Timur pada periode tahun 2015-2017, namun dengan
penurunan penderita kusta sebesar 15,95%, sedangkan provinsi yang mengalami
kenaikan jumlah penderita paling tinggi dalam kurun waktu 2015-2017 terdapat
di Provinsi Maluku sebanyak 102,84%.3,6

2.4. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis kusta sangat bervariasi bergantung pada respon imun
penderita (imunitas selular). Ridley dan Jopling membuat klasifikasi berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, dan histopatologik, menjadi lima tipe yaitu tipe
TT (Tuberkuloid Polar), BT (Borderline Tuberkuloid), BB (Mid Borderline), BL
(Borderline Lepromatosa) dan LL (Lepromatosa Polar). Berikut akan diuraikan
lebih lanjut mengenai tipe-tipe kusta:

6
1. Kusta tipe Tuberkuloid Polar (TT)
Lesi hipopigmentasi numular hingga ukuran plakat, berbatas tegas,
permukaan kering dan pada pemeriksaan sensibilitas didapati anestesi
yang jelas. 7

Gambar 4. Kusta tipe Tuberkuloid Polar (TT). Pada regio generalisata:


Makula hipopigmentasi batas jelas, berbentuk bulat lonjong, anestesi positif. 4
2. Kusta tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi hipopigmentasi dengan tepi yang lebih eritematosa, permukaan
kering dan anestesi jelas, dapat pula berbentuk plak eritematosa berbatas
tegas kadang-kadang disertai lesi satelit.7

Gambar 5. Kusta tipe Borderline Tuberkuloid (BT). Pada region ekstremitas


inferior: Makula hipopigmentasi batas jelas, tepi lebih eritematosa,
berbentuk bulat lonjong, anestesi positif.8

7
3. Kusta tipe Mid Borderline (BB)
Lesi berupa plak eritematosa berbentuk anular, dengan batas bagian dalam
lebih tegas dan tepi luar difus. Lesi ini disebut punched out, khas untuk
tipe BB.7

Gambar 6. Kusta tipe Mid Borderline (BB). Pada regio thorakalis anterior dan
posterior: Makula eritematosa batas jelas, berbentuk bulat lonjong, lesi
berbentuk punch out (khas tipe Mid Borderline), anestesi positif.8
4. Kusta tipe Borderline Lepromatosa (BL)
Lesi berupa plak eritematosa sebagian berbatas difus, permukaan lesi
berkilat, jumlah lesi sulit dihitung dan masih ada kulit yang normal,
distribusi hampir simetris.7

Gambar 7. Kusta tipe Borderline Lepromatosa (BL). Pada regio thorakalis:


Makula eritematosa, sebagian berbatas difus, diameter bervariasi 2-5 cm,
jumlah >5, anestesi positif.8

8
5. Kusta tipe Lepromatosa Polar (LL)
Lesi berupa plak eritematosa yang difus sehingga wajah tampak sembab.
Pada daun telinga, hidung, pipi dan dagu lesi berupa nodul yang lebih
jelas. Kedua alis mata dan bulu mata tidak tumbuh rambut disebut sebagai
madarosis, kadang-kadang disertai destruksi tulang hidung sehingga
hidung berbentuk pelana. Gambaran klinis seperti ini disebut facies
leonina.14

Gambar 8. Kusta tipe Lepromatosa Polar (LL). Pada regio fascialis:


Plak eritematosa, berbatas difus, madarosis, anestesi positif. 4

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada


tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak yang
dipertegas menggunakan pensil tinta (Gunawan’s sign). Mengenai saraf perifer yang
perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau
nyeri tekan.

2.5. Patogenesis Cacat Kusta


Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:

1. Tahap I : terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf, nyeri,


tanpa gangguan fungsi gerak, namun telah terjadi gangguan sensorik.

9
2. Tahap II : terjadi kerusakan pada saraf, kulit kering, hilang
sensibilitas, otot lemah bahkan sampai inclomplete paralysis, recovery
possible
3. Tahap III : terjadi penghancuran saraf. Kelumpuhan akan menetap.
Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang progresif dengan kerusakan
tulang dan kehilangan penglihatan.

Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan


akibat kerusakan dari fungsi saraf.

Gambar 9. Proses terjadinya cacat kusta


(Sumber: Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah
susunan saraf perifer, terutama beberapa saraf seperti n. facialis, radialis, ulnaris,
medianus, poplitea lateralis (peroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan
fungsi sensoris, motoris maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik

10
memperlihatkan gambaran kecacatan yang khas. Berikut adalah tabel yang
memperlihatkan kecacatan karena terganggunya fungsi saraf-saraf tersebut.

Tabel 1. Kelainan yang timbul akibat gangguan fungsi saraf


(Sumber: Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

Fungsi
Saraf
Motorik Sensorik Otonom
N. Facialis Kelopak mata tidak
menutup
(lagoftalmus)
N. Ulnaris Jari manis dan Mati rasa telapak
kelingking tangan bagian jari
lemah/lumpuh/kiting manis dan
kelingking Kekeringan dan
N. Medianus Ibu jari, telunjuk dan Mati rasa telapak kulit retak akibat
jari tengah lemah, tangan bagian ibu kerusakan kelenjar
lumpuh/kiting jari, jari telunjuk keringat, minyak
dan jari tengah dan aliran darah
N. Radialis Tangan lunglai
(wrist drop)
N. Peroneus Kaki semper (foot
drop)
N. Tibialis Jari kaki kiting Mati rasa telapak
Posterior kaki

2.6. Derajat Cacat Kusta


Kecacatan merupakan istilah yang luas maknanya mencakup setiap kerusakan,
pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Menurut WHO (1980), batasan
istilah dalam cacat kusta adalah9,10:

11
1. Hendaya (impairment): segala kehialangan atau abnormalitas struktur atau
fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, yaitu hand
problems, foot problems, eye problems dan personality problems.
2. Disabilitas (disability): segala keterbatasan atau kekurangmampuan
(akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas
kehidupan yang normal bagi manusia. Disabilitas ini merupakan
obyektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk
ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya mobilitas atau
komunikasi.
3. Kecacatan (handicap): kemunduran pada seorang individu (yang
diakibatkat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi
penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor
sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang
berdampak sosial, ekonomi dan budaya, misalnya unemployment,
economic and physical dependence dan social disintegration.

Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu1:

1. Cacat primer, yaitu cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas


penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae.
Termasuk cacat primer adalah:
a. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya anestesi. Cacat fungsi
saraf motoric, misalnya claw hand, wrist drop, foot drop, claw
toes, lagoftalmus. Cacat pada fungsi otonom menyebabkan kulit
kering, elastisitas kulit berkurang, serta gangguan refleks
vasodilatasi.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan
kulit berkerut dan berlipat-lipat (misalnya facies leonine dan
ektropion). Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau

12
madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera
menyebabkan kulit kering dan tidak elastis.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kumas kusta dapat terjadi
pada tendon, ligament, sendi, tulang rawan, tulang, testis dan bola
mata.
2. Cacat sekunder, terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya
kerusakan saraf. Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma
mekanis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan motorik akan menyebabkan kontraktur sehingga dapat
menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan, juga memudahkan
terjadinya luka. Lagotalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga
mudah timbul keratitis. Kelumpuhan sara otonom menyebabkan kulit
kering dan elastisitas berkurang sehingga kulit mudah retak-retak dan
terjadi infeksi sekunder.

Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari adalah
mata, tangan, dan kaki, maka WHO Expert Committee on Leprosy (1977) membuat
klasikasi cacat bagi penderita kusta, yaitu9,10:

a) Cacat pada tangan dan kaki


Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlibat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
b) Cacat pada mata
Tingkat 0 : tidak ada kelainan/kerusakan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 : ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus
sedikit berkurang

13
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus sangat
terganggu.

2.7. Pencegahan Cacat pada Kusta


Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada
penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh
perugas kesehatan maupun oleh pasien sendiri dan keluarganya. Di samping itu perlu
mengubah pandangan yang salah dari masyarakat, antara lain baha kusta identic
dengan deformitas atau disability. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat
atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini
kusta, pemberian obat MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan
dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 9,10

Upaya pencegahan cacat terdiri atas:

1. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi:10


a. Diagnosis dini
b. Pengobatan secara teratur dan adekuat
c. Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis
d. Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi

2. Upaya pencegahan cacat sekunder, antara lain:10


a. Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
b. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur
c. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
d. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada proses
penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang

14
e. Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami
kelumpuhan otot

2.8. Kegiatan Pencegahan Cacat di Rumah


Pasien harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh
Mycobacterium leprae, tetapi deformitas pada mata, tangan atau kakinya yang
sudah terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya, sehingga pasien harus
bisa melakukan perawatan diri dengan teratur agar cacatnya tidak bertambah
berat. Kegiatan pencegahan cacat di rumah dilakukan sendiri oleh pasien dan
keluarganya di rumah, namun petugas/tenaga medis tidak hanya memberikan
teori kepada pasien tetapi peragakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan
bantu pasien supaya dapat melakukannya sendiri.

Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah
3M, yaitu9:

 Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur


 Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
 Merawat diri

1) Perawatan Mata9,10
Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat (lagoftalmus), goresan kain baju,
sarung bantal, tangan, daun, debu, rambut, asap dan lain-lain dapat merusak mata.
Akibatnya, mata akan merah, meradang dan terjadi infeksi yang bisa
mengakibatkan kebutaan.9

Gambar 10. Lagotalmus pada Hansen disease


(Sumber: https://emedicine.medscape.com/article/1213853-overview
15
Untuk mencegah kerusakan mata dengan:
a) Memeriksa: bercermin untuk melihat apakah ada kemerahan atau
benda yang masuk ke mata
b) Melindungi mata dari debu dan angina yang dapat
melukai/mengeringkan mata, dengan cara: memakai kacamata,
menghindari pekerjaan di mana ada debu, tidak menggosok mata bila
terasa gatal
c) Merawat diri: tetes mata mengandung saline jika mata sangat kering,
waktu istirahat tutup mata dengan sepotong kain basah

Gambar 11. Perawatan mata (Sumber: Pedoman Nasional


Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

2) Perawatan tangan9,10
Tangan yang mati rasa dapat terluka oleh benda panas,benda tajam, gesekan
dari alat kerja maupun pegangan yang terlalu kuat pada alat kerja. Untuk
mencegah luka pada tangan yang mati rasa dengan cara:
a) Memeriksa: periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau lecet
sekecil apapun
b) Melindungi: lindungi tangan dari benda panas, kasar atau tajam,
dengan memakai kaos tangan atau alas kain

16
c) Merawat luka: jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawat
dan istirahatkan bagian tangan tersebut sampai sembuh

Gambar 12. Melindungi tangan dari benda panas


dengan pemakaian kaos tangan atau alas kain

Untuk kulit tangan yang kering, umumnya kekeringan akan mengakibatkan


luka-luka kecil yang kemudian terinfeksi, sehingga harus dicegah dengan:
a) Memeriksa: umumnya jika kulit tangan kering sudah disertai dengan
mati rasa. Oleh karena itu selalu periksa kemungkinan adanya
kekeringan, retak dan kulit pecah-pecah yang tidak terasa.
b) Melindungi: menghindari kulit tangan dari benda-benda tajam dan
panas.
c) Merawat: merendam selama 20 menit setiap hari dalam air,
menggosok bagian kulit yang tebal kemudian langsung (tanpa
dikeringkan terlebih dahulu) mengolesi dengan minyak kelapa atau
minyak lain untuk menjaga kelembaban kulit.

17
Gambar 13. Perawatan untuk tangan kering
(Sumber: Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

Untuk jari tangan yang bengkok, bila dibiarkan bengkok maka sendi akan
menjadi kaku dan otot akan memendek sehingga jari akan menjadi lebih kaku dan
tidak dapat digunakan. Untuk mencegahnya dengan cara:

a) Memeriksa: periksa tangan secara rutin ada/tidaknya luka yang


mungkin terjadi akibat penggunaan tangan dengan jari yang bengkok
b) Melindungi: menggunakan alat bantu untuk aktivitas sehari-hari yang
dimodifikasi untuk digunakan oleh jari yang bengkok
c) Merawat: sesering mungkin setiap hari menggunakan tangan yang lain
untuk meluruskan sendi-sendinya dan mencegah supaya jangan
sampai terjadi kekakuan lebih berat dengan cara:
 Taruh tangan di atas paha, kemudian luruskan dan bengkokan
jari berulang kali
 Pegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya
tidak kaku

Gambar 14. Latihan jari agar tidak kaku

18
 Jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan cara taruh tangan
di meja atau paha, pisahkan dan rapatkan jari berulang kali. Ikat
jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan rapatkan jari
berulang kali (jari ke-2 sampai ke-5).

Gambar 4. Latihan untuk menguatkan jari yang lemah

3) Perawatan Kaki1,9,10
Untuk kaki yang semper, bila dibiarkan tergantung maka otot pergelangan
kaki bagian belakang (Achilles) akan memendek sehingga kaki tetap tidak bisa
diangkat. Jari-jari kaki akan terseret dan luka, oleh karena kaki itu miring saat
melangkah akan mudah timbul ulkus di belakang jari kaki ke-4 dan ke-5. Untuk
mencegahnya dengan cara:
a) Memeriksa apakah ada luka atau tidak
b) Melindungi: selalu memakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan
luka, angkat lutut lebih tinggi waktu berjalan
c) Merawat kaki yang semper agar tidak makin parah dengan cara:
 Duduk dengan kaki lurus ke depan. Pakailah kain panjang atau
sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki dan tarik ke
arah tubuh.

Gambar 5. Duduk dengan kaki lurus ke depan

19
 Jika kelemahan saja yang terjadi, ikatlah karet (dari ban dalam)
pada tiang atau kaki meja dan tarik tali karet itu dengan
punggung kaki, lalu tahan beberapa saat dan kemudian ulangi
beberapa kali.

Gambar 6. Perawatan untuk kelemahan kaki

Untuk kulit kaki yang tebal dan kering akan menimbulkan luka-luka kecil
yang kemudian dapat terinfeksi, untuk mencegahnya dengan cara:
a) Memeriksa: secara rutin adakah bagian kaki yang kering dan timbul
retak atau luka
b) Melindungi dan merawat kaki untuk mencegah kulit kering dengan
cara:
 merendam kaki selama 20 menit setiap hari dalam air
 menggosok bagian yang menebal dengan batu gosok
 kemudian langsung mengolesi (tanpa dikeringkan terlebih
dahulu) dengan minyak kelapa untuk menjaga kelembaban kulit

Gambar 7. Perawatan untuk kaki tebal dan kering

20
Untuk kulit kaki yang mati rasa bisa timbul luka karena beberapa hal seperti
benda tajam, gesekan dari sepatu/sandal yang terlalu besar/kecil, tekanan tinggi pada
telapak kaki karena terlalu lama berdiri, terlalu lama tanpa gerak, berjalan terlalu jauh
atau terlalu cepat dan sebagainya. Untuk mencegahnya dengan cara:

a) Memeriksa: adakah luka, memar atau lecet yang kecil sekalipun


b) Melindungi: selalu memakai alas kaki, memiilih alas kaki yang tepat
dan membagi tugas rumah tangga supaya orang lain dapat
mengerjakan bagian yang berbahaya bagi kaki yang mati rasa
 Memilih alas kaki yang tepat, alas kaki yang cocok ialah yang
empuk di dalam, keras di bagian bawah supaya benda tajam
tidak dapat tembus, ada tali di belakang supaya tidak mudah
terlepas

Gambar 8. Selalu pakai alas kaki yang tepat

c) Merawat: bila ada luka, memar atau lecet segera rawat dan istirahatkan
bagian kaki yang luka sampai sembuh, jangan diinjakkan.

Gambar 20. Segera rawat dan istirahatkan kaki yang luka

21
Untuk ulkus atau luka borok yang terjadi karena menginjak benda tajam, panas,
kasar atau memar yang tidak dihiraukan karena pasien tidak merasa sakit/mati rasa.
Kaki tetap dipakai untuk berjalan, sementara kaki menampung beban berat badan.
Akibatnya luka tersebut semakin rusak/hancur. Sebenarnya luka dapat sembuh sendiri
bila diistirahatkan selama beberapa minggu.

Perawatan yang tepat ialah bersihkan luka dengan sabun, kemudian rendam kaki
dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pinggiran luka yang menebal dengan
batu apung. Setelah dikeluarkan dari air, beri minyak bagian kaki yang tidak luka,
balut lalu istirahatkan kaki yang luka, jangan diinjakkan pada waktu berjalan, pakai
tongkat kruk atau sepeda.

Gambar 21. Perawatan untuk luka borok di kaki

2.9. Kegiatan Pencegahan Cacat di Puskesmas


Beberapa intervensi sederhana yang dapat diupayakan oleh puskesmas adalah
upaya pencegahan cacat yang lebih terarah. Petugas kesehatan tidak dapat melakukan
sendiri penanggulangan secara rutin. Jika mereka menemui pasien dengan masalah
khusus kecacatan, mereka dapat mengupayakan dengan persetujuan atasan/supervisor
intervensi khusus terhadap pasien tersebut. Kecacatan akibat kusta merupakan
masalah jangka panjang sehingga petugas harus dapat mengupayakan pemecahan
untuk masalah spesifik.

Berikut adalah pencegahan cacat yang dapat dilakukan di Puskesmas.

22
1) Masalah dengan mata
a. Mata lagotalmus, jika sangat kering maka membutuhkan tetes
mata mengandung saline.

Gambar 22. Tetes mata untuk mencegah kekeringan mata berlebihan

b. Antibiotik dan bebat mata, bila terjadi konjungtivitis.


c. Rujuk pasien untuk kondisi yang lebih serius.
2) Masalah dengan tangan
a. Jika ada kelemahan jari dianjurkan digerakan sebanyak mungkin.
Sedangkan bila lumpuh dapat dipasang bidai pada malam hari,
bidai dapat dibuat sendiri dari bilah bambu atau selang.
b. Merujuk jika perlu.
3) Masalah dengan kaki
a. Mengupayakan alas kaki yang sesuai.
b. Menghilangkan kalus dan trimming tepi ulkus dengan pisau
scalpel.
c. Merujuk jika perlu.

Pasien dengan tangan dan kaki yang mati rasa tanpa disadari bisa melukasi
dirinya sendiri, luka ini dapat terinfeksi dan akan mengakibatkan kecacatan. Petugas
kesehatan harus dapat melakukan perawatan luka pada pasien kusta, dengan cara-cara
sebagai berikut:
 Pertahankan kelembapan
 Buang jaringan nekrotik/sloughy

23
 Cegah timbulnya infeksi
 Lindungi kulit di sekitar luka
 Minimalkan nyeri
 Atasi bau

Gambar 23. Perawatan luka

2.10. Kegiatan Pencegahan Cacat di Unit Rujukan


Pelayanan rujukan membutuhkan intervensi yang lebih kompleks. Beberapa
intervensi tersebut membutuhkan penanganan spesialistik.

1) Mata
a. Masalah mata akut yang membutuhkan penanganan serius
b. Bedah korektif pada kasus lagoftalmus
c. Bedah katarak

24
2) Tangan
a. Membantu seseorang beradaptasi dengan alat bantu untuk
mencegah luka pada tangan yang mati rasa
b. Kasus infeksi invasif/kedaruratan yang membutuhkan penanganan
intensif, seperti antibiotik atau operasi
c. Operasi koreksi kelemahan jari tangan atau claw hand pada cacat
menetap, dengan syarat sendi masih bergerak
3) Kaki
a. Penanganan ulkus kronik: semua luka di telapak kaki (plantar
pedis) yang lebih dari 1 tahun atau semua luka komplikata (luka
disertai infeksi, adanya fistel, osteomyelitis) dilakukan tindakan
bedah septik/skuestrektomi/amputasi
b. Memberikan alat bantu untuk mencegah luka pada kaki yang mati
rasa
c. Untuk kaki semper, penggunaan alat pemberat atau berpegas untuk
mengoreksi posisi kaki saat berjalan
d. Kasus infeksi invasif/kedaruratan membutuhkan penanganan
intensif dengan antibiotik atau operasi (bedah sepsis)

Tindakan bedah sepsis untuk membersihkan luka dari jaringan mati dan
pus harus dilakukan secepatnya tanpa menunggu pasien RFT (Release from
Treatment). Tujuan dari bedah sepsis ini adalah untuk menghindari kerusakan
tulang yang lebih parah, mempercepat penyembuhan dan menghilangkan faktor
pencetus terjadinya reaksi. Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bedah
rekonstruksi:

 Usia produktif dan bersedia dioperasi


 Mengerti manfaat dan batasan operasi
 RFT

25
 Bebas reaksi atau bebas prednisone, minimal 6 bulan
 Cacat sudah menetap lebih dari 1 tahun
 Tidak ada kekakuan sendi/kontraktur pada jari-jari
 Tidak ada luka pada daerah yang akan dioperasi
 Kondisi umum baik, kadar hemoglobin diatas 10gr%.

2.11. Kebutuhan Orthosis dan Prosthesis pada Pasien Kusta9,10


Dengan adanya cacat pada pasien kusta, seringkali dibutuhkan alat bantu
untuk memudahkan pasien melakukan aktivitas serta mencegah timbulnya cacat
yang lebih berat.

1. Orthosis, yaitu alat bantu anggota gerak tubuh yang mengalami kecacatan.
Jenis alat bantu ini antara lain:
1) Sandal Micro Cellular Rubber (MCR)
Sandal MCR digunakan untuk pasien dengan kondisi mati rasa pada
telapak kaki. Syarat pembuatan sandal MCR adalah:
 Alas dibuat dari bahan yang dapat menyesuaikan bentuk,
menyebarkan beban berat badan pada semua bagian telapak
kaki dan bersifat menahan benturan luar (shock absorber).

Gambar 24. Sandal MCR

 Menahan semua bagian kaki agar tidak mudah bergerak tapi


tidak menjepit dan terbuka.

26
Pada keadaan cacat tertentu, bentuk dan bagian sandal dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan, misalnya:

a) ASMP (Arch Support Metatarsal Pad), untuk kaki yang


kehilangan lengkungan telapak
b) Metatarsal bar, untuk mengurangi beban pada kepala metatarsal
c) Lateral bar, untuk melakukan koreksi kaki yang inversi
d) Digging hole, cekungan untuk mengurangi beban pada daerah
tonjolan tulang yang mudah timbul luka
e) Moulded in sole, dipakai pada bentuk kaki yang tidak beraturan
atau pendek

2) FDS (Foot Drop Spring) dan AFO (Ankle Foot Orthosis)


FDS dan AFO digunakan untuk pasien drop foot.

Gambar 9. Foot Drop Spring dan Ankle Foot Orthosis

2. Prosthesis, adalah alat pengganti anggota gerak tubuh yang hilang atau
rusak.
1) Syme Prosthesis, digunakan untuk pasien dengan amputasi tepat pada
ankle.
2) Below knee prosthesis, digunakan untuk pasien dengan amputasi di
bawah lutut.

27
3) Above knee prosthesis, digunakan untuk pasien dengan amputasi di
atas lutut.

Gambar 10. Syme prosthesis dan below knee prosthesis

Gambar 11. Above knee prosthesis

2.12. Prognosis
Penyakit ini bersifat kronik, progresif, dengan morbiditas tinggi karena cedera
pada saraf dan/atau dengan reaksi kusta. Pengobatan dapat menyembuhkan
penyakit namun penurunan fungsi saraf sensoris dapat terjadi.1,2

1. Cenderung ke dubia ad bonam:11


 Diagnosis dini.
 Tanpa kerusakan saraf pada saat awal diagnosis.
 Pengobatan cepat dan tepat adekuat.
 Melaksanakan kegiatan perawatan diri.

28
2. Cenderung ke dubia ad malam:11
 Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke
lepromatosa dan mempunyai konsekuensi menularkan penyakit dan
berisiko mengalami reaksi tipe-1 yang akan menyebabkan
kerusakan saraf.
 Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensai anggota tubuh
dan jari-jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka sampai terjadi
infeksi.
 Kerusakan saraf dan komplikasinya mungkin menyebabkan
terjadinya cacat, terutama bila semua alat gerak dan kedua mata
terkena.
 Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan
kerusakan permanen, walaupun telah diobati dengan steroid.
 Tidak melakukan perawatan diri.

29
BAB III
KESIMPULAN

Morbus Hansen atau kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi kronik
granulomatosa, dan penyebabnya ialah bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat. Pada penyakit kusta, kerusakan pada saraf tepi merupakan
sumber awal kecacatan. Empat saraf yang tersering adalah n. ulnaris, medianus,
peroneus dan tibialis posterior. Keempat saraf tersebut mensarafi anggota gerak, yang
utama adalah tangan dan kaki, baik sensorik, otonom maupun motorik, sehingga
dapat terjadi gangguan sensasi dan gangguan gerak yang menghambat aktivitas
fungsional pasien.

Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae,
seperti anestesi, claw hand dan kulit kering; sedangkan cacat sekunder terjadi akibat
cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan sara, seperti ulkus dan kontraktur.

Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah
3M, yaitu memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur; Melindungi mata, tangan
dan kaki dari trauma fisik dan merawat diri. Kegiatan pencegahan cacat dapat
dilakukan pasien di rumah, di puskesmas dan di unit rujukan. Dukungan psikososial
dari keluarga dan lingkungan juga merupakan salah satu hal yang harus dilakukan
untuk mencapai keberhasilan pengobatan pasien kusta.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi, dkk. 2017. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
Hal. 87-102.
2. Modlin RL, Rea TH, Lee DJ, Weinberg AN. Leprosy. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Levell DJ, editor. Fitzpatrick’s
dermatology in General Medicine. 9th ed, vol 2. New York: McGraw-Hill Co;
2019. p 2892-2924.
3. World Health Organization. Leprosy Fact Sheet. Geneva: WHO; 2018.
4. Lee DJ, Weinberg AN. Hansen Disease. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Levell DJ, editor. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 8th ed. New York: McGraw-Hill Co; 2012. p
574-78.
5. James W, Buerger T, Elston D. Hansen Disease. In Andrew Disease of The Skin
Clinical Dermatology. 10th ed.: Sauders Elseviers; 2011.p. 334-44.
6. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan, 2018. Info Datin Kusta. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
7. Menaldi, dkk. 2015. Kusta. Atlas Berwarna dan Sinopsis Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: FKUI. Hal. 15-22.
8. Soetomo, dkk. 2012. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hal. 33-38.
9. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan, 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta.
10. Wisnu I, Hadilukito G. Pencegahan Cacat Kusta. Dalam: Syamsoe Daili ES,
Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2003. h.83-93.

31
11. PERDOSKI. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017. h.80-86.

32

Anda mungkin juga menyukai