Disusun oleh:
Pembimbing:
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta termasuk penyakit tertua di dunia. Istilah kusta berasal dari
1
bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Pada zaman itu
telah terjadi pengasingan secara spontan karena pasien kusta merasa rendah diri dan
malu, disamping itu masyarakat merasa jijik dan malu. 2,3
Penyakit kusta atau morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dan
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Bila tidak ditangani,
kusta dapat menjadi progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf, anggota
gerak dan mata. Pada penyakit kusta, kerusakan pada saraf tepi merupakan sumber
awal kecacatan. Mycobacterium leprae dapat merusak 8 saraf perifer, yaitu n. facialis,
n. auricularis magnus, n. ulnaris, n. medianus, n. radialis, n. cutaneus radialis, n.
peroneus lateralis, dan n. tibialis posterior. Empat saraf yang tersering adalah n.
ulnaris, medianus, peroneus dan tibialis posterior. Keempat saraf tersebut mensarafi
anggota gerak, yang utama adalah tangan dan kaki, baik sensorik, otonom maupun
motorik, sehingga dapat terjadi gangguan sensasi dan gangguan gerak yang
menghambat aktivitas fungsional pasien. 1,2
Penelitian pada tahun 1996 di RSK Sitanala menunjukkan bahwa lebih dari
73% pasien yang berobat di poliklinik datang disertai cacat kusta. Ada 2 jenis cacat
kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama
2
kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae, seperti anestesi, claw hand dan
kulit kering; sedangkan cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan sara, seperti ulkus dan kontraktur.9 Meskipun dengan pengobatan
yang benar dan teratur kusta dapat disembuhkan, tetapi cacat yang telah timbul atau
mungkin akan timbul merupakan persoalan yang kompleks. Bila hal ini tidak
ditangani dengan benar, maka akan berlangsung semakin parah dan dapat berakhir
fatal. Makin berat keadaan suatu cacat maka makin cepat pula keadaan memburuk.1
Oleh karena itu, diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai
pengelolaan yang baik benar. Untuk itulah pengetahuan tentang perawatan harian
untuk pasien kusta diperlukan baik oleh tenaga medis maupun pasien dan
keluarganya untuk mengoptimalkan keberhasilan pengobatan kusta sehingga dapat
menghindari terjadinya kerusakan atau kecacatan lebih lanjut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,2
2.2. Etiologi
Kuman penyebab Morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Mycobacterium
leprae berbentuk batang gram positif berukuran 3-8 m, tahan asam dan alkohol.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat intraseluler
(hanya bisa hidup dalam sel) dan dapat bertahan hidup terhadap aksi fagositosis
karena mempunyai dinding sel yang sangat kuat dan resisten terhadap lisosom.
Mycobacterium leprae mempunyai afinitas yang besar pada sistem
retikuloendotelial dan pada sel saraf (schwann cell).1,2,4
4
2.3. Epidemiologi
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758.
Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (156.118)
diikuti regional Amerika (28.806) dn Afrika (20.004), dan sisanya berada di
regional lain.3,6
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per
10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Angka
prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000
5
penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000
penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi yang prevalensi nya masih diatas 1
per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta
dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia. Angka tren kasus baru kusta dalam lima
tahun terakhir dapat terlihat pada Gambar 2.3,6
Dari Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa jumlah penderita kusta terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Timur pada periode tahun 2015-2017, namun dengan
penurunan penderita kusta sebesar 15,95%, sedangkan provinsi yang mengalami
kenaikan jumlah penderita paling tinggi dalam kurun waktu 2015-2017 terdapat
di Provinsi Maluku sebanyak 102,84%.3,6
6
1. Kusta tipe Tuberkuloid Polar (TT)
Lesi hipopigmentasi numular hingga ukuran plakat, berbatas tegas,
permukaan kering dan pada pemeriksaan sensibilitas didapati anestesi
yang jelas. 7
7
3. Kusta tipe Mid Borderline (BB)
Lesi berupa plak eritematosa berbentuk anular, dengan batas bagian dalam
lebih tegas dan tepi luar difus. Lesi ini disebut punched out, khas untuk
tipe BB.7
Gambar 6. Kusta tipe Mid Borderline (BB). Pada regio thorakalis anterior dan
posterior: Makula eritematosa batas jelas, berbentuk bulat lonjong, lesi
berbentuk punch out (khas tipe Mid Borderline), anestesi positif.8
4. Kusta tipe Borderline Lepromatosa (BL)
Lesi berupa plak eritematosa sebagian berbatas difus, permukaan lesi
berkilat, jumlah lesi sulit dihitung dan masih ada kulit yang normal,
distribusi hampir simetris.7
8
5. Kusta tipe Lepromatosa Polar (LL)
Lesi berupa plak eritematosa yang difus sehingga wajah tampak sembab.
Pada daun telinga, hidung, pipi dan dagu lesi berupa nodul yang lebih
jelas. Kedua alis mata dan bulu mata tidak tumbuh rambut disebut sebagai
madarosis, kadang-kadang disertai destruksi tulang hidung sehingga
hidung berbentuk pelana. Gambaran klinis seperti ini disebut facies
leonina.14
9
2. Tahap II : terjadi kerusakan pada saraf, kulit kering, hilang
sensibilitas, otot lemah bahkan sampai inclomplete paralysis, recovery
possible
3. Tahap III : terjadi penghancuran saraf. Kelumpuhan akan menetap.
Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang progresif dengan kerusakan
tulang dan kehilangan penglihatan.
Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah
susunan saraf perifer, terutama beberapa saraf seperti n. facialis, radialis, ulnaris,
medianus, poplitea lateralis (peroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan
fungsi sensoris, motoris maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik
10
memperlihatkan gambaran kecacatan yang khas. Berikut adalah tabel yang
memperlihatkan kecacatan karena terganggunya fungsi saraf-saraf tersebut.
Fungsi
Saraf
Motorik Sensorik Otonom
N. Facialis Kelopak mata tidak
menutup
(lagoftalmus)
N. Ulnaris Jari manis dan Mati rasa telapak
kelingking tangan bagian jari
lemah/lumpuh/kiting manis dan
kelingking Kekeringan dan
N. Medianus Ibu jari, telunjuk dan Mati rasa telapak kulit retak akibat
jari tengah lemah, tangan bagian ibu kerusakan kelenjar
lumpuh/kiting jari, jari telunjuk keringat, minyak
dan jari tengah dan aliran darah
N. Radialis Tangan lunglai
(wrist drop)
N. Peroneus Kaki semper (foot
drop)
N. Tibialis Jari kaki kiting Mati rasa telapak
Posterior kaki
11
1. Hendaya (impairment): segala kehialangan atau abnormalitas struktur atau
fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, yaitu hand
problems, foot problems, eye problems dan personality problems.
2. Disabilitas (disability): segala keterbatasan atau kekurangmampuan
(akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas
kehidupan yang normal bagi manusia. Disabilitas ini merupakan
obyektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk
ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya mobilitas atau
komunikasi.
3. Kecacatan (handicap): kemunduran pada seorang individu (yang
diakibatkat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi
penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor
sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang
berdampak sosial, ekonomi dan budaya, misalnya unemployment,
economic and physical dependence dan social disintegration.
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu1:
12
madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera
menyebabkan kulit kering dan tidak elastis.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kumas kusta dapat terjadi
pada tendon, ligament, sendi, tulang rawan, tulang, testis dan bola
mata.
2. Cacat sekunder, terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya
kerusakan saraf. Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma
mekanis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan motorik akan menyebabkan kontraktur sehingga dapat
menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan, juga memudahkan
terjadinya luka. Lagotalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga
mudah timbul keratitis. Kelumpuhan sara otonom menyebabkan kulit
kering dan elastisitas berkurang sehingga kulit mudah retak-retak dan
terjadi infeksi sekunder.
Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari adalah
mata, tangan, dan kaki, maka WHO Expert Committee on Leprosy (1977) membuat
klasikasi cacat bagi penderita kusta, yaitu9,10:
13
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus sangat
terganggu.
14
e. Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami
kelumpuhan otot
Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah
3M, yaitu9:
1) Perawatan Mata9,10
Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat (lagoftalmus), goresan kain baju,
sarung bantal, tangan, daun, debu, rambut, asap dan lain-lain dapat merusak mata.
Akibatnya, mata akan merah, meradang dan terjadi infeksi yang bisa
mengakibatkan kebutaan.9
2) Perawatan tangan9,10
Tangan yang mati rasa dapat terluka oleh benda panas,benda tajam, gesekan
dari alat kerja maupun pegangan yang terlalu kuat pada alat kerja. Untuk
mencegah luka pada tangan yang mati rasa dengan cara:
a) Memeriksa: periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau lecet
sekecil apapun
b) Melindungi: lindungi tangan dari benda panas, kasar atau tajam,
dengan memakai kaos tangan atau alas kain
16
c) Merawat luka: jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawat
dan istirahatkan bagian tangan tersebut sampai sembuh
17
Gambar 13. Perawatan untuk tangan kering
(Sumber: Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)
Untuk jari tangan yang bengkok, bila dibiarkan bengkok maka sendi akan
menjadi kaku dan otot akan memendek sehingga jari akan menjadi lebih kaku dan
tidak dapat digunakan. Untuk mencegahnya dengan cara:
18
Jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan cara taruh tangan
di meja atau paha, pisahkan dan rapatkan jari berulang kali. Ikat
jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan rapatkan jari
berulang kali (jari ke-2 sampai ke-5).
3) Perawatan Kaki1,9,10
Untuk kaki yang semper, bila dibiarkan tergantung maka otot pergelangan
kaki bagian belakang (Achilles) akan memendek sehingga kaki tetap tidak bisa
diangkat. Jari-jari kaki akan terseret dan luka, oleh karena kaki itu miring saat
melangkah akan mudah timbul ulkus di belakang jari kaki ke-4 dan ke-5. Untuk
mencegahnya dengan cara:
a) Memeriksa apakah ada luka atau tidak
b) Melindungi: selalu memakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan
luka, angkat lutut lebih tinggi waktu berjalan
c) Merawat kaki yang semper agar tidak makin parah dengan cara:
Duduk dengan kaki lurus ke depan. Pakailah kain panjang atau
sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki dan tarik ke
arah tubuh.
19
Jika kelemahan saja yang terjadi, ikatlah karet (dari ban dalam)
pada tiang atau kaki meja dan tarik tali karet itu dengan
punggung kaki, lalu tahan beberapa saat dan kemudian ulangi
beberapa kali.
Untuk kulit kaki yang tebal dan kering akan menimbulkan luka-luka kecil
yang kemudian dapat terinfeksi, untuk mencegahnya dengan cara:
a) Memeriksa: secara rutin adakah bagian kaki yang kering dan timbul
retak atau luka
b) Melindungi dan merawat kaki untuk mencegah kulit kering dengan
cara:
merendam kaki selama 20 menit setiap hari dalam air
menggosok bagian yang menebal dengan batu gosok
kemudian langsung mengolesi (tanpa dikeringkan terlebih
dahulu) dengan minyak kelapa untuk menjaga kelembaban kulit
20
Untuk kulit kaki yang mati rasa bisa timbul luka karena beberapa hal seperti
benda tajam, gesekan dari sepatu/sandal yang terlalu besar/kecil, tekanan tinggi pada
telapak kaki karena terlalu lama berdiri, terlalu lama tanpa gerak, berjalan terlalu jauh
atau terlalu cepat dan sebagainya. Untuk mencegahnya dengan cara:
c) Merawat: bila ada luka, memar atau lecet segera rawat dan istirahatkan
bagian kaki yang luka sampai sembuh, jangan diinjakkan.
21
Untuk ulkus atau luka borok yang terjadi karena menginjak benda tajam, panas,
kasar atau memar yang tidak dihiraukan karena pasien tidak merasa sakit/mati rasa.
Kaki tetap dipakai untuk berjalan, sementara kaki menampung beban berat badan.
Akibatnya luka tersebut semakin rusak/hancur. Sebenarnya luka dapat sembuh sendiri
bila diistirahatkan selama beberapa minggu.
Perawatan yang tepat ialah bersihkan luka dengan sabun, kemudian rendam kaki
dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pinggiran luka yang menebal dengan
batu apung. Setelah dikeluarkan dari air, beri minyak bagian kaki yang tidak luka,
balut lalu istirahatkan kaki yang luka, jangan diinjakkan pada waktu berjalan, pakai
tongkat kruk atau sepeda.
22
1) Masalah dengan mata
a. Mata lagotalmus, jika sangat kering maka membutuhkan tetes
mata mengandung saline.
Pasien dengan tangan dan kaki yang mati rasa tanpa disadari bisa melukasi
dirinya sendiri, luka ini dapat terinfeksi dan akan mengakibatkan kecacatan. Petugas
kesehatan harus dapat melakukan perawatan luka pada pasien kusta, dengan cara-cara
sebagai berikut:
Pertahankan kelembapan
Buang jaringan nekrotik/sloughy
23
Cegah timbulnya infeksi
Lindungi kulit di sekitar luka
Minimalkan nyeri
Atasi bau
1) Mata
a. Masalah mata akut yang membutuhkan penanganan serius
b. Bedah korektif pada kasus lagoftalmus
c. Bedah katarak
24
2) Tangan
a. Membantu seseorang beradaptasi dengan alat bantu untuk
mencegah luka pada tangan yang mati rasa
b. Kasus infeksi invasif/kedaruratan yang membutuhkan penanganan
intensif, seperti antibiotik atau operasi
c. Operasi koreksi kelemahan jari tangan atau claw hand pada cacat
menetap, dengan syarat sendi masih bergerak
3) Kaki
a. Penanganan ulkus kronik: semua luka di telapak kaki (plantar
pedis) yang lebih dari 1 tahun atau semua luka komplikata (luka
disertai infeksi, adanya fistel, osteomyelitis) dilakukan tindakan
bedah septik/skuestrektomi/amputasi
b. Memberikan alat bantu untuk mencegah luka pada kaki yang mati
rasa
c. Untuk kaki semper, penggunaan alat pemberat atau berpegas untuk
mengoreksi posisi kaki saat berjalan
d. Kasus infeksi invasif/kedaruratan membutuhkan penanganan
intensif dengan antibiotik atau operasi (bedah sepsis)
Tindakan bedah sepsis untuk membersihkan luka dari jaringan mati dan
pus harus dilakukan secepatnya tanpa menunggu pasien RFT (Release from
Treatment). Tujuan dari bedah sepsis ini adalah untuk menghindari kerusakan
tulang yang lebih parah, mempercepat penyembuhan dan menghilangkan faktor
pencetus terjadinya reaksi. Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bedah
rekonstruksi:
25
Bebas reaksi atau bebas prednisone, minimal 6 bulan
Cacat sudah menetap lebih dari 1 tahun
Tidak ada kekakuan sendi/kontraktur pada jari-jari
Tidak ada luka pada daerah yang akan dioperasi
Kondisi umum baik, kadar hemoglobin diatas 10gr%.
1. Orthosis, yaitu alat bantu anggota gerak tubuh yang mengalami kecacatan.
Jenis alat bantu ini antara lain:
1) Sandal Micro Cellular Rubber (MCR)
Sandal MCR digunakan untuk pasien dengan kondisi mati rasa pada
telapak kaki. Syarat pembuatan sandal MCR adalah:
Alas dibuat dari bahan yang dapat menyesuaikan bentuk,
menyebarkan beban berat badan pada semua bagian telapak
kaki dan bersifat menahan benturan luar (shock absorber).
26
Pada keadaan cacat tertentu, bentuk dan bagian sandal dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan, misalnya:
2. Prosthesis, adalah alat pengganti anggota gerak tubuh yang hilang atau
rusak.
1) Syme Prosthesis, digunakan untuk pasien dengan amputasi tepat pada
ankle.
2) Below knee prosthesis, digunakan untuk pasien dengan amputasi di
bawah lutut.
27
3) Above knee prosthesis, digunakan untuk pasien dengan amputasi di
atas lutut.
2.12. Prognosis
Penyakit ini bersifat kronik, progresif, dengan morbiditas tinggi karena cedera
pada saraf dan/atau dengan reaksi kusta. Pengobatan dapat menyembuhkan
penyakit namun penurunan fungsi saraf sensoris dapat terjadi.1,2
28
2. Cenderung ke dubia ad malam:11
Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke
lepromatosa dan mempunyai konsekuensi menularkan penyakit dan
berisiko mengalami reaksi tipe-1 yang akan menyebabkan
kerusakan saraf.
Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensai anggota tubuh
dan jari-jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka sampai terjadi
infeksi.
Kerusakan saraf dan komplikasinya mungkin menyebabkan
terjadinya cacat, terutama bila semua alat gerak dan kedua mata
terkena.
Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan
kerusakan permanen, walaupun telah diobati dengan steroid.
Tidak melakukan perawatan diri.
29
BAB III
KESIMPULAN
Morbus Hansen atau kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi kronik
granulomatosa, dan penyebabnya ialah bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat. Pada penyakit kusta, kerusakan pada saraf tepi merupakan
sumber awal kecacatan. Empat saraf yang tersering adalah n. ulnaris, medianus,
peroneus dan tibialis posterior. Keempat saraf tersebut mensarafi anggota gerak, yang
utama adalah tangan dan kaki, baik sensorik, otonom maupun motorik, sehingga
dapat terjadi gangguan sensasi dan gangguan gerak yang menghambat aktivitas
fungsional pasien.
Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae,
seperti anestesi, claw hand dan kulit kering; sedangkan cacat sekunder terjadi akibat
cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan sara, seperti ulkus dan kontraktur.
Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah
3M, yaitu memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur; Melindungi mata, tangan
dan kaki dari trauma fisik dan merawat diri. Kegiatan pencegahan cacat dapat
dilakukan pasien di rumah, di puskesmas dan di unit rujukan. Dukungan psikososial
dari keluarga dan lingkungan juga merupakan salah satu hal yang harus dilakukan
untuk mencapai keberhasilan pengobatan pasien kusta.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi, dkk. 2017. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
Hal. 87-102.
2. Modlin RL, Rea TH, Lee DJ, Weinberg AN. Leprosy. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Levell DJ, editor. Fitzpatrick’s
dermatology in General Medicine. 9th ed, vol 2. New York: McGraw-Hill Co;
2019. p 2892-2924.
3. World Health Organization. Leprosy Fact Sheet. Geneva: WHO; 2018.
4. Lee DJ, Weinberg AN. Hansen Disease. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Levell DJ, editor. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 8th ed. New York: McGraw-Hill Co; 2012. p
574-78.
5. James W, Buerger T, Elston D. Hansen Disease. In Andrew Disease of The Skin
Clinical Dermatology. 10th ed.: Sauders Elseviers; 2011.p. 334-44.
6. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan, 2018. Info Datin Kusta. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
7. Menaldi, dkk. 2015. Kusta. Atlas Berwarna dan Sinopsis Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: FKUI. Hal. 15-22.
8. Soetomo, dkk. 2012. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hal. 33-38.
9. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan, 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta.
10. Wisnu I, Hadilukito G. Pencegahan Cacat Kusta. Dalam: Syamsoe Daili ES,
Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2003. h.83-93.
31
11. PERDOSKI. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017. h.80-86.
32