Anda di halaman 1dari 32

RESPONSI

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 17 TAHUN DENGAN MORBUS


HANSEN MULTIBASILLER TIPE BB PENGOBATAN
BULAN KE-9 DENGAN REAKSI ENL

Oleh
Peter Darmaatmaja Setiabudi G99162143

Pembimbing :
dr. Nurrachmat Mulianto , M.Sc, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KEDOKTERAN


ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FKUNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus responsi yang berjudul : Seorang Anak Laki-Laki Usia 17 Tahun Dengan
Morbus Hansen Multibasiler Tipe BB Pengobatan Bulan ke-9
Dengan Reaksi ENL

Peter Darmaatmaja Setiabudi, NIM G99162143, Periode koass: 4 Juni – 1 Juli 2018

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
Kelamin RSUD Dr. Moewardi – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Yang bertanda tangan dibawah ini :

Surakarta, 22 Juni 2018

Chief Residen Koass Residen Pemeriksa

dr. Reti dr. Putti

Staff Pembimbing

dr. Nurrachmat Mulianto , M.Sc, Sp.KK


STATUS RESPONSI
ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc, Sp.KK


Nama : Peter Darmaatmaja Setiabudi
NIM : G99162143

MORBUS HANSEN

A. Definisi
Kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kustha yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus
Hansen. Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama diperoleh saat
anak-anak/ dewasa muda. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium
leprae. Kusta menyerang beberapa bagian tubuh yaitu kulit, sistem saraf perifer,
saluran pernapasan atas, mata dan testis. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
1,2

B. Epidemiologi
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di WHO
pada awal tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak
terdapat di regional Asia Tenggara (160.132), diikuti regional Amerika (36.832),
regional Afrika (12.673) dan sisanya berada di regional lain di dunia.3
Situasi kusta di Indonesia sejak tahun 2007-2011 menunjukkan adanya
peningkatan kasus baru yang mengindikasikan bahwa penyakit kusta masih
menjadi masalah di Indonesia. Kasus baru pada tahun 2007 berjumlah 21.430
kasus, kemudian meningkat pada tahun 2008 dengan 21.538 kasus, namun
menurun pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus. Tahun 2010 menunjukkan
penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu dengan 19.741 kasus,
dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011 dengan jumlah kasus mencapai
23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara umum menunjukkan tidak ada
perubahan yang berarti terkait situasi penyakit kusta di Indonesia, hal tersebut juga
mengindikasikan bahwa penyakit kusta di Indonesia masih menjadi masalah
kesehatan.3
Penyakit kusta lebih banyak diderita laki-laki dibandingkan perempuan.
Penyakit kusta banyak dijumpai pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.2
C. Etiologi
Kusta disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Bakteri ini obligat
intraseluler, bersifat aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi
oleh membran sel lilin, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, tahan asam (BTA) atau gram positif
(tidak mudah diwarnai, namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh
asam atau alkohol. Bakteri ini bereproduksi maksimal pada suhu 27 ° C - 30 ° C.
Organisme tidak dapat dibiakkan secara in vitro. M. leprae menginfeksi kulit dan
saraf kulit (Schwann cell basal lamina). Tumbuh terbaik di jaringan yang lebih
dingin (kulit, saraf perifer, bilik mata anterior, saluran pernapasan bagian atas,
testis), menyisakan area kulit yang lebih hangat (aksila, selangkangan, kulit
kepala, dan garis tengah punggung).1
Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita (keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui saluran pernapasan.
Bakteri ini mengalami perkembangbiakan selama 2-3 minggu, bakteri ini mampu
bertahan selama 9 hari di luar tubuh manusia kemudian membelah 14-21 hari
dengan inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun bahkan dapat juga memakan
waktu lebih dari 5 tahun.1
Manusia adalah resevoir utama M. leprae. Armadillos ganas (Louisiana) serta
monyet mangabey dan simpanse adalah hewan yang secara alami terinfeksi M.
leprae; armadillo dapat mengembangkan lesi lepromatous. Kemungkinan
penularan termasuk infeksi droplet hidung, kontak dengan tanah yang terinfeksi,
vektor serangga. Bersin dari pasien LL yang tidak diobati dapat mengandung 1010
oranisme. 20% dari individu tanpa gejala di daerah endemik mungkin memiliki M.
leprae di hidung, diidentifikasi oleh PCR. Portal masuknya M. leprae kurang
dipahami tetapi termasuk inokulasi melalui kulit (gigitan, goresan, luka kecil, tato)
atau inhalasi ke saluran hidung atau paru-paru.2
D. Patogenesis
Spektrum klinis kusta sangat tergantung pada keterbatasan variabel dalam
kemampuan inang untuk mengembangkan imunitas cell-mediated yang efektif
(CMI) terhadap M. leprae. Organisme mampu menyerang dan bereplikasi di saraf
perifer dan menginfeksi dan bertahan hidup di sel-sel endotel dan fagosit di
banyak organ. Infeksi subklinis dengan lepra sering terjadi di antara penduduk di
daerah endemik. Agaknya infeksi subklinis ditangani dengan mudah oleh respon
CMI host. Ekspresi klinis kusta adalah pekrkembangan granuloma; pasien dapat
mengalami keadaan "reaksi," yang dapat terjadi dalam beberapa bentuk pada >
50% dari kelompok pasien tertentu.
Spektrum Granulomatosa Kusta:
1. Respons tuberkuloid resistensi tinggi (TT)
2. Kutub lepromatosa resistensi rendah atau tidak ada resistensinya (LL)
3. Regio morfik atau borderline (BB)
4. Dua daerah intermediate
a. Borderline lepromatous (BL)
b. Borderline tuberculoid (BT)
Untuk mengurangi resistensi, spektrumnya adalah TT, BT, BB, BL, LL.
Respon Immunologis Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan
beberapa jenis reaksi yang terkait dengan perubahan mendadak pada status klinis.
a. Reaksi Lepra Tipe 1 (Reaksi Penurunan dan Reversi) Individu dengan BT dan
BL mengalami peradangan pada lesi kulit yang ada. Dapat dikaitkan dengan
demam ringan, beberapa lesi kulit makulopapular "kecil" baru, dan / atau
neuritis. Reaksi penurunan terjadi sebelum terapi. Reaksi reversi terjadi sebagai
respons terhadap terapi.
b. Reaksi Lepra Tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) Terlihat pada
setengah dari pasien LL, biasanya terjadi setelah memulai terapi
antilepromatous, umumnya dalam 2 tahun pertama pengobatan. Radang masif
dengan lesi eritema nodosum.
Lucio Reaction Individu dengan diffuse LL mengembangkan ulkus poligonal
dengan slough yang dangkal dan luas pada kaki. Reaksi tampaknya menjadi salah
satu varian dari ENL atau sekunder untuk oklusi arteriol.2
E. Klasifikasi
Jenis klasifikasi yang umum sering digunakan.
1) Klasifikasi WHO4
Tanda Utama PB (Paucibaciler) MB (Multibaciler)
Bercak kusta Jumlah 1-5 Jumlah >5
Penebalan saraf disertai
1 saraf >1 saraf
gangguan fungsi saraf
Sediaan apusan BTA negatif BTA positif
Pasien dibagi menjadi dua kelompok untuk tujuan terapeutik: paucibacillary
(TT, BT) dan multibacillary (midborderline (BB), BL, LL).
2) Klasifikasi Ridley Jopling5
a) TT: Tuberkuloid Polar (tipe tuberkuloid 100%, bentuk stabil tidak mungkin
berubah tipe).
b) Ti: Tuberkuloid indefinite (tipe tuberkuloid lebih banyak dibandingkan tipe
lepromatosa).
c) BT: Borderline Tuberculoid (tipe tuberkuloid lebih banyak dibandingkan
tipe lepromatosa).
d) BB: Mid Borderline (50% tipe tuberkuloid, 50% tipe lepromatosa).
e) BL: Borderline Lepromatous (tipe lepromatosa lebih banyak dibandingkan
tipe tuberkuloid)
f) Li: Lepromatosa indefinite (tipe lepromatosa lebih banyak dibandingkan tipe
tuberkuloid)
g) LL: Lepromatosa Polar (tipe lepromatosa 100%, bentuk stabil, tidak
mungkin berubah tipe).
F. Tanda Klinis dan Gejala
a) Gambaran klinik, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasilar
Lepromatosa Borderline Mid Borderline
Sifat
(LL) Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
Makula; infiltrat Plakat; dome
Makula; plakat;
Bentuk difus, papul, shaped (kubah);
papul
nodus punched out
Tidak terhitung, Sulit dihitung, Dapat dihitung,
Jumlah tidak ada kulit masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Agak kasar, agak
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Tidak ada sampai
Anestesia Tidak jelas Lebih jelas
tidak jelas
BTA
Banyak (ada
Lesi Kulit Banyak Agak banyak
globus)
Banyak (ada
Sekret Hidung Biasanya negatif Negatif
globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

b) Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Pausibasilar


Borderline
Sifat Tuberkuloid (TT) Indeterminate (I)
Tuberkuloid (BT)
Lesi
Makula saja; Makula dibatasi
Bentuk makula dibatasi infiltrat, infiltrat Hanya macula
infiltrate saja
Satu, dapat Beberapa atau Satu atau
Jumlah
beberapa satu dengan satelit beberapa
Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
Halus, agak
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik
berkilat
Dapat jelas atau
Batas Jelas Jelas
tidak jelas
Tidak ada sampai
Anesthesia Jelas Jelas
tidak jelas
BTA
Hampir selalu Negatif atau
Lesi Kulit Biasanya negatif
negative hanya +1
Dapat positif
Tes Lepromin Positif kuat (+3) Positif lemah
lemah atau negatif
G. Diagnosis
1) Klinis
Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut
WHO, yaitu :6
a) Bercak kulit yang mati rasa. Bercak hipopigmentasi atau eritematosa,
mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total
atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.
b) Penebalan saraf tepi
Dapat/ tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena,
yaitu:
- Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
- Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
- Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.
c) Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal.
Bila tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan
pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis
kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.6
Selain tanda kardinal di atas, dari anamnesis didapatkan riwayat berikut:
a) Riwayat kontak dengan pasien kusta.
b) Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis, dan
keadaan sosial ekonomi.
c) Riwayat pengobatan kusta.
Gejala-gejala kerusakan saraf :
a) Nervus Ulnaris
- Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipotenar dan otot interosseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
b) Nervus Medianus
- Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah.
- Tidak mampu adduksi ibu jari.
- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
- Ibu jari kontraktur.
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
c) Nervus Radialis
- Anestesia pada dorsum manus dan ujung proksimal jari telunjuk.
- Wrist drop
- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
d) Nervus Poplitea Lateralis
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
- Foot drop.
- Kelemahan otot peroneus.
e) Nervus Tibialis Posterior
- Anestesia telapak kaki.
- Claw toes
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
f) Nervus Fasialis
- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
- Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.
g) Nervus Trigeminus
- Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata.
Pemeriksaan fisik meliputi:
a) Inspeksi
Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi kulit
(lokasi dan morfologi) harus diperhatikan.
b) Palpasi
- Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada
tangan dan kaki.
- Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri
tekan, dan nyeri spontan). Saraf tepi yang perlu diperiksa adalah n. facialis,
n. auricularis magnus, n. radialis, n.ulnaris, n. medianus, n. cutaneus
radialis, n. peroneus communis (poplitea lateralis), n. tibialis posterior.
c) Tes fungsi saraf
- Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu
- Tes otonom
- Tes motoris: voluntary muscle test (VMT)
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Bakterioskopik
- IB (indeks bakteri): kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid
- IM (indeks morfologi): persentase bentuk solid dibandingkan jumlah solid
dan non solid.
b) Pemeriksaan Histopatologik
c) Pemeriksaan Serologik: Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), Uji ELISA, ML dipstick, ML Flow Test.
H. Diagnosis Banding
Daftar diagnosis banding lepra sangat kompleks karena berbagai manifestasi
klinis. Bentuk indeterminate harus dibedakan dari lesi hipokromik atau bahkan lesi
akromik, seperti pityriasis alba, pityriasis versicolor, nevus hipokromik,
hipopigmentasi pascainflamasi, dan vitiligo. Tuberkuloid dan lesi borderline dapat
dikelirukan dengan granuloma annulare, erythema figuratif, lesi sarkoid yang
menular atau sarkoidosis, pityriasis rosea, psoriasis, lupus eritematoid, erupsi obat,
antara lain. Bentuk lepromatous mungkin menyerupai skleroderma, mikosis
fungoides, pellagra, asteatosis, ichthyosis, dan eksim; lesi multinektris harus
dibedakan dari sifilis sekunder dan tersier, leishmaniasis difus, neurofibromatosis,
xanthoma, limfoma, dan tumor lainnya. Dalam kasus yang dimulai dengan ENL
atau eritema multiforme, etiologi lain harus diselidiki. Bentuk saraf primer
menyerupai penyakit yang menyebabkan mononeuropati atau mononeuropati
multipel, termasuk inflamasi, metabolisme, infeksi, penyakit kongenital atau
herediter, tumor, dan trauma. Ketika ada manifestasi sistemik spesifik pada kusta
multibasiler, penting untuk menyingkirkan segala penyakit yang mungkin juga
menyebabkan manifestasi seperti itu, termasuk lupus eritematosus sistemik,
rheumatoid arthritis, dermatopolymyositis, dan vasculitis sistemik. Diagnosis
banding lesi pada batang saraf anggota badan harus ditetapkan berdasarkan lesi
yang disebabkan oleh trauma, infeksi, pendarahan, degenerasi, dan tumor pada
batang saraf yang juga dapat menyebabkan amyotrophy dan kelumpuhan.
I. Terapi
a) Non Medikamentosa
- Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan terapi
okupasi.
- Rehabilitias non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan sosial.
- Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stigma dan
penggunaan obat.
- Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan disabilitas.
b) Medikamentosa7,8
1) Pengobatan dengan Multidrug Therapy (MDT)
2) Pengobatan kusta dengan regimen alternatif
Bila MDT-WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan, antara lain:
- Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta hepatitis
kronis, atau terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan rifampisin.
Pasien dengan kuman resisten terhadap rifampisin, biasanya resisten juga
terhadap DDS.9 Oleh sebab itu digunakan regimen berikut

- Pasien yang menolak klofazimin


Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin dalam
MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau
minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan8 atau rifampisin 600 mg/bulan,
ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan.10
- Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS
Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti sindrom
dapson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus segera dihentikan.
Tidak ada modifikasi lain untuk pasien MB, sehingga MDT tetap
dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien PB,
dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe
MB selama 6 bulan.8
J. Reaksi Kusta
1. Definisi
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi dapat terjadi pada penderita sebelum
pengobatan, saat pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi
pada 6 bulan sampai setahun setelah mulai pengobatan. Reaksi kusta terdiri atas
reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (eritema nodosum leprosum)11
2. Faktor Risiko6,12
3. Kriteria Diagnostik6,12

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut, yaitu adanya:12
a) Lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir
b) Nyeri raba saraf tepi
c) Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
d) Makula pecah atau nodul pecah
e) Makula aktif (meradang), diatas lokasi saraf tepi
f) Gangguan pada organ lain.
4. Diagnosis Banding
a. Reaksi reversal6
- DD/ utama adalah relaps
- DD/ lainnya adalah selulitis, urtikaria, erisipelas, dan gigitan serangga
b. Eritema nodosum leprosum6,12
- Eritema nodosum yang disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi Streptococcus
dan obat
1) Infeksi kulit karena Streptococcus β hemolyticus
2) Alergi obat sistemik
3) Demam reumatik
4) Lain-lain:
- Penyakit kulit bulosa (bullous disease) (untuk ENL bulosa)
- Pioderma gangrenosum (untuk ENL dengan ulserasi)
- Keganasan (ENL kronis).
5. Terapi
a) Non Medikamentosa12
- Istirahat dan imobilisasi
- Perbaikan gizi dan keadaan umum
- Mengobati penyakit penyerta dan menghilangkan faktor pencetus
b) Medikamentosa
1) Penanganan Reaksi
Prinsip pengobatan reaksi ringan:12
- Berobat jalan, istirahat di rumah
- Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
- Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
Prinsip pengobatan reaksi berat:12
- Imbolisasi lokal organ tubuh yang terkena neuritis/istirahat di rumah
- Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
- Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
- Memberikan obat anti reaksi: prednison, lamprene, talidomid (bila
tersedia)
- Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit
- Reaksi tipe 2 berat dan berulang diberikan prednison dan klofazimin.
2) Pengobatan untuk reaksi tipe 1 dan 212
a. Prinsip tatalaksana reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta)
atau tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta).
1) Terapi reaksi tipe 1 sesuai dengan tingkat keparahan:
- Reaksi ringan ditandai dengan inflamasi pada beberapa lesi lama
(EEL)
- Reaksi berat ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda-tanda
berikut:
a) Terdapat beberapa EEL dan juga bisa juga terdapat lesi baru
b) Nyeri saraf, nyeri tekan, parestesia, atau berkurangnya fungsi
saraf
c) Demam, rasa tidak nyaman, nyeri sendi
d) Edema pada tangan dan/atau kaki
e) Lesi ulserasi di kulit
f) Reaksi menetap lebih dari 6 minggu
2) Terapi Spesifik
Terapi spesifik bertujuan untuk menekan respons hipersensitivitas
tipe lambat (delayed type hypersensitivity) terhadap antigen M.
leprae dengan memberikan terapi anti inflamasi. Tatalaksana RR
dengan berbagai tingkat keparahan dan berbagai pilihan terapi
adalah sebagai berikut:
a) Terapi reaksi reversal ringan
Reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau
parasetamol selama beberapa minggu.
b) Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut
Kortikosteroid (prednisolon) masih merupakan terapi utama dan
terapi pilihan pada RR.
Dengan pemberian dosis standar WHO, kesembuhan dapat tidak
tercapai dan sering terjadi rekurensi. Durasi pemberian steroid
yang lama dapat memberikan perbaikan yang lebih baik dan
bertahan lebih lama.12 Pada sebuah studi acak membandingkan
pemberian prednisolone 30 mg yang diturunkan dosisnya dalam
20 minggu jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian
predsinolon 60 mg yang diturunkan dalam 12 minggu.13
b. Prinsip penatalaksanaan reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut12:
1) Identifikasi tingkat keparahan reaksi tipe 2
- Reaksi ringan (hanya ada beberapa lesi ENL, tanpa keterlibatan
organ lain, tetapi pasien merasa tidak nyaman)
- Reaksi sedang (demam ringan <1000F dan lesi ENL dalam jumlah
sedikit-sedang, ditemukan leukositosis dan keterlibatan beberapa
organ lain kecuali saraf, mata dan testis)
- Reaksi berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan atau lesi
pustular/nekrotik, neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis,
orkitis, dan/atau nyeri tulang hebat, dan lain-lain), harus dirawat
inap untuk diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut.
2) Mencari dan mengatasi faktor presipitasi
3) Melanjutkan pemberian MDT. Pemberian MDT bila terjadi reaksi
harus tetap dilanjutkan, dan bila MDT belum diberikan saat terjadi
reaksi, harus segera diberikan bersamaan dengan terapi spesifik
ENL, terutama pada pasien LL/BL.
4) Penatalaksanaan manifestasi ENL reaksi tipe 2: neuritis, iridosiklitis
akut, epididimo-orkitis akut.
5) Tatalaksana reaksi tipe 2 sesuai dengan berbagai tingkat keparahan
penyakit maka pilihan pengobatan untuk reaksi tipe 2 adalah
sebagai berikut:
- Terapi reaksi tipe 2 ringan
Reaksi tipe 2 ringan dapat diterapi dengan obat analgetik dan obat
antiinflamasi, misalnya aspirin dan OAINS lainnya. Aspirin
diberikan dengan dosis 600 mg setiap 6 jam setelah makan.
- Terapi reaksi tipe 2 sedang dengan antimalaria (klorokuin),
antimonial.
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, M.Sc, Sp.KK


Nama : Peter Darmaatmaja Setiabudi
NIM : G99162143

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MAZ
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Gemolong, Sragen, Jawa Tengah
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum menikah
Tanggal Pemeriksaan : 7 Juni 2018

ANAMNESIS
Seorang pasien laki – laki berumur 17 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Moewardi pada tanggal 7 Juni 2018 dengan:
Keluhan Utama:
Bentol kemerahan pada beberapa area tubuh.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi bersama
ayahnya dengan keluhan timbul bentol-bentol kemerahan pada beberapa area tubuh
yang mulai muncul 3 bulan yang lalu. Bentol-bentol kemerahan awalnya muncul di
tangan dan kaki setelah pasien meminum obat MDT MB bulan ke-6 yang disertai
perubahan warna kulit menjadi kehitaman. Bentol-bentol tidak disertai rasa nyeri,
gatal, ataupun mati rasa. Bentol-bentol tersebut juga muncul di bagian punggung.
Pasien mengeluhkan tangan dan kaki terasa kaku dan mengganggu aktivitas pasien.
Pasien mengaku mudah lelah dan kulit berubah kehitaman.
Pasien didiagnosis Morbus Hansen Multibasiler tipe BB 1 tahun yang lalu dan
saat ini pasien sedang menjalani pengobatan MDT di Puskesmas bulan yang ke-9.
Pasien mengaku sudah ada perbaikan, rasa tebal pada bagian lesi sudah berkurang.
Tidak ada riwayat kontak dengan penderita kusta sebelumnya.

Riwayat penyakit dahulu:


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat kontak dengan penderita kusta : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga/Atopi:


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Kebiasaan
 Asupan : Pasien makan tiga kali sehari dengan lauk bervariasi.
 Aktivitas : Pasien senang berolahraga voli namun semenjak sakit pasien
mengurangi kegiatan olahraganya
Riwayat Sosial Ekonomi
 Pasien adalah seorang pelajar SMA dan berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang, kesan gizi cukup
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan Darah : 120/ 80 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Nafas : 14 x/menit
 Suhu : 36,5 o C
 Berat badan : 50 kg
 Tinggi badan : 165 cm
 IMT : 18,51
 Pain Score :1
 Rambut : dalam batas normal
 Kepala : lihat status dermatovenerologi
 Leher : dalam batas normal
 Trunkus Anterior : lihat status dermatovenerologi
 Trunkus Posterior : lihat status dermatovenerologi
 Ekstremitas atas : lihat status dermatovenerologi
 Ekstremitas bawah: lihat status dermatovenerologi
Status Dermatovenerologi

 Regio Kepala

 Regio fasialis et auricula : tampak papul eritem, multipel diskret, patch


hiperpigmentasi multipel, madarosis (+)
 Regio Trunkus Anterior et Posterior

 Tampak papul, patch eritem sebagian hipopigmentasi multipel, diskret


sebagian berkonfluen

 Regio Extremitas Superior et Inferior


 Tampak nodul eritem sebagian hiperpigmentasi multipel, dan di beberapa
tempat tampak xerotic skin.
Gangguan Sensibilitas :
Rasa tusuk : Anestesi pada lesi (-)
Rasa raba : Anestesi pada lesi (-)
Rasa suhu : Tidak diperiksa

Pembesaran Saraf Perifer :


 N. Aurikularis magnus : -/+
 N. Radialis : -/-
 N. Ulnaris : -/-
 N. Tibialis posterior : -/-
 N. Facialis : -/-
 N. Medianus : -/-
 N. Cutaneus Radialis : -/-
 N. Peroneus Communis : -/-

Pemeriksaan Sensorik
N. Ulnaris : normal/normal
N. Medianus : normal/normal
N. Tibialis Posterior : normal/normal

Pemeriksaan Motorik
N. Ulnaris : 5/5
N. Medianus : 5/5
N. Radialis : 5/5
N. Poplitea Lateralis : 5/5
N. Tibialis Posterior : 5/5

Pemeriksaan Saraf Otonom:


Anhidrosis: Tidak diperiksa.

Kelainan lain-lain:
 Kontraktur : Tidak ada
 Atrofi otot : Tidak ada
 Madarosis : (+)
 Wrist drop : Tidak ada
 Dropped foot : Tidak ada
Kelainan Kuku
Clawy hands (-)

DIAGNOSIS BANDING
1. Morbus Hansen Multibasiler tipe BB Pengobatan bulan ke-9 dengan reaksi ENL
2. Erythema Nodosum

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan BTA :
- Indeks Bakteri +4, Indeks Morfologi 0%

DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen Multibasiler Tipe BB Pengobatan bulan ke-9 dengan Reaksi ENL

TERAPI
1. Non Medikamentosa
- Edukasi tentang penyakit, penyebab, komplikasi, dan prognosis penyakit.
- Edukasi mengenai kepatuhan minum obat dan pentingnya dukungan keluarga
untuk mengingatkan pasien meminum obat.
2. Medikamentosa
- Lanjutkan MDT MB:
a. Rifampicin 600 mg.
b. Dapsone 100 mg
c. Klofazimin 300 mg
- Methylprednisolone tab 48 mg/ 24 jam
- Neurodex tab 1x1
- Ibuprofen tab 2x1 (bila nyeri)
- Zink tab 1x1
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
Ad cosmeticum : dubia
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI (2015). Kusta. Pusat Data dan Informasi Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.
2. Wolff K, Johnson RA (2009). Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology : Leprosy, page: 665-670, 6th edition. USA: McGraw Hill Medical.
3. Kementerian Kesehatan RI (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. Kementerian Kesehatan RI: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
4. WHO (2016). Global leprosy update: accelerating reduction of disease burden.
http://www.who.int/lep/disease/en/ - diakses Juni 2018.
5. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 7, Cetakan Pertama, tahun 2015.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
6. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Kementerian Kesehatan
RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta, 2014.
7. WHO. Model Prescribing Information. Drug use in leprosy. Geneva: WHO. 1998.
8. WHO Expert Committee on leprosy, eighth report. Technical Report Series.
2012;369:1-61.
9. WHO Seventh Expert Committee on leprosy. WHO Geneva 26 May-7 June 1997
10. Villahermosa LG,. Fajardo TT Jr, Abalos RM, Cellona RV, Balagon V, Cruz
ECD,Tan EV,. Walsh GP,.Walsh DS Parallel assessment of 24 monthly doses of
Rifampicin, Ofloxacin, and Minocycline versus two years of World Organization
Multi-drugTherapy for Multibacllary Leprosy Am. J. Trop. Med. Hyg.
2004;70(2):2004.h197–200.
11. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Dalam:Menaldi SL SW, Bramono K,
Indriatmi W, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7 Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.h.87-102.
12. Kar HK, Sharma P. Leprosy reaction. In Kar HK,KumarB, editors. IAL Textbook
of leprosy. Edisi ke-1. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (PP) Ltd;
2010.h.269-89.
13. Rao PSS, Sugamaran DST, Ricahard J, Smith WCS. Multi-centre, double blind,
randomized trial of three steroid steroid regimens in the treatmenof type-1
reactions in leprosy. Lepr Rev. 2006;77(1):25–33.

Anda mungkin juga menyukai