TINJAUAN PUSTAKA
2. Prevalensi
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan
masyarakat global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang
meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK
meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian
penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global
mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review dan meta-
analysis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global
PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Diseasetahun 2010,
PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan
meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia,
perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari
BPJS kesehatan setelah penyakit jantung (DEPKES, 2017).
3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi beberapa stadium berdasarkan
klinis dan klasifikasi tekanan darah yaitu :
Stadium Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan klinis
LFG
Derajat Deskripsi
(mL/menit/1,73 m3)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
Grade 1 ≥ 90
atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 2 60-89
LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 3a 45-59
LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 3b 30-44
LFG sedang-berat
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 4 15-29
LFG berat
Gagal ginjal kronik (end stage renal
Grade 5 < 15
disease/ ESRD)
(KDIGO, 2012)
Stadium Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan klasifikasi tekanan darah
Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal
LFG
Dengan TDT Tanpa TDT Dengan TDT Tanpa TDT
90 1 1 Hipertensi Normal
Hipertensi
60-89 2 2 dengan Penurunan LFG
penurunan LFG
30-59 3 3 3 3
15-29 4 4 4 4
< 15 5 5 5 5
4. Patofisiologi
Sejumlah penyakit di luar ginjal seperti diabetes mellitus dan hipertensi
dapat mengarah pada kerusakan jaringan ginjal. Jika jaringan ginjal yang
tersisa tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik maka kerusakan
ginjal akan semakin berkembang. Penurunan ekskresi ginjal memainkan
peranan penting terhadap perkembangan penyakit ginjal kronik (Suwitra,
2009).
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi di sisa glomeruli yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat yang kemudian diikuti dengan proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang tersisa. Sklerosis nefron ini
menyebabkan penurunan GFR, berakibat pada peningkatan kreatinin plasma,
peningkatan yang kurang nyata pada konsentrasi zat yang direabsorpsi di
tubulus ginjal karena terganggunya proses reabsorpsi. Pada penyakit ginjal
kronik reabsorpsi Na+ dan air terhambat yang menyebabkan pengurangan
reabsorpsi zat lainnya seperti fosfat, asam urat, HCO3, urea, glukosa, asam
amino yang terhambat oleh berbagai faktor seperti peptida natriuretik dan
PTH (Skorecki K et al., 2005).
Terganggunya reabsorpsi asam urat akan menyebabkan pengendapan
asam urat terutama pada persendian dan berakibat terjadinya gout. Retensi
oksidan oleh ginjal meningkatkan stres oksidatif dan inflamasi. Stres oksidatif
dan penurunan eliminasi ginjal menyebabkan peningkatan toxin uremia
(contoh acetonine, hippurate, indol, metilglyoxal, fenol, hemosistein,
dimetilarginin (ADMA), dll). Zat tersebut memberikan efek toksik melalui
mekanisme yang berbeda. ADMA menghambat sintesis NO dan
menyebabkan iskemia dan peningkatan tekanan darah. Metilglyoxal memicu
apoptosi sel dan terlibat dalam patofisiologi sel darah (mempercepat
degradasi eritrosit dan penurunan fungsi leukosit). Konsentrasi urea yang
tinggi dapat mengganggu kestabilan protein dan menyebabkan penyusutan
sel. Degradasi urea menghasilkan amonia yang menyebabkan halitosis
(uremik fetor), dan bermanifestasi pada keluhan gastrointestinal seperti mual,
tukak lambung, diare (Silbernagl dan Lang, 2016).
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan produksi eritropoietin
yang menyebabkan anemia, dan berefek pada aktivasi tonus simpatis.
Produksi intrarenal yaitu renin dan prostaglandin dapat meningkat (pada
kasus iskemia) dan dapat juga menurun (pada kematian renin atau sel-sel
penghasil prostaglandin). Peningkatan renin dan penurunan produksi
prostaglandin akan meningkatkan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron yang
bermanifestasi terjadinya hipertensi. Hipertensi akan memperparah
perkembangan penyakit ginjal kronik (Wish, 2003).
Penyakit ginjal kronik menyebabkan hilangnya inaktivasi hormon
ginjal, yang dapat memperlambat siklus regulasi hormon. hiperinsulinemia
menyebabkan hipoglikemia, hiperprolaktinemia menyebabkan penghambatan
pelepasan gonadotropin kemudian berefek pada pengurangan kadar estrogen
dan testosteron dalam plasma (amenore dan impotensi). Penurunan absorpsi
asam lemak bebas oleh ginjal berkontribusi terjadinya hiperlipidemia yang
menyebabkan penurunan gluconeogenesis dan menimbulkan hipoglikemia.
Penurunan formasi dan ekskresi ammonia menyebabkan asidosis dan
mengaktifkan stimulasi katabolisme protein (Silbernagl dan Lang, 2016).
Peningkatan NaCl dan air yang beredar pada volume ekstraseluler
mengakibatkan hipervolemia dan edema. Komplikasi serius yang terjadi
adalah edema pulmo. Jika didominasi oleh air, osmotik akan mengarah pada
peningkatan cairan pada volume intraseluler menyebabkan terjadinya edema
cerebral (Silbernagl dan Lang, 2016).
Hipervolemia berakibat pada meningkatnya pelepasan faktor natriuretik
yang akan menghambat NaKATPase. Penghambatan ini akan menyebabkan
penurunan konsentrasi kalium intraseluler berefek pada depolarisasi sel dari
berbagai jaringan. Konsentrasi natrium intraseluler naik yang akan
mengganggu pertukaran natrium dan kalsium, dan dengan demikian
konsentrasi intraselular dari kalsium juga meningkat. Konsekuensi
depolarisasi adalah eksitasi neuromuskular yang abnormla (polineuropati,
kebingungan, koma, kejang), akumulasi seluler dari klorida, dan
pembengkakan sel. Peningkatan konsentrasi kalsium intraselular
menyebabkan vasokonstriksi dan juga pelepasan hormon yang meningkat
(misalkan gastrin, insulin) dan peningkatan efek hormonal (misalkan
epinefrin) (Silbernagl dan Lang, 2016).
Abnormalitas metabolisme mineral berkontribusi pada timbulnya gejala
gagal ginjal. Jika GFR mengalami penurunan kurang dari 20%, fosfat yang
terfiltrasi akan lebih sedikit dibandigkan yang terabsorbsi. Selanjutnya jumlah
fosfat yang terfiltrasi akan menghilang dan berakibat pada hilangnya
reabsorbsi, eksreksi ginjal, tidak mampu menjaga absorbsi melalui usus, dan
terjadi peningkatan konsentrasi fosfat. Fosfat akan terikat dengan kalsium
membentuk kalsium fosfat, yang menyebabkan penimbunan kalsium fosfat
pada pada dinding vaskular dan berbagai jaringan seperti sendi (arthritis) dan
kulit. Kalsium fosfat memiliki sifat tidak mudah larut, dan menjadi pencetus
asidosis. Hiperfosfatemia pada keadaan asidosis berdampak pada kalsifikasi
vaskular. Kalsifikasi dicetuskan oleh aldosteron, yang mengaktifkan fosfatase
alkali melalui kaskade pensinyalan osteoinduktif yang mencakup faktor
transporter1 (PIT1), TNF-a, TGF-β1, transkripsi faktor MSX2, CBFA1 /
RUNX2, dan osterix. Alkaline fosfatase pada gilirannya meningkatkan
presipitasi kalsium fosfat (Silbernagl dan Lang, 2016).
Bila kalsium membentuk kompleks dengan fosfat, konsentrasi kalsium
akan menurun. Hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar
paratiroid, memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Efeknya adalah terjadinya
degradasi tulang yang cepat (osteitis fibrosa). Secara umum PTH menurun,
dengan penghambatan simultan reabsorpsi ginjal fosfat, plasma konsentrasi
fosfat sehingga, mobilisasi kalsium fosfat dari tula
ng, produk kelarutan dalam plasma tidak terlampaui dan konsentrasi kalsium
dapat meningkat. Pada gagal ginjal, bagaimanapun, ekskresi ginjal tidak
dapat ditingkatkan, konsentrasi fosfat plasma meningkat, CaHP04
diendapkan, dan konsentrasi kalsium di plasma tetap rendah. Oleh karena itu
pelepasan PTH terus berlanjut. Stimulus sekresi yang jarang dari kelenjar
paratiroid yang mengalami hipertrofi, akan melepaskan jumlah PTH yang
lebih besar. Reseptor PTH yang terdapat di berbagai macam organ seperti
sistem saraf, lambung, sel darah, dan gonad, selain ginjal dan tulang. PTH
memainkan peranan penting dalam perkembangan abnormalitas dari organ-
organ tersebut (Slatopolsky et al., 1999).
Produksi kalsitriol berperan dalam menyebabkan penurunan
metabolisme mineral pada gagal ginjal. Normalnya, hormon ini merangsang
penyerapan kalsium dan fosfat di usus. Kekurangan hormon kalsitriol akan
mengurangi penyerapan fosfat di usus dan memperburuk keadaan
hipokalsemia. Kekurangan hormon kalsitriol akan berkembang menjadi
penyakit tulang dinamik dan osteomalasia. Terdapat reseptor kalsitriol di
berbagai organ. Efek kalsitriol yaitu imunosupresi, dan defisiensi kalsitriol
berperan dalam peningkatan proses inflamasi pada gagal ginjal. Penggantian
kalsitriol akan membahayakan pasien dengan gagal ginjal karena akan
merangsang penyerapan fosfat di usus (Silbernagl dan Lang, 2016).
Gambar 1. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik (Silbernagl dan Lang, 2016)
Gambar 2. Gangguan Keseimbangan Cairan pada Penyakit Ginjal Kronik
(Silbernagl dan Lang, 2016)
Gambar 3. Gangguan Keseimbangan Mineral pada Penyakit Ginjal Kronik
(Silbernagl dan Lang, 2016)
5. Diagnosis
1) Anamnesis
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, infeksi saluran kemih,
hiperurisemia, lupus, hipertensi dalam kehamilan (pre-eklamsia,
abortus spontan), konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba,
kemoterapi, antiretroviral, proton pump inhibitor, paparan zat kontras.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi ;
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurisemia, SLE
b) Sindrom urisemia : lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi
sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai
apa ada pGK yang diturunkan [sindrom Alport atau Fabry, sistinuria]
atau paparan nefiotoksin dari lingkungan (logam berat).
2) Pemeriksaan Fisik
Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target
organ : funduskopi, pemeriksaan prekordial (heaving ventrikel kiri,
bunyi jantung IV).
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati
Gangguan endokrin-metabolik: amenorrhea, malnutrisi, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual.
Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin
(uremic fetor), disgelsia (metaltic taste), konstipasi
Gangguan neuromuskular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus,
fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
Gangguan dermatologis: palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis,
uremic frost, nephrogenic fibrosing dermopathy
3) Pemeriksaan Penunjang
Gambaran laboratorium :
a) Sesuai penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin plasma, penurunan LFG yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft Gault. Kadar kreatinin serum saja
tidak bisa dipakai untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c) Kelainan biokimiawi darah : penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan urinalisis : proteinuria, hematuria, leukosituria, cast,
isostenuria
Gambaran radiologis :
a) Foto polos abdomen : bisa tampak radioopak
b) Pielografi intravena jarang digunakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filtrasi glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang
diberikan. Biopsi ginjal indikasi dan kontraindikasi dilakukan pada
keadaan di mana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
(New York Kidney Foundation, 2002)
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap komorbid, memperlambat
perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskuler, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana
penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya :
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
(ml/ menit/ 1,73 m3)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukan fungsi
ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60 – 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal