Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GAGAL GINJAL KRONIK


1. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, emngakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya , gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
reversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronik adalah
kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan
patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada
tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m² (KDIGO, 2012).

2. Prevalensi
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan
masyarakat global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang
meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK
meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian
penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global
mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review dan meta-
analysis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global
PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Diseasetahun 2010,
PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan
meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia,
perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari
BPJS kesehatan setelah penyakit jantung (DEPKES, 2017).
3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi beberapa stadium berdasarkan
klinis dan klasifikasi tekanan darah yaitu :
Stadium Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan klinis
LFG
Derajat Deskripsi
(mL/menit/1,73 m3)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
Grade 1 ≥ 90
atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 2 60-89
LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 3a 45-59
LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 3b 30-44
LFG sedang-berat
Kerusakan ginjal dengan penurunan
Grade 4 15-29
LFG berat
Gagal ginjal kronik (end stage renal
Grade 5 < 15
disease/ ESRD)
(KDIGO, 2012)
Stadium Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan klasifikasi tekanan darah
Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal
LFG
Dengan TDT Tanpa TDT Dengan TDT Tanpa TDT
90 1 1 Hipertensi Normal
Hipertensi
60-89 2 2 dengan Penurunan LFG
penurunan LFG
30-59 3 3 3 3
15-29 4 4 4 4
< 15 5 5 5 5
4. Patofisiologi
Sejumlah penyakit di luar ginjal seperti diabetes mellitus dan hipertensi
dapat mengarah pada kerusakan jaringan ginjal. Jika jaringan ginjal yang
tersisa tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik maka kerusakan
ginjal akan semakin berkembang. Penurunan ekskresi ginjal memainkan
peranan penting terhadap perkembangan penyakit ginjal kronik (Suwitra,
2009).
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi di sisa glomeruli yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat yang kemudian diikuti dengan proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang tersisa. Sklerosis nefron ini
menyebabkan penurunan GFR, berakibat pada peningkatan kreatinin plasma,
peningkatan yang kurang nyata pada konsentrasi zat yang direabsorpsi di
tubulus ginjal karena terganggunya proses reabsorpsi. Pada penyakit ginjal
kronik reabsorpsi Na+ dan air terhambat yang menyebabkan pengurangan
reabsorpsi zat lainnya seperti fosfat, asam urat, HCO3, urea, glukosa, asam
amino yang terhambat oleh berbagai faktor seperti peptida natriuretik dan
PTH (Skorecki K et al., 2005).
Terganggunya reabsorpsi asam urat akan menyebabkan pengendapan
asam urat terutama pada persendian dan berakibat terjadinya gout. Retensi
oksidan oleh ginjal meningkatkan stres oksidatif dan inflamasi. Stres oksidatif
dan penurunan eliminasi ginjal menyebabkan peningkatan toxin uremia
(contoh acetonine, hippurate, indol, metilglyoxal, fenol, hemosistein,
dimetilarginin (ADMA), dll). Zat tersebut memberikan efek toksik melalui
mekanisme yang berbeda. ADMA menghambat sintesis NO dan
menyebabkan iskemia dan peningkatan tekanan darah. Metilglyoxal memicu
apoptosi sel dan terlibat dalam patofisiologi sel darah (mempercepat
degradasi eritrosit dan penurunan fungsi leukosit). Konsentrasi urea yang
tinggi dapat mengganggu kestabilan protein dan menyebabkan penyusutan
sel. Degradasi urea menghasilkan amonia yang menyebabkan halitosis
(uremik fetor), dan bermanifestasi pada keluhan gastrointestinal seperti mual,
tukak lambung, diare (Silbernagl dan Lang, 2016).
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan produksi eritropoietin
yang menyebabkan anemia, dan berefek pada aktivasi tonus simpatis.
Produksi intrarenal yaitu renin dan prostaglandin dapat meningkat (pada
kasus iskemia) dan dapat juga menurun (pada kematian renin atau sel-sel
penghasil prostaglandin). Peningkatan renin dan penurunan produksi
prostaglandin akan meningkatkan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron yang
bermanifestasi terjadinya hipertensi. Hipertensi akan memperparah
perkembangan penyakit ginjal kronik (Wish, 2003).
Penyakit ginjal kronik menyebabkan hilangnya inaktivasi hormon
ginjal, yang dapat memperlambat siklus regulasi hormon. hiperinsulinemia
menyebabkan hipoglikemia, hiperprolaktinemia menyebabkan penghambatan
pelepasan gonadotropin kemudian berefek pada pengurangan kadar estrogen
dan testosteron dalam plasma (amenore dan impotensi). Penurunan absorpsi
asam lemak bebas oleh ginjal berkontribusi terjadinya hiperlipidemia yang
menyebabkan penurunan gluconeogenesis dan menimbulkan hipoglikemia.
Penurunan formasi dan ekskresi ammonia menyebabkan asidosis dan
mengaktifkan stimulasi katabolisme protein (Silbernagl dan Lang, 2016).
Peningkatan NaCl dan air yang beredar pada volume ekstraseluler
mengakibatkan hipervolemia dan edema. Komplikasi serius yang terjadi
adalah edema pulmo. Jika didominasi oleh air, osmotik akan mengarah pada
peningkatan cairan pada volume intraseluler menyebabkan terjadinya edema
cerebral (Silbernagl dan Lang, 2016).
Hipervolemia berakibat pada meningkatnya pelepasan faktor natriuretik
yang akan menghambat NaKATPase. Penghambatan ini akan menyebabkan
penurunan konsentrasi kalium intraseluler berefek pada depolarisasi sel dari
berbagai jaringan. Konsentrasi natrium intraseluler naik yang akan
mengganggu pertukaran natrium dan kalsium, dan dengan demikian
konsentrasi intraselular dari kalsium juga meningkat. Konsekuensi
depolarisasi adalah eksitasi neuromuskular yang abnormla (polineuropati,
kebingungan, koma, kejang), akumulasi seluler dari klorida, dan
pembengkakan sel. Peningkatan konsentrasi kalsium intraselular
menyebabkan vasokonstriksi dan juga pelepasan hormon yang meningkat
(misalkan gastrin, insulin) dan peningkatan efek hormonal (misalkan
epinefrin) (Silbernagl dan Lang, 2016).
Abnormalitas metabolisme mineral berkontribusi pada timbulnya gejala
gagal ginjal. Jika GFR mengalami penurunan kurang dari 20%, fosfat yang
terfiltrasi akan lebih sedikit dibandigkan yang terabsorbsi. Selanjutnya jumlah
fosfat yang terfiltrasi akan menghilang dan berakibat pada hilangnya
reabsorbsi, eksreksi ginjal, tidak mampu menjaga absorbsi melalui usus, dan
terjadi peningkatan konsentrasi fosfat. Fosfat akan terikat dengan kalsium
membentuk kalsium fosfat, yang menyebabkan penimbunan kalsium fosfat
pada pada dinding vaskular dan berbagai jaringan seperti sendi (arthritis) dan
kulit. Kalsium fosfat memiliki sifat tidak mudah larut, dan menjadi pencetus
asidosis. Hiperfosfatemia pada keadaan asidosis berdampak pada kalsifikasi
vaskular. Kalsifikasi dicetuskan oleh aldosteron, yang mengaktifkan fosfatase
alkali melalui kaskade pensinyalan osteoinduktif yang mencakup faktor
transporter1 (PIT1), TNF-a, TGF-β1, transkripsi faktor MSX2, CBFA1 /
RUNX2, dan osterix. Alkaline fosfatase pada gilirannya meningkatkan
presipitasi kalsium fosfat (Silbernagl dan Lang, 2016).
Bila kalsium membentuk kompleks dengan fosfat, konsentrasi kalsium
akan menurun. Hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar
paratiroid, memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Efeknya adalah terjadinya
degradasi tulang yang cepat (osteitis fibrosa). Secara umum PTH menurun,
dengan penghambatan simultan reabsorpsi ginjal fosfat, plasma konsentrasi
fosfat sehingga, mobilisasi kalsium fosfat dari tula
ng, produk kelarutan dalam plasma tidak terlampaui dan konsentrasi kalsium
dapat meningkat. Pada gagal ginjal, bagaimanapun, ekskresi ginjal tidak
dapat ditingkatkan, konsentrasi fosfat plasma meningkat, CaHP04
diendapkan, dan konsentrasi kalsium di plasma tetap rendah. Oleh karena itu
pelepasan PTH terus berlanjut. Stimulus sekresi yang jarang dari kelenjar
paratiroid yang mengalami hipertrofi, akan melepaskan jumlah PTH yang
lebih besar. Reseptor PTH yang terdapat di berbagai macam organ seperti
sistem saraf, lambung, sel darah, dan gonad, selain ginjal dan tulang. PTH
memainkan peranan penting dalam perkembangan abnormalitas dari organ-
organ tersebut (Slatopolsky et al., 1999).
Produksi kalsitriol berperan dalam menyebabkan penurunan
metabolisme mineral pada gagal ginjal. Normalnya, hormon ini merangsang
penyerapan kalsium dan fosfat di usus. Kekurangan hormon kalsitriol akan
mengurangi penyerapan fosfat di usus dan memperburuk keadaan
hipokalsemia. Kekurangan hormon kalsitriol akan berkembang menjadi
penyakit tulang dinamik dan osteomalasia. Terdapat reseptor kalsitriol di
berbagai organ. Efek kalsitriol yaitu imunosupresi, dan defisiensi kalsitriol
berperan dalam peningkatan proses inflamasi pada gagal ginjal. Penggantian
kalsitriol akan membahayakan pasien dengan gagal ginjal karena akan
merangsang penyerapan fosfat di usus (Silbernagl dan Lang, 2016).
Gambar 1. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik (Silbernagl dan Lang, 2016)
Gambar 2. Gangguan Keseimbangan Cairan pada Penyakit Ginjal Kronik
(Silbernagl dan Lang, 2016)
Gambar 3. Gangguan Keseimbangan Mineral pada Penyakit Ginjal Kronik
(Silbernagl dan Lang, 2016)
5. Diagnosis
1) Anamnesis
 Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, infeksi saluran kemih,
hiperurisemia, lupus, hipertensi dalam kehamilan (pre-eklamsia,
abortus spontan), konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba,
kemoterapi, antiretroviral, proton pump inhibitor, paparan zat kontras.
 Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi ;
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurisemia, SLE
b) Sindrom urisemia : lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, klorida).
 Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi
sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai
apa ada pGK yang diturunkan [sindrom Alport atau Fabry, sistinuria]
atau paparan nefiotoksin dari lingkungan (logam berat).
2) Pemeriksaan Fisik
 Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target
organ : funduskopi, pemeriksaan prekordial (heaving ventrikel kiri,
bunyi jantung IV).
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati
 Gangguan endokrin-metabolik: amenorrhea, malnutrisi, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual.
 Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin
(uremic fetor), disgelsia (metaltic taste), konstipasi
 Gangguan neuromuskular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus,
fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
 Gangguan dermatologis: palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis,
uremic frost, nephrogenic fibrosing dermopathy
3) Pemeriksaan Penunjang
 Gambaran laboratorium :
a) Sesuai penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin plasma, penurunan LFG yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft Gault. Kadar kreatinin serum saja
tidak bisa dipakai untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c) Kelainan biokimiawi darah : penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan urinalisis : proteinuria, hematuria, leukosituria, cast,
isostenuria
 Gambaran radiologis :
a) Foto polos abdomen : bisa tampak radioopak
b) Pielografi intravena jarang digunakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filtrasi glomerulus, di samping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi
 Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang
diberikan. Biopsi ginjal indikasi dan kontraindikasi dilakukan pada
keadaan di mana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
(New York Kidney Foundation, 2002)
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap komorbid, memperlambat
perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskuler, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana
penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya :
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
(ml/ menit/ 1,73 m3)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukan fungsi
ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60 – 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,
biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun
sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat (Skorecki et al., 2005).
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Monitoring terhadap kecepatan penurunan LFG pada penyakit ginjal
kronik berguna untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid tersebut antara lain
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas dasarnya (Skorecki et al., 2005).
c. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua hal yang terpenting untuk mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus adalah :
1) Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/
menit/ 1,73 m3, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan
protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/ kgBB/ hari,
yang 0,35-0,50 gram di antaranya merupakan protein nilai biologi
tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.
Dibutuhkan pemantauan terhadap status nutrisi pasien, bila terjadi
malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.
Pembatasan protein ini untuk mencegah pemecahan protein menjadi
urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui
ginjal. Apabila protein yang diberikan terlalu banyak akan terjadi
pengendapan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Pembatasan asupan protein juga dapat mencegah peningkatan aliran
darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan
progesifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
akan mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
LFG Fosfat
Asupan protein g/kg/hari
ml/menit g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
0,6-0,8/kg/hari termasuk ≥ 0,35
25-60 ≤ 10 g
gr/kg/hari nilai biologi tinggi
0,6-0,8/kg/hari termasuk ≥ 0,35
protein nilai biologi tinggi atau
5-25 ≤ 10 g
tambahan 0,3 gram asam amino
esensial atau asam keton
0,8/kg/hari (+1 gram protein/
<60
gram proteinuria atau 0,3 g/kg
(sindrom ≤9g
tambahan asam amino esensial
nefrotik)
atau asam keton
2) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis penting untuk mengurang hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskuler dan memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi terutama adalah
ACE inhibitor yang terbukti dapat memperlambat proses perburukan
fungsi ginjal melalui mekanisme antihipertensi dan antiproteinuria.
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit
kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit (Wang dan Chan, 2003).
e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.
1) Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik yang
disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Evaluasi terhadap anemia
dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30%
meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ serum iron,
TIBC, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis. Penatalaksanaan ditujukan pada
penyebab utamanya, pemberian eritropoietin merupakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO status besi harus selalu
diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus
berhati-hati berdasarkan indikasi dan pemantauan yang tepat.
Transfusi darah yang tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan
cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Target
hemoglobin adalah 11-12 g/dL (Wish, 2003).
2) Osteodistrofi renal
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1,25(OH)2D3). Mengatasi hiperfosfatemia :
- Pembatasan asupan fosfat : pemberian diet rendah fosfat sejalan
dengan diet pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu
tinggi kalori, diet rendah protein, rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan
seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/ hari.
- Pemberian pengikat fosfat : garam kalsium, aluminium hidroksida,
garam magnesium. Garam-garam diberikan secara oral untuk
menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3)
dan kalsium asetat.
- Pemberian bahan kalsium mimetik : sejenis obat yang mampu
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid.
Pemberian kalsitriol
Pemakaiannya dibatasi untuk diberikan kepada pasien dengan kadar
fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali
normal (Goodman, 2002).
3) Pembatasan cairan dan elektrolit
Bertujuan untuk mencegah edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air
yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit
yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium diterapkan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Kadar kalium yang
dianjurkan 3,5-5,5 mEq/ lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema, disesuaikan dengan tingginya
tekanan darah dan derajat edema yang terjadi (Wang dan Chan, 2003).
f. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5 yaitu LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Rahardjo
et al., 2009).
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu
tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dua kompartemen yang
terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat.
Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi
larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang
terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang rendah sampai
tercapai keseimbangan. Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari
kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara
menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat.
Perpindahan kecepatan perpindahan zat terlarut akan tinggi apabila
perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, diberi tekanan
hidrolik di kompartemen darah, bila tekanan osmotik di kompartemen
cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah
dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada
awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai
konsentrasinya sama di kedua kompartemen (Daugirdas, 1994).
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat
sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan
yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke
dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan
dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan
dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang
dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan
melewati membran semipermeabel yang memiliki pori-pori kecil
sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea,
natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran
dilhalisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin.
Kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/ml dengan melakukan
desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar
135-145 meq/L (Rahardjo et al., 2009)
Terdapat dua macam jenis cairan dialisis yaitu cairan asetat dan
bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat
menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi
vasodilatasi. Vasodilatasi ini akan mengurangi kemampuan
vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk
memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis.
Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke
dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada
pasien dengan penyakit ginjal dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi.
Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh yang akan
mengaktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan
darah. Karena itu, pada dialisis perlu diberikan heparin. Ada tiga teknik
yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Teknik
heparin rutin merupakan teknik yang paling sering digunakan sehari-hari,
heparin diberikan dengan cara bolus diikuti continous infusion. Pada
kasus dengan risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik
heparin minimal dan teknik bebas heparin. Jumlah dan tekanan darah
yang mengalir ke dialiser harus memadai sehingga perlu suatu akses
khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah
dibuatkan fistula dengan arteri radialis atau ulnaris. Komplikasi akut dari
tindakan hemodialisa ini adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah,
sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Rahardjo et al., 2009)
Hemodialisa biasa dilakukan 2 kali dalam seminggu dan dilakukan
selama 5 jam. Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan diukur
dengan istilah adekuasi dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan
menghitung urea reduction ratio (URR) dan KT/V. URR dihitung dengan
mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar
ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada dialisis 2 kali
seminggu dialisis dianggap cukup bila URR > 80%. Cara lain menghitung
adekuasi dengan menghitung KT/N, melihat nilai ureum pra dan pasca
dialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisa 3 kali
seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8.
Pada umumnya indikasi dialisis pada penyakit ginjal kronik adalah bila
laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 ml/menit. Keadaan
pasien yang hanya mempunyai TKK < 5 ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari
hal ini yaitu keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, K serum > 6
meq/L, ureum darah 200 mg/dL, pH darah < 7,1, anuria berkepanjangan
(> 5 hari), fluid overload (Daugirdas, 1994).
7. Komplikasi
LFG
Derajat Penjelasan Komplikasi
(ml/menit)
Kerusakan ginjal
1 ≥ 90
dengan LFG normal
Kerusakan ginjal Tekanan darah mulai
2 dengan penurunan 60-89 meningkat
LFG ringan
Penurunan LFG - Hiperfosfatemia
3 sedang 30-59 - Hipokalsemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosisteinemia
Penurunan LFG berat - Malnutrisi
- Asidosis metabolik
4 15-29 - Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
Gagal ginjal - Gagal jantung
5 < 15
- Uremia
(Mackenzie dan Brenner, 1999)
8. Prognosis
Penting sekali untuk merujuk pasien penyakit ginjal kronik stadium 4 dan
5. Terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi
penggantian ginjal) berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas
setelah dialisis dimulai. Pada titik ini, pasien lebih baik ditangani bersama
oleh pelayanan kesehatan tingkat primer bersama nefrologis. Selama fase
ini, perhatian harus diberikan terutama dalam memberikan edukasi pada
pasien mengenai terapi penggantian ginjal (hemodialisis, dialisis
peritoneal, transplantasi) dan pemilihan akses vaskular untuk hemodialisis.
Bagi kandidat transplantasi, evaluasi donor harus segera dimulai.
DAFTAR PUSTAKA

Lang F, Silbernagl S (2016). Chronic renal failure. Dalam: Color Atlas of


Pathophysiology 3rd Edition, page 120-123. USA: Thieme Publishers New York.
Suwitra K (2009). Penyakit ginjal kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V, halaman 1035-1040. Jakarta: Interna Publishing
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono (2009). Hemodialisis. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V, halaman 1050-1052. Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
New York National Kidney Foundation (2002). Clinical practice
guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and stratification.
Mackenzie HS, Brenner BM (1999). Chronic renal failure and its systemic
manifestations. In: Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephorlogy and
hypertension. Philadelphia: WB Saunders page 463-473.
Skorecki K, Jacob G, Brenner BM. Chronic renal failure. Harrison’s
principles of internal medicine. In: Kasper, Braunwald, Fauci, et al., editors, 16th
edition, volume 1. New York: McGraw-Hill, page 1551-1561.
Slatopolsky E, Brown A, Dusso A, et al. (1999). Pathogenesis of
secondary hyperparathyroidism.
Wei W, Chan L (2003). Chronic renal failure: manifestation and
pathogenesis. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins page 456-497.
Wish JB (2003). Anemia associated with renal failure. Philadelphia:
Henley & Belfus page 163-165.
Goodman WG (2002). Medical management of secondary
hyperparathyroidism in chronic renal failure.
Daugirdas JT (1994). Chronic hemodialysis prescription: a urel kinetic
approach. Dalam: Handbook of dialysis edisi 2 halaman 92-120.
Kementrian Kesehatan RI (2017). Situasi penyakit ginjal kronis.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai