Anda di halaman 1dari 50

PRESENTASI KASUS

SEORANG PEREMPUAN 79 TAHUN DENGAN CEPHALGIA AKUT,


VOMITUS EC SUBARACHNOID HEMORRHAGE

Periode : 12 Februari – 11 Maret 2018

Oleh :
Kevin Pieter Toman G99161052
Peter Darmaatmaja S G99162143
Rully Prasetyo S G99161002
Trisna Rizki Prasetyo G99172017

Pembimbing
dr. Baarid, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Penderita
Nama : Ny. J
Umur : 79 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bayas Sambirejo Jumantono Karanganyar Jawa Tengah
No. RM : 01410xxx
Status : Menikah
Pekerjaan : Pedagang
Masuk Bangsal : 25 Februari 2018
Pemeriksaan : 25 Februari 2018
II. DATA DASAR
A. Keluhan Utama :
Nyeri kepala
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan rujukan dari RS Islam Kustati dengan
subarachnoid hemorrhage. Pasien masuk ke RS Islam Kustati pada
tanggal 16 Februari 2018 dengan sakit kepala hebat yang terjadi
mendadak disertai dengan muntah. Saat kejadian berlangsung pasien
sedang berjualan di pasar, tiba-tiba pasien pingsan dalam keadaan
duduk. Kemudian oleh orang-orang di pasar, pasien dibawa ke RS
Islam Kustati. Tekanan darah pasien saat di RS Islam Kustati 260/110
mmHg. Pada tanggal 20 Februari 2018, dilakukan pemeriksaan CT-
Scan Kepala dengan hasil perdarahan subarachnoid. Keluhan kejang,
kelemahan anggota gerak, bicara pelo, pandangan mata dobel disangkal
oleh pasien. Pasien dirujuk ke RSDM karena ketidaktersediaan obat

1
nimodipine di RS Kustati.
Saat ini keluhan yang dirasakan pasien, nyeri kepala tetapi sudah
berkurang, dan nafsu makan berkurang. Pasien mengaku BAB baru satu
kali sejak dirawat di rumah sakit, BAK tidak ada keluhan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : (+) sejak lama, tidak terkontrol
3. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
4. Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat sakit ginjal : : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat trauma : disangkal
8. Riwayat stroke : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat sakit serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : anak pasien
3. Riwayat sakit gula : disangkal
4. Riwayat sakit paru : disangkal
5. Riwayat sakit jantung : disangkal
6. Riwayat stroke : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat makan : pasien makan 3x sehari dengan
nasi, lauk pauk, dan sayur.
2. Riwayat minum obat bebas : disangkal
3. Riwayat merokok : disangkal
4. Riwayat minum : disangkal
5. Riwayat olah raga teratur : jarang

2
F. Riwayat sosial ekonomi
Penderita adalah seorang perempuan berusia 79 tahun. Pasien
adalah seorang pedagang di pasar. Pasien berobat dengan menggunakan
biaya umum.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 25 Februari 2018.
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum sakit sedang, compos mentis GCS E4V5M6, kesan gizi
cukup
Tanda Vital TD : 150/90 mmHg
Nadi : 90x/ menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36°C (per axiller)
VAS : 5 di kepala
Status gizi BB : 60 kg
TB : 158 cm
BMI : 24 kg/m2
Kesan : status overweight
Kepala Mesocephal, atrofi m temporalis (-), rontok (-), massa (-)
Mata Ptosis (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), edema palpebra (-/-),
strabismus (-/-), eksopthalmus (-/-)
Leher JVP R+2 cm, trakea di tengah, KGB membesar (-)
Kulit Warna sawo matang, turgor menurun (-), hiperpigmentasi
(-), kering (-), petechie (-), ikterik (-)
Thorax Normochest, simetris, retraksi intercostal (-), sela iga
melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-), KGB
supraklavikular (-/-), KGB infraklavikuler (-)

3
Cor I : Iktus cordis tak tampak
P : Iktus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis
sinistra, tidak kuat angkat
P : Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V linea
mediaclavicularis sinistra
Batas jantung kesan melebar
A : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler,
bising (-) gallop (-).
Pulmo Pulmo :
I : normochest, simetris, pengembangan dada kanan sama
dengan dada kiri
P : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri.
P : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC VI
linea medioclavicularis dextra et sinistra
A:Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan: wheezing
(-/-), ronkhi basah kasar (-/-), ronkhi basah halus (-/-),
Abdomen : I : Dinding perut sejajar dinding dada, ascites (-), striae (-),
ikterik (-)
A : Bising usus (+) 12x/menit, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
P : Timpani, ascites (-)
P : nyeri tekan (-), distended (-), hepar dan lien tak teraba

4
Ekstremitas Akral dingin Edema

_ _ - -

_ _ - -

STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran : GCS E4M5V6
Fungsi luhur : dalam batas normal

TANDA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Brudzinski III : (-)
Brudzinski IV : (-)
Kernig : (-)

N.CRANIALIS
N.II, III : Tajam penglihatan kesan baik
Lapang pandang kesan baik
Kesan tidak didapatkan buta warna
Pupil : bulat, iskokor, diameter pupil 3 mm/ 3mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya tidak langsung : +/+
N.III, IV, VI : Ptosis (-/-), Strabismus, (-) Nistagmus (-)
Gerakan bola mata dalam batas normal
N.V : Sensibilitas : V.1: baik
V.2: baik
V.3: baik
5
Membuka dan menutup mulut : baik
Menggigit : baik
N.VII : Kerutan dahi : simetris kanan dan kiri
Menutup mata : kelopak mata kanan dan kiri menutup
dengan sempurna
Menyeringai : plika nasolabialis kanan dan kiri simetris
N.VIII : Pendengaran: mendengar suara bisikan, kanan dan kiri baik
N.IX, X : Disfonia (-)
Arcus faring : simetris
Uvula : ditengah
Gag reflex (+)
N.XI : sulit dievaluasi
N.XII : Lidah saat dijulurkan : tidak ada deviasi
Lidah saat diam : tidak ada deviasi
Atrofi lidah : tidak ada

MOTORIK
Tonus : Normotonus │ Normotonus
Normotonus │ Normotonus

Kekuatan : 555│ 555


555│ 555

REFLEKS FISIOLOGIS
Refleks Biceps : +2/+2
Refleks Triceps : +2/+2
Refleks Patella (KPR) : +2/+2
Refleks Achilles (APR) : +2/+2

6
REFLEKS PATOLOGIS
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Schaeffer : -/-
Openheim : -/-
Gordon : -/-
Stranski : -/-
Gonda : -/-
Hoffman-Trommer : -/-

SENSORIK
Proprioseptif : dalam batas normal
Eksteroseptif : dalam batas normal
Nyeri : dalam batas normal
Suhu : dalam batas normal
Taktil : dalam batas normal

FUNGSI KOORDINASI
Sulit dievaluasi

FUNGSI COLLUMNA VERTEBRALIS


Patrick : (-)
Contrapatrick : (-)
Laseque : (-)
Contralaseque : (-)
Kernig : (-)

FUNGSI OTONOM
Miksi : tidak ada gangguan
Defekasi : tidak ada gangguan

7
SIRIRAJ SCORE
= (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x diastol) – (3 x
ateroma) – 12
= (2,5 x 0) + (2 x 1) + (2 x 1) + (0,1 x 90) – (3 x 0) – 12
=1

8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium darah (25 Februari 2018) di RS Dr. Moewardi

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


HEMATOLOGI RUTIN
Hb 15.6 g/dl 12,0 – 15,6
Hct 48 % 33 – 45
AL 14.6 103/ L 4,5 - 11,0
AT 281 103 / L 150 – 450
AE 6.07 106/ L 4,10 - 5,10
HEMOSTASIS
PT 15.5 Detik 10,0 – 15,0
APTT 25.3 Detik 20,0 - 40,0
INR 1.320

KIMIA KLINIK
GDS 129 mg/dl 60 – 140
SGOT 37 /L < 31
SGPT 36 /L < 34
Creatinine 1.3 mg/dl 0,9 - 1,3
Ureum 84 mg/dl < 50
ELEKTROLIT
Natrium darah 135 mmol/L 136 -145
Kalium darah 3.9 mmol/L 3,3 - 5,1
Kalsium darah 1.23 mmol/L 1.17 – 1.29
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Reactive Nonreactive

B. EKG

9
Bacaan :
Sinus rhytm, 90 bpm, normo axis, konfigurasi LVH Cornell

C. Radiologi
Foto CT-Scan Kepala Axial tanpa Kontras (20 Februari 2018) di RS
Islam Kustati Surakarta
10
Bacaan :
- Tampak lesi hiperdense yang mengisi sulci di regio temporoparietalis
kanan kiri dan di sisterna serta di falx cerebri.
- Sulci dan gyri merapat.
- Tak tampak midline shifting.
- Sisterna ventrikel dan sisterna menyempit.
- Pons, cerebellum, dan cerebelopontine angle normal.
- Orbita, sinus paranasal dan mastoid kanan kiri normal.
- Calvaria intak.
Kesimpulan :

11
- SAH di regio temporoparietalis kanan kiri dan SDH di sisterna serta di
falx cerebri.
- Brain oedem.

V. ASSESSMENT
Klinis : Cephalgia akut, vomitus
Topis : Subarachnoid
Etiologi : Subarachnoid hemorrhage

VI. TERAPI
1. Head up 30o C
2. O2 Nasal kanul 3 lpm
3. Infus Ringer Laktat 20 tpm .
4. Inj. Ketorolac 30 mg /12 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
6. Inj. Metoclopramide 10 mg/8 jam
7. Nimodipine 4 x 60 mg p.o
8. Triple H

VII. PLAN
1. Monitoring KUVS, VAS
2. Edukasi keluarga
3. Mengurus protokol nimodipin
4. Cek laboratorium puasa

BAB II
FOLLOW UP

12
26/02/2018 S : nyeri kepala
06.00 O:
Onset 11 Vital sign : TD 140/80 mmHg
RR 18 x/menit
N 82 x/menit
T 36.5 OC
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi luhur : dalam batas normal
Cara berbicara dalam batas normal
Meningeal sign : kaku kuduk (-)
Nn. Craniales
N. II, N.III = pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+)
N. III, N. IV, N. VI = gerak bola mata dalam batas normal
N. VII, N. XII = dalam batas normal

Fungsi motorik :
Kekuatan Tonus
333 555
N N
+4+4+4 555 N N

R. Fisiologis R. Patologi

+2/+2 +2/+2 - -

+2/+2 +2/+2 - -

Fungsi sensorik : dalam batas normal


Fungsi otonom : dalam batas normal
Fungsi kolumna vertebralis : dalam batas normal

A:
Klinis : Cephalgia akut, vomitus
Topis : Subarachnoid space
13
Etiologi : Subarachnoid hemorrhage

P:
1. Head up 30o C
2. O2 Nasal kanul 3 lpm
3. Infus Ringer Laktat 20 tpm .
4. Inj. Ketorolac 30 mg /12 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
6. Inj. Metoclopramide 10 mg/8 jam
7. Nimodipine 4 x 60 mg (PO)

Plan :
1. Usul pindah unit stroke
2. Konsul jantung

Hasi Laboratorium (26 Februari 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
KIMIA KLINIK
HbA1c 6.5 % 4.8 – 5.9
Glukosa Darah
110 Mg/dl 70 – 110
Puasa
Glukosa 2 jam
147 Mg/dl 80 – 140
PP
Asam Urat 7.7 Mg/dl 2.4 – 6.1
Kolesterol Total 247 Mg/dl 50 – 200
Kolesterol LDL 188 Mg/dl 96 – 206
Kolesterol HDL 39 Mg/dl 33 – 92
Trigliserida 184 Mg/dl <150
Radiologi : Ro Thorax PA (26 Februari 2018)

14
Bacaan:
Cor: membesar dengan CTR 61%
Paru: tak tampak infiltrate di kedua lapang paru, coracan bronkovaskuler normal
Sinus costophrenicus dextra sinistra tajam
Hemidiaphragma dextra sinistra normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik

Kesimpulan:
Cardiomegaly

15
27/02/2018 S : nyeri kepala
06.00 O:
Onset 12 Vital sign : TD 200/100 mmHg
RR 20 x/menit
N 90 x/menit
T 36.8 OC
Kesadaran : GCS E3V5M6
Fungsi luhur : dalam batas normal
Cara berbicara dalam batas normal
Meningeal sign : kaku kuduk (+)
Nn. Craniales
N. II, N.III = pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+)
N. III, N. IV, N. VI = gerak bola mata dalam batas normal
N. VII, N. XII = dalam batas normal

Fungsi motorik :
Kekuatan Tonus
333 555
N N
+4+4+4 555 N N

R. Fisiologis R. Patologis

+2/+2 +2/+2 - -

+2/+2 +2/+2 - -

Fungsi sensorik : dalam batas normal


Fungsi otonom : dalam batas normal
Fungsi kolumna vertebralis : dalam batas norma
A:
Klinis : Cephalgia akut, kaku kuduk
Topis : Subarachnoid space
Etiologi : Subarachnoid hemorrhage
16
P:
1. Head up 30o C
2. O2 Nasal kanul 3 lpm
3. Infus Ringer Laktat 20 tpm .
4. Inj. Ketorolac 30 mg /12 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
6. Inj. Metoclopramide 10 mg/8 jam
7. Nimodipine 4 x 30 mg (PO)
8. Atrovastatin 1 x 10 mn (PO)

Plan:
Lewat fase akut
28/02/2018 S : nyeri kepala, mengantuk
06.00 O:
Onset 13 Vital sign : TD 140/65 mmHg
RR 24 x/menit
N 68 x/menit
T 36.8 OC
Kesadaran : GCS E3V4M5
Fungsi luhur : dalam batas normal
Cara berbicara dalam batas normal
Meningeal sign : kaku kuduk (+)
Nn. Craniales
N. II, N.III = pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+)
N. III, N. IV, N. VI = gerak bola mata dalam batas normal
N. VII, N. XII = dalam batas normal

Fungsi motorik :
Kekuatan Tonus
333 555
N N
+4+4+4 555 N N

17
R. Fisiologis R. Patologi

+2/+2 +2/+2 - -

+2/+2 +2/+2 - -

Fungsi sensorik : dalam batas normal


Fungsi otonom : DC Catether
Fungsi kolumna vertebralis : dalam batas normal

A:
Klinis : Cephalgia akut, kaku kuduk
Topis : Subarachnoid space
Etiologi : Subarachnoid hemorrhage

P:
1. Head up 30o C
2. O2 Nasal kanul 3 lpm
3. Infus Ringer Laktat 20 tpm .
4. Inj. Ketorolac 30 mg /12 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
6. Inj. Ampicillin Sulbactam 1.5 gram/8 jam
7. Nimodipine 4 x 30 mg (PO)
8. Atrovastatin 1 x 10 mn (PO)

Plan:
Lewat fase akut

18
BAB III

19
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Saraf Pusat


Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk
oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan
duramater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan
pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus
dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih
kecil yang disebut lobus.1

Gambar 3. Bagian-bagian Otak

1. Serebrum (Otak Besar)


Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai
parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus
frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal.1
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah
serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan
20
bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke
ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk
menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang
berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis
rangsangan somatik.1
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus
sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk
mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai
pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol
aktivitas intelektual.1
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari
lobus oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari
ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.1
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus
temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata.1
Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi
menjadi beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat
pada gambar di bawah ini.

21
Gambar 4. Area Otak

2. Serebelum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar
kedua otak. Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala,
berada di belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat
dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam
mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak
fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh,
mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain
itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.2
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung,
pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat
massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa

22
muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan
menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun. Batang otak terdiri
dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah
bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum
dan serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak
tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur
gerakan tubuh dan pendengaran.1
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial
posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons.1
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari
batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis.
Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX,
X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan
VIII berada pada perhubungan dari pons dan medulla.1
Otak merupakan organ yang paling kompleks yang
mengkontrol dan meregulasi tubuh, merespon terhadap stress dan
ancaman, dan mengontrol fungsi kognitif. Otak juga menjaga
temperatur tubuh, membantu menginterpretasi indra khusus, dan
untuk berinteraksi sosial. Selain itu, otak berperan untuk menjaga
kerja tubuh secara optimal di lingkungan baik dengan melindungi
dan emelihara tubuh.3
Pengetahuan mengenai anatomi arteri di otak dapat membantu
dalam menentukan arteri mana yang terlibat dalam stroke akut.
Hemisfer otak disuplai oleh 3 pasang arteri besar : arteri serebri
anterior, media dan posterior. Arteri serebri anterior dan media
bertanggung jawab terhadap sirkulasi di bagian depan dan
merupakan cabang dari arteri karotis interna. Arteri serebri

23
posterior merupakan cabang dari arteri basilaris dan membentuk
sirkulasi pada bagian belakang otak, yang juga mensuplai talamus,
batang otak dan otak kecil. Arteri cerebri anterior mencabangkan
arteri komunikans anterior sehingga membagi dua segmen arteri
serebri anterior menjadi segmen proksimal dan distal.4 Cabang-
cabang kortikal dari arteri serebri anterior akan mensuplai darah
untuk daerah lobus frontalis, permukaan medial korteks serebri
sampai prekuneus, korpus kalosum, permukaan lateral dari girus
frontalis superior dan medius. Cabang-cabang sentralnya mengurusi
hipotalamus, area preoptika dan supraoptika, kaput nukleus kaudatus,
bagian anterior dari kapsula interna dan putamen.5,6
Arteri serebri media mencabangkan 4 segmen : segmen
horizontal yang memanjang hingga limen insula dan menyuplai arteri
lentikulostriata lateral, segmen insula, segmen operkulum, dan
segmen korteks bagian distal pada hemisfer lateral.4
Pada sirkulasi posterior, arteri vertebralis bersatu
membentuk arteri basilaris. Arteri serebri inferior posterior
merupakan cabang dari arteri vertebralis bagian distal sedangkan
arteri serebri inferior anterior merupakan cabang dari arteri basilaris
bagian proksimal. Arteri serebri superior merupakan cabang distal
dari arteri basilaris sebelum arteri basilaris bercabang dua
menjadi arteri serebri posterior4.
Adanya gangguan suplai darah yang melalui pembuluh-
pembuluh darah tersebut akan menimbulkan defisit neurologis yang
sesuai dengan fungsi-fungsi dari bagian otak yang terkena.
B. Stroke
1. Definisi Stroke
Stroke dapat diartikan sebagai ditemukannya manifestasi klinik dan gejala
terjadinya gangguan fungsi otak sebagian atau menyeluruh yang
berkembang secara cepat selama 24 jam atau lebih akibat adanya gangguan

24
peredaran darah di otak.7 Stroke merupakan penyakit cerebrovascular yang
terjadi karena adanya gangguan fungsi otak yang berhubungan dengan
penyakit pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak.8 Stroke juga biasa
disebut dengan brain attack atau serangan otak, yaitu terjadi ketika bagian
otak rusak karena kekurangan suplai darah pada bagian otak tersebut.
Oksigen dan nutrisi tidak adekuat yang dibawa oleh pembuluh darah
menyebabkan sel otak (neuron) mati dan koneksi atau hubungan antar
neuron (sinaps) menjadi hilang.9
2. Klasifikasi Stroke
Stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu:
a. Stroke Iskemik
Stroke Iskemik didefinisikan sebagai suatu sindrom yang
berkembang pesat dengan onset yang tiba-tiba atau akut, yang dikaitkan
dengan defisit neurologi non-epilepsi dengan batas gumpalan infark
yang jelas pada jaringan otak di dalam area pembuluh darah yang
berlainan. Stroke iskemik berkembang melalui beberapa mekanisme
yaitu karena atherosclerosis, kardioemboli, dan oklusi pada pembuluh
darah kecil atau biasa dikenal dengan sebagai lacunar stroke.10
Stroke iskemik mendominasi terjadinya stroke yaitu sekitar 80%.
Stroke iskemik terjadi karena terganggunya suplai darah ke otak yang
biasanya disebabkan karena adanya sumbatan pembuluh darah arteri
yang menuju otak. Stroke iskemik ini dapat dibagi menjadi dua tipe
utama, yaitu trombotik dan embolik. Stroke trombotik terjadi ketika
arteri tersumbat oleh pembentukan bekuan darah di dalamnya. Arteri
kemungkinan sudah rusak dikarenakan oleh endapan kolesterol
(atherosclerosis). Penyumbatan total kemungkinan selanjutnya terjadi
dikarenakan diikuti penggumpalan sel darah (trombosit) atau zat lainnya
yang biasa ditemukan di dalam darah. Stroke embolik yang juga
merupakan tipe stroke iskemik yang kedua juga disebabkan oleh
gumpalan dalam arteri, tetapi dalam kasus ini bekuan atau embolus

25
terbentuk di tempat lain selain di otak itu sendiri. Bahan-bahan ini bisa
menjadi bekuan darah (misal dari jantung) atau dari lemak (misal dari
arteri lain di leher - penyakit arteri karotis).9
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik jarang terjadi dan dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu Intracerebral Hemorrhage (ICH) dan Subarachnoid
Hemorrhage (SAH). ICH terjadi karena adanya perdarahan di dalam
otak dan biasanya sering terjadi karena tekanan darah tinggi.
Peningkatan tekanan yang tiba-tiba di dalam otak akibat perdarahan
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sel-sel otak yang dikelilingi
oleh pembuluh darah.
SAH merupakan jenis stroke hemoragik yang terjadi karena adanya
perdarahan dibagian antara otak dan jaringan yang melindungi otak, atau
biasa disebut dengan area subarachnoid. Penyebab SAH antara lain bisa
karena malformasi arteri vena, gangguang perdarahan, cedera kepala,
pengencer darah, dan pecahnya aneurisma. Pecahnya aneurisma menjadi
penyebab SAH yang sering terjadi.11
Aneurisma yang pecah pada SAH berasal dari pembuluh darah
sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim
otak. Arteri yang pecah dan keluar ke ruang subarachnoid akan
menyebabkan tekanan intra kranial meningkat mendadak yang dapat
mengakibatkan meregangnya struktur peka nyeri sehingga timbul nyeri
kepala hebat. Peningkatan tekanan intra kranial juga mengakibatkan
terjadinya vasospasme pembuluh darah serebral yang dapat
menyebabkan terjadinya disfungsi otak global (penurunan kesadaran,
sakit kepala) maupun fokal (hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia,
dan lain-lain).12
Selain dari dua klasifikasi di atas, terdapat jenis stroke lain yaitu
Transient Ischemic Attacks (TIA). TIA yang biasa disebut dengan mini
strokes merupakan gangguan neurologis lokal yang terjadi selama

26
beberapa menit sampai beberapa jam saja dan gejala yang timbul akan
hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.12
Kondisi yang terjadi pada TIA yaitu dimana bagian otak mengalami
kehilangan fungsinya sementara atau temporer dikarenakan adanya
gangguan singkat pada aliran darah otak lokal, berlangsung kurang dari
24 jam. Pencegahan stroke sangat krusial atau penting sekali untuk yang
terkena TIA meskipun tidak menimbulkan kecacatan yang permanen
tetapi hal ini merupakan sebuah tanda peringatan yang sangat dari stroke
yang akan datang.9
3. Faktor Risiko
Faktor risiko stroke dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan faktor yang
berupa karakteristik atau sifat pada seseorang yang dapat meningkatkan
kemungkinan berkembangnya suatu penyakit tertentu. Faktor risiko
stroke yang tidak dapat dimodifikasi yaitu faktor yang berupa
karakteristik atau sifat pasien yang tidak dapat diubah. Contoh dari
faktor ini yaitu usia, jenis kelamin, berat badan lahir rendah, ras, suku,
dan faktor genetik.10
b. Faktor yang dapat dimodifikasi
Faktor yang dapat dimodifikasi terdiri dari tingkatan pertama dan
kedua. Tingkat pertama faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi,
diurutkan dari tingkat banyaknya kejadian yaitu hipertensi, diabetes
mellitus, merokok, fibrilasi atrium dan disfungsi ventrikel kiri.
Tingkatan kedua yaitu terdiri dari kolesterol, hiperlipidemia,
asimtomatik karotid stenosis, sickle cell disease, terapi hormon
esterogen, diet, obesitas, alkohol, migrain, dan hiperkoagulasi.
Kebanyakan dari faktor risiko yang tingkatan kedua ini, memiliki
hubungan dengan pengembangan faktor risiko tingkat pertama, misalnya
obesitas merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dan

27
diabetes.10
Faktor risiko yang umumnya menyebabkan stroke yaitu tekanan
darah tinggi (hipertensi). Tekanan darah tidak boleh melebihi 140/90
mmHg. Tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan tingginya tekanan
di dinding arteri sehingga bisa menyebabkan bocornya arteri otak,
bahkan ruptur pada arteri otak yang akan mengakibatkan terjadinya
stroke hemoragik. Tekanan darah tinggi juga bisa menyebabkan stroke
iskemik yang dikarenakan oleh adanya atherosclerosis.9
4. Tanda dan Gejala Stroke
WHO (2016) menjelaskan bahwa gejala umum yang terjadi pada
stroke yaitu wajah, tangan atau kaki yang tiba-tiba kaku atau mati rasa dan
lemah, dan biasanya terjadi pada satu sisi tubuh saja. Gejala lainnya yaitu
pusing, kesulitan bicara atau mengerti perkataan, kesulitan melihat baik
dengan satu mata maupun kedua mata, sulit berjalan, kehilangan koordinasi
dan keseimbangan, sakit kepala yang berat dengan penyebab yang tidak
diketahui, dan kehilangan kesadaran atau pingsan. Tanda dan gejala yang
terjadi tergantung pada bagian otak yang mengalami kerusakan dan
seberapa parah kerusakannya itu terjadi.13
Serangan stroke dapat terjadi secara mendadak pada beberapa pasien
tanpa diduga sebelumnya. Stroke bisa terjadi ketika pasien dalam kondisi
tidur dan gejalanya baru dapt diketahui ketika bangun. Gejala yang dimiliki
pasien tergantung pada bagian otak mana yang rusak. Tanda dan gejala
yang umumnya terjadi pada stroke atau TIA yaitu wajah, lengan, dan kaki
dari salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan dan atau kaku atau mati
rasa, kesulitan berbicara, masalah pada penglihatan baik pada satu ataupun
kedua mata, mengalami pusing berat secara tiba-tiba dan kehilangan
keseimbangan, sakit kepala yang sangat parah, bertambah mengantuk
dengan kemungkinan kehilangan kesadaran, dan kebingungan.9
5. Dampak Stroke
Dampak yang umum terjadi setelah seseorang terkena stroke yaitu

28
masalah pada bagian fisiknya seperti kelemahan, mati rasa, dan kaku.
Masalah fisik lainnya yang dapat terjadi karena stroke yaitu dysphagia,
fatigue (kekurangan energi atau keletihan), foot drop (ketidakmampuan
untuk mengangkat bagian depan kaki), hemiparesis, inkontinensia, nyeri,
kelumpuhan atau paralisis, kejang dan epilepsi, masalah tidur, spasme otot
pada tangan dan kaki, dan masalah pada penglihatan. Stroke juga
menimbulkan dampak pada emosional seperti terjadinya depresi dan
pseudobulbar affect (PBA), dan dampak pada proses berpikir dan rasa ingin
tahu pasien yaitu aphasia, kehilangan memory, dan vascular dementia.11
Stroke akan menimbulkan kecacatan pada seseorang setelah terkena
stroke. Kecacatan yang ditimbulkan tergantung dari otak bagian mana yang
terserang dan seberapa parah kerusakan yang dialami. Seseorang yang
terkena stroke juga akan menimbulkan dampak seperti paralisis dan sukar
mengontrol pergerakan, gangguan sensoris dan nyeri, aphasia (masalah
dengan berbahasa), masalah dengan perhatian dan ingatan, dan gangguan
emosi.9
6. Penatalaksanaan Stroke
a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum yaitu berupa tindakan darurat sambil
berusaha mencari penyebab dan penatalaksanaan yang sesuai dengan
penyebab. Penatalaksanaan umum ini meliputi memperbaiki jalan napas
dan mempertahankan ventilasi, menenangkan pasien, menaikkan atau
elevasi kepala pasien 30° yang bermanfaat untuk memperbaiki drainase
vena, perfusi serebral dan menurunkan tekanan intrakranial, atasi syok,
mengontrol tekanan rerata arterial, pengaturan cairan dan elektroklit,
monitor tanda-tanda vital, monitor tekanan tinggi intrakranial, dan
melakukan pemeriksaan pencitraan menggunakan Computerized
Tomography untuk mendapatkan gambaran lesi dan pilihan
pengobatan.14
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

29
(PERDOSSI) (2011) penatalaksanaan umum lainnya yang dilakukan
pada pasien stroke yaitu meliputi pemeriksaan fisik umum, pengendalian
kejang, pengendalian suhu tubuh, dan melakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu berupa pemeriksaan
tekanan darah, pemeriksaan jantung, dan neurologi. Pengendalian kejang
pada pasien stroke dilakukan dengan memberikan diazepam dan
antikonvulsan profilaksi pada stroke perdarahan intraserebral, dan untuk
pengendalian suhu dilakukan pada pasien stroke yang disertai dengan
demam. Pemeriksaan penunjang untuk pasien stroke yaitu terdiri dari
elektrokardiogram, laboratorium (kimia darah, kadar gula darah, analisis
urin, gas darah, dan lain-lain), dan pemeriksaan radiologi seperti foto
rontgen dada dan CT Scan.15
b. Terapi farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa dilakukan untuk pasien
stroke yaitu pemberian cairan hipertonis jika terjadi peninggian tekanan
intra kranial akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-brain
Barrier), diuretika (asetazolamid atau furosemid) yang akan menekan
produksi cairan serebrospinal, dan steroid (deksametason, prednison, dan
metilprednisolon) yang dikatakan dapat mengurangi produksi cairan
serebrospinal dan mempunyai efek langsung pada sel endotel (Affandi
dan Reggy, 2016). Pilihan pengobatan stroke dengan menggunakan obat
yang biasa direkomendasi untuk penderita stroke iskemik yaitu tissue
plasminogen activator (tPA) yang diberikan melalui intravena. Fungsi
tPA ini yaitu melarutkan bekuan darah dan meningkatkan aliran darah ke
bagian otak yang kekurangan aliran darah.11
Penatalaksanaan farmakologi lainnnya yang dapat digunakan untuk
pasien stroke yaitu aspirin. Pemberian aspirin telah menunjukkan dapat
menurunkan risiko terjadinya early recurrent ischemic stroke (stroke
iskemik berulang), tidak adanya risiko utama dari komplikasi hemoragik
awal, dan meningkatkan hasil terapi jangka panjang (sampai dengan 6

30
bulan tindakan lanjutan). Pemberian aspirin harus diberikan paling cepat
24 jam setelah terapi trombolitik. Pasien yang tidak menerima
trombolisis, penggunaan aspirin harus dimulai dengan segera dalam 48
jam dari onset gejala.
c. Tindakan bedah
Penatalaksanaan stroke yang bisa dilakukan yaitu dengan
pengobatan pembedahan yang tujuan utamanya yaitu memperbaiki aliran
darah serebri contohnya endosterektomi karotis (membentuk kembali
arteri karotis), revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis komunis di leher
khususnya pada aneurisma (Muttaqin, 2008). Prosedur carotid
endarterectomy/ endosterektomi karotis pada semua pasien harus
dilakukan segera ketika kondisi pasien stabil dan sesuai untuk
dilakukannya proses pembedahan. Waktu ideal dilakukan tindakan
pembedahan ini yaitu dalam waktu dua minggu dari kejadian.17
Tindakan bedah lainnya yaitu decompressive surgery. Tindakan ini
dilakukan untuk menghilangkan haematoma dan meringankan atau
menurunkan tekanan intra kranial. Tindakan ini menunjukkan
peningkatan hasil pada beberapa kasus, terutama untuk stroke pada
lokasi tertentu (contohnya cerebellum) dan atau pada pasien stroke yang
lebih muda (< 60 tahun).17
d. Penatalaksanaan medis lain
Penatalaksanaan medis lainnya menurut PERDOSSI (2011) terdiri
dari rehabilitasi, terapi psikologi jika pasien gelisah, pemantauan kadar
glukosa darah, pemberian anti muntah dan analgesik sesuai indikasi,
pemberian H2 antagonis jika ada indikasi perdarahan lambung,
mobilisasi bertahap ketika kondisi hemodinamik dan pernapasan stabil,
pengosongan kandung kemih yang penuh dengan katerisasi intermitten,
dan discharge planning. Tindakan lainnya untuk mengontrol peninggian
tekanan intra kranial dalam 24 jam pertama yaitu bisa dilakukan
tindakan hiperventilasi. Pasien stroke juga bisa dilakukan terapi

31
hiportermi yaitu melakukan penurunan suhu 30-34°C. Terapi hipotermi
akan menurunkan tekanan darah dan metabolisme otak, mencegah dan
mengurangi edema otak, serta menurunkan tekanan intra kranial sampai
hampir 50%, tetapi hipotermi berisiko terjadinya aritmia dan fibrilasi
ventrikel bila suhu di bawah 30°C, hiperviskositas, stress ulcer, dan daya
tahan tubuh terhadap infeksi menurun.14.15
C. Perdarahan Subarakhnoid
1. Definisi
Perdarahan subaraknoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subaraknoid.18
Kejadian perdarahan subaraknoid berkisar antara 21.000 hingga 33.000
orang per tahun di Amerika Serikat.19 Mortalitasnya kurang lebih 50% pada
30 hari pertama sejak saat serangan, dan pasien yang bisa bertahan hidup
kebanyakan akan menderita defisit neurologis yang bisa menetap.20,21
Perdarahan subaraknoid adalah salah satu jenis patologi stroke yang sering
dijumpai pada usia dekade kelima atau keenam, dengan puncak insidens
pada usia sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan;
lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:23.
2. Etiologi
Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah
aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi
arteriovenosa (sekitar 5-10%) (tabel 1).18 Aneurisma sakuler biasanya
terbentuk di titik-titik percabangan arteri, tempat terdapatnya tekanan
pulsasi maksimal. Risiko pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi,
ukuran, dan ketebalan dinding aneurisma.22 Aneurisma dengan diameter
kurang dari 7 mm pada sirkulasi serebral anterior mempunyai risiko pecah
terendah; risiko lebih tinggi terjadi pada aneurisma di sirkulasi serebral
posterior dan akan meningkat sesuai besarnya ukuran aneurisma.23
Malformasi arteriovenosa (MAV) adalah anomali vaskuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh

32
satu atau lebih fistula. Daerah tersebut tidak mempunyai tipe kapiler
spesifik yang merupakan celah antara arteriola dan venula, mempunyai
dinding lebih tipis dibandingkan dinding kapiler normal.24 MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang
didapat terjadi akibat trombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.25

Tabel 1 Etiologi perdarahan subaraknoid


- Trauma dan cedera iatrogenik selama pembedahan
- Aneurisma serebral dan malformasi arteriovenosa
- Perdarahan perimesensefalik dan perluasan perdarahan intraserebral
- Vaskulitis
- Penyebab hematologik (DIC, hemofilia, purpura trombotik trombositopenik)
- Tumor susunan saraf pusat
- Diseksi arteria

3. Tanda, Gejala, dan Faktor Risiko


Gambaran klasik adalah keluhan tiba-tiba nyeri kepala berat, sering
digambarkan oleh pasien sebagai "nyeri kepala yang paling berat dalam
kehidupannya". Sering disertai mual, muntah, fotofobia, dan gejala
neurologis akut fokal maupun global, misalnya timbulnya bangkitan,
perubahan memori atau perubahan kemampuan konsentrasi, dan juga
meningismus. Pasien mungkin akan mengalami penurunan kesadaran
setelah kejadian, baik sesaat karena adanya peningkatan tekanan
intrakranial atau ireversibel pada kasus-kasus parah.26 Tabel 2
memperlihatkan beberapa tanda dan gejala klinis yang sering dijumpai
pada pasien perdarahan subaraknoid.19
Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subaraknoid berkisar antara
23% hingga 53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu
dievaluasi lebih cermat.27,28 Terjadinya misdiagnosis sering berhubungan
dengan status mental pasien yang masih normal, volume perdarahan

33
subaraknoid kecil, dan terjadinya aneurisma masih dini. Tabel 3
memperlihatkan beberapa faktor risiko perdarahan subaraknoid.29-32

Tabel 2 Tanda dan gejala perdarahan subaraknoid


- onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 atau 2 detik sampai 1 menit, kurang lebih 25% pasien
didahului nyeri kepala hebat,
- vertigo, mual, muntah, banyak keringat, menggigil, mudah terangsang, gelisah
dan kejang,
- penurunan kesadaran, kemudian sadar dalam beberapa menit sampai beberapa
jam,
- gejala-gejala meningeal,
- pada funduskopi, didapatkan 10% pasien mengalami edema papil beberapa jam
setelah perdarahan dan perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid (10%),
yang merupakan gejala karakteristik karena pecahnya aneurisma di arteri
komunikans anterior atau arteri karotis interna,
- gangguan fungsi autonom berupa bradikardia atau takikardia, hipotensi atau
hipertensi, dan
- banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernapasan.

Tabel 3 Faktor risiko perdarahan subaraknoid29-32

34
4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik cermat pada kasus- kasus nyeri kepala sangat penting
untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri kepala, termasuk glaukoma,
sinusitis, atau arteritis temporalis. Kaku kuduk dijumpai pada sekitar 70%
kasus. Aneurisma di daerah persimpangan antara arteri komunikans posterior
dan arteri karotis interna dapat menyebabkan paresis n. III, yaitu gerak bola
mata terbatas, dilatasi pupil, dan/atau deviasi inferolateral.28 Aneurisma di
sinus kavernosus yang luas dapat menyebabkan paresis n. VI.30 Pemeriksaan
funduskopi dapat memperlihatkan adanya perdarahan retina atau edema papil
karena peningkatan tekanan intrakranial.28 Adanya fenomena embolik distal
harus dicurigai mengarah ke unruptured intracranial giant aneurysma.31
5. Pencitraan
Pemeriksaan computed tomography (CT) non kontras adalah pilihan
utama karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi
perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan
dalam 12 jam pertama setelah serangan,32 tetapi akan turun 50% pada 1
minggu setelah serangan. Dengan demikian, pemeriksaan CT scan harus
dilakukan sesegera mungkin. Dibandingkan dengan magnetic resonance
imaging (MRI), CT scan unggul karena biayanya lebih murah, aksesnya lebih
mudah, dan interpretasinya lebih mudah.27
6. Pungsi Lumbal
Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik
selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal
yang mendukung diagnosis perdarahan subaraknoid adalah adanya eritrosit,
peningkatan tekanan saat pembukaan, dan/ atau xantokromia. Jumlah eritrosit
meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan
nilai sekitar 10.000 sel/ mL.33 Xantokromia adalah warna kuning yang

35
memperlihatkan adanya degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin
dan bilirubin di cairan serebrospinal.
7. Angiografi
Digital-subtraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk
deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan
karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi.34
Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena
sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang
negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua
tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak.35
8. Parameter Klinis
Beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi luaran (outcome)
dapat di- jadikan panduan intervensi maupun untuk menjelaskan prognosis,36
misalnya skala Hunt dan Hess; skala ini mudah dan paling banyak digunakan
dalam praktik klinis (tabel 4). Nilai tinggi pada skala Hunt dan Hess
merupakan indikasi perburukan luaran.37 Skala ini juga mempunyai beberapa
keterbatasan, seperti beberapa gambaran klinis teridentifikasi samar, sehingga
sulit menentukan nilai gra- dasi, dan tidak mempertimbangkan kondisi
komorbiditas pasien.39
Tabel 4 Skala Hunt dan Hess38

36
Skala Fisher digunakan untuk meng- klasifikasikan perdarahan
subaraknoid berdasarkan munculnya darah di kepala pada pemeriksaan CT
scan; penilaian ini hanya berdasarkan gambaran radiologik (tabel 5).40 Pasien
dengan skor Skala Fisher 3 atau 4 mempunyai risiko luaran klinis yang lebih
buruk.40 Skala ini sangat dipengaruhi oleh variabilitas inter-rater39 serta
kurang mempertimbangkan keseluruhan kondisi klinis pasien.
Tabel 5 Skor Fisher41

Sistem Ogilvy dan Carter (tabel 6) meng- gabungkan data klinis,


demografi dan radiologik, serta mudah digunakan dan komprehensif untuk
menentukan prognosis pasien yang mendapatkan intervensi bedah.40
Tabel 6 Sistem Ogilvy dan Carter41

Catatan: Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan
Carter, yaitu skor 5 mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0
mempunyai prognosis lebih baik
Sistem evaluasi terkini adalah dengan menggabungkan Skala Hunt dan
Hess dengan skor Skala Fisher; penggabungan ini mempunyai rentang nilai

37
lebih luas sehingga bisa memengaruhi luaran klinis. Nilai 0 dan 1 mempunyai
luaran baik atau sangat baik pada kurang lebih 95% pasien. Sementara itu,
jika nilainya lebih dari 1, secara signifikan mempunyai luaran buruk;
kematian kurang lebih 10% pada nilai 2, dan 30% pada nilai 3 serta 50%
pada nilai 4. Pasien dengan nilai 5 tidak dapat dioperasi.
9. Manajemen
Manajemen umum
Tujuan manajemen umum yang pertama adalah identifikasi
sumberpendarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan
pembedahan atau tindakan intravaskuler lain. Kedua adalah manajemen
komplikasi.
Langkah pertama, konsultasi dengan dokter spesialis bedah saraf
merupakan hal yang sangat penting untuk tindakan lebih lanjut pada
aneurisma intrakranial. Pasien perdarahan subaraknoid harus dirawat di
Intensive Care Unit (ICU) untuk pemantauan kondisi hemodinamiknya.
Idealnya, pasien tersebut dikelola di Neurology Critical Care Unit yang
secara signifikan akan memperbaiki luaran klinis.22.40
Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap
central venous pressure dan/atau pulmonary artery pressure, seperti juga
terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah
peningkatan tekanan intrakranial, manipulasi pasien harus dilakukan secara
hati-hati dan pelan-pelan; dapat diberikan analgesik dan pasien harus istirahat
total.
Setelah itu, tujuan utama manajemen adalah pencegahan perdarahan
ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen
komplikasi medis dan neurologis lainnya.40 Tekanan darah harus dijaga
dalam batas normal dan, jika perlu, diberi obat-obat antihipertensi intravena,
seperti labetalol dan nikardipin. Setelah aneurisma dapat diamankan,
sebetulnya hipertensi tidak masalah lagi, tetapi sampai saat ini belum ada
kesepakatan berapa nilai amannya. Analgesik sering kali diperlukan; obat-

38
obat narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua faktor penting yang
dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia;
karena itu, keduanya harus segera dikoreksi. Profilaksis terhadap trombosis
vena dalam (deep vein thrombosis) harus dilakukan segera dengan peralatan
kompresif sekuensial; heparin subkutan dapat diberikan setelah dilakukan
penatalaksanaan terhadap aneurisma. Calcium channel blocker dapat
mengurangi risiko komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral.41

39
Manajemen khusus aneurisma
Terdapat dua pilihan terapi utama untukmengamankan aneurisma yang
ruptur, yaitu microsurgical clipping dan endovascular coiling; microsurgical
clipping lebih disukai.23,42,43 Bukti klinis mendukung bahwa pada pasien yang
menjalani pembedahan segera, risiko kembalinya perdarahan lebih rendah,
dan cenderung jauh lebih baik daripada pasien yang dioperasi lebih lambat.
Pengamanan aneurisma yang ruptur juga akan memfasilitasi manajemen
komplikasi selama vasospasme serebral. Meskipun banyak ahli bedah
neurovaskular menggunakan hipotermia ringan selama microsurgical
clipping terhadap aneurisma, cara tersebut belum terbukti bermanfaat pada
pasien perdarahan subaraknoid derajat rendah.46
International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) secara prospektif
mengevaluasi beberapa pasien aneurisma yang dianggap cocok untuk
menjalani endovascular coiling atau microsurgical clipping. Untuk beberapa
kelompok pasien tertentu, hasil baik (bebas cacat selama 1 tahun) secara
signifikan lebih sering pada kelompok endovascular coiling daripada surgical
placement of clips. Risiko terjadinya epilepsi lebih rendah pada pasien- pasien
yang menjalani endovascular coiling, akan tetapi risiko kembalinya
perdarahan lebih tinggi. Selanjutnya pada pasien yang di-follow-up dengan
pemeriksaan angiografi serebral, tingkat terjadinya oklusi komplit aneurisma
lebih tinggi daripada surgical clipping.44
Manajemen komplikasi Vasospasme
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering
pada perdarahan subaraknoid.45 Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa
perubahan status mental, defisit neorologis fokal; jarang terjadi sebelum hari
3, puncaknya pada hari ke 6-8, dan jarang setelah hari ke-17.46 Vasospasme
akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu
infark kortikal tunggal, biasanya terletak di dekat aneurisma yang pecah, dan
lesi multipel luas yang sering tidak berhubungan dengan tempat aneurisma
yang pecah.47
40
Mekanisme vasospasme pada perdarahan subaraknoid belum diketahui
pasti; diduga oksihemoglobin memberikan kontribusi terhadap terjadinya
vasospasme yang dapat memperlambat perbaikan defisit neurologis.
Oksihemoglobin terbentuk akibat proses lisis bekuan darah yang
terbentuk di ruang subaraknoid. Mekanisme efek vasospasmenya belum
diketahui pasti, diduga melalui kemampuannya untuk menekan aktivitas
saluran kalium, meningkatkan masuknya kalsium, meningkatkan aktivitas
protein kinase C, dan juga Rho kinase.48
Sebelum terjadi vasospasme, pasien dapat diberi profilaksis nimodipin
dalam 12 jam setelah diagnosis ditegakkan, dengan dosis 60 mg setiap 4 jam
per oral atau melalui tabung nasogastrik selama 21 hari. Meta- analisis
menunjukkan penurunan signifikan kejadian vasospasme yang berhubungan
dengan kematian pada pemberian nimodipin profilaksis.49 Nimodipin adalah
suatu calcium channel blocker yang harus diberikan secepatnya dalam waktu
4 hari setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian secara intravena dengan dosis
awal 5 mL/ jam (ekuivalen dengan 1 mg mimodipin/ jam) selama 2 jam
pertama atau kira-kira 15 mg/kg BB/jam. Bila tekanan darah tidak turun dosis
dapat dinaikkan menjadi 10 mL/ jam intravena, diteruskan hingga 7-10 hari.
Dianjurkan menggunakan syringe pump agar dosis lebih akurat dan sebaiknya
dibarengi dengan pemberian cairan penyerta secara three way stopcock
dengan perbandingan volume 1: 4 untuk mencegah pengkristalan. Karena
nimodipin merupakan produk yang sensitif terhadap cahaya, selang infus
harus diganti setiap 24 jam. Pemberian secara infus dapat dilanjutkan dengan
pemberian nimodipin tablet per oral.50
Penambahan simvastatin sebelum atau setelah perdarahan subaraknoid
juga terbukti potensial mengurangi vasospasme serebral.51,52 Terapi
antiplatelet dapat berperan mengurangi iskemia serebral tertunda, meskipun
perlu penelitian prospektif lebih lanjut untuk menlai keselamatan dan efek
samping.53

41
Perdarahan ulang
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%; 4% dalam 24 jam
pertama, selanjutnya 1% hingga 2% per hari dalam kurun waktu 4 minggu.54
Adanya perbaikan aneurisma dan pemberian terapi primer secara signifikan
mengurangi risiko perdarahan ulang.37 Untuk mengurangi risiko perdarahan
ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola
hati-hati.55 Obat-obat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7 Obat-obat yang digunakan untukmempertahankan tekanan darah
pada pasien perdarahan subaraknoid
Hipotensi Hipertensi
- Fenilefrin - Labetalol
- Norepinefrin - Esmolol
- Dopamin - Nikardipin

Tekanan darah sistolik harus dipertahankan di atas 100 mmHg untuk


semua pasien selama kurang lebih 21 hari.54,55 Sebelum ada perbaikan,
tekanan darah sistolik harus dipertahankan di bawah 160 mmHg, dan selama
ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 200
hingga 220 mmHg.
Hidrosefalus
Jika pasien perdarahan subaraknoid menderita deteriorasi mental akut,
harus dilakukan pemeriksaan ulang CT scan kepala untuk mencari
penyebabnya, dan penyebab yang paling sering adalah hidrosefalus. 55
Volume darah pada pemeriksaan CT scan dapat sebagai prediktor terjadinya
hidrosefalus. Kurang lebih sepertiga pasien yang didiagnosis perdarahan
subaraknoid karena aneurisma memerlukan drainase ventrikuler eksternal
sementara atau dengan ventricular shunt permanen.56
Drainase cairan serebrospinal yang berlebihan dapat meningkatkan
risiko perdarahan ulang dan vasospasme serebral.55 Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko shunt-dependent hydrocephalus adalah usia lanjut,
42
perempuan, skor Hunt dan Hess rendah, volume perdarahan subaraknoid
cukup banyak berdasarkan CT scan saat pasien masuk, adanya perdarahan
intraventrikuler, pemeriksaan radiologik mendapatkan hidrosefalus saat
pasien masuk, lokasi pecahnya aneurisma di sirkulasi posterior distal,
vasospasme klinis, dan terapi endovaskuler.57
Hiponatremia
Kejadian hiponatremia pada pasien perdarahan subaraknoid berkisar
antara 30% hingga 35%.58 Hal ini berhubungan dengan terbuangnya garam di
otak dan tindakan pemberian cairan pengganti serta sering didapatkan pada
vasospasme serebral.59 Suatu penelitian melaporkan bahwa kejadian
hiponatremia terutama disebabkan oleh syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone secretion (SIADH) yang didapatkan pada 69% kasus
atau hiponatremia hipovolemik pada 21% kasus.60
Hiperglikemia
Hiperglikemia sering dijumpai pada pasien perdarahan subaraknoid,
boleh jadi berhubungan dengan respons stres. Insulin diberikan untuk
mempertahankan kadar glukosa darah tetap aman dalam kisaran 90-126
mg/dL.61 Terapi insulin intensif dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas.62,63 Pemantauan kadar glukosa darah intensif pada pasien dengan
terapi insulin juga harus dilakukan.
Epilepsi
Kejadian epilepsi ditemukan pada sekitar 7% hingga 35% pasien
perdarahan subaraknoid.64 Bangkitan pada fase awal perdarahan subaraknoid
dapat menyebabkan perdarahan ulang, walaupun belum terbukti
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.65 The American Heart
Association merekomendasikan pemberian rutin profilaksis bangkitan untuk
semua pasien perdarahan subaraknoid. Namun, ada laporan bahwa fenitoin
profilaksis berhubungan dengan perburukan luaran neurologis dan kognitif.66
Dengan demikian, pemberian obat antiepilepsi harus hati-hati dan lebih tepat
diberikan pada pasien yang mendapat serangan di rumah sakit atau pada
43
pasien yang mengalami serangan onset lambat epilepsi setelah pulang dari
rumah sakit.
Komplikasi lain
Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah pneumonia, sepsis,
aritmia kardial dan peningkatan kadar enzim-enzim jantung. Kepala pasien
harus dipertahankan pada posisi 300 di tempat tidur, dan segera diberi terapi
antibiotik adekuat jika dijumpai pneumonia bakterial. Profilaksis dengan
kompresi pneumatik harus dilakukan untuk mengurangi risiko Deep Vein
Thrombosis (DVT) dan emboli pulmonum.19 Antikoagulan merupakan
kontraindikasi pada fase akut pendarahan.56
Perdarahan Subarakhnoid Berulang
Setelah tindakan clipping, risiko perdarahan berulang sebesar 2,2%
pada 10 tahun setelahnya dan 9,0% pada 20 tahun setelah tindakan. Pasien
dengan ruptur aneurisma serebral mempunyai risiko lebih tinggi untuk
mengalami perdarahan subaraknoid berulang, bahkan setelah pembedahan.67
Penelitian terkini melaporkan bahwa risiko kejadian perdarahan subaraknoid
berulang setelah clipping 22 kali lebih tinggi dibanding populasi berdasarkan
umur dan jenis kelamin.68

44
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore K.R., Argur K.M. R. 2002. Anatomi klinis dasar. Jakarta:
Hipocrates.h. 114-116.
2. Clark, David P. 2005. Molecular Biology Understanding The Genetic
Revolution. San Diego, California: Elsevier Inc.
3. Rea P. Essential Clinical Anatomy of The Nervous System. Academic Press;
2015. 4 p.
4. David S dan Liebeskind M. Hemorrhagic Stroke: Practice Essentials,
Background.
5. Gilroy J. Basic Neurology 3rd Edition. 3rd ed. New York: McGraw-Hill;
2000.7. 25
6. Sidharta P DG. Anatomi Susunan Saraf Pusat Manusia. Jakarta: Dian
Rakyat; 1986. 398p.
7. Brainin, M., & Wolf-Dieter, H. (2010). Textbook of Stroke Medicine. New
York: Cambridge University Press.
8. Wardhani, I.O., & Santi M. (2015). Hubungan Antara Karakteristik Pasien
Stroke dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Menjalani Rehabilitasi.
Jurnal BerkalaEpidemiologi. Vol. 3, No. 1 ( Hlm. 24-34).
9. Silva, D.A.D., Narayanaswamy V., Artemio A.R., Jr., Loh P.K., & Yair L.
(2014). Understanding Stroke A Guide for Stroke Survivors and Their
Families. . Diakses tanggal 28 Februari 2018 dari
https://www.neuroaid.com/
10. Williams, J., Lin P., & Caroline W. (2010). Acute Stroke Nursing. United
Kingdom: Wiley-Blackwell.
11. National Stroke Association. (2016). Post-Stroke Conditions. Diakses
tanggal 28 Februari 2018 dari http://www.stroke.org/we-can-
help/survivors/stroke- recovery/post-stroke-conditions
12. Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
13. World Health Organization (WHO). (2016). Stroke, Cerebrovascular
accident. Diakses tanggal 28 Februari 2018 dari
http://www.who.int/topics/cerebrovascular accident/en/
14. Affandi, I.G. & Reggy, P. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial
pada Stroke. CDK-238. Vol. 43, No. 3 (Hlm. 180-184).
15. PERDOSSI. (2011). Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta: PERDOSSI.
16. National Medicines Information Centre. (2011). The Management of Stroke.
Management of Stroke Bulletin. Vol. 17. No. 3
17. Scottich Intercollegiate Guidelines Network. (2008). Management of
Patients with Stroke or TIA: Assesment, Investigation, Immediate
Management and Secondary Prevention A National Clinical Guideline.
Diakses tanggal 28 Februari 2018 dari http://www.sign.ac.uk
18. Ostbye T, Levy AR, Mayo NE. Hospitalization and case fatality rates for
45
subarachnoid hemorrhage in Canada from 1982 through 1991. The Canadian
Collaborative Study Group of Stroke Hospitalizations. Stroke. 1997;28:793-8.
19. Suarez JI, Tarr RW, Selman WR. Aneurysmal subarachnoid hemorrhage. N
Engl J Med. 2006;354:387-96.
20. Ingall T, Asplund K, Mahonen M, Bonita R. A multinational comparison of
subarachnoid hemorrhage epidemiology in the WHO MONICA stroke study.
Stroke. 2000;31:1054-61.
21. Rasmussen PA, Mayberg MR. Defining the natural history of unruptured
aneurysms. Stroke. 2004;35:232-3.
22. Ellegala DB, Day AL. Ruptured cerebral aneurysms. N Engl J Med.
2005;352:121-4.
23. Wiebers DO, Whisnant JP, Huston J, Meissner I, Brown Jr RD, Piepgras DG,
et al. Unruptured intracranial aneurysms: Natural history, clinical outcome,
and risks of surgical and endovascular treatment. International Study of
Unruptured Intracranial Aneurysms Investigators. Lancet. 2003;362:103-10.
24. Duong DH, Hartmann A, Isaacson S, Lazar RM, Marshall RS, Mast H.
Arteriovenous malformations of the brain in adults. N Engl J Med.
1999;340:1812-8.
25. Ahn JY, Kim OJ, Joo YJ, Joo JY. Dural arteriovenous malformation
occurring after craniotomy for pial arteriovenous malformation. J Clin
Neurosci. 2003;10:134-6.
26. Schievink WI. Intracranial aneurysms. N Engl J Med. 1997;336:28-40.
27. Edlow JA, Caplan LR. Avoiding pitfalls in the diagnosis of subarachnoid
hemorrhage. N Engl J Med. 2000;342:29-36.
28. Edlow JA. Diagnosis of subarachnoid hemorrhage in the emergency
department. Emerg Med Clin North Am. 2003;21:73-87.
29. Kissela BM, Sauerbeck L, Woo D, Khoury J, Carrozzella J, Pancioli A, et al.
Subarachnoid hemorrhage: A preventable disease with a heritable component.
Stroke. 2002;33:1321-6.
30. Broderick JP, Viscoli CM, Brott T, Kernan WN, Brass LM, Feldmann E, et
al. Major risk factors for aneurysmal subarachnoid hemorrhage in the young
are modifiable. Stroke. 2003;34:1375- 81.
31. Anderson C, Ni Mhurchu C, Scott D, Bennett D, Jamrozik K, Hankey G.
Triggers of subarachnoid hemorrhage: Role of physical exertion, smoking,
and alcohol in the Australasian Cooperative Research on Subarachnoid
Hemorrhage Study (ACROSS). Stroke. 2003;34:1771-6.
32. Rinkel GJ. Intracranial aneurysm screening: Indications and advice for
practice. Lancet Neurol. 2005;4:122-8.
33. Smith WS, Johnston SC, Easton JD. Cerebrovascular diseases. In: Kasper
DL, editor. Harrison's principles of internal medicine. 16th ed. New York:
McGraw-Hill; 2005. p. 2372-93.
34. Schaller B, Lyrer P. Anticoagulation of an unruptured, thrombosed giant
intracranial aneurysm without hemorrhage or recanalization in the long-term
follow-up. Eur J Neurol. 2003;10:331-2.
35. Latchaw RE, Silva P, Falcone SF. The role of CT following aneurysmal
rupture. Neuroimaging Clin N Am. 1997;7:693-708.
36. Eskey CJ, Ogilvy CS. Fluoroscopy-guided lumbar puncture: Decreased
frequency of traumatic tap and implications for the assessment of CT-
negative acute subarachnoid hemorrhage. AJNR Am J Neuroradiol.
2001;22:571-6.
37. Cloft HJ, Joseph GJ, Dion JE. Risk of cerebral angiography in patients with
subarachnoid hemorrhage, cerebral aneurysm, and arteriovenous
46
malformation: A meta-analysis. Stroke. 1999;30:317-20.
38. Hoh BL, Cheung AC, Rabinov JD, Pryor JC, Carter BS, Ogilvy CS. Results
of a prospective protocol of computed tomographic angiography in place of
catheter angiography as the only diagnostic and pretreatment planning study
for cerebral aneurysms by a combined neurovascular team. Neurosurgery.
2004;54:1329-42.
39. Cavanagh SJ, Gordon VL. Grading scales used in the management of
aneurysmal subarachnoid hemorrhage: A critical review. J Neurosci Nurs.
2002;34:288-95.
40. Ogilvy CS, Carter BS. A proposed comprehensive grading system to predict
outcome for surgical management of intracranial aneurysms. Neurosurgery.
1998;42:959-70.
41. Tofteland ND, Salyers WJ. Subarachnoid hemorrhage. Hosp Phys. 2007;31-
41.
42. Berman MF, Solomon RA, Mayer SA, Johnston SC, Yung PP. Impact of
hospital-related factors on outcome after treatment of cerebral aneurysms.
Stroke. 2003;34:2200-7.
43. Brisman JL, Song JK, Newell DW. Cerebral aneurysms. N Engl J Med.
2006;355:928-39.
44. Sacco RL, Adams R, Albers G, Alberts MJ, Benavente O, Furie K, et al.
Guidelines for prevention of stroke in patients with ischemic stroke or
transient ischemic attack. Stroke. 2006;37:577- 617.
45. Brisman JL, Eskridge JM, Newell DW. Neurointerventional treatment of
vasospasm. Neurol Res. 2006;28:769-76.
46. Bederson JB, Connolly ES, Batjer HH, Dacey RG, Dion JE, Diringer MN, et
al. Guidelines for the management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage.
Stroke. 2009;40:994-1025.
47. Molyneux AJ, Kerr RS, Yu LM, Clarke M, Sneade M, Yarnold JA, et al.
International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) of neurosurgical clipping
versus endovascular coiling in 2143 patients with ruptured intracranial
aneurysms: A randomised comparison of effects on survival, dependency,
seizures, rebleeding, subgroups, and aneurysm occlusion. Lancet.
2005;366:809-17.
48. Kassell NF, Torner JC, Haley Jr EC, Adams HP. The International
Cooperative Study on the Timing of Aneurysm Surgery. Part 1: Overall
management results. J Neurosurg. 1990;73:18-36.
49. Sen J, Belli A, Albon H, Morgan L, Petzold A, Kitchen N. Triple-H therapy
in the management of aneurysmal subarachnoid haemorrhage. Lancet.
2003;2:614-21.
50. Rabinstein AA, Weigand S, Atkinson JL, Wijdicks EF. Patterns of cerebral
infarction in aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Stroke. 2005;36:992-7.
51. Sarrafzadeh AS, Haux D, Ludemann L, Amthauer H, Plotkin M, Kuchler I, et
al. Cerebral ischemia in aneurysmal subarachnoid hemorrhage a correlative
microdialysis-PET study. Stroke. 2004;35:638-43.
52. Barker FG, Ogilvy CS. Efficacy of prophylactic nimodipine for delayed
ischemic deficit after subarachnoid hemorrhage: A metaanalysis. J
Neurosurg. 1996;84:405-14.
53. Dietrich HH, Dacey Jr RG. Molecular keys to the problems of cerebral
vasospasm. Neurosurgery. 2000;46:517-30.
54. McGirt MJ, Lynch JR, Parra A, Sheng H, Pearlstein RD, Laskowitz
DT, et al. Simvastatin increases endothelial nitric oxide synthase and
ameliorates cerebral vasospasm resulting from subarachnoid
47
hemorrhage. Stroke. 2002;33:2950-6.
55. Dorhout Mees SM, Rinkel GJ, Hop JW, Algra A, van Gijn J. Antiplatelet
therapy in aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a systematic review. Stroke.
2003;34:2285-9.
56. Fahy BG, Sivaraman V. Current concepts in neurocritical care. Anesthesiol
Clin North America. 2002;20:441-62.
57. Naidech AM, Janjua N, Kreiter KT, Ostapkovich ND, Fitzsimmons
BF, Parra A, et al. Predictors and impact of aneurysm rebleeding
after subarachnoid hemorrhage. Arch Neurol. 2005;62:410-6.
58. Treggiari MM, Walder B, Suter PM, Romand JA. Systematic review
of the prevention of delayed ischemic neurological deficits with
hypertension, hypervolemia, and hemodilution therapy following
subarachnoid hemorrhage. J Neurosurg. 2003;98:978-84.
59. Rose JC, Mayer SA. Optimizing blood pressure in neurological emergencies.
Neurocrit Care. 2004;1:287-99.
60. Varelas P, Helms A, Sinson G, Spanaki M, Hacein-Bey L. Clipping or coiling
of ruptured cerebral aneurysms and shunt-dependent hydrocephalus.
Neurocrit Care. 2006;4:223-8.
61. Dorai Z, Hynan LS, Kopitnik TA, Samson D. Factors related to
hydrocephalus after aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Neurosurgery.
2003;52:763-71.
62. Hasan D, Wijdicks EF, Vermeulen M. Hyponatremia is associated with
cerebral ischemia in patients with aneurismal subarachnoid hemorrhage. Ann
Neurol. 1990;27:106-8.
63. Moro N, Katayama, Y, Kojima J, Mori T, Kawamata T. Prophylactic
management of excessive natriuresis with hydrocortisone for
efficient hypervolemic therapy after subarachnoid hemorrhage.
Stroke. 2003;34:2807-11.
64. Sherlock M, O'Sullivan E, Agha A, Behan LA, Rawluk D, Brennan
P, et al. The incidence and pathophysiology of hyponatraemia after
subarachnoid haemorrhage. Clin Endocrinol (Oxf). 2006;64:250-4.
65. Bell DA, Strong AJ. Glucose/insulin infusions in the treatment of
subarachnoid haemorrhage: a feasibility study. Br J Neurosurg. 2005;19:21-4.
66. Van den Berghe G, Schoonheydt K, Beck P, Bruyninckx F, Wouters
PJ. Insulin therapy protects the central and peripheral nervous
system of intensive care patients. Neurology. 2005;64:1348- 53.
67. Frontera JA, Fernandez A, Claassen J, Schmidt M, Schumacher HC,
Wartenberg K. Hyperglycemia after SAH: Predictors, associated
complications, and impact on outcome. Stroke. 2006;37:199-203.
68. Claassen J, Peery S, Kreiter KT, Hirsch LJ, Du EY, Connolly ES, et al.
Predictors and clinical impact of epilepsy after subarachnoid hemorrhage.
Neurology. 2003;60:208-14.

48
49

Anda mungkin juga menyukai