KELOMPOK V
ARLINDAWATI G 0013039
ARUM DESSY RAHMA SARI G 0013041
DINA LUTHFIYAH G 0013075
FITRI MAULANI G 0013097
LUTFY HERSRI RAHMADY G 0013143
MEGA HASENDA G 0013153
MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT G 0013163
NIBRAS NOOR FITRI G 0013175
NOVI ARIZHA G 0013179
PETER DARMAATMAJA SETIABUDI G 0013187
RAYNALDA CHRIESMART DEZMOND G 0013195
YUYUN SUCI MEGAWATI G 0013243
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO III
2
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
3
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
4
terbentuk. Selain itu, serat pangan bersifat mengikat air
sehingga konsentrasi senyawa karsinogen menjadi lebih
rendah (Santoso, 2011).
Dari beberapa manfaat di atas dapat kami simpulkan bahwa
konsumsi sayur dan buah dapat mencegah gangguan
gastrointestinal salah satunya dengan membuat feses menjadi
lembut sehingga kemungkinan terjadinya fecolith menurun dan
konsumsi yang jarang dapat menyebabkan meningkatnya risiko
terkena apendisitis, dan gangguan gastrointestinal lainnya.
5
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah III
Keluhan utama:
Nyeri mulai dari ulu Demam Diare tanpa darah Mual muntah
hati dan menetap di
perut kanan bawah,
hilang timbul
Appendisitis
Konstipasi Diagnosis Banding:
6
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ketiga ini adalah
1. Penyebab nyeri berpindah dari daerah ulu hati ke LRQ
2. Penyebab nyeri hilang timbul pada kasus
3. Penyebab dapat terjadinya gejala-gejala sebagai berikut:
a. Diare
b. Demam
c. Nyeri bertambah
d. Mual muntah
4. Interpretasi pemeriksaan fisik
5. Diagnosis dan diagnosis banding kasus
6. Terapi dan edukasi dari kasus
7. Waktu diperbolehkan pulang untuk pasien pascaoperasi
appendektomi
8. Pemeriksaan penunjang yang mungkin untuk kasus tersebut
9. Komplikasi dari kasus tersebut
10. Hubungan onset keluhan dengan patofisiologi penyakit dalam
kasus
11. Patofisiologi penyakit dalam kasus
12. Alasan pasien harus rawat inap
13. Gold standard penyakit dalam kasus
7
Pada skenario, didapatkan bahwa nyeri berasal dari ulu hati dan
selang beberapa hari kemudian berpindah ke area perut kanan
bawah. Sebelum membahas mengenai perpindahan nyeri pada
kasus skenario ketiga ini, pertama kita harus mengetahui letak ulu
hati. Regio ulu hati berarti regio pangkal hati, sama dengan regio
umbilicalis. Pada regio ini, terdapat organ organ seperti umbilicus,
sebagian bawah colon transversum, sebagian gaster, dan sebagian
hepar. Umbilicus pada regio ini mendapatkan persyarafan dari
cabang cabang nervus Thoracal X-XI.
Nyeri perut pada manusia ada dua macam yaitu viseral dan
somatik. Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak
pada saraf yang tidak bermielin yang berasal dari sistem saraf
otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai serabut
saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih menyebar dan lebih
lama. Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan
muskularis dan serosa dari organ di abdomen. Nyeri di regio
epigastrium dibawa oleh serabut saraf pada segmen Th VI – Th
VIII, serabut saraf ini berpengaruh pada organ-organ seperti
duodenum, pankreas, hati, duktus billier. Nyeri di regio
periumbilikalis dibawa oleh serabut saraf pada segmen Th IX – Th
X, serabut saraf ini berpengaruh pada organ-organ seperti usus
halus, usus buntu/ appendix. Nyeri di regio hipogastrika dibawa
oleh serabut saraf pada segmen Th XI – Th XII, serabut saraf ini
akan mempengaruhi organ-organ seperti colon, vesica urinaria.
8
appendiks, sehingga akan menekan saraf saraf dari otot otot
(musculi abdominis) di sekitar appendiks, seperti sebagai contoh
musculus obliquus eksternus abdominis dan musculus tranversus
abdominis. Kemudian inflamasi juga akan mengenai peritoneum
fokalis di sekitar appendiks dan terjadi abses appendiks. Pada
tahap ini, nyeri akan berpindah dan menetap pada regio kanan
bawah (inguinal dextra).
9
Demam merupakan tanda dari proses inflamasi yang terjadi
pada apendiks. Demam yang terjadi tidak terlalu tinggi, yaitu
suhu antara 37,5 ⁰C - 38,5⁰C. Apabila suhu lebih tinggi, diduga
telah terjadi perforasi.
c. Nyeri bertambah
Appendicitis akut yang terjadi apabila tidak segera ditangani,
pembesaran dan reaksi inflamasi yang terjadi akan menekan
persarafan di sekitarnya sehingga menyebabkan nyeri. Semakin
lama tidak ditangani akan semakin nyeri.
d. Mual muntah
Muntah disebabkan karena adanya ransangan viseral yang
aktivasinya oleh nervus vagus (N X). Anoreksia, nausea, dan
vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya merupakan
kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
10
Nyeri tekan perut kanan bawah (inguinal dekstra) dapat
dibuktikan dengan Mc burney sign, obturator sign dan
psoas sign ditambah dengan cough test. Nyeri tekan pada
regio ini terjadi karena inflamasi pada appendicitis akut
sudah mengenai peritoneum parietale fokalis dan juga
musculus illiopsoas dan musculus obturatorius. Nyeri pada
perut kanan bawah ini juga menegaskan bahwa belum
terjadi adanya ruptur apendiks ataupun peritonitis
generalisata karena pada kasus kasus tersebut, nyeri
biasanya akan menjalar ke seluruh lapang abdomen.
d) Teraba massa ukuran 3x4x5 cm, permukaan rata,
konsistensi padat, terfiksir, dan nyeri tekan (+)
Pada kasus appendisitis akut, akan terjadi edema karena
penekanan pada pembuluh vena sedangkan arteri terus
memasok darah. Edema pada kasus appendiks bisa teraba
dari palpasi dan dia terfiksir karena appendiks
vermiformis pada skenario ini belum terjadi rupture
appendiks. Mengenai nyeri tekan sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa hal tersebut menunjukkan Mc burney
sign (+) yang memang merupakan tanda patognomonik
dari appendisitis akut.
e) Perkusi massa redup (+) diatas massa.
Perkusi redup menunjukkan bahwa dalam massa tersebut
terdapat rongga berisi cairan. Hal ini menegaskan
diagnosis bahwa apendisitis akut pada skenario ini sudah
menunjukkan terjadinya abses apendiks yang
mengakibatkan lumen apendiks terisi oleh pus dan eksudat
sehingga menimbulkan perkusi massa redup.
f) Tidak ditemukan adanya defans muscular.
Defans muscular (+) pada apendisitis akut menunjukkan
telah terjadi komplikasi hingga peritonitis generalisata.
Bila masih apendisitis akut yang menjalar ke peritoneum
11
yang fokalis, defens muscular menunjukkan negatif seperti
pada skenario ini menunjukkan bahwa komplikasi
apendisitis akut masih berupa peritonitis fokalis, belum
yang generalisata.
g) Colok dubur teraba massa (+), nyeri (+) diarah jam 9 – 11,
feces (+), darah (-).
Pada kasus ini, ditemukan massa pada arah jam 9 hingga
jam 11 yang nyeri semakin menegaskan adanya
apendisitis akut yang suah terjadi edema serta abses
apendiks. Tidak adanya darah pada colok dubur
menunjukkan belum terjadi ruptur apendiks vermiformis.
12
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
apendisitis sering kali masih belum jelas. Dalam keadaan ini
observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta untuk
melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh
diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun
peritonitis. Pemeriksaan abdomen dan rectal toucher serta
pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara
periodik. Foto abdomen dan toraks dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus,
diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan
bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu
diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi.
2. Operasi
a. Appendektomi cito (apendisitis akut, abses dan perforasi)
b. Appendektomi elektif (apendisitis kronis)
Ada dua macam metode pada appendektomi yaitu metode
bedah terbuka di mana dilakukan insisi pada regio illiaca dextra
dan metode laparaskopi dengan memasukkan alat yang bernama
laparascope, di mana pada alat tersebut terdapat video kamera
untuk melihat keadaan organ yang akan dioperasi. Dalam
penatalaksanaan appendektomi ini terdapat risiko seperti infeksi,
peritonitis, dan obstruksi usus.
3. Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk
mengetahui terjadinya pendarahan di dalam, syok, hipertermia
atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien
13
telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik
bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada
perforasi atau peritonitis, puasa diteruskan sampai fungsi usus
kembali normal.
Satu hari setelah operasi pasien dianjurkan untuk duduk
tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien
dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke-7 jahitan dapat
diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
14
berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat
dan pasien diperbolehkan pulang.
15
pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan
lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.
Jika peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka
usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus
edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah
kanan bawah abdomen kosong dari udara. Pada
appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa
untuk mencari appendikolit: kalsifikasi bulat lonjong,
sering berlapis.
c. Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu
(Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya
sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen
usus buntu.
d. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa
membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut
usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul
(Sanyoto, 2007). USG telah banyak digunakan untuk
diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan
abses.
e. Pemeriksaan urinalisa
Dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang
menentukan diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara
klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan CT
scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan
diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis
apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif
dalam bertindak (Sanyoto, 2007)
16
a) Perforasi appendix
Pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan
pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
b) Abses apendiks
Abses apendiks adalah salah satu komplikasi dari apendisitis
akut. Abses apendiks merupakan kumpulan pus yang terletak di
area peri-apendikular (fossa illiaca kanan) yang merupakan
akibat lanjutan dari apendisitis dan perforasinya. Terbentuknya
massa akibat inflamasi berupa phlegmon maupun abses terjadi
pada 2 – 6 % penderita apendisitis.
c) Peritonitis fokalis
Peritonitis yang masih fokalis atau sebagian pada peritoneum
disekitar apendiks vermiformis.
d) Peritonitis generalisata
Peritonitis yang telah mengenai seluruh peritoneum parietale
pada dinding abdomen yang mengakibatkan nyeri tidak spesifik
di satu regio (inguinal dekstra) tapi sudah mengakibatkan nyeri
di seluruh regio abdomen ditambah dengan defens muscular (+).
e) Ruptur apendiks
Apabila apendisitis akut dibiarkan, maka akan terjadi rupture
apendiks yang mengakibatkan pecahnya apendiks dan akan
mengakibatkan reaksi inflamasi meluas. Pada saat pecah, pasien
mungkin merasakan nyeri hilang sejenak, tapi tidak selang lama
nyeri akan semakin parah.
17
obstruksi di appendix yang kemudian ransangan tersebut dibawa
oleh serabut saraf pada segmen Th IX – Th X. Obstruksi tersebut
kemudian menyebabkan apendiks distensi, edema, hipoksia, dan
meningkatkan risiko infeksi. Infeksi yang terjadi menyebabkan
terjadinya inflamasi dan muncul tanda-tanda inflamasi yang salah
satunya dolor/nyeri. Nyeri ini terlokalisir pada sekitar apendiks
(perut kanan bawah).
Pada tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami
demam dan nyeri yang semakin bertambah. Hal ini disebabkan
oleh inflamasi dan infeksi yang terjadi telah berkembang menjadi
abses.
18
tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan
mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif
akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforata. Bila semua proses diatas berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis
yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha
pertahanan tubuh yang membatasi proses radang melalui
penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa.
Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan
massa periapendikular akan menjadi tenang, dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna, tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan
perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini
menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.
19
Pada kasus ini, pasien telah mengalami abses pada
appendicitisnya, tatalaksana yang tepat adalah dengan segera
dilakukan appendektomi. Untuk itu, sebelum dan sesudah
dilakukan appendektomi pasien perlu dirawat inap agar dapat
diobsevasi dan terjadinya komplikasi dapat dicegah.
20
BAB III
KESIMPULAN
Dari diskusi tutorial kali ini, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien
wanita usia 30 tahun yang datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
tersebut mengalami abcess appendicytis. Hal ini dapat dinilai dari pemeriksaan
secara klinis dan hasil dari pemeriksaan fisik, abdomen serta colok dubur.
Dari keluhan utama, pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah, diagnosis
bandingnya adalah pelvic inflammatory disease (PID), groin pain, hernia
inguinalis, keganasan, peritonitis, chron disease, colitis, inflammatory bowel
disease, acute cholecystitis, divertikel mackelli, enteritis regional, pankreatitis,
batu ureter, cystitis, kehamilan ektopik terganggu (KET), dan salphingitis akut.
Namun, penyakit- penyakit tersebut dapat disangkal karena riwayat BAB dan
BAK normal, riwayat menstruasi baik, dan tidak ada penurunan berat badan serta
dari interpretasi pemeriksaan fisik.
Gold standard dari apendisitis, yaitu pemeriksaan fisik khusus (Mcburney
sign, Rebound tenderness, Rovsing sign, Psoas sign, Obturator sign, Cough test
atau Dunphy sign, dan Digital Rectal Examination). Penatalaksanaan yang tepat
dan segera akan mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut, seperti peritonitis,
perforasi apendiks, ruptur apendiks, dan sepsis. Terapi untuk pasien apendisitis
akut adalah dengan apendektomi dan pemberian antibiotik untuk infeksinya.
Namun apabila telah peritonitis, terapinya adalah laparotomi.
21
BAB IV
SARAN
Secara umum, diskusi tutorial skenario III Blok Sistem Pencernaan telah
berjalan dengan baik dan lancar. Mahasiswa sudah mulai memperbaiki
kekurangan - kekurangan yang ada pada diskusi - diskusi tutorial sebelumnya.
Mulai dari partisipasi dan keaktifan setiap anggota kelompok hingga alur jalannya
diskusi menjadi lebih baik.
Namun, ada satu hal yang sepertinya perlu menjadi catatan penting bagi
mahasiswa, yaitu menghargai mahasiswa lainnya yang sedang menyampaikan
pendapat. Masih ada beberapa mahasiswa yang asyik berbicara sendiri ketika
mahasiswa lainnya sedang menyampaikan pendapat. Harapannya, semua anggota
kelompok memperhatikan dan mendengarkan dengan baik ketika ada mahasiswa
lain yang sedang berpendapat.
Selain itu peran tutor kali ini sangat membantu dalam pemahaman
mahasiswa mengenai skenario kali ini dan tutor juga mengarahkan mahasiswa
menuju LO yang ingin dicapai pada blok ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
Akil HAM (2007). Buku ajar ilmu penyakit dalam FKUI jilid I: Penyakit
divertikular. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, pp: 602-603.
Craig S (2014). Appendicitis. http://emedicine.medscape.com/article/773895-
overview - Diakses Mei 2015.
Daley BJ (2015). Peritonitis and abdominal sepsis.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview - Diakses Mei
2015.
John Hopkins Medicine. (2015). Appendectomy.
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/gastroenterol
ogy/appendectomy_92,p07686/ - Diakses Mei 2015.
Pramana TY, et al (2014). Buku pedoman ketrampilan klinis : Pemeriksaan
abdomen. Surakarta: Fakultas Kedokteran UNS Press.
Price SA, Wilson LM (2013). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke 6. Jakarta: EGC.
Santoso A (2011). Serat pangan (dietary fiber) dan manfaatnya bagi kesehatan.
Magistra, 23 (75): 35-40.
Sanyoto (2007). Pemeriksaan penunjang. Dalam: Harsya MN (2012). Apendisitis.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf –
Diakses Mei 2015.
Sjamsuhidajat R, Jong WD (ed) (2005). Buku ajar ilmu bedah: Usus halus,
apendiks, kolon, dan anorektum. Edisi ke 2. Jakarta: EGC, pp: 639-645.
Schwartz S (2000). Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Jakarta: EGC.
23