Anda di halaman 1dari 10

Jump 1

1. GCS (Glasgow Coma Scale)


Pemeriksaan neurologi untuk mengetahui tingkat kesadaran seseorang secara kuantitatif. Apa
saja yang dinilai?
a. Menilai respon membuka mata (E)
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
b. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan
waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
c. Menilai Respon Motorik (M)
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal
& kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Penilaian GCS
a. Compos Mentis(GCS: 15-14)
b. Apatis (GCS: 13-12)
c. Somnolen(11-10)
d. Delirium (GCS: 9-7)
e. Sporo coma (GCS: 6-4)
f. Coma (GCS: 3)
Sumber :
- Teasdale G, Jennett B. Assessment of coma and impaired consciousness. Lancet 1974;81-
84.
- Teasdale G, Jennett B. Assessment and prognosis of coma after head injury. Acta
Neurochir 1976; 34:45-55.
Jump 3
1. Penatalaksanaan Primary Survey
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE yaitu :
a. Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu
hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan
jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula
atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak
dan total, perlahan – lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang. Bebasnya jalan
nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu
dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan
cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway
orofaringeal serta nasofaringeal. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi
vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.
Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun
demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penilaian bebasnya airway dan
baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita
mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan
menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan
cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah
depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway
orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway).
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau
memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur-prosedur ini
harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization). Teknik-teknik
mempertahankan airway :
- Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada
pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi
semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil
mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan
memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena.
- Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati
diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan
ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati
diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini
berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan
patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah
tulang dengan cedera spinal.
- Jaw thrush
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari
kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan
telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri
berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar
pada maxilla
- Oropharingeal Airway
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien
yang kehilangan refleks jalan napas bawah.
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa
orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran
pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring
dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan
ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah
180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari
tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai
bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi
pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa
oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien.
- Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih
disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring
yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung
sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan
kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut
(ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal
pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa)
- Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway
surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif
didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004): adanya apnea,
ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara yang lain,
kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus,
ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, adanya cedera kepala yang
membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8), ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi
yang adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara
(Haffen, Karren, 1992) :
- Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang
adekuat.
- Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
- Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
b. Breathing
Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula. Menjamin
terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis. Apabila
pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask
merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang
dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan
yang baik. Cara melakukan pemasangan face-mask :
- Posisikan kepala lurus dengan tubuh.
- Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat
menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
- Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut).
- Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan
tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi
sungkup muka.
- Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien.
- Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan.
- Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
- Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
- Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus
pompa nafas bantu (squeeze-bag)
Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan
perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvansif untuk mengukur
saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus.
c. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh
karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien,
yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
- Tingkat kesadaran : Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
- Warna kulit : Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
- Nadi : Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol
2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol
3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol
4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara
menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan menggunakan
perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang
berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera
mungkin.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. Cara cepat dalam mengevaluasi status
neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder. AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
e. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut
kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
Sumber :
Demetriades D. 2009. Assessment and management of trauma 5th edition. Department of
surgery university of southern california.
Jump 7
1. Trauma
Ada dua jenis trauma yaitu
a. Trauma Tumpul
Trauma atau luka mekanik terjadi karena alat atau senjata dalam berbagai bentuk, alami
atau dibuat manusia. Senjata atau alat yang dibuat manusia seperti kampak, pisau, panah,
martil dan lain-lain. Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain adalah batu,
besi, sepatu, tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari benda tumpul itu sendiri
adalah Tidak bermata tajam, Konsistensi keras / kenyal, Permukaan halus / kasar. Luka
karena kererasan tumpul dapat berbentuk salah satu atau kombinasi dari luka memar, luka
lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan. Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai
beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut
menimbulkan berbagai tipe luka. Luka Akibat trauma tumpul dibagikan menurut beberapa
kategori yaitu abrasi (luka lecet), kontusio (luka memar), laserasi.
b. Trauma Tajam
Luka benda tajam merupakan putusnya atau rusaknya kontinuitas jaringan karena trauma
akibat alat/senjata yang bermata tajam dan atau berujung runcing. Luka akibat benda tajam
pada umumnya mudah dibedakan dari luka yang disebabkan oleh benda tumpul dan dari
luka tembakan senjata api. Luka yang disebabkan oleh beda yang berujung runjing dan
bermata tajam dibagi menurut beberapa kategori:
1. Luka tusuk (stab wound)
Luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau tumpul yang terjadi
dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh. Contoh: belati,
bayonet, keris, clurit, kikir, tanduk kerbau.Selain itu, pada luka tusuk , sudut luka dapat
menunjukkan perkiraan benda penyebabnya, apakah berupa pisau bermata satu atau
bermata dua.
Karakteristik dari luka tusuk:
o Tepi luka rata
o Dalam luka lebih besar dari panjang luka
o Sudut luka tajam
o Sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam
o Sering ada memar / echymosis di sekitarnya
2. Luka Iris (Incised wounds)
Luka iris adalah luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena alat
ditekan pada kulit dengan kekuatan relatif ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit.
3. Luka Bacok (Chop wounds)
Luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak tumpul yang terjadi
dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar. Contoh : pedang, clurit, kapak,
baling-baling kapal. Kehadiran luka iris yang terdapat pada kulit, dengan fraktur
comminuted mendasari atau terdapat alur yang dalam pada tulang, menunjukkan bahwa
disebabkan oleh senjata yang bersifat membacok.
Karakteristik pada luka bacok:
- Luka biasanya besar
- Pinggir luka rata
- Sudut luka tajam
Ciri-ciri luka benda tajam sering dibandingkan dengan luka benda tumpul:
Trauma Tumpul Tajam
g. Bentuk luka Tidak teratur Teratur

h. Tepi Luka Tidak rata Rata

i. Jembatan Jaringan Ada Tidak ada

j. Rambut Tidak terpotong Terpotong

k. Dasar Luka Tidak teratur Teratur

l. Sekitar Luka Ada luka lecet atau Tak ada luka lain
memar

2. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan secra klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh
karena menunggu konfirmasi radiologis.
 Anamnesis
 Riwayat trauma
 Mekanisme trauma
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: dada cembung pada sisi yang sakit
Palpasi: Fremitus turun sampai hilang
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi: Suara napas lemah sampai hilang
Temuan Awal
a. Sesak napas
Akibat penurunan fungsi paru: menurunnya compliance paru yang mengalami
penumothoraks pertukaran udara tidak adekuat  hipoxemia  hipoksia sesak
napas serta paru sebelahnya yang terdorong menyebabkan sesak napas. Selain itu
peningkatan kerja pernapasan: hipoksia  takipneu sesak napas
b. Nyeri dada
Trauma dada tembus hingga ke pleura peregaangan pleura nyeri
Trauma dada kerusakan jaringan  impuls nyeri pada daerah yang luka (kulit, otot)
c. Takikardia
Tension pneumothorax  hipoksia  kompensasi tubuh  SS simpatis  takikardia
d. Takipneu
Tension pneumothorax  hipoksia  kompensasi tubuh  SS simpatis  takipneu
e. Perkusi hipersonor
akumulasi udara dalam rongga pleura  suara yang lebih nyaring saat perkusi /
hipersonor (udara merupakan penghantar gelombang suara yang baik)
f. Suara napas lemah sampai hilang
Suara napas adalah suara yang terdenger akibat udara yang keluar dan masuk paru saat
bernapas. Paru kolaps  pertukaran udara tidak berjalan baik  suara napas berkurang
atau hilang.
Temuan lanjut
a. Penurunan kesadaran
Hipoksia yang terus berlanjut kurangnya suplai O2 ke otak gangguan fungsi otak 
penurunan kesadaran
b. Trakea terdorong (deviasi trakea) menjauhi paru yang mengalami tension pneumothorax:
Tension pneumothorax tekanan udara yang tinggi  menekan kesegala arah  trakea
terdorong ke arah kontralateral
c. Distensi vena leher (bisa terjadi bila hipotensi berat)
Tension pneumothorax penekanan vena cava superior  tahanan darah yang kembali
ke jantung JVP meningkat  vena leher terdistensi
d. Hipotensi
Tension pneumothorax penekanan jantung dan vena cava superior serta inferior 
darah yang kembali ke jantung berkurang  caridiac output berkurang  tekanan darah
turun (hipotensi akibat shock obstruktif)
e. Sianosis
Tension pneumothorax  pertukaran udara tidak adekuat  darah mengandung sedikit
O2  pewarnaan yang kebiruan pada darah  tampak warna kebiruan pada kulit dan
mukosa
Tindakan yang dilakukan :
Lakukan tube thoracostomy / WDS (water sealed drainage, merupakan tatalaksana definitif
tension pneumothorax), (Continous suction). WSD  sebagai alat diagnostic, terapik, dan
follow up  mengevakuasi darah atau udara sehingga pengembangan paru maksimal  lalu
lakukan monitoring. Penyulit  perdarahan dan infeksi atau super infeksi
PROGNOSIS
Hampir 50% mengalami kekambuhan setelah pemasangan tube torakostomi tapi kekambuhan
jarang terjadi pada pasien-pasien yang dilakukan torakotomi terbuka
KOMPLIKASI
a. Gagal napas akut (3-5%)
b. Komplikasi tube torakostomi  lesi pada nervus interkostales
c. Henti jantung-paru
d. Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
e. Kematian
f. Timbul cairan intra pleura, misalnya : Pneumothoraks disertai efusi pleura (eksudat, pus),
Pneumothoraks disertai darah yaitu hemathotoraks.
g. Syok
Sumber :
- Barnawi H dan Eko B (2006). PneumoThoraxs spontan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I,Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke 4.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
- Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension
Pneumothorax. JIACM ;9(1): 42-50

Anda mungkin juga menyukai