Anda di halaman 1dari 17

Rabu, 16 September 2015

ASKEP KUSTA

ASUHAN
KEPERAWATAN
KUSTA
OLEH :
1. Jonri simarmata

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKES KEMENKES SORONG

D III KEPERAWATAN MANOKWARI

2013
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami juga bersyukur atas
berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat
mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet. Kami telah berusaha
semampu kami untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang Askep Kusta.

Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini
menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca,

Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami
mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.

Hormat Kami

Penulis

BAB 1

A. KONSEP DASAR MEDIK

1. DEFINISI

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.Lepra : Morbus hansen,
HamseniasisReaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih
aktiv disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah
mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan
penderita.

2. ETIOLOGI

M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun
1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron,
lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di
kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada
binatang Armadillo.

3. GEJALA DAN TANDA

Gejala kusta antara lain :


a. Bercak putih (hipopigemtasi) yang mati rasa biasanya daerah bercak putih
tidak ada keringat dan bulu.

b. Adanya penebalan saraf tepi dengan disertai gangguan fungsi (hanya dapat
diidentifikasi oleh tenaga yang sudah ahli atau terlatih).

c. Gangguan fungsi saraf meliputi mati rasa/kurang rasa, pareses dan paralisis,
kulit kering, retak dan edema (bengkak).

Ada beberapa tanda yang bisa didapatkan pada penderita kusta :


1. Tanda pada kulit bercak kulit yang merah, kulit yang mengkilap. Bercak tidak
gatal, lesi kulit yang tidak berkeringat atau berambut.
2. Tanda pada saraf rasa kesemutan , tertusuk-tusuk atau nyeri,
gangguan gerak pada anggota badan atau wajah
3. Cacat/deformitas
4. Ulkus yang tidak kun juang sembuh.
4. PENGOBATAN

Metode Pengobatan yang digunakan saat ini berupa MDT. Namun saat ini,
dulu maupun akan datang yang perlu kita perhatikan adalah cara penyampaian
diagnosa penyakit ini. Karena dimasyarakat masih tertanam dalam pikiran bahwa
penyakit kusta adalah penyakit turunan, mereka akan menyangkal bahwa
dikeluarga ada penderita kusta sehingga keluarga yang malu akan mengucilkan
penderita tersebut dari orang banyak, demikian juga bila ketahui masyarkat
menderita penyakit ini. Penderita akan tidak diijinkan untuk bergaul lagi dengan
mereka karena takut terjangkit.

5. PATOGENESIS

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa


penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal.

Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang,


kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi
lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.M. Leprae ( Parasis Obligat
Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh
tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn,
histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu
menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan


kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak
bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak
segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan sekitar.

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit


kustabergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet
immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah
tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium
leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi
seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit
imonologik.

6. FAKTOR RESIKO

1. Merasa ketakutan
2. Cacat
3. Menarik Diri
4. Hanya mempersoalkan diri sendiri
5. Reaksi emosional tinggi
6. Perubahan persepsi terhadap lingkungan
7. Berkurangnya minat.

7. KLASIFIKASI
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang
dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala
berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( -
) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4
buah, gangguan sensibilitas ( + )

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi
”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak
begitu jelas pada tepi luarnya.

Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( - ).

4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris,
gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat
banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung,
uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

8. GAMBARAN KLINIK
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1. Tipe Tuberkoloid ( TT )

 Mengenai kulit dan saraf.

o Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,
kontrol healing ( + ).

o Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis
atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot,
sedikit rasa gatal.
o Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun
pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Borderline ( BB )

 Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

 Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

o Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.

 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

o Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian
tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil
daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

5. Tipe Lepromatosa ( LL )

 Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

 Distribusi lesi khas :

o Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

o Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

 Stadium lanjutan :

o Penebalan kulit progresif


o Cuping telinga menebal

o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,
intis dan keratitis.

 Lebih lanjut

o Deformitas hidung

o Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

o Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

o Penyakit progresif, makula dan popul baru.

o Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

 Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan


pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat


ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

 Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

 Lidah : ulkus, nodus

 Larings : suara parau

 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

 Kelenjar limfe : limfadenitis

 Rambut : alopesia, madarosis


 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

9. PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia,
hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan
kepiting.

Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui
penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum
diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor
ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.

Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat
infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun
di Cebu, Philipinahingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.[14]

Dua pintu keluar dari M. lepraedari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan
mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya
sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa
organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.

Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam


di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta
lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat
keluar melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000
hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi
bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme
per hari.

Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini
diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya
bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di
mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan
pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.

Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang
paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat
mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.

Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan
pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan
kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

10. PENATALAKSANAAN MEDIK


1. TERAPI MEDIK

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien


kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden
penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,


dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995


sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

· DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum
6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b) Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

· Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas


· Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah

· DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah


selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif
dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk
12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak

Klofazimin:

· Umur dibawah 10 tahun :

o Bulanan 100mg/bln

o Harian 50mg/2kali/minggu

· Umur 11-14 tahun

o Bulanan 100mg/bln

o Harian 50mg/3kali/minggu

DDS:1-2mg /Kg BB

Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien


kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe
MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.

e) Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2. PERAWATAN UMUM
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena
kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.

a) Perawatan mata dengan lagophthalmos

§ Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran

§ Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat

§ Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

b) Perawatan tangan yang mati rasa

§ Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh

§ Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam

§ Keadaan basah diolesi minyak

§ Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus

§ Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku

§ Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

c) Perawatan kaki yang mati rasa

§ Penderita memeriksa kaki tiap hari

§ Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam

§ Masih basah diolesi minyak

§ Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus

§ Jari-jari bengkok diurut lurus

§ Kaki mati rasa dilindungi

d) Perawatan luka

§ Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam

§ Luka dibalut agar bersih

§ Bagian luka diistirahatkan dari tekanan

§ Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas


Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:

1) Kulit halus dan berminyak

2) Tidak ada kulit tebal dan keras

3) Luka dibungkus dan bersih

4) Jari-jari bengkak menjadi kaku

B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. BIODATA

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak


dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan
tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada
kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi
lemah.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan


adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-
kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi
pada organ tubuh

c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU


Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan


oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5
tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.

e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang
diderita.

f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan


kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan

g. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.

Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan,
dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi
akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika
ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana


dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan:

a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada
mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan


sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.

Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya


kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),


bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia : Jakarta.

2. Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta.


Propinsi Jawa Tangah

3. Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta.

4. Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,


Depkes Jakarta

5. Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,
Jakarta.

6. Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi


II, EGC. Jakarta, 1995

7. Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya


8. Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai