Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KUSTA

A. Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis
Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv
disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta
yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah
penderita dan cairan penderita.

B. Etiologi
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta
yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun
1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8
micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan
tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan
infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

C. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,
beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu
dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi
lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel
macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan
saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag
( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag
tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan
bebas merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel
epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian
longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

D. Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita
menjadi :
1. TT : Lesi berupa makula hipo
pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang
dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar
bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan
sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat
eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan
sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa
permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan
infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas
pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan
kulit dan uji lepromin ( - ).
4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah
banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas
sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan
permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA
( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji
Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

E. Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
 Mengenai kulit dan saraf.
 Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat,
batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
 Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir
sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf
perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
 Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan
tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak
sejelas tipe TT.
 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid Borderline ( BB )
 Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
 Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
 Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah
lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun
distribusinya.
 Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi
berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri
khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda
khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan
saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
 Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma,
berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis
pada stadium dini.
 Distribusi lesi khas :
o Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
o Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor
tingkat bawah.
 Stadium lanjutan :
o Penebalan kulit progresif
o Cuping telinga menebal
o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies
leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
 Lebih lanjut
o Deformitas hidung
o Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
o Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses
anestesi.
o Penyakit progresif, makula dan popul baru.
o Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
 Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan
anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar
normal.
 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka,
kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan
saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
 Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain


 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
 Lidah : ulkus, nodus
 Larings : suara parau
 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
 Kelenjar limfe : limfadenitis
 Rambut : alopesia, madarosis
 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis,
nefritis interstitial.

F. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif
koping indifidu
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses
reaksi
3. Gangguan aktivitas b/d post amputasi
4. Resti injuri b/d invasif bakteri
M Leprae M. Tuberkoloid

sensabilitas
Menyerang kulit dan saraf tepi
PATHWAYS

makula nodula papula Menyerang


ulkus saraf tepi sensorik & motorik

Keganasan cancer epidemoid

Kulit terkihat rusak Infasif bakteri neuritis

metastase
Resti infeksi
malu
amputasi
Resiko trauma
Inefektif koping indifidu

Perubahan aktivitas
Gangguan konsep diri : HDR

Gangguan konsep diri : HDR

Resti injuri Menyerang


Gangguan saraf :ulnaris,
rasa nyaman nyeri nervus popliteus, nervus aurikularis, nervus radialis

Kelumpuhan otot

Kontraktur otot & sendi

Gangguan aktivitas
G. Intervensi
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping
indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan
kriteria hasil :
 Klien dapat menerima perubahan dirinya
 Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
 Klien tidak merasa malu
Intervensi :
 Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan
bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
 Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan
latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
 Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.

Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi


Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan, dengan kriteria hasil :
 Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
 Klien tenang
 Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari
Intervensi :
1. Kaji skala nyeri klien
2. Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
3. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda
vital
4. Awasi keadaan luka operasi
5. Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk
mengurangi nyeri
6. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik
dan analgetik.

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi


Tujuan :
Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan
tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
 Klien dapat beraktivitas mandiri
 Klien tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas
sendiri
2. mengajarkan Range of Motion : terapi
latihan post amputasi
3. Motivasi klien untuk dapat melakukan
aktivitas sesuai dengan kemampuannya.
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia : Jakarta.

Standar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta.


Propinsi Jawa Tangah

Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
EGC : Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MORBUS HANSEN
DI RUANG KENANGA RSUD TUGUREJO SEMARANG
Disusun Oleh :
Bintara Bayu Aji
1.1.20350

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
2006

Anda mungkin juga menyukai