Anda di halaman 1dari 23

Keperawatan Tropis

“Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Kusta”

OLEH kelompok 1:

1. A.A AYU INTAN DARMAYANI (C1118071)


2. NI PUTU DEWI PUTRI WIARDANI (C1118077)
3. NI MADE FITRI LAKSMINI (C1118078)
4. NI LUH PUTU SRI TRISNA DEWI (C1118086)
5. YULIANINGSIH (C1118088)
6. LUH AYU YESIKA DARMAYANTI (C1118104)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
MORBUS HANSEN (KUSTA)

A. PENGERTIAN
 Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI,
2000)
 Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan
disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf
tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM &
PL, 2002)
 Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya.

B. ETIOLOGI

Mycrobacterium Lepra yang merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat


intraseluler yang ditemukan oleh G. A. Hansen. Masa membelah diri
Mycrobacterium leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan
kuman lain, yaitu 12-21 hari masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung, melalui saluran pennapasan (inhalasi)
dan kulit (kontak langsung dengan penderita yang lama dan erat). Kuman tersebut
dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar keringat,septum dan air susu ibu.
Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Penyakit
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti, namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu
1. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh
bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk
kuman yang telah hancur akibat pengobatan.
2. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi
basah, berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara.
3. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan
hidup seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh.
4. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orang-
orang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan
hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat
permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan
yang

5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan
berkembangnya virus M.Leprae.

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa
2. Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan, kaki dan mata.

3. Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman
Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel
serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali
menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis
kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui.
Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan
dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang
memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan
berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+.
CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan
makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I
yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang
makrofag bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht
Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau
nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan
jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan
APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi
seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan
menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati
rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau
lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok.
Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya  gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si
penderita cacat seumur hidup.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi
(semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul
(benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia.
Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini
dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan  pada otot mata mengakibatkan
kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran
dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada
kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata
dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersama – sama akan menyebabkan kebutaan
Pathway:

Infeksi
Myobakterium leprae

Morbus hansen

kulit Saraf tepi

Bercak
hipopigmentasi
/ kemerahan motorik otonom sensorik

Penebalan dan N fasialis N ulnaris & N tibia Gg kelenjar Penebalan


anestesi N medianus posterior keringat dan saraf
minyak
legoptalmus
Gatal gatal Paralisis jari Paralisis anastesia
tangan jari kaki Kulit kering
Kemampuan dan bersisik
Terjadi
ulcerasi berkedip <<
luka
Claw hand &
claw finger Claw toes
Port de entri Epitell mata Kerusakan resiko
luka kering integritas cidera
kulit
gg persepsi sensori intoleransi
resiko infeksi
penglihatan aktifitas

gangguan citra diri


E. KLASIFIKASI LEPRA
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi
dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi
satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian
tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih
tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai
dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan
yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada
stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal,
facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran
kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau
fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh
tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang
keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),
jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin
dalam tabung reaksi (rasa suhu).
3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n.
ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan
adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak
saat saraf diraba.
4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan
pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan
pensil tinta.
Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP
Kelainan kulit dan hasil Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
a. Jumlah 1-5 Banyak
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral, simetris
asimetris
d. Permukaan Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Gangguan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
sensitibilitas jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut
g. Kehilangan Bertcak tidak Bercak masih
kemampuan berkeringat, ada bulu berkeringat, bulu tidak
berkeringat, bulu rontok pada bercak rontok
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada
Ada, kadang-kadang
b. Membrana mukosa Tidak pernah ada tidak ada
(hidung tersumbat Ada, kadang-kadang
pendarahan di tidak ada
hidung)
3. Nodulus Tidak ada
4. Penebalan syaraf tepi Lebih sering terjadi dini, Kadang-kadang ada
asimetris Terjadi pada yang
lanjut, biasanya lebih
5. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris dari satu dan simetris
terjadi dini Terjadi pada usia lanjut
6. Sediaan apus BTA negatif
7. ciri-ciri khusus Central healing BTA positif
penyembuhan di tengah punched
Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes
(1999)
Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995)
Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
 Lesi kulit  1-5 lesi  >5
(macula datar, papul  Hipopigmentasi/eritema  Distribusi lebih
yang meninggi,  Distribusi tidak simetris simetris
nodus)  Hilangnya sensasi yang  Hilangnya
jelas sensasi
 Hanya satu cabang saraf
 Kerusakan saraf  Banyak cabang
(menyebabkan saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)

Dikutip dan dimodifikasi dari WHO (1995)

5. Pemeriksaan Bakteriologis
 Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
 Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
 Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak
ditemukan lesi di tempat lain
 Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul
 Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :
a. Cuping telinga kiri/kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain
 Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung
apabila sediaan apus kulit negative
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender
hidung lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain
 Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali
 Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett.
 Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granular (granulates), globus, dan clamps.
6. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut :
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

7. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM
sebagai berikut :

Lokasi pengambilan Kepadatan Solid Fragmented/granulated


 Daun telinga kiri 5+ 5 95
 Daun telinga kanan 4+ 6 94

 Paha kiri 4+ 3 97

 Bokong kanan 4+ 4 96
17 + 18 382

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin
dan DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995)
sebagai berikut
 Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa :
1) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas
2) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah
3) DDS 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti
minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteti positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis
yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
 Dosis untuk anak
Klofazimin : Umur <10 tahun : Bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun : Bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS : 1-2 mg/jkg berat badan
Rifampisin :10-15 mg/kg berat badan

 Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998),
pasien kusta tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan
pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan
lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan
sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24
bulan.
 Putus Obat
Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi
Basiler dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

H. INDIKASI RUJUKAN
a. Memastikan diagnosis penyakit kusta
b. Neuritis akut dan subakut
c. Reaksi reversal berat
d. Reaksi ENL berat
e. Komplikasi pada mata
f. Reaksi terhadap antikusta
g. Tersangka resisten terhadap antikusta
h. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic
i. Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat
j. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi
k. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
l. Luka lebar dan dalam pada anggota gerak
m. Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septic
n. Pasien yang memerlukan protese
o. Indikasi social

I. KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

J. REHABILITASI
Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan social. Usaha
medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi.
Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap
pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan
semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur
dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pasien
sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan social dan
peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.
Asuhan Keperawatan Kusta
Pasien Ny. S, seorang perempuan berusia 23 tahun dengan Tekanan Darah 120/80
mmhg Suhu 36 C Nadi 80 x/menit RR 20 x/menit keluhan timbul bercak-bercak
merah disekitar tangan dan kaki. Selain itu ia juga merasa kaki terasa sangat nyeri
dan susah untuk berjalan. Bercak merah yang dirasakan semakin lama semakin
menebal dan dirasakan kesemutan serta timbul rasa baal di sekitar bercak
A. Pengkajian
1. Biodata.

Nama : Ny. S
Umur : 23 th
Alamat : Jalan ratna desa sumerta kaja , Denpasar Timur
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : pegawai swasta
Pendidikan : SMA
2. Keluhan utama.

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya bercak merah disekitar
tangan dan kaki, selin itu merasa kaki nyeri dan susah berjalan

3. Riwayat penyakit sekarang.

Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, terdapat bercak merah dibagian
tangan dan kaki, bercak merah timbul sejak 5 bulan yang lalu. Warna kulit
berubah menjadi merah terasa gatal, nyeri, panas serta terasa tebal. Pasien
pertama kali datang ke rumah sakit.

4. Riwayat penyakit dahulu.

Pasien tidak memiliki penyakit kronis

5. Riwayat penyakit keluarga.

Pasien mengatakan keluarga tidak memiliki riwayat penyakit kusta

6. Riwayat psikososial.

Pasien mengatakan merasa malu terhadap penyakitnya yang sekarang karena


sudah menyebar di tangan dan kaki , itu menyebabkan pasien malu untuk keluar
rumah dan bertemu masyarakat.
7. Kebiasaan sehari-hari.

Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-hari, status gizi
pasien buruk, pasien mengatakan makan 2 x sehari porsi makan jarang habis.
Pasien mengatakan sekarang tidak bisa membantu membersihkan rumah karena
penyakitnya.

8. Pemeriksaan fisik.
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Composmentis
3. Status lokalis kulit :

Timbul bercak-bercak merah disekitar tangan dan kaki.

4. Pemeriksaan saraf :

- N.Auricularis magnus sinistra mengalami pembesaran, konsistensi kenyal, nyeri tekan


(+)

- N. Ulnaris sinistra mengalami pembesaran konsistensi kenyal, nyeri tekan (+)

- Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari pada kulit normal.

- Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari pada kulit normal

- Pemeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan suhu panas dingin
pada tempat lesi.

5. Pemeriksaan penunjang.
1) Pemeriksaan bakterioskopik,
2) Pemeriksaan histopatologi,
3) Pemeriksaan serologis,
B. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit
b. Nyeri akut b.d proses inflamasi
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap lesi kulit
C. ANALISA DATA

N ANALISA DATA ETIOLOGI MASALAH KEPERAWATAN


O
1. Ds : pasien mengeluh timbul bercak Adanya lesi pada kulit Kerusakan Integritas Kulit
bercak merah pada tangan dan kaki
Pasien mengatakan bercak merah yang
timbul semakin hari semakin tbeal dan
gatal
Do : tangan dan kaki pasien tampak
merah
Pasien terlihat menggrauk tangannya
TD 120/80 mmhg Suhu 36 C Nadi 80
x/menit RR 20 x/menit

2. Ds : pasien mengatakan kakinya terasa Proses Inflamasi Nyeri Akut


sangat nyeri dan susah untuk berjalan
Skala nyeri : 6
Do : pasien tampak meringis dan
menahan nyeri
TD 120/80 mmhg Suhu 36 C Nadi 80
x/menit RR 20 x/menit

3. Ds : pasien mengatakan malu terhadap Perubahan persepsi diri terhadap lesi kulit Gangguan Citra Tubuh
kondisinya saat ini, karena sudah
menyebar ke tangan dan kaki
Do : pasien tampak murung dan sedih
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnose Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Kerusakan integritas kulit NOC : NIC : 1.Mengetahui perkembangan
b.d adanya lesi pada kulit Setelah diberikan tindakan Pressure Management kondisi pasien
keperawatan integritas kulit utuh. a. Monitor aktivitas dan mobilisasi 2. Mencegah resiko kerusakan
Kriteria Hasil : pasien integritas kulit
a. Integritas kulit yang baik bisa b. Monitor kulit adanya kemerahan 3.memastikan pasien
dipertahankan (temperatur, c. Monitor status nutrisi pasien mengkonsumsi nutrisi yang
sensasi, elastistitas, hidrasi, d. Anjurkan pasien untuk dianjurkan
pigmentasi) menggunakan pakaian yang 4. Dengan memakai pakaian
b. Perfusi jaringan baik longgar longgar memperkecil
c. Mampu melindungi kulit dan e. Jaga kulit agar tetap bersih dan kemungkinan terjadi luka pada
mempertahankan kelembaban kering kulit.
kulit dan perawatan alami f. Oleskan lotion atau minyak/baby 6. Mencegah resiko kerusakan
oil pada daerah yang tertekan integritas kulit semakin parah
g. Mobilisasi pasien (ubah posisi 7. Mencegah terjadinya
pasien) setiap dua jam sekali decubitus
2. Nyeri akut b.d proses NOC : NIC : 1. Untuk mengetahui
inflamasi Setelah diberikan tindakan Pain Management daerah nyeri , kualitas ,
keperawatan terjadi peningkatan a. Kaji nyeri secaa komprehensif kapan nyeri dirasakan ,
keyamanan dan nyeri terkontrol. termasuk lokasi, karakteristik, berat ringannya nyeri
Kriteria Hasil : durasi, frekuensi, kualitas dan yang dirasakan
a. Mampu mengontrol nyeri faktor presipitasi 2. mengetahui keadaan
b. Melaporkan bahwa nyeri b. Observasi reaksi nonverbal dari tidak menyenangkan
berkurang dengan ketidaknyamanan pasien yang tidak
menggunakan manajemen c. Kaji kultur yang mempengaruhi sempat dan tidak bisa
nyeri respon nyeri digambarkan oleh
c. Mampu mengenali nyeri d. Kontrol lingkungan yang dapat pasien
(skala, intensitas, frekuensi, mempengaruhi nyeri seperi suhu, 3. untuk membantu proses
tanda gejala) pencahayaan dan kebisingan pengobatan pasien
e. Ajarkan teknik non farmakologi 4. mencegah pasien
f. Berikan analgetik untuk mengalami stress yang
mengurangi nyeri dapat meningkatkan
nyerinya
5. untuk mengurangi nyeri
6. untuk mengurangi nyeri

3. Gangguan citra tubuh b.d NOC : NIC : 1. Untuk mengetahui


perubahan persepsi diri Setelah diberikan tindakan Body Image Enhancement kekuatan pribadi pasien
terhadap lesi kulit keperawatan dapat berfungsi a. Kaji secara verbal dan non verbal 2. Untuk mengetahui
secara optimal dan konsep diri respon pasien terhadap tubuhnya seberapa besar pasien
meningkat. b. Monitor frekuensi mengkritik mampu untuk menerima
Kriteria Hasil: dirinya keadaan dirinya
a. Body image positif c. Jelaskan tentang pengobatan, 3. Mengidentifikasikan
b. Mampu mengindentifikasi perawatan, kemajuan dan luas masalah dan
kekuatan personal prognosis penyakit perlunya intervensi
c. Mendiskripsikan secara faktual d. Dorong klien mengungkapkan 4. Untuk mengetahui
perubahan fungsi tubuh perasaannya kekuatan pribadi pasien
d. Mempertahankan interaksi
sosial

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


No. Diagnosa Implementasi Evaluasi

1. Kerusakan integritas 1. Memonitor aktivitas dan S: pasien mengatakan kondisinya sedikit


kulit b.d adanya lesi mobilisasi pasien membaik dari sebelumnya
pada kulit 2. Memonitor kulit adanya O: pasien tampak masih menggaruk garuk
kemerahan bagian yang gatal
3. Memonitor status nutrisi A: tujuan belum teratasi
pasien P: pertahankan kondisi
4. Menganjurkan pasien
untuk menggunakan
pakaian yang longgar
5. Menjaga kulit agar tetap
bersih dan kering
6. Mengoleskan lotion atau
minyak/baby oil pada
daerah yang tertekan

2. Nyeri akut b.d proses 1. Kaji nyeri secaa S: pasien mengatakan nyeri yang dialami sudah
komprehensif termasuk
inflamasi sedikit berkurang dan jarang timbul
lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan O:
faktor presipitasi
P : pasien mengatakan nyeri dibagian tangan
2. Observasi reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan sebelah kiri dan kaki
3. Kaji kultur yang
Q: terasa seperti tertusuk tusuk
mempengaruhi respon
nyeri R: dibagian tangan sebelah kiri dan kaki
4. Kontrol lingkungan yang
S : skala nyeri 3
dapat mempengaruhi nyeri
seperi suhu, pencahayaan T: setiap kali bergerak
dan kebisingan
A: masalah teratasi
5. Ajarkan teknik non
farmakologi P: lanjutkan intervensi
6. Berikan analgetik untuk
DAFTAR PUSTAKA

Rahariyani, Dwi Lutfia. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Ganggauan Sistem Integumen. Jakarta: ECG.
Hurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Percertakan
Mediaction Publising.
Zulkoni, Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai