OLEH kelompok 1:
A. PENGERTIAN
Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI,
2000)
Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan
disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf
tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM &
PL, 2002)
Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya.
B. ETIOLOGI
5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan
berkembangnya virus M.Leprae.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa
2. Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan, kaki dan mata.
3. Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman
Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel
serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali
menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis
kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui.
Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan
dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang
memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan
berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan
MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+.
CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan
makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I
yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang
makrofag bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht
Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau
nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan
jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan
APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi
seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan
menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati
rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau
lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok.
Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si
penderita cacat seumur hidup.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi
(semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul
(benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia.
Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini
dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata mengakibatkan
kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran
dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada
kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata
dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,
menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersama – sama akan menyebabkan kebutaan
Pathway:
Infeksi
Myobakterium leprae
Morbus hansen
Bercak
hipopigmentasi
/ kemerahan motorik otonom sensorik
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh
tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang
keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),
jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin
dalam tabung reaksi (rasa suhu).
3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n.
ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan
adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak
saat saraf diraba.
4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan
pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan
pensil tinta.
Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP
Kelainan kulit dan hasil Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
a. Jumlah 1-5 Banyak
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral, simetris
asimetris
d. Permukaan Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Gangguan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
sensitibilitas jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut
g. Kehilangan Bertcak tidak Bercak masih
kemampuan berkeringat, ada bulu berkeringat, bulu tidak
berkeringat, bulu rontok pada bercak rontok
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada
Ada, kadang-kadang
b. Membrana mukosa Tidak pernah ada tidak ada
(hidung tersumbat Ada, kadang-kadang
pendarahan di tidak ada
hidung)
3. Nodulus Tidak ada
4. Penebalan syaraf tepi Lebih sering terjadi dini, Kadang-kadang ada
asimetris Terjadi pada yang
lanjut, biasanya lebih
5. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris dari satu dan simetris
terjadi dini Terjadi pada usia lanjut
6. Sediaan apus BTA negatif
7. ciri-ciri khusus Central healing BTA positif
penyembuhan di tengah punched
Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes
(1999)
Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995)
Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
Lesi kulit 1-5 lesi >5
(macula datar, papul Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
yang meninggi, Distribusi tidak simetris simetris
nodus) Hilangnya sensasi yang Hilangnya
jelas sensasi
Hanya satu cabang saraf
Kerusakan saraf Banyak cabang
(menyebabkan saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
5. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak
ditemukan lesi di tempat lain
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul
Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :
a. Cuping telinga kiri/kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain
Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung
apabila sediaan apus kulit negative
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender
hidung lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain
Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali
Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett.
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granular (granulates), globus, dan clamps.
6. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut :
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Paha kiri 4+ 3 97
Bokong kanan 4+ 4 96
17 + 18 382
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin
dan DDs dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995)
sebagai berikut
Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa :
1) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas
2) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah
3) DDS 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti
minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteti positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis
yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak
Klofazimin : Umur <10 tahun : Bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun : Bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS : 1-2 mg/jkg berat badan
Rifampisin :10-15 mg/kg berat badan
H. INDIKASI RUJUKAN
a. Memastikan diagnosis penyakit kusta
b. Neuritis akut dan subakut
c. Reaksi reversal berat
d. Reaksi ENL berat
e. Komplikasi pada mata
f. Reaksi terhadap antikusta
g. Tersangka resisten terhadap antikusta
h. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic
i. Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat
j. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi
k. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
l. Luka lebar dan dalam pada anggota gerak
m. Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septic
n. Pasien yang memerlukan protese
o. Indikasi social
I. KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
J. REHABILITASI
Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan social. Usaha
medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi.
Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap
pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan
semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur
dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pasien
sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan social dan
peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.
Asuhan Keperawatan Kusta
Pasien Ny. S, seorang perempuan berusia 23 tahun dengan Tekanan Darah 120/80
mmhg Suhu 36 C Nadi 80 x/menit RR 20 x/menit keluhan timbul bercak-bercak
merah disekitar tangan dan kaki. Selain itu ia juga merasa kaki terasa sangat nyeri
dan susah untuk berjalan. Bercak merah yang dirasakan semakin lama semakin
menebal dan dirasakan kesemutan serta timbul rasa baal di sekitar bercak
A. Pengkajian
1. Biodata.
Nama : Ny. S
Umur : 23 th
Alamat : Jalan ratna desa sumerta kaja , Denpasar Timur
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : pegawai swasta
Pendidikan : SMA
2. Keluhan utama.
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya bercak merah disekitar
tangan dan kaki, selin itu merasa kaki nyeri dan susah berjalan
Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, terdapat bercak merah dibagian
tangan dan kaki, bercak merah timbul sejak 5 bulan yang lalu. Warna kulit
berubah menjadi merah terasa gatal, nyeri, panas serta terasa tebal. Pasien
pertama kali datang ke rumah sakit.
6. Riwayat psikososial.
Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-hari, status gizi
pasien buruk, pasien mengatakan makan 2 x sehari porsi makan jarang habis.
Pasien mengatakan sekarang tidak bisa membantu membersihkan rumah karena
penyakitnya.
8. Pemeriksaan fisik.
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Composmentis
3. Status lokalis kulit :
4. Pemeriksaan saraf :
- Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari pada kulit normal.
- Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari pada kulit normal
- Pemeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan suhu panas dingin
pada tempat lesi.
5. Pemeriksaan penunjang.
1) Pemeriksaan bakterioskopik,
2) Pemeriksaan histopatologi,
3) Pemeriksaan serologis,
B. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit
b. Nyeri akut b.d proses inflamasi
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap lesi kulit
C. ANALISA DATA
3. Ds : pasien mengatakan malu terhadap Perubahan persepsi diri terhadap lesi kulit Gangguan Citra Tubuh
kondisinya saat ini, karena sudah
menyebar ke tangan dan kaki
Do : pasien tampak murung dan sedih
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
2. Nyeri akut b.d proses 1. Kaji nyeri secaa S: pasien mengatakan nyeri yang dialami sudah
komprehensif termasuk
inflamasi sedikit berkurang dan jarang timbul
lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan O:
faktor presipitasi
P : pasien mengatakan nyeri dibagian tangan
2. Observasi reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan sebelah kiri dan kaki
3. Kaji kultur yang
Q: terasa seperti tertusuk tusuk
mempengaruhi respon
nyeri R: dibagian tangan sebelah kiri dan kaki
4. Kontrol lingkungan yang
S : skala nyeri 3
dapat mempengaruhi nyeri
seperi suhu, pencahayaan T: setiap kali bergerak
dan kebisingan
A: masalah teratasi
5. Ajarkan teknik non
farmakologi P: lanjutkan intervensi
6. Berikan analgetik untuk
DAFTAR PUSTAKA
Rahariyani, Dwi Lutfia. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Ganggauan Sistem Integumen. Jakarta: ECG.
Hurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Percertakan
Mediaction Publising.
Zulkoni, Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.