Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah sangat
kompleks, tidak hanya dari segi medis (misalya, penyakit atau kecacatan fisik), tetapi juga
meluas sampai masalah ekonomi. Di samping itu, ada stigma negatif dari masyarakat yang
mengatakan penyakit kusta adalah penyakit yang menakutkan, bahkan ada beberapa
masyarakat yang menganggap penyakit ini adalah kutukan. Ini karena dampak yang
ditimbulkan dari penyakit tersebut cukup parah, yaitu adanya deformitas/kecacatan yang
menyebabkan perubahan bentuk tubuh.
Angka kejadia penyakit kusta cukup tinggi dan menyerang beberapa negara. Pada tahun
2000, World Health Organization (WHO) menyatakan 91 negara merupakan endemik
penyakit kusta. Di indonesia, penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah dengan
penyebaran yang tidak merata. Angka kejadian penyakit kusta tertinggi ada di wilayah
indonesia bagian timur. Mayoritas penderita (90%) tinggal diantara keluarga mereka dan
hanya beberapa pasien saja yang tinggal di rumah sakit kusta, koloni penampungan, atau
perkampungan kusta (Departemen Kesehatan, Dit.Jen PPM & PL, 2002).
Tenaga kesehatan, khususnya keperawatan, harus dapat membantu menyeesaikan
masalah yang ditimbulkan penyakit ini agar klien yang menderita penyakit kusta dapat
sembuh dan terhindar dari kecacatan lebih lanjut. Oleh karena itu, tindakan promotif,
pencegahan, pengobatan, serta pemulihan kesehatan untuk penyakit kusta perlu diperhatikan
dan dilaksanakan.

1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu
memberikan asuhan keperawatan pada pasien penyakit kusta.
1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menjelaskan pengertian kusta
2. Menyebutkan klasifikasi penyakit kusta

1
3. Menjelaskan etiologi penyakit kusta
4. Menjelaskan patofisiologi penyakit kusta
5. Menjelaskan manifestasi klinis penyakit kusta
6. Menjelaskan faktor resiko penyakit kusta
7. Menjelaskan gambaran klinis penyakit kusta
8. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit kusta
9. Menjelaskan asuhan keperawatan pada penyakit kusta

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Kusta adalah penyakit menular kronis, yang disebabkan oleh mycobacterium leprae, yang
primer menyerang saraf tepi, dan sekunder menyerang kulit, otot saluran pernapasan
bagian atas, mata, dan testis (RSUD Dr. Soetomo, 1994).
Kusta (lepra atau morbus hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000).
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya
(Departemen Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002).

B. Klasifikasi
Menurut Ridley dan Joplin (1960), dalam buku ilmu penyakit kulit dan kelamin, Fakultas
Kedokteran UI, tahun 2001 memperkenalkan determina spektrum pada penyakit kusta
dan membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo
patologik, dan status imun penderita menjadi :
1. TT : Tuberkuloid polar, merupakan bentuk yang stabil dan tidak mungkin berubah.
Lesi berupa makula hipopigmentasi/eritematosa dengan permukaan kering dan
kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satu dengan yang besar
bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi
kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT : (Bordeline tuberculoid). Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan
permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran
khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah
dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan
uji lepromin ( - ).

3
4. BL : (Bordeline leptromatous). Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak,
ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/(-), BTA (+)
banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil. Lesi infiltrat eritematosa dengan
permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + )
sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

Tipe Ti dan Li disebut tipe bordeline atau campuran, yang berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50% tuberkuloid
dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya. Sedangkan BL dan Li
lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, yang dapat
dengan bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.

Menurut WHO, kusta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :


1. Multibasiler (MB) berarti mengandung banyak basil. Tipenya adalah BB, BL, dan LL.
2. Pausibasiler (PB) berarti mengandung sedikit basil. Tipenya adalah TT, BT, dan I.

C. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang merupakan bakteri tahan
asam, bersifat obligat intraseluler, yang ditemukan oleh G. A. Hansen. Masa membelah
diri M. Leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kuman lain,
yaitu 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun.

D. Patogenesis
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli, kusta
menular melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan
erat).
Kuman M. Leprae masuk ke dalam tubuh dapat melalui beberapa cara, diantaranya
melalui kulit yang tidak utuh, saluran napas, atau saluran pencernaan. Setelah masuk ke
dalam tubuh, kuman menuju ke tempat predileksinya, yaitu sel schwan pada saraf tepi. Di
dalam sel inilah kuman berkembangbiak. Sel tersebut pecah dan kemudian menginfeksi
sel schwan yang lain atau ke kulit. Perkembangan penyakit kusta ini bergantung pada

4
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas bergantung pada derajat sistem
imunitas seluler (Celluler mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi,
penyakit berkembang ke arah tipe tuberkuloid, dan bila rendah berkembang ke arah tipe
lepromatosa. M. Laprae berpredileksi di daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

5
E. Pathway

Mycobacterium Leprae

Droplet infection atau kontak dg kulit

Masuk dlm pem.darah dermis & sel saraf schwan

System imun seluler meningkat

fagositosis

Pembentukan tuberkel

Morbus Hansen (kusta)

Pause Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

G3 saraf tepi

Saraf motor Saraf otonom Saraf sensorik

Kelemahan otot G3 kelenjar minyak & fibrosis


aliran darah

Intoleransi aktivitas Penebalan saraf


Kulit kering, bersisik,
macula seluruh tubuh
anestesi

sekresi histamin G3 fungsi barrier kulit


Terjadi trauma/cedera

Respon gatal Kerusakan integritas


Terjadi luka
kulit

digaruk Merangsang mediator


inflamasi

Resiko penyebaran
infeksi Sekresi mediator
nyeri nyeri
G3 citra tubuh 6
F. Manifestasi klinis
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut:
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa
makula, papul, atau nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan
gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai
kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa
disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3
bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign
penyakit kusta, yaitu:

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa


Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi
saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise)
c. Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih
dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang

7
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan
cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang
tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.

G. Faktor resiko
1. Merasa ketakutan
2. Cacat
3. Menarik Diri
4. Hanya mempersoalkan diri sendiri
5. Reaksi emosional tinggi
6. Perubahan persepsi terhadap lingkungan
7. Berkurangnya minat.

H. Gambaran klinik
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling (1960):
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
 Mengenai kulit dan saraf.
 Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
 Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
 Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya
respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

8
3. Tipe Mid Borderline ( BB )
 Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
 Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
 Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe
BT, cenderung simetris.
 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
 Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian
tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat
muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat
prediteksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
 Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas
tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
 Distribusi lesi khas :
o Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
o Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
 Stadium lanjutan :
o Penebalan kulit progresif
o Cuping telinga menebal
o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai
madarosis, intis dan keratitis.
 Lebih lanjut
o Deformitas hidung
o Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
o Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

9
o Penyakit progresif, makula dan popul baru.
o Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
 Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan
anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
 Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain
 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
 Lidah : ulkus, nodus
 Larings : suara parau
 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
 Kelenjar limfe : limfadenitis
 Rambut : alopesia, madarosis
 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan
lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul.

10
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung
apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu
negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl
neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granula (granulates), globus dan clumps.

2. Indeks Bakteri (IB):


Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut :
0 : Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

11
2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

3. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.

J. Penatalaksanaan medis
1. Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
 Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
 DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RTF (release from treatment (berhenti minum obat kusta))
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995), pasien tidak
lagi dinyatakan RTF, melainkan menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

12
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
 Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
 Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
 DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis, pasien dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998), pengobatan
MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
 Umur dibawah 10 tahun :
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/2kali/minggu
 Umur 11-14 tahun
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600
mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan
RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan.
Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

13
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2. Perawatan umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya
cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman
kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos:
 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

b. Perawatan tangan yang mati rasa


 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka,
melepuh
 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah
jam
 Keadaan basah diolesi minyak
 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
 Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

c. Perawatan kaki yang mati rasa


 Penderita memeriksa kaki tiap hari
 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
 Masih basah diolesi minyak

14
 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
 Jari-jari bengkok diurut lurus
 Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
 Luka dibalut agar bersih
 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
 Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:


1. Kulit halus dan berminyak
2. Tidak ada kulit tebal dan keras
3. Luka dibungkus dan bersih
4. Jari-jari bengkak menjadi kaku

15
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Kaji secara lengkap tentang umur. Penyakit kusta dapat menyerang semua
usia, jenis kelamin, rasio pria dan wanita 2,3:1,0. Paling sering terjadi pada
daerah dengan sosial-ekonomi yang rendah dan insidensinya meningkat pada
daerah tropis/subtropis. Kaji pula secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk
mengetahui tingkat sosial-ekonomi, resiko trauma pekerjaan, dan
kemungkinan kontak dengan penderita kusta.
2. Keluhan utama
Pasien sering datang ketempat pelayanan kesehatan dengan keluhan adanya
bercak putih yang tidak terasa, atau datang dengan keluhan kontraktur pada
jari-jari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi atau kontraktur
tersebut timbul, sudah beberapa lama timbulya, dan bagimana proses
perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan lainnya. Pada beberapa
kasus, ditemukan keluhan, gatal, nyeri, panas, atau rasa tebal. Kaji juga
apakah klien pernah menjalani pemeriksaan laboratorium.
4. Riwayat penyakit dahulu
Salah satu faktor penyebab penyaki kusta adalah daya tahan tubuh yang
menurun. Akibatnya, M.leprae dapat masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu,
perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lainnya yang pernah
diderita.
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit kusta bukan penyait turunan, tetapi jika anggota keluarga atau
tetangga menderita penyakit kusta, resiko tinggi tertular sangat mungkin
terjadi. Perlu dikaji adakah anggota keluarga lain yang menderita atau

16
memiliki keluhan yang sama, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal.

6. Riwayat penyakit psikososial


Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikan. Ini
disebabkan adaya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan. Oleh karena
itu, perlu dikaji konsep diri klien dan respon masyarakat disekitar klien.
7. Kebiasaan sehari-hari
Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-hari. Perawat
perlu mengkaji status gizi, pola makan atau nutrisi klien. Hal ini sangat
penting karena faktor gizi berkaitan erat dengan sistem imun. Apabilah sudah
ada deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan kemampuan klien dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari dapat terganggu.
8. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
1. Sistem penglihatan.
Pada penderita kusta, dapat juga ditemukan kelainan pada mata akibat
kelumpuhan m. Orbicularis oculi sehingga terjadi lagopthalmus atau mata
tidak dapat dipejamkan. Akibatnya, mata menjadi kering dan berlanjut
pada keratitis, ulkus kornea, iritis, iridosiklitik, dan berakhir dengan
kebutaan.
2. Sistem pernafasan.
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
3. Sistem persarafan:
- Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati
rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat

17
terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.
- Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan
lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan.
Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat
terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata
akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
- Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
4. Sistem muskuloskeletal.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi. Selain itu,
ada pula kelainan otot berupa artrofi disuse otot yang di tandai dengan
kelumpuhan otot-otot, diikuti kekakuan sendi atau kontraktur sehingga
terjadi clow hand, drop foot, dan drop hand. Kelainan pada tulang dapat
berupa osteomielitis dan resorbsi tulang yang mengakibatkan pemendekan
dan kerusakan tulang (ujung bengkok), terutama jari-jari tangan dan kaki.
5. Sistem integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal,
mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak.

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan cara :


a. Inspeksi

18
Inspeksi dilakukan untuk menetapkan ruam yang ada pada kulit. Biasanya,
dapat ditemukan adanya makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi dan
eritematosa dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang
kurang jelas atau jelas, bergantung pada tipe yang diderita.
b. Palpasi
Pada palpasi, ditemukan penebalan serabut saraf, makula anestetika pada
tipe T, dan makula non-anestetika pada tipe L, serta permukaan lesi yang
kering dan kasar.
c. Uji kulit
Uji ini paling sering dilakukan dan caranya mudah sehingga semua
petugas kesehatan dapat melakukannya. Terlebih dahulu penderita diberu
tahu dan dijelaskan tentang prosedur pengujian yang akan dilakukan
secara jelas. Penggunaan jarum untuk mengetahui rasa nyeri dilakukan
dengan meminta klien menyebutkan tempat mana yang lebih sakit atau
lebih terasa. Kita dapat pula menggunakan kapas atau bulu ayam untuk
mengatasi sensasi raba. Jika masih belum jelas, kita lakukan pengujian
terhadap sensasi suhu, yaitu panas dan dingin, dengan menggunkan 2
tabung reaksi yang disentuh secara bergantian dengan catatan penderita
tidak melihat pada waktu pengujian dilakukan dan menyebutkan rasa apa
yang dirasakan.
d. Uji keringat
Pada pemeriksaan kusta, ditemukan anhidrosis karena rusaknya kelenjar
keringat. Uji ini dilakukan dengan cara menggores lesi dengan oensil tinta
mulai dari beberapa cm diluar lesi melewati permukaan lesi dan keluar
batas lesi. Hasilnya, pada bagian luar lesi goresan pensil akan
mengembang berwarna ungu, sedangkan di daerah lesi tidak.
e. Uji lepromin
Ini dilakukan untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta.
Tipe I, T, dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin
negatif.

19
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
b. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan otot
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
dan kehilangan fungsi tubuh.
e. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas

20
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


1. Gangguan rasa nyaman nyeri NOC NIC
yang berhubungan dengan  Ansiety  Anxiety Reduction
proses inflamasi jaringan.  Fear leavel (penurunan kecemasan)
Kriteria hasil : - Gunakan pendekatan yang
 Mampu mengontrol kecemasan menenangkan
 Status lingkungan yang - Nyatakan dengan jelas
nyaman harapan terhadap perilaku
 Mengontrol nyeri pasien
 Kualitas istirahat dan tidur - Jelaskan semua prosedur
adekuat dan apa yang dirasakan
 Agresi pegendaliann diri selama prosedur
 Respon terhadap pengobatan - Pahami prespektif pasien
 Control gejala terhadap situasi stres
 Status kenyamanan meningkat - Identifikasi tingkat
 Dapat mengontrol ketakutan kecemasan
 Support social - Instruksikan pasien
 Keinginan untuk hidup menggunakan teknik
relaksasi
2. Kerusakan integritas kulit yang
berhubungan dengan lesi dan NOC NIC
proses inflamasi.  Tissue integrity : skin and Pressure ulcer prevention
mucous wound care
 Wound healing : primary and - Anjurkan pasien untuk
secndary intention menggunakan pakaian yang
Kriteria Hasil : longgar
 Perfusi jaringan normal - Jaga kulit agar tetap bersih
 Tidak ada tanda-tanda infeksi dan kering
 Ketebalan dan tekstur jaringan - Mobilisasi pasien (ubah
normal posisi pasien) setiap 2 jam
 Menunjukkan pemahaman sekali
dalam proses perbaikan kulit - Monitor kulit akan adanya
dan mencegah terjadinya kemerahan
cedera berulang - Oleskan lotion/baby oil pada
 Menunjukkan terjadinya proses daerah yang tertekan
penyembuhan luka. - Monitor aktivitas dan
mobilisasi pasien
- Memandikan pasien engan

21
sabun dan air hangat
- Observasi luka: lokasi,
dimensi, kedalaman luka,
jaringan nekrotik, tanda
tanda infeksi lokal, dan
formasi traktus
- Ajarkan keluarga tentang
luka, dan perawatan luka
- Kolaborasi dengan ahli gizi
terkait dengan pemberian
diet TKTP (Tinggi Kalori
Tinggi protein)
- Cegah kontaminasi fase dan
urine
- Lakukan teknik perawatan
luka dengan steril
- Berikan posisi yang
3. Intoleransi aktivitas yang mengurangi tekanan pada
berhubungan dengan luka
kelemahan otot - Hindari kerutan pada tempat
NOC tidur
 Energy conservation
 Activity tolerance NIC
 Self Care : ADLs Activity Therapi
Kriteria Hasil : - Kolaborasikan dengan
 Berpartisipasi dalam aktifitas tenaga rehabilitasi medik
fisik tanpa disertai peningkatan dalam merencanakan
tekanan darah, nadi, dan RR program tetapi yang tetap
 Mampu melakukan aktifitas - Bantu klien untuk
sehari-hari (ADLs) secara mengidentifikasi aktivitas
mandiri yang mampu dilakukan
 Tanda-tanda vital normal - Bantu untuk memilih
 Energi psikomotor aktivitas konsisten yang
 Level kelemahan sesuai dengan kemampuan
 Mampu berpindah : dengan fisik, psikologi, dan sosial
atau tanpa bantuan alat - Bantu untuk mendapatkan
 Status kardiopulmpnari alat bantuan aktivitas seperti
adekuat kursi roda, krek
 Sirkulasi status baik - Bantu untuk
 Status respirasi : pertukaran mengidentifikasi aktivitas
gas dan ventilasi adekuat yang disukai
- Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu
luang
- Bantu pasien/ keluarga
untuk mengidentifikasi

22
kekurangan dalam
beraktivitas
4. - Sediakan penguatan positif
Gangguan konsep diri (citra bagi yang aktif beraktifitas
diri) yang berhubungan dengan - Bantu pasien untuk
ketidakmampuan dan mengembangkan motifasi
kehilangan fungsi tubuh. diri dan penguatan
NOC
 Body image - Monitor respon fisik, emosi,
 Self esteem sosial dan spiritual
Kriteria Hasil :
NIC
 Body image positif
Body image enhancement
 Mampu mengidentifikasi
- Kaji secara verbal dan non
kekuatan personal
5. verbal respon klien terhadap
 Mendeskripsikan secara faktual
Resiko penyebaran infeksi tubuhnya
perubahan fungsi tubuh
- Jelaskan tentang
berhubungan dengan lesi yang  Mempertahankan interaksi
pengobatan, kemajuan dan
sosial
meluas prognosis penyakit
NOC - Dorong klien
 Immune status mengungkapkan
 Knowledge : Infection control perasaannya
 Risk control
NIC
Kriteria Hasil :
Infection Control
 Klien bebas dari tanda dan
- Bersihkan lingkungan
gejala infeksi
setelah dipakai pasien
 Mendeskripsikan proses
- Pertahankan teknik isolasi
penularan penyakit, faktor
- Batasi pengunjung bila perlu
yang mempengaruhi
- Instruksikan pada
penularannya serta
pengunjung untuk mencuci
penatalaksanannya
tangan saat berkunjung dan
 Menunjukkan kemampuan
setelah berkunjung
untuk mencegah timbulnya
- Gunakan sabun
infeksi
antimikrobia untuk cuci
 Jumlah leukosit dalam batas
tangan
normal
- Cuci tangan setiap sebelum
 Menunjukkan perilaku hidup
dan sesudah tindakan
sehat
keperawatan
- Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
- Berikan terapi antibiotik bila
perlu (proteksi terhadap
infeksi)
- Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
- Monitor hitung granulosit,
23
WBC
- Monitor kerentanan
terhadap infeksi
- Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan, paas, drainase
- Instruksikan pasien untuk
minum antobiotik sesuai
resep
- Ajarkan pasien da keluarga
tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara menghindari
infeksi

D. IMPLEMENTASI
Implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan
rencana tindakan keperawaatan yanag telah disusun tersebut diatas.

E. Evaluasi
Tahap ini dilakukan dengan mengevaluasi tujuan yang telah dibuat, apakah tujuan
pelaksanaan tindakan keperawatan telah mencapai kriteria hasil yang diharapkan.

24
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer,
kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada tahun
1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positip, berukuran 0.34 x 2
mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel
Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 1224 hari, dan termasuk kuman
yang tidak ganas serta lambat berkembangnya.
Tanda dan gejala penyakit kusta:
1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf
ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan
fungsi saraf ini bisa berupa :
- Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
- Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan
(paralise)
- Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih
dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan
cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang
tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.

25
DAFTAR PUSTAKA

Hj. Loetfia Dwi Rahariyani. S. Kep. M. Si. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Integumen (2006 ). Penerbit Buku Kedokteran EGC

Amin Huda Nurarif, S. Kep.,Ns; Hardhi Kusuma, S. Kep.,Ns. Januari 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC, Edisi Revisi Jilid 1;
Penerbit: Mediaction Jogja.

26

Anda mungkin juga menyukai