Anda di halaman 1dari 18

MORBIN HANSEN

DISUSUN OLEH :

1. Martina Anisa
NIP : Po.71.20.2.16.020
Kelas : IIA
2. Nurul Rahmawati
NIP : Po.71.20.2.16.051
Kelas : IIB

DOSEN PEMBIMBING : Ni Ketut Sujati. M.Kes

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
BATURAJA TAHUN 2017/2018

Laporan Pendahuluan Tentang Penyakit Morbus Hansen/Kusta

A. Pengertian

1
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara
umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 penyakit yang menyerang kulit, sistem saraf perifer, selaput lendir
pada saluran pernapasan atas, serta mata. Kusta bisa menyebabkan luka pada kulit, kerusakan saraf,
melemahnya otot, dan mati rasa.

Kusta merupakan penyakit yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagaian atas
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (djuanda Adhi, 2010).

Menurut Depkes RI (1996) diacu dalam Hutabarat (2008) penyakit kusta adalah penyakit menular yang
menahun dan disebabkan oleh kuman kusta ( Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya.

Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) penyakit kusta adalah salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat
kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan
hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini
warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan
mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut
dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan
mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.

B. Faktor Penyebab

Penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh bakteri pathogen Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1874 lalu. Mycobacterium leprae
merupakan salah satu kuman yang berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um.

Mycobacterium leprae tidak memproduksi eksotoksin dan enzim litik. Selain itu, kuman ini merupakan satu-
satunya mikrobacteria yang belum dibiakkan in vitro. Mikrobakteria ini secara primer menyerang system saraf
tepid an terutama pada tipe lepromatosa secara sekunder dapat menyerang seluruh tubuh seperti kulit, mukosa,
mulut, mukosa saluran nafas bagian atas, system retikuloendotelial, mata, tulang, dan testis. Reaksi imun
penderita terhadap M.laprae berupa reaksi imun seluler terutama pada lepra bentuk tuberkuloid dan reaksi imun
humoral terutama pada leprae bentuk lepromatosa. (Wim de Jong et al, 2005).

2
Kusta tampil dalam dua jenis bentuk klinis utama yaitu kusta bentuk kering (tuberkuloid) dan kusta bentuk
basa ( lpromatosa ) dan bentuk ketiga yaitu bentuk peralihan (borederline) (wim de Jong et Al 2005)
1. Kusta bentuk kering
Tidak menular, kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih besar,
sering timbul di pipi, punggung, paha dan lengan serta bercak tampak kering.

2. Kusta bentuk basah


Bentuk menular karna kumannya banyak terdapat di selaput lendir kulit dan organ tubuh
lainnya, dapat berupa bercak kemerahan kecil-kecil tersebar di seluruh badan, berupa penebalan kulit
yang luas sebagai infiltrate yang tampak mengkilat dan berminyak, dapat berupa benjolan marah
sebesar biii jagung yang tersebar di badan, muka dan daun telinga. Di sertai rontoknya air mata dan
menebalnya daun telinga.

3. Kusta tipe peralihan


Merupakan peralihan antara kedua tipe utama. Pengobatan tipe ini di masukkan ke dalam
jenis tipe basah.

C. Jenis Klasifikasi
Berdasarkan tingkat keparahan gejala, kusta dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu:

 Intermediate leprosy . Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang kadang sembuh
dengan sendirinya, namun dapat berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.

 Tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang di antaranya berukuran
besar dan mati rasa. Selain itu, beberapa saraf juga dapat terkena. Tuberculoid leprosy dapat sembuh
dengan sendirinya, namun bisa berlangsung cukup lama atau bahkan berkembang menjadi jenis kusta
yang lebih parah.

 Borderline tuberculoid leprosy. Lesi yang muncul pada kusta jenis ini serupa dengan lesi yang ada
pada tuberculoid leprosy, namun berukuran lebih kecil dan lebih banyak. Kusta jenis borderline
tuberculoid leprosy dapat bertahan lama atau berubah menjadi jenis tuberculoid, bahkan berisiko
menjadi jenis kusta yang lebih parah lagi. Pembesaran saraf yang terjadi pada jenis ini hanya minimal.

 Mid-borderline leprosy . Jenis kusta ini ditandai dengan plak kemerahan, kadar mati rasa sedang,
serta membengkaknya kelenjar getah bening. Mid-borderline leprosy dapat sembuh, bertahan, atau
berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.

 Borderline lepromatous leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan lesi yang berjumlah banyak
(termasuk lesi datar), benjolan, plak, nodul, dan terkadang mati rasa. Sama seperti mid-borderline

3
leprosy, borderline lepromatous leprosy dapat sembuh, bertahan, atau berkembang menjadi jenis
kusta yang lebih parah.

 Lepromatous leprosy. Ini merupakan jenis kusta paling parah yang ditandai dengan lesi yang
mengandung bakteri dan berjumlah banyak, rambut rontok, gangguan saraf, anggota badan melemah,
serta tubuh yang berubah bentuk. Kerusakan yang terjadi pada lepromatous leprosy tidak dapat
kembali seperti semula.

Untuk mempermudah pelaporan danpengobatan, secara klinis dibagi 2 tipe : Pausibasilar(PB) dan
Multibasilar(MB). Dalam menentukan klasifikasi tife PB dan MB didasarkan pada kriteria seperti tabel dibawah ini.

Kelainan kulit dan hasil PB MB


pemeriksaan bakteriologis.
1. Bercak (makula) 1-5 Banyak .
a. Jumlah
b. Ukuran Kecil dan besar. Kecil-kecil.
a. Distribusi Unilateral atau bilateral asimetris. Bilateral, simetris.
b. Konsitensi Kering dan kasar.. Halus, berkilat.
c. Batas Tegas. Kurang tegas.
d. Kehilangan rasa Selalu ada dan jelas. Biasnya tidak jelas, jika ada terjadi
pada bercak pada yang sudah lanjut.
e. Kehilangan Bercak tidak berkeringat ada bulu Bercak masih berkeringat, bulu tidak
kemampuan rontok pada bercak. rontok.
berkeringat, bulu
rontok pada bercak
2. Infitrat Tidak ada. Ada, kadang-kadang tidak ada.
a. Kulit
b. Membran mukosa Tidak pernah ada. Ada, kadang-kadang tidak ada.
(hidung tersumbat
pendarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri khusus *Central Healing* Penyembuhan 1. Puched out lession
2. Madarosis
di tengah.
3. Ginekomastia
4. Hidung pelana
5. Suara sengau
6. Nodulus Tidak ada. Kadang-kadang ada
7. Penebalan syaraf Lebih sering terjadi dini, asimetris Terjadi pada yang lanjut biasanya
lebih dari satu dan simetris.
8. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris terjadi dini. Terjadi pada stadium lanjut.
9. Apusan BTA negatif. BTA positif.
** Lesi berbentuk seperti kue donat.

D. Patofisiologi

4
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (Sel Schwan) dan
kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman (tipe
multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf
tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas pasien. Mycobacterium leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada tiap pasien berbeda.

Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas
seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah
tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-
daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda.
Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu
penyakit kusta disebut penyakit imonologik. Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih
merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni
selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering,
diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus
ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-
ulang.

3. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada orang lain dengan
cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Masa inkubasinya yaitu 3-5 tahun.

E. Pathway

5
F. Dampak pada Sistem Tubuh
1. Hipertermia b.d adanya infeksi

6
2. Harga diri rendah situasional
3. Gangguan citra tubuh b.d perubahan citra tubuh terhadap lesi pada kulit
4. Hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur otot dan kaku sendi
5. Risiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahan tubuh primer (kerusakan integritas kulit)
6. Defisiensi pengetahuan tentang penyakit, penyebab infeksi, tindakan dan pencegahan
7. Resiko trauma b.d peningkatan resiko cidera jaringan karena neuritis
8. Resiko cidera b.d kerusakan integritas kulit, leukositosis

G. Manifestasi Klinik
1. Macula hipopigmentasi
2. Hiperpigmentasi
3. Eritematosa
4. Gejala kerusakan saraf (sensorik, motorik, dan autonom)
5. Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiataorius atas, tulang-tulang jari dan wajah)
6. Kulit kering dan alopesia.

H. Prosedur Diagnosa

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal signs” pada badan yaitu :
1. Kelainan lesi/kulit yang mati rasa.
Kelainan lesi/kulit dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang
mati rasa.
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis.
Gangguan fungsi saraf bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.
b. Gangguan fungsi motorik: kelemahan, atau kelumpuhanotot.
c. Gangguan fungsi otonomi: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerusakan jaringan kulit.

Seseorang dinyatakan terkena kusta apabila terdapat salah satu tanda yang ada di atas. Pada dasarnya
sebgaian besar penderita dapat di diagnosa dengan pemeriksaan klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal
sign kedua, perlu dirujuk kepada ahli kusta. Jika masih ragu anggap saja penderita yang masih di curigai.

Tanda-tanda tersangka kusta:

1. Tanda pada kulit


a. Bercak kulit yang merah atau putih atau plakat pada kulit terutama di wajah dan telinga.
b. Bercak kurang/mati rasa.
c. Bercak tidak gatal.
d. Kulit mengkilap/kering bersisik.
e. Tidak berkeringat dan berambut.
f. Tidak nyeri
2. Tanda pada syaraf
a. Nyeri tekan atau spontan pda saraf.
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk pada anggota gerak.
c. Kelemahan anggota gerak dan wajah.
d. Adanya cacat.
e. Ulkus yang susah sembuh.
3. Lahir dan tinggal di daerah endemik penggidap kusta yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin,
terutama dengan adanya keterlibatan saraf tepi.

7
Untuk melakukan diagniosa secara lengkap dilaksanakan hal sebagai berukut: Anamnese.
1. Pemeriksaan klinis yaitu :
a. Pemeriksaan kulit.
b. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
2. Pemeriksaan bakteriologis.
3. Pemeriksaan hispatologis.
4. Imunologis

I. Penatalaksanaan
Tujuan nya untuk pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien dan mencegah timbulnya ke
cacatan serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah;
1. Penderita Pauci Baciler (PB)
a. Penderita pauci baclier (PB) lesi satu, diberikan dosis tunggal ROM

Refampisin Ofloxacin Minocyclin


Dewasa 50-70 kg 600mg 400mg 300mg
Anak 5-14 tahun 300mg 200mg 50mg
Obat ditelan didepan petugas, anak dibawah umur 5tahun dan ibu hamil tidak diberikan ROM.
Pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT (Released From Treatment=Berhenti minum obat kusta).
Dalam program ini ROM tidak dipergunakan, penderita lesi satu diobati dengan regiment PB selama 6 bulan.

b. Penderita pauci baclier (PB) lesi 2-5

Dapson rifampisin
Dewasa 100mg/hari 600mg/bulan, diawasi
Anak 10-14 tahun 50mg/hari 450mg/bulan, diawasi
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang diselesaikan selama 6-9bulan
dan setelah selesai minum 6 dosis maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO (1995) tidak lagii dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah completion of treatment cure dan pasien tidak
lagi dalam pengawasan penderita multi basiler (MB).

2. Penderita Multi Basiler (MB)

Depson Rifampisin Kllofazimin


Dewasa 100mg/hari 600mg/bulan diawasi 50mg/hari dan 300 mg/bulan
diawasi
Anak 10-14tahun 50mg/hari 450 mg/bulan diawasi 50mg selang sehari dan 150
mg/bulan diawasi

8
Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dialkukan dalam 24jam dosis yang diselesaikan dalam waktu
maksimal 36bulan. Setelah selesai minum 24dosis maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

J. Komplikasi

Walau sudah ada pengobatan kusta, tetap saja bila penyakit ini tak mendapatkan penanganan yang benar
sesegera mungkin saat gejala muncul, komplikasi berpotensi terjadi. Berikut ini bisa dilihat sejumlah komplikasi
yang berisiko ketika kusta terlambat dalam mendapatkan penanganan.

1. Kebas.

Rasa sakit sudah tak dapat lagi dirasakan dan ini menjadi bagian komplikasi ketika mati rasa
atau kebas sudah terjadi pada seluruh tubuh. Ketika sudah kebas, ini tandanya penderita dapat
berpotensi terkena cedera tapi tidak menyadarinya. Kalau sudah begini, ini bisa semakin rentang
terhadap serangan infeksi tanpa dapat dirasakan oleh penderitanya.

2. Melemahnya otot.

Otot pun juga terkena dampaknya, tak hanya kulit bagian luar saja. Seluruh otot tubuh
kemudian menjadi cepat lemah dan tak bertenaga. Lama-kelamaan hal ini bisa meningkat menjadi
sebuah kelumpuhan di mana berdiri dan berjalan pun sudah sangat sulit.

3. Cacat progresif.

Mengerikannya penyakit kusta yang tak diobati adalah berpotensi cacat progresif. Jenis
kecacatan seperti ini berujung pada hilangnya alis, cacat di bagian hidung, tangan, hingga kaki.

4. Kerusakan saraf secara permanen.

Semakin dibiarkan terlalu lama tanpa penanganan yang benar dan efektif, saraf dapat rusak
secara permanen. Bila sudah demikian, kelumpuhan total adalah akibatnya dan tentu kegiatan apapun
juga tak bisa lagi kita lakukan.

9
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN

a. BIODATA

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian
dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan
lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi
lemah.

b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau
multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan)
dan adanya komplikasi pada organ tubuh. mengeluh adanya bercak-bercak Disertai hiperanastesi dan odema
pada ektrimitas pada bagian perifer seperti tangan,kaki dan terasa kaku diikuti dengan peningkatan suhu tubuh

c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan,
malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang
mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

10
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik
diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi
yang diderita.

f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan.
Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan

g. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan,
berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

1. Sistem penglihatan.

Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang
jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika
ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

2. Sistem pernafasan.

Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

3. Sistem persarafan:

a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada
telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya
reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi)
karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).

c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

4. Sistem muskuloskeletal.

11
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan
kaki, jika dibiarkan akan atropi.

5. Sistem integumen.

Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat
(penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan
pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

h. POLA-POLA FUNGSI KESEHATAN


1. Pola nutrisi dan metabolisme
Meliputi makanan klien sehari-hari komposisi:sayur, lauk pauk,minum sehari berapa
gelas,berat badan naik atau turun,sebelum dan saat masuk rumah sakit turgor kulit normal atau
menurundan kebiasaan maskan klien.Klien tinggal ditempat yang kotor atau bersih Adanya penurunan
nafsu makan, mual, muntah, pemnurunan berat badan, gangguan pencernaan.
2. Pola eliminasi
Pola eleminasi alvi dan uri pada pasien kusta tidak ada kelainan.
3. Pola istirahat dan tidur
Pada klien kusta pada umumnya pola tidur tidak teerganggu tetapi bagi kusta yang belum
menjalani pengubatan pasien baru biasanya terjadi gangguan kebutuhan tidur dan istirahat yang
disebabkan oleh pikiran stress, odema dan peningkatan suhu tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.
4. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien kusta dalam aktifitas ada gangguan dalam hal interaksi sosial dengan
masyarakat biasanya pasien mengurung diri dan pada pergerakan ektrimitas bagian perifer didapatkan
bercak-bercak merah disertai odema dan pasien dianjurkan harus bayak mobilisasi.
5. Pola persepsi dan konsep diri
Presepsi klien tentang penyakitnya dan bagaimana konsep dalam menghadapi penyakitnya
yang diderita.
6. . Pola sensori dan kognitif
Pada umumnya penderita kusta mengalami gangguan disalah satu sensorinya seperti
peraba . Pasien tidak merasa adanya rangsangan apabila bercak tersebut diberikan rangsangan.Pada
kognitifnya pasien kusta merasa tidak berguna lagi dan merasa terkucilkan serta merasa tidak diterima
oleh masyarakat dan keluarganya.
7. Pola reproduksi seksual
Pada umumnya pada pola produksi seksual klien tidak mengalami gangguan.
8. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari masyarakat
(disorentasi) Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya.Dan masyarakat beranggapan penyakit
kusta merupakan penyakit yang menjijikan.

12
9. Pola penanggulangan stress
Bagai mana klien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara penanggulangannya.
10. Pola nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat ghaib.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko infeksi

2. Hambatan mobilitas fisisk

3. Harga diri rendah situasional

No Diagnosis Definisi Kriteria

1 Resiko infeksi Definisi: 1. Klien bebas dari tanda dan


Mengalami peningkatan gejala infeksi
Skema patofisiologi : resiko terserang 2. Mendeskripsikan proses
Mikobakterium laprea dan organisma patogenik penularan penyakit, faktor yang
M.tuberkoloid mempengaruhi penularan serta
Menyerang kulit dan saraf tepi penatalaksannaannya
Macula, nodula,papula 3. Menunjukan kemampuan untuk
Infasi bakteri mencegah timbulnya infeksi
Reesiko infeksi 4. Jumlah leokosit dalam batas
normal
5. Menunjukan perilaku hidup
sehat
2 Hambatan mobilitas fisisk Definisi: 1. meningkatkan dalam
Keterbatassan pada aktivitas fisik Klien
Sekama patofisiologi: pergerakan fisik tubuh 2. Menggganti tujuan dari
Mikobakterium laprea dan atau satu atau lebih peningkatan mobilitas
M.tuberkoloid ekstemitas secara mandiri 3. Memverbalisasikan
Menyerang kulit dan saraf tepi dan terarah perasaaan dalam
Menyerang saraf urnalis, nervus meningkatkan kekuatan dari
popliteus, nervus aurikularis, kemampuan berpindah
nervus radialis 6. Memperagakan pengguanana
Kelumpuhan otot alat bantu untuk mobilisasi
Konstruksi otot
Gangguan aktivitas
Hambatan mobilitas fisik
3 Harga diri rendah situasional Definisi: 1. Penyesuaian psikologi :
Perkembangan persepsi perubahan hidup respon

13
Sekama patofisiologi: negativ tentang harga diri psikososial adaptiv individu
Mikobakterium laprea dan sebagai respon terhadap terhadap perubahan bermakna
M.tuberkoloid situasi saat ini dalam hidup
Menyerang kulit dan saraf tepi 2. Menunjukan penilaian pribadi
Macula, nodula, papula tentang harga diri
Kulit terlihat rusak 3. Mengungkapkan penerimaan
Malu diri
Inefektif koping individu 4. Mengatakan optimisme tentang
Gangguan konsep diri: HDR masa depan
5. Menggunakan strategi koping
efektif

14
diagnosis Intervensi Rasional Implementasi
1 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai klien 1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai klien lain
1. Meminimalkan risiko infeksi 2. Menginstruksikan pengunjung untuk mencuci tangan
lain
2. Instruksikan pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
3. Mengguunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan
saat berkunjung dan setelah berkunjung 2. meminimalkan patogen yang ada di sekeliling
4. Mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
3. Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan pasien
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
5. Observasi dan laporkan tanda dan gejal infeksi seperti
keperawatan
5. Observasi dan laporkan tanda dan gejal infeksi 3. mengurangi mikroba bakteri yang dapat kemerahan, panas, nyeri, tumor
seperti kemerahan, panas, nyeri, tumor menyebabkan infeksi

4. dapat mengurangi resiko infeksi nosokomial

5. agar dapat mengetahui keadaan pasien secara


menyeluruh
2 1. Monitoring vital sign sebelum atau sesudah 1. Melihat respon tubuh setelah dan sebelum 1. Monitoring vital sign sebelum atau sesudah latihan dan
latihan dan liat respon pasien saat latihan latihan liat respon pasien saat latihan
2. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat 2. Memertahankan dan meningkatkan kekuatan 2. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan
berjalan otot 3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi 3. Menganalisi kemampuan klien dalam Berikan alat bantu jika klien memerlukannya
4. Berikan alat bantu jika klien memerlukannya menggerakan anggota badannya
4. Membantu pasien dalam melakukan imobilitas
3 1. Buat statement positif terhadap pasien 1. kata-kata penguatan dapat mendukung 1. membuat statement positif terhadap pasien
2. Monitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang terjadinya perilaku koping positif 2. memonitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang
negative 2. penerimaan sebagai respon normal terhadap negative
3. Kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas apa yang terjadi membantu perbaikan berkolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas
dinas social, perawat spesialis klinis, dan 3. meningkatkan ventilasi perasaan dan social, perawat spesialis klinis, dan layanan keagamaan)
layanan keagamaan) memungkinkan respon yang lebih membantu
pasien

15
16
EVALUASI

Dx 1:

1. menggunakan metode yang tepat untuk mencegah penyebaran infeksi


2. Ttidak ada tanda-tanda infeksi

Dx 2:

1. pasien dapat melakukan sedikit aktifitas


2. Klien dapat menggunakan tongkat atau alat yang lainnya

Dx 3:

1. Klien menerima keadaan tubuhnya


2. Dapat bersosialisasi dengan orang lain

DAFTAR PUSTAKA

17
Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Herlman, T. Heather.2012. NANDA International Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta :
EGC.
Herlman, T. Heather, dkk. 2015. NANDA International Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.
Jakarta: EGC.

18

Anda mungkin juga menyukai