Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT

MENULAR/INFEKSI KULIT
(MORBUS HANSEN)

KELOMPOK 6

ASRIADI KARIM (R011221012)


NOBER MARKUS (R011221051)
FAHILA AZMI MARASABESSY (R011221054)
DINIANTO ADITIA (R011221015)

PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
(KELAS KERJASAMA)
2022
MUBES HENSEN (KUSTA, LEPRA)

1. Definisi
Morbus Hansen (kusta, lepra) adalah penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi

(primer), kulit, dan jaringan tubuh lainnymua, kecuali susunan saraf pusat.

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh

G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Awalnya kuman ini menyerang

kulit, mukosa, saluran pernafasan, system retikuloendotelial, mata, otot,

tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat dengan masa inkubasi selama 3

tahun. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi penyakit kusta tidak terdapat

gejala, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala seperti cacat pada

tangan dan kaki (Muttaqin, 2011).

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem


retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat

(Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003).

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat (Nurarif & Kusuma,

2015).

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan

masalah yang sangat kompleks. Masalah yang ada bukan saja dari segi

medisnya, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, budaya, serta keamanan dan

ketahanan nasional (Widoyono, 2008).

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian

atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Emmy S.

sjamsoe- daili, 2007).

Berdasarkan definisi diatas yang dimaksud kusta adalah penyakit infeksi

yang berlangsung dalam waktu lama, disebabkan oleh Mycobacterium Leprae

yang menyerang saraf tepi sebagai tujuan utama, lalu kulit dan saluran

pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf

pusat.
2. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron,

biasanya berkelompok da nada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan

bersifat tahan asam (BTA). Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri

kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya

rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan kepada orang lain melalui

saluran pernafasan dan kontak kulit. Bakteri kusta ini banyak terdapat pada

kulit tangan, daun telinga, dan mukosa hidung (Widoyono, 2008).

3. Klasifikasi
1. Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (2006) (Amirudin,

Hakim, & Darwis, 2003)

a. Indeterminate (I)

Merupakan kusta yang paling ringan dimana hanya sangat

kecil atau terbatas mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit

bakteri yang ditemukan dan dengan tes lepromin sering kali hanya

memberikan positif lemah. Kusta intermediate sering kali hanya

pada satu bagian tubuh, asimptomatik, berupa macula

hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm. Kusta ini sering kali

ditemukan di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari

ekstremitas. Bila multiple lesi yang terjadi penyebarannya tidak

simetris. Sensasi kulit mungkin sedikit berkurang namun fungsi

dari
kelenjar keringat masih normal dan penebalan saraf biasanya hanya

ditemukan pada satu saraf.

b. Tuberkuloid (T)

Merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak

terlalu banyak di tubuh dan keadaan system imun seluler tubuh

penderita yang masih baik. Kerusakan saraf juga terjadi tetapi tidak

sistemik. Lesi yang terjadi umumnya asimetris, jumlahnya sedikit,

an menyebar dengan sangat pelan. Mulanya berwarna merah atau

merah keunguan, dan berupa macula atau papula. Kemudian secara

perlahan membesar, dengan batas yang tegas, dan memperlihatkan

bagian tengah yang bersih dengan atrofi yang halus, bersisik dan

hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian gluteus, punggung,

wajah an ekstensor ekstremitas. Hilangnya sensasi, anhidrosis dan

hilangnya rambut juga terjadi.

c. Borderline – Dimorphous (B)

d. Lepromatosa (LL)

Merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M.

Leprae yang progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada

lesi kulit. Lesi kulit umumnya asimetris, kecil, bersinar dan

umumnya konfluen. Plaq infiltrate memiliki batas yang tidak tegas

dengan warna merah kecoklatan, dimana sering kali berubah

tergantung warna kulit penderita. Tempat yang sering terkena

adalah wajah dengan infiltrasi di bagian depan kepala, dagu,

hidung, dan
telinga yang sering mengakibatkan deformitas pada wajah yang

disebut leonine facies (lion’s face). Tanda lain yang sering terjadi

adalah madarosis. Dengan berkembangnya penyakit anesthesia dan

kekeringan kulit juga akan semakin parah. Daerah tubuh yang

hangat akan terhindar seperti bagian axilla, inguinal, perineum, dan

scalp.

2. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)

(Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)

a. Tuberkuloid (TT)

Merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak

terlalu banyak di tubuh dan keadaan system imun seluler tubuh

penderita yang masih baik. Kerusakan saraf juga terjadi tetapi tidak

sistemik. Lesi yang terjadi umumnya asimetris, jumlahnya sedikit,

an menyebar dengan sangat pelan. Mulanya berwarna merah atau

merah keunguan, dan berupa macula atau papula. Kemudian secara

perlahan membesar, dengan batas yang tegas, dan memperlihatkan

bagian tengah yang bersih dengan atrofi yang halus, bersisik dan

hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian gluteus, punggung,

wajah an ekstensor ekstremitas. Hilangnya sensasi, anhidrosis dan

hilangnya rambut juga terjadi.

b. Borderline tuberculoid (BT)

Lesi yang muncul pada kusta jenis ini serupa dengan lesi yang

ada pada tuberculoid leprosy, namun berukuran lebih kecil dan

lebih banyak. Kusta jenis borderline tuberculoid dapat bertahan

lama atau
berubah menjadi jenis tuberculoid, bahkan berisiko menjadi jenis

kusta yang lebih parah lagi. Pembesaran saraf yang terjadi pada

jenis ini hanya minimal.

c. Mid- Borderline (BB)

Jenis kusta ini ditandai dengan plak kemerahan, kadar mati

rasa sedang, serta membengkaknya kelenjar getah bening. Kusta

jenis ini dapat sembuh, bertahan, atau berkembang menjadi jenis

kusta yang lebih parah.

d. Borderline lepromatous (BL)

Jenis kusta ini ditandai dengan jumlah lesi yang berjumlah

banyak (termasuk lesi datar), benjolan, plak, nodul, dan terkadang

mati rasa. Sama seperti Mid- Borderline, Borderline lepromatous

dapat sembuh, bertahan, atau berkembang menjadi jenis kusta yang

lebih parah.

e. Lepromatosa (LL)

Merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M.

Leprae yang progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada

lesi kulit. Lesi kulit umumnya asimetris, kecil, bersinar dan

umumnya konfluen. Plaq infiltrate memiliki batas yang tidak tegas

dengan warna merah kecoklatan, dimana sering kali berubah

tergantung warna kulit penderita. Tempat yang sering

terkena adalah wajah dengan infiltrasi di bagian depan kepala,

dagu, hidung, dan telinga yang sering mengakibatkan

deformitas pada
wajah yang disebut leonine facies (lion’s face). Tanda lain yang

sering terjadi adalah madarosis. Dengan berkembangnya penyakit

anesthesia dan kekeringan kulit juga akan semakin parah. Daerah

tubuh yang hangat akan terhindar seperti bagian axilla, inguinal,

perineum, dan scalp.

3. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta : Klasifikasi WHO

Tabel 2. 1 Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) dalam kutipan (Nurarif &
Kusuma, 2015)

Pauci Basiler Multi Basiler


1. Lesi kulit (makula  1-5 lesi  > 5 lesi
yang datar, papul  Hipopigmentasi/  Distribusi lebih
yang meninggi, eritema simetris
infiltrat, plak eritem,  Distribusi tidak  Hilangnya sensasi
nodus) simetris kurang jelas
 Hilangnya sensasi  Banyak cabang
2. Kerusakan saraf yang jelas saraf
(menyebabkan  Hanya satu cabang
hilangnya sensasi saraf
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)

(Emmy S. sjamsoe-
daili, 2007)

b. Gambaran Klinis
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah

klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta

menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinik, bakteriologik,


histopatologik dan imunologik. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas

dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.

1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,

dapat berupa macula atau plakat, batas jelas dan pada bagian twengah dapat

ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan di tengah.

Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat

menyerupai gambaran psoriasis. Gejala ini dapat disertai penebalan saraf

perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.

2. Tipe borderline tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai TT yakni berupa macula anestesi atau plak

yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa,

tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak jelas

seperti pada tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat pada tipe

tuberkuloid dan biasanya asimetrik. Biasanya ada lesi satelit yang terletak

dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe borderline-borderline (BB)

Tipe BB merupakan tipe-tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum

penyakit kusta. Tipe ini disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan jarang

dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate. Permukaan lesi dapat

mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe
borderline tuberkuloid dan cenderung simetrik. Lesi sangat bervariasi baik

ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didpatkan lesi punched out, yaitu

hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang merupakan

ciri khas tipe ini.

4. Tipe borderline lepromatous (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan macula. Awalnya dalam jumlah sedikit,

kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan. Macula disini lebih jelas

dan lebih bervariasi bentuknya. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa

hilangnya sensasi, hipopigmentasi. Berkurangnya keringat dan gugurnya

rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan

penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediksi dikulit.

5. Jumlah lepromatous-lepromatous (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem,

mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan

anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas yakni di wajah mengenai

dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian

belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor

tungkai bawah.

Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga

menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonine

yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat

terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe,

orkitis
yang selanjutnya dapat terjadi atropi testis. Kerusakan saraf dermis

menyebabkan gejala stocking dan glove anesthesia. Bila penyakit ini menjadi

progresif, macula dan papula baru muncul sedangkan lesi yang lama menjadi

plak dan nodul. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami

degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan

otot pada tangan dan kaki. Salah satu penyakit kusta yang tidak termasuk

kedalam klasifikasi ridley dan Jopling tetapi diterima secara luas oleh para

ahli kusta adalah tipe indeterminate (I). Tipe ini ditandai dengan jumlah lesi

sedikit, asimetrik, macula hipopigmentasi dengan sisik yang sedikit, kulit

sekitar normal. Lokalisasi dibagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka,

kadang- kadang dapat ditemukan bentuk macula hipestesi atau sedikit

penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan bila dengan

pemeriksaan histopatologik didapatkan hasil atau terdapat infiltrate disekitar

saraf titik pada 20-80% kasus penderita kusta didapatkan tipe ini, merupakan

tanda pertama dan sebagian besar sembuh sendiri (Amirudin, Hakim, &

Darwis, 2003).

4. Manifestasi Klinis
Menurut (Nic-Noc, 2015)

1. Makula hipopigmnetasi

2. Hiperpigmentasi

3. Eritematosa

4. Gejala kerusakan saraf (sensorik, motorik, autonom)

5. Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiataoriusatsa, tulang tulang

jari dan wajah)


6. Kulit kering dan alopesia

5. Cara Penularan
Penyakt kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basilar (MB)

kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti

belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit

kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Amirudin,

Hakim, & Darwis, 2003).

6. Patofisiologi
Mycobacterium Leprae masuk ke tubuh melalui kulit yang lecet pada

bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah M. Leprae

masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada

kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung

pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien.

Kalau sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah

tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae

berpredileksi di daerah- daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral

dengan vaskularisasiyang sedikit.

Mycobacterium Leprae (Parasis Obligat Intraseluler) terutama terdapat pada

sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann

jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan

macrofag (berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit) untuk memfagosit.
Tipe LL; terjadi kelumpuhan system imun seluler tinggi macrofag tidak

mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak

jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan

kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang

tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans,

bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel

menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons

imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat

reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat

disebut sebagai penyakit imunologis.

7. Komplikasi
Berikut ini komplikasi yang dialami penderita kusta yaitu :

1. Menyerang ekstremitas

Yang paling diserang yaitu pada saraf ulnaris dan mengakibatkan jari

keempat dan kelima seperti mencakar yang diakibatkan oleh kehilangan

dari fungsi otot. Pada saraf medianus apabila terinfeksi maka akan

menyebabkan kelumpuhan pada jari tangan.

2. Apabila pada hidung terinfeksi oleh bakteri maka akan menyebabkan

perdarahan, dan apabila tidak segera diobati akan merusak tulang rawan

dan sampai kehilangan hidungnya.

3. Indera penglihatan
Apabila penglihatan terinfeksi akan mengalami gangguan penglihatan

seperti buram dan terjadi keruh pada cairan mata, juga dapat menyerang

bagian saraf penglihatan dan dapat mengalami kebutaan.

4. Testis

Apabila testis diserang maka dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada

salurannya, dan jika tidak dilakukan terapi maka akan terjadi kerusakan

yang permanen.
b. Pathway
Mycobacterium Leprae
Resiko trauma Sensabilitas menurun
M. Tuberkuloid
Menyerang saraf tepi sensorik & motorik Neuritis

Menyerang kulit dan saraf


tepi

Macula, nodula, papula Ulkus saraf ulnaris, nervus popliteus, nervus aurikularis
Menyerang

Kulit terlihat rusak Keganasan cancer epidemoid

Malu
Kelumpuhan otot
Metastase
Inefektif koping individu
Kontraktur otot & sendi

Gangguan Citra Tubuh Amputasi Gangguan aktivitas


Timbulnya ulkus pada kulit
Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Hambatan Mobilitas Fisik
Resti cidera
Kerusakan Integritas Kulit

Gambar 2. 1 Pathway Kusta ( (Nurarif & Kusuma, 2015)


c. Pemeriksaan Penunjang
1. Test sensabilitas pada kulit yang mengalami kelainan

2. Laboratorium: basil tahan asam. Diagnosa pasti apabila adanya mati rasa

dan kuman tahan asam pada kulit yang (+) (positif).

3. Pengobatan kusta /lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai

jenis kusta lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang diberikan

dapsone (DDS) (dosis 2X seminggu) (Nic-Noc, 2015).

d. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan

pasien kusta (lepra) dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata

rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang

lain untuk menurunkan insident penyakit.

Regimen pengobatan kusta diindonesia disesuaikan dengan rekomendasi

WHO (1995), yaitu program multi drug therapy (MDT) dengan kombinasi

obat medikamentosa utama yang berdiri dari rifampisin, khofazimin,

(lamprene). Dan DDS (dapson/4,4- diamino-difenil-sulfon) yang telah

diterapkan sejak tahun 1981. Program MDT ini bertujuan untuk mengatasi

resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,

menurunkan angka putus obat, mengefektifkan waktu pengobatan dan

mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.

Regimen pengobatan MDT diindonesia sesuai dengan regimen pengobatan

yang direkomendasikan oleh WHO.regimen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penderita Pause baciler (PB)


a. Penderita Pause baciler (PB) lesi

satu Diberikan dosis tunggal ROM.

Umur Rifampisin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 50-70 600 mg 400 mg 100 mg


kg
Anak 5-14 300 mg 200 mg 50 mg
tahun

Obat ditelan didepan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil tidak

diberikan ROM. Pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT

(released from treatment = berhenti minum obat kusta). Dalam program ROM

yang tidak dipergunakan, penderita satu lesi diobati dengan regimen PB

selama 6 bulan.

b. Penderita pausi baciler (PB) lesi 2-5

Umur Dapson Rifampisin


Dewasa 100 mg/hari 600 mg/ bulan, diawasi
Anak 10-14 tahun 50 mg/ hari 450 mg/ bulan, diawasi

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang

diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka

dnyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya maasih aktif. Menurut who

(1995) tidak ada lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah completiton

of treatment cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2. Penderita multi baciler (MB)

Umur Dapson Rifampisin Klofazimin

Dewasa 50-70 kg 100 mg/ hari 600 mg / bulan, 50 mg/ hari dan 300 mg/
diawasi bulan diawasi
Anak 5-14 tahun 50 mg/ 450 mg/ bulan, 50 mg/ hari dan 150 mg/
hari diawasi bulan diawasi

Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang

diselesaikan dalam waktumaksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis

maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan

pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB

diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien

lagsung dinyatakan RFT (Nic-Noc, 2015).

1) Obat- obatan umum yang bisa dipakai dalam pengobatan Morbus Hansen :

PB ( Tipe Kering ) Pengobatan bulanan: hari pertama 2 kapsul Rifampisin

dan 1 tablet Dapson

(DDS), Pengobatan hari ke 2: 28 tablet Dapson (DDS) tiap

hari Lama pengobatan 6 blister: 6 – 9 bulan

2) MB ( tipe Basah )

Pengobatan bulanan: hari pertama 2 kapsul Rifampisin, 3 tablet Lamprin

Dan 1 tablet Dapson, hari ke 2 – 28: 1tablet Lamprin dan 1 tablet Dapson

Lama pengobatan 12 blister : 12 – 18 bulan.


b. Konsep Dasar Kerusakan Integritas Kulit

a. Definisi
Kerusakan Integritas Kulit adalah keadaan dimana seorang individu

mengalami atau beresiko terhadap kerusakan jaringan epidermis dan dermis

(Carpenito, 2000).

Kerusakan Integritas Kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan

(membrane mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul

sendi dan/atau ligamen) (Tim Pokja SDKI DPP, 2016).

Berdasarkan definisi diatas yang dimaksud kerusakan integritas kulit

adalah adanya kerusakan pada lapisan kulit (epidermis dan dermis) yang

menimbulkan kecacatan pada seseorang.

b. Etiologi
Penyebab gangguan integritas kulit perubahan sirkulasi, perubahan status

nutrisi (kelebihan atau kekurangan), kekurangan atau kelebihan volume cairan,

penurunan mobilitas, bahan kimia iritatif, suhu lingkungan yang ekstrem

c. Batasan karakteristik
1. Mayor (harus terdapat)

(Gangguan jaringan epidermis dan dermis) gangguan kornea, integument,

atau jaringan membrane mukosa atau invasisruktur tubuh (insisi, ulkus

dermal, ulkus kornea, lesi oral),

2. Minor (mungkin terdapat)


Pemasukan kulit, eritemia, lesi (primer, sekunder) pruritas. Adanya warna

kemerahan pada daerah luka, terjadi nekrosis sekitar ulkus, edema,

kekeringan membrane mukosa, leukoplakia (Gangguan pada gusi, bagian

dalam pipi, bagian bawah mulut dan lidah yang berupa penebalan atau bercak

putih), lidah kotor (Carpenito, 2009).

d. Faktor yang berhubungan


1. Eksternal (Lingkungan) (Wilkinson, 2016)

a. Zat kimia

b. Ekskresi dan sekresi

c. Usia ekstrem muda atau ekstrem tua

d. Kelembapan

e. Hipertermi

f. Hipotermi

g. Factor mekanis (misal, friksi, penekanan, restrain)

h. Obat

i. Kelembapan kulit

j. Imobilisasi fisik

k. Radiasi

2. Internal (Somatik) (Wilkinson, 2016)

a. Perubahan pigmentasi

b. Perubahan turgor kulit (yaitu perubahan elastisitas)

c. Factor perkembangan

d. Ketidakseimbangan nutrisi (misal, obesitas, kakeksia)


e. Factor imunologis

f. Gangguan sirkulasi

g. Gangguan status metabolic

h. Gangguan sensasi

i. Factor psikogenik

j. Penonjolan tulang
e. Pathway

Mycobacterium Leprae

M. Tuberkuloid

Menyerang kulit dan saraf tepi

Macula, nodula, papula

Kulit terlihat rusak

Malu

Inefektif koping individu

Timbulnya ulkus
Gangguan padaTubuh
Citra kulit

Kerusakan Integritas Kulit

Gambar 2. 2 Pathway Integritas Kulit ( (Nurarif & Kusuma, 2015)


c. Konsep Asuhan Keperawatan Integritas Kulit Pada kasus Kusta

a. Pengkajian
a. Biodata

Kaji secara lengkap tentang nama, umur; penyakit kusta dapat menyerang

semua usia, jenis kelamin. Paling sering terjai pada daerah dengan sosial-

ekonomi yang rendah dan insidennya meningkat pada daerah tropis/sub

tropis. Kaji pula secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk mengetahui

tingkat sosial-ekonomi, risiko trauma pekerjaan, dan kemungkinan kontak

dengan penderita kusta (Rahariyani, 2007).

Pada pengkajian, data yang paling penting adalah mengkaji adanya

kelainan saraf tepi. Kerusakan saraf tepi dapat bersifat sensorik, motoric,

dan otonom. Sensorik biasanya berupa hipoestesi ataupun anastesi pada

lesi kulit yang terserang. Keluhan motoric berupa kelemahan otot,

biasanya di daerah ekstremitas atas, bawah, muka, dan otot mata. Gejala

lain adalah adanya pembesaran saraf tepi terutama yang dekat dengan

permukaan kulit antara lain n. ulnaris, n. aurikularis magnus, n. peroneus

komunis, n. tibialis posterior, dan beberapa saraf tepi lain.

Pada pengkajian kelainan kulit dan organ lain biasanya didapatkan adanya

hipopigmentasi ataupun eritematus dengan adanya gangguan estesi yang

jelas. Lebih lanjut dapat timbul gejala-gejala akibat banyaknya kuman

yaitu adanya Facies Leonina (gejala infiltrasi yang difus di muka),

penebalan
cuping telinga, Madarosis (penipisan alis mata bagian lateral), dan adanya

anestesi simetris pada kedua tangan-kaki (Muttaqin, 2011).

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan

adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)

kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan

adanya komplikasi pada organ tubuh.

c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam

kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang

disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae) yang masa

inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang

mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. Riwayat Psikososial

Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus

hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan

bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan

menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa

pada konsep diri karena penurunan

f. Pola Aktivitas Sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan

kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang

lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

g. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat

pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena

adanya gangguan saraf tepi motorik.

1. Sistem penglihatan.

Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi

sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan

kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan

lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II

reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan

mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak

pada alis mata maka alis mata akan rontok.

2. Sistem pernafasan.

Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat

gangguan pada tenggorokan.

3. Sistem persarafan

a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati

rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/

hilangnya reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motoric

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan

lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan.

Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat

terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata

akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

c. Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan

gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,

mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

4. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik

adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan

akan atropi.

5. Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti

panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul

(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar

keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit

kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati

kerontokan jika terdapat bercak.


b. Diagnosis Keperawatan
Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan ulkus akibat mycobacterium

leprae ditandai dengan kerusakan lapisan kulit.

c. Intervensi Keperawatan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi

berhenti dan berangsur-angsur sembuh.

Kriteria Hasil:

1. Menunjukkan regenerasi jaringan

2. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,

temperate, hidrasi, pigmentasi)

3. Perfusi jaringan baik

4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah

terjadinya cidera berulang.

5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan

perawatan alami.

Intervensi keperawatan dan rasional pasien dengan masalah

keperawatan integritas kulit :

1. Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi

sekitar luka.

Rasional:
Menentukan garis dasar bila ada terdapat perubahan dan dapat melakukan

intervensi engan tepat.

2. Gunakan teknik aseptic dalam perawatan luka.

Rasional:

Mencegah luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi

3. Anjurkan untuk melaksanakan hygiene kulit, missal: membasuh kemudian

mengeringkannya dengan berhati-hati.

Rasional:

Mempertahankan kebersihan, karena kulit yang kering bisa terjadi barrel

infeksi.

4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar

Rasional:

Freksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang

menyebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi.

5. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang tertekan atau

Gunakan preparat antiseptic, sesuai program

Rasional:

Menurunkan resiko trauma dermal kulit yang kering dan meningkatkan

kenyamanan.

6. Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam perawatan luka dan

pemberian obat
Rasional:

Melaksanakan fungsi dependen.

d. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan

validasi, disamping itu juga dibutuhkan keterampilan interpersonal, intelektual,

teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan

selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai

implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah

dilakukan dan bagaimana respon pasien.

e. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan dengan

cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai

atau tidak (Hidayat, 2007). Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang

memungkinkan perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah

berhasil meningkatkan kondisi klien (Potter & Perry, 2010).

Tahapan-tahapan evaluasi, yaitu:

1. Mengidentifikasi kriteria dan standar evaluasi

2. Mengumpulkan data untuk menentukan apakah kriteria dan standar telah

terpenuhi

3. Menginterpretasi dan meringkas data

4. Mendokumentasikan temuan dan setiap pertimbangan klinis


5. Menghentikan, meneruskan, atau merevisi rencana perawatan (Potter &

Perry, 2010).

Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:

1. Masalah teratasi, jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan

dan kriteria hasil yang telah ditetapkan

2. Masalah teratasi sebagian, jika jklien menunjukkan perubahan sebagian

dari kriteria hasil yang telah ditetapkan

3. Masalah tidak teratasi, jika klien tidak menunjukkan perubahan dan

kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang

telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah atau diagnosis

keperawatan baru.

4. Untuk penentuan masalah teratasi, teratasi sebagian atau tidak teratasi

adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan

kriteria hasil yang telah ditetapkan. Subjektif adalah informasi berupa

ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan diberikan. Objektif

adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,

pengukueran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan.

Analisis adalah membandingkan antara informasi subjektif dan objektif

dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa

masalah teratasi, teratasi sebagian atau tidak teratasi. Planning adalah

rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil

analisa.

Anda mungkin juga menyukai