2. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium
leprae, yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 micrm,
lebar 0,2 – 0,5 micrm. Biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu – satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Sampai
saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan hanya manusia satu –
satunya, walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse
dan pada telapak kaki tikus (Depkes RI, 1990). Dengan demikian
berarti kuman kusta yaitu Mycobactirium leprae hidup harus berpindah
langsung dari seorang ke orang lain untuk penularan penyakit tersebut
(Ross, F.W., Halim, WP, 1989 : 4).
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang
sangat lama dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12 – 21 hari. Hal
ini merupakan salah satu penyebab masa tunas yang lama yaitu 2 – 5
tahun (Depkes RI, 2002). Penyakit kusta dapat ditularkan dari
penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) kepada orang lain dengan cara
penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi
sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit. Luka di kulit dan
mukosa hidung dikenal sebagai sumber dari kuman.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak
perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
3. Klasifikasi
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun
penderita menjadi :
a. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan
permukaan kering dan kadang dengan skuama di
atasnya. Jumlah biasanya yang satu dengan yang besar bervariasi.
Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan
sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
b. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan
kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).
c. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak
mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat
eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu
jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + )
pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
d. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran
bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas
sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
e. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat,
ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat
banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji
Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
Pathway
M. Leprae M. Tuberkoloid
Kulit kanker
terlihat Invasi epidemoid
rusak bakteri
Neuritis
Intoleran aktivitas
5. Manifestasi Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling manifestasi klinis dari penyakit
kusta adalah :
a. Tipe Tuberkoloid ( TT )
1) Mengenai kulit dan saraf.
2) Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat,
batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
3) Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir
sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan
saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
4) Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan
tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil
kusta.
b. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
1) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
2) Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak
sejelas tipe TT.
3) Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
4) Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
c. Tipe Mid Borderline ( BB )
1) Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
2) Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
3) Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah
lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
4) Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun
distribusinya.
5) Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi
berbentuk oral pada bagian tengah dengan batas jelas yang
merupaan ciri khas tipe ini.
d. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke
seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya,
beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak
seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih
cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat
teraba pada tempat prediteksi.
e. Tipe Lepromatosa ( LL )
1) Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma,
berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan
anhidrosis pada stadium dini.
2) Distribusi lesi khas :
a) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
b) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan,
ekstensor tingkat bawah.
3) Stadium lanjutan :
a) Penebalan kulit progresif
b) Cuping telinga menebal
c) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine,
dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
4) Lebih lanjut
a) Deformitas hidung
b) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
c) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses
anestesi.
d) Penyakit progresif, makula dan popul baru.
e) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
5) Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kustadan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug
Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman
kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a. Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln
diminum di depan petugas, DDS (Diamino Difenil Sulfon) tablet
100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan
dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995)
tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion
Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b. Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln
diminum di depan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum di
depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum
di rumah. DDS 100 mg/hari diminum di rumah, pengobatan 24
dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam
12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c. Dosis untuk anak
Klofazimin: umur di bawah 10 tahun: bulanan100mg/bln, harian
50mg/2kali/minggu; umur 11-14 tahun: bulanan 100mg/bln, harian
50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg
BB.
d. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan
dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400 mg dan
minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6
bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari
yang seharusnya.
3) Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
4) Sistem persarafan
a) Kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi sensorik ini
menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa. Akibat
kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi
luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/hilangnya reflek kedip.
b) Kerusakan fungsi motorikm, kekuatan otot tangan dan kaki
dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari
tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat
terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada
mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.
5) Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan
atropi.
6) Sistem integument
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
e. Pola Aktivitas Sehari-hari
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta
mengalami gangguan terutama pada body image, penderita
merasa rendah diri dan merasa terkucilkan sedangkaan pada
tatalaksana hidup sehat pada umumnya klien kurang kebersihan
diri dan lingkungan yang kotor dan sering kontak langsung
dengan penderita kusta. Karena kurangnya pengetahuan
tentang penyakitnya maka timbul masalah dalam perawatan
diri.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit b.d hiperpigmentasi kulit.
b. Nyeri akut b.d agen pecendera fisiologis
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
d. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan
struktur/bentuk tubuh
3. Rencana Tindakan
1. Gangguan integritas Setelah dilakukan asuhan 1. Perawatan integritas kulit
kulit b.d keperawatan selama 3x24 jam 1.1 identifikais penyebab
hiperpigmentasu kulit diharapkan gangguan integritas gangguan integritas kulit
kulit teratasi dengan kriteria 1.2 ubah posisi tiap 2 jam
hasil ; jika tirah baring
1. Perfusi jaringan 1.3 anjurkan menggunakan
normal pelembab
2. Tidak ada tanda-tanda 1.4 anjurkan minum air yang
infeksi cukup
1.5 anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
1.6 anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
2. perawatan luka
2.1 monitor karakteristik luka
2.2 monitor tanda-tanda
infeksi
2.3 bersihkan jaringan
nekrotik
2.4 jelaskan tanda dan gejala
infeksi
2.5 anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein
2.6 ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
2.7 kolaborasi prosedur
deberdement
2.8 kolaborasi pemberian
antibiotic jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Graber, M.A. 1998. Buku Saku Kedokteran University Of IOWA. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Ed. III. Jakarta: media
Aeuscualpius.
Sjamsoe, D., Emmi, S. (2003). Kusta. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta:
EGC.