Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

MORBUS HANSEN

MORBUS HANSEN

A. Definisi
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprac, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008, yang
menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus
dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae
ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen
pada tahun 1873 sebagai pathogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal
sebagai lepra.
Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk
menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper
mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih
diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien
kusta. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari
saluran pernafasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-
saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta
tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath.
Morbus Hansen (MH) atau kusta adalah infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama mengenai saraf tepi dan
kulit, serta kadang-kadang terdapat pada beberapa jaringan lain, misalnya mata, mukosa
saluran pernafasan atas, otot, tulang, dan testis.1 Diagnosis MH didasarkan pada 4 tanda
cardinal berupa anestesia, penebalan saraf di lokasi predileksi, lesi kulit, dan terdapat
basil tahan asam (BTA) pada sediaan apusan kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
minimal 2 dari 3 tanda kardinal pertama atau tanda kardinal yang keempat.

B. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta mycobacterium laprae, yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8mic, lebar 0,2-0,5mic biasanya berkelompok
da nada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Masa
belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandungkan dengan
kuman lain, yaitu 12-21hari. Hal ini merupakan salah satu peyebab masa tunas lama yaitu
rata-rata 2-5 tahun. Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 27 ○C –
30○C.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Basiler (MB). Penderita MB ini
pun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat tertentu.
2. Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat tumbuh dan hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid)
saja yang dapat menimbulkan panularan.
3. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut : Dari 100 orang yang terpapar, 95 orang
tidak menjadi sakit, 3 (tiga) orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 (dua) orang
menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.

C. Patofisiologi
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum diketahui
Secara pasti. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penularannya yang paling
sering melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Setelah mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang.
Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi,
berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berarti berkembang ke
arah lepromatosa. Mycrobacterium leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif
lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh
darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk ke dalam
tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagosit.
1. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang rendah
dimana makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan dapat membelah diri dan
dengan bebas merusak jaringan.
2. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana makrofag
dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis, terjadi sel epitel
yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel, bila tidak segera
diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitar.

Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak, sehingga


respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat meningkat.
Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi limfosit.Tetapi sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian
patologis tersebut dapat terjadi. Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi
penyakit kusta pada tiap penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat
berbeda pula sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak
didapati pada kulit dan jaringan saraf

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun
pada tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologis.
PATOFISIOLOGI

M. Leprae Resiko Trauma Sensabilitas


M. Tuberkoloid

Menyerang kulit dan Menyerang saraf tepi Neuritis


saraf tepi sensorik & motorik

Macula, nodula, Ulkus Menyerang saraf ulnaris, nervus


papula popliteus, nervus aurikularis,
nervus radialis
Keganasan cancer
Kulit terlihat rusak epidemoid
Kelumpuhan otot

Malu Metastasea
Kontraktur otot dan sendi

Inefektif koping
individu
Gangguan aktivitas

Gangguan citra Amputasi


tubuh Hambatan mobilitas
fisik

Infasif bakteri

Gangguan rasa nyaman Perubahan aktivitas


Resiko infeksi
Nyeri akut
Hambatan mobilitas
fisik
Patogenesis Lepra

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah


karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok
umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.

Onsetlepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan


mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal,
otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.

Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki


patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-
tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh
basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga
dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah.

Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar
12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-
sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan
beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan
histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis
mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau
skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut
akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.

Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra.


Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang
secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS
rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe
Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah
pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan atau
saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).

M. leprae

Masuk melalui saluran pernapasan

Sel Schwann di daerah yang dingin (nervus cutaneus


dan batang saraf perifer anggota tubuh dan wajah)
basil berkembang di sel Schwann

Respon SIS baik Respon SIS lemah

1. Tidak ada lesi kulit 1. Lepra tipe MB


atau saraf yang 2. Mengenai kulit dan
muncul atau saraf, mata, testis,
2. Lesi kulit atau saraf ginjal , otot halus
muncul diikuti oleh atau volunter,
penyembuhan sistem retikulo
spontan atau endotelial dan
3. Lepra tipe PB endotelium vaskular
ikut terlibat
D. Tatalaksana
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi depson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di
Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1. Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum didepan
petugas, DDS (Diamino Difenil Sulfon) tablet 100mg/hari diminum dirumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995)
tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2. Tipe MB (Multi Basiler)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum di depan
petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50mg/hari diminum dirumah. DDS 100mg/hari diminum dirumah,
pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk
12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

3. Dosis untuk anak


Klofazimin : umur di bawah 10 tahun: bulan 100mg/bln, harian 50mg/2kali/minggu;
umur 11-14 tahun: bulanan 100mg/bln, harian 50mg/3kali/minggu. DSS: 1-2mg/kg
BB, Rifampisin: 10-15mg/kg BB
4. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta
tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikasn dosis tunggal rifampisin 600mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5lesi diberikan 6 dosis dalam 6bulan. Untuk tipe
MB diberikan sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24dosis
dalam 24jam.

5. Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12dosis dari yang seharusnya

E. Asuhan Keperawatan
Dalam melakukan asuhan keperawata tehadap pasien, perawat harus memandang
pasien sebagai individu yang unik dan untuk secara keseluruhan yang terdiri dari
biologis, psikologis, social dan spiritual, yang mempunyai kebutuhan sesuai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan. Kerangka kerja proses keperawatan mencakup langkah
berikut : Pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Setiap langkah proses keperawatan penting untuk pemecahan masalah yang akurat dan
dengan erat saling berhubungan dengan satu sama lain. Setiap tahap bergantung pada
tahap sebelumnya.Urutan-urutannya adalah logis karena informasi pasien dikumpulkan
sebelum kebutuhan perawatan kesehatan ditetapkan.Rencana didasarkan atas kebutuhan
pasien, dan asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan rencana tersebut. Asuhan
keperawatan dievaluasi dalam kaitannya dengan pencapaian hasil yang diharapkan
(Potter & Perry, 2006).

1. Pengkajian

Pengkajian adalah sistematis dari pengumpulan, verifikas, dan komunikasi data


tentang pasien. Fase proses keperawatan ini mencakup dua langkah : pengumpulan
data dari sumber primer (pasien) dan sumber seunder (keluarga pasien dan tenaga
kesehatan) dan analisa data sebagai dasar untuk diagnose keperawatan (Potter &
Perry, 2006).Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan morbus hansen menurut
Doenges, (2010) adalah :

a. Pola aktivitas sehari-hari aktivitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan


pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Pasien mengalami ketergantungan
pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.

b. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum pasien biasanya dalam keadaan demam karena
reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus Hansen.Lemah karena
adanya gangguan saraf tepi motorik system penglihatan. Adanya gangguan fungsi
saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika
terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan
mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus Hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak ada alis mata maka alis
mata akan rontok.

c. System pernafasan : pasien dengan morbus Hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat ganguan pada tenggorokan.

d. System persarafan :

1) Kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan


terjadinya kurang /matirasa. Akibat kurang / mati rasa pada telapak tangan dan
kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengakibatkan kurang /
hilangnya reflek kedip.

2) Kerusakan fungsi motorik, kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah / lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat
terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

3) Kerusakan fungsi otonnom, terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar


minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras, dan akhirnya dapat pecah-pecah.

e. System musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik, adanya


kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan antropi.

f. System integument Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),


bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrate (penebalan kulit), nodul
(benjolan).Jika ada kerusakanfungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal,
mengeras dan pecah-pecah.Rambut : sering didapati kerontokan jika terdapat
bercak.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan merupakan langkah kedua dari proses keperawatan setelah


pengkajian data, diagnose keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat dan
pasti tentang masalah kesehatan pasien dan serta penyebabnya yang dapat dipecahkan
atau diubah melalui tindakan keperawatan. Diagnosa keperawatan yang mungkin
timbul pada pasien Morbus Hansen adalah sebagai berikut :

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh.

c. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan proses penyakit.

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya keinginan mencari


informasi.

3. Perencanaan
Perencanaan keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan.
Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat pasien dan orang
terdekat untuk merumuskan rencana tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
masalah-masalah pasien dan membuat prioritas urutan diagnosa
keperawatan(Doenges, dkk, 2010).

a. Unsur-unsur pada tahap perencanaan adalah sebagai berikut Memprioritaskan


masalah, yaitu menetukan masalah apa yang memerlukan perhatian atau prioritas
masalah yang ditemukan.

b. Merumuskan tujuan, yaitu tujuan yang ditetapkan harus jelas, dapat diukur dan
realistis dengan menggunakan metode SMART, yaitu Spesifik (berfokus pada
pasien), Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai), Reasonable
(sesuai dengan kenyataan), dan Time (waktu).

c. Menentukan tindakan keperawatan, yaitu perawat mempertimbangkan beberapa


alternative tindakan dan melaksanakan tindakan yang mungkin berhasil atau
mengurangi dan memecahkan masalah pasien.

d. Rasionalisasi yaitu alasan dari adanya atau dilakukannya tindakan keperawatan.

e. Menentukan kriteria hasil yang merupakan tolak ukur keberhasilan tindakan


keperawatan.

No Diagnosa Tujuan Intervensi


.

1. Gangguan rasa - Pain level a. lakukan pengkajian


nyaman nyeri nyeri secara
- Pain control
berhubungan komprehensif termasuk
dengan proses - Comfort level lokasi, karakteristik,
inflamasi. durasi, frekuensi,
Setelah dilakukan tindakan
kualitas dan factor
keperawatan selama 3x24
jam Pasien tidak mengalami prepitasi.
nyeri, dengan kriteria hasil :
b. Observasi reaksi
a. Mampu mengontrol nonverbal dari
nyeri ( tahu penyebab ketidaknyamanan.
nyeri, mampu
c. Bantu pasien dan
menggunakan tehnik
keluarga untuk
nonfarmakologi untuk
mencari dan
mengurangi nyeri,
menemukan dukungan.
mencari bantuan).
d. Kontrol lingkungan
b. Melaporkan bahwa nyeri
yang dapat
berkurang dengan
mempengaruhi nyeri
menggunakan
seperti suhu ruangan,
manajemen nyeri.
pencahayaan, dan
c. Mampu mengenali nyeri kebisingan.
(skala, intensitas,
e. Kurangi factor
frekuensi dan tanda
presipitasi nyeri.
nyeri).
f. Kolaborasi pemberian
d. Menyatakan rasa
analgetik untuk
nyaman setelah
mengurangi nyeri.
nyeriberkurang.
g. Tingkatkan istirahat.

h. Monitor vital sign

2. Intoleransi - Self care : ADLs a. Observasi adanya


aktivitas pembatasan klien
-Toleransi aktivitas
berhubungan dalam melakukan
dengan - Konservasi energy aktivitas.
kelemahan tubuh.
Setelah dilakukan tindakan b. Kaji adanya factor
keperawatan selama 3x24 yang menyebabkan
jam Pasien bertoleransi kelelahan.
terhadap aktivitas dengan
c. Monitor nutrisi dan
kriteria hasil :
sumber energy
a. Berpartisipasi dalam yang adekuat.
aktivitas fisik tanpa disertai
d. Monitor pasien
peningkatan tekanan darah,
akan adanya
nadi dan RR. - Mampu
kelelahan fisik dan
melakukan aktivitas sehari
emosi secara
hari (ADLs) secara mandiri.
berlebihan.
b. Keseimbangan aktivitas dan
e. Monitor poa tidur
istirahat.
dan lamanya tidur /
istirahat pasien.

f. Bantu pasien untuk


mengidentifikasi
aktivitas yang
mampu dilakukan.

g. Bantu pasien untuk


memilih aktivitas
konsisten yang
sesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan
social.

h. Bantu pasien untuk


membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
i. Monitor respon
fisik, emosi dan
spiritual.

3. Kerusakan - Tissue integrity : skin and a. Anjurkan pasien untuk


integritas jaringan mucous membranes menggunakan pakaian
berhubungan yang longgar.
- Wound healing : primer
dengan proses
and sekunder b. Hindari kerutan pada
penyakit.
tempat tidur.
Setelah dilakukan
keperawatan selama 3x24 c. Jaga kebersihan kulit
jam Kerusakan integritas agar tetap bersih dan
kulit pasien teratasi dengan kering.mobilisasi
kriteria hasil : pasien (ubah posisi
pasien) setiap dua jam
a. Integritas kulit yang
sekali.
baik bisa dipertahankan
(sensasi, elastisitas, d. Monitor kulit akan
temperature, hidrasi, dan adanya kemerahan.
pigmentasi).
e. Oleskan lotion atau
b. Tidak ada luka/lesi pada minyak/baby oil pada
kulit. daerah yang tertekan.

c. Perfusi jaringan baik. f. Monitor status nutrisi


pasien
d. Menunjukkan
pemahaman dalam g. Memandikan pasien
proses perbaikan kulit dengan sabun dan air
dan mencegah terjadinya hangat.
cedera berulang.

e. Mampu melindungi kulit


dan mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami.

f. Menunjukkan terjadinya
proses penyembuhan
luka.

4. Ansietas - Control kecemasan Anxiety Reduction


berhubungan (penurunan kecemasan)
- Koping
dengan perubahan
a. Gunakan pendekatan yang
status kesehatan. Setelah dilakukan asuhan
menyenangkan.
keperawatan selama 3x24
jam Kecemasan pasienb. Identifikasi tingkat
teratasi dengan kriteria kecemasan.
hasil:
c. Libatkan keluarga untuk
a. Pasien mampu mendampingi pasien.
mengidentifikasi dan
d. Ajarkan tehnik relaksasi
mengungkapkan gejala
nafas dalam.
cemas.
e. Dengarkan dengan penuh
b. Mengidentifikasi,
perhatian
mengungkapkan dan
menunjukkan tehnikf. Dorong pasien untuk
untuk mengontrol mengungkapkan
cemas. perasaan, ketakutan,
presepsi.
c. Vital sign dalam batas
normal.

d. Postur tubuh, ekspresi


wajah, bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.

5. Kurang - Kowledge : disease a. Kaji tingkat


pengetahuan process pengetahuan pasien
berhubungan dan keluarga.
- Knowledge : health
dengan
behavior b. jelaskan tentang
kurangnya
penyakit pasien.
keinginan Setelah dilakukan tindakan
mencari keperawatab selama 3x24 c. identifikasi
informasi. jam.diharapkan pasien kemungkinan
mampu dengan Kriteria penyebab, dengan cara
hasil: yang tepat.

a. Pasien dan keluarga d. berikan informasi


menyatakan tentang penyakit
pemahaman tentang pasien
penyakit.

b. Pasien dan keluarga


mampu
melaksanakan
prosedur yang
dijelaskan.

c. Pasien dan keluarga


mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan.

4. Implementasi

Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalan tahap proses keperawatan dengan


melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan
keperawatan)yangtelahdirencanakandalam rencana tindakan. Pengobatan mastitis
tergantung pada tanda dan gejala yang muncul (Hidayat, 2006).

Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu pasien dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, yang menyangkut peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Dalam melaksanakan tindakan
keperawatan pada pasien yang mengalami mastitis, harus terlebih dahulu dijelaskan
pada pasien atau keluarganya tentang apa yang akan dilakukan dan tujuan dari
tindakan tersebut. Implementasi diberikan sesuai dengan intervensi pada masing-
masing diagnosa yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien saat itu.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatandengan cara


melakukan sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai (Hidayat, 2006).
Evaluasi bertujuan untuk menilai efektifitas rencana dan strategi asuhan keperawatan.
Evaluasi terdiri dari evaluasi proses, untuk menilai apakah prosedur dilakukan sesuai
dengan rencana dan evaluasi hasil berfokus kepada perubahan perilaku dan keadaan
kesehatan pasien sebagi hasil tindakan keperawatan. Ada empat alternative dalam
menafsirkan hasil evaluasi menurut (Hidayat, 2006) yaitu :

a. Masalah teratasi Masalah teratasi apabila pasien menunjukkan perubahan tingkah


laku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan.

b. Masalah sebagian teratasi Masalah sebagian teratasi apabila pasien menunjukkan


perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan.

c. Masalah belum teratasi Masalah belum teratasi apabila pasien sama sekali tidak
menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan
timbul masalah yang baru.
d. Timbul masalah yang baru Masalah yang timbul atau muncul baru lagi pada
pasien dengan menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan
yang baru pada kondisi kesehatan pasien.

Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan


pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara objektif
oleh pasien setelah diberikan implementasi keperawatan. O adalah kegiatan objektif
yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamat atau pengamatan
objektif setelah implementasi keperawatan. A merupakan analisa perawat setalah
mengetahui respon subjektif dan objektif pasien yang telah dibandingkan dengan
kriteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada tujuan rencana keperawatan.
P adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisa (Effendy, 2007)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, IM (2006), Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC


2. Doenges, Marilynn E dkk.(2010). Nursing Care Planning.(Edisi 9).Jakarta :
DavisPlus

3. Mansjoer, Arief. (2006). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media

4. Aesculapius Nanda Nic Noc, (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi 2015-2017.Jakarta : EGC

5. Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses
dan Praktik, Edisi 4 vol 1. Jakarta: EGC

6. Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses
dan Praktik, Edisi 4 vol 2. Jakarta: EGC

7. Price, S.A & Wilson.L.M. (2006).Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses


Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC

8. Sudoyo, A. et al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

9. Tarwoto dan Wamorah.(2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

10. Loetfia Dwi Rahariyani ; editor, Eka Anisa Mardella, Monica Ester. 2007. Buku
Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta : EGC

11. Bag. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai