Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA MORBUS HANSEN


Dosen pembimbing : Yessi Hasneli N, SKp, MNS
NAMA KELOMPOK
Amalia sari 1711110363
Ayu puspika 1711110371
Citra pratiwi 1711110320
Devi kumala sari 1711110339
Hermi julianti 1711110323
M. arif munadhil 1711110328
Nurul amirah 1711110372
Roza misalia 1711110333
Selvira efiskha 1711110342
Sri wahyu gusti fajri 1711110321
Suci rahmatul yasirro 1711110319
DEFINISI
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan dari gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
myobacterium leprae.
Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada
kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos
yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu
mudah seperti pada penyakti tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.
(Pusdatin,2015)
ETIOLOGI
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini
bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron.
Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat
mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
Kusta disebabkan oleh bakteri Mtcobacterium laprae. Bakteri ini tumbuh pesat pada
bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan, wajah, kaki, dan lutu. M. Laprae
termasuk jenis bakteri yang hanya bisa berkembang didalam beberapa sel manusia dan hewan
tertentu. Cara penularan bakteri ini diduga melalui cairan dari hidung yang biasanya menyebar
ke udara ketika penderita batuk atau bersin, dan dihirup oleh orang lain. Namun penyakit ini
tidak mudah untuk dikeluarkan, perlu beberapa bulan kontrak yang sering dengan penderita
kusta, sehingga penyakit ini dapat ditularkan.
Sebelum ditemukan pada tahun 1873 bahwa kusta disebabkan oleh kuman, penyakit
ini sangat erat dengan stigma negatif, yaitu suatu hukuman dan kutukan yang diberikan pada
penderita karena dosa atau kesalahan yang diperbuat oleh orang tersebut. Dampak stigma
tersebut berlanjut hingga saat ini, sehingga penderita sering kali mengalami diskriminasi dan
dikucilkan dari kehidupan sosial.
Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan seseorang tidak akan
tertular kusta hanya karena bersalaman dengan penderita, duduk bersebelahan dengan
penderita, duduk bersama dimeja makan, atau bahkan berhubungan seksual dengan penderita.
Kusta juga tidak ditularkan dari ibu ke janin.
EPIDEMIOLOGI
Diseluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. India adalah
negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan M yanmar. Penyakit kusta
tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang
endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu dengan prevalensi
<1/10.000 penduduk. Pada tahun 1991, World Health Assembly telah mengeluarkan suatu
resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000. Pada tahun 1999, insiden penyakit kusta didunia
diperkirakan 640.000 kasus dan 10 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada tahun 2000, WHO
membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. Tujuh puluh persen kasus dunia terdapat di
India, Myanmar, dan Nepal. Pada tahun 2002, ditemukan 63.91 kasus di seluruh dunia, dan
menurut WHO pada tahun yang sama, ditemukan 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil,
Madagaskar, Mozambik, Tanzania, dan Nepal.
• Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsi Jawa Timur yaitu
mencapai 4 per 10.000 penduduk. Di Provinsi Jawa Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2 per 10.000 penduduk.
• Indonesia merupakan negara yang memiliki angka penyebaran penyakit kusta cukup tinggi. Tercatat
pada tahun 2009 ditemukan penderita kusta sebanyak 21.026 orang, tahun 2010 sebanyak 20.329
orang, tahun 2011 sebanyak 20.023 orang dan tahun 2012 sebanyak 23.169 orang (jurnas, 2013).
• Indonesia dengan jumlah sebanyak 21.026 kasus menempati peringkat ketiga jumlah kasus kusta
terbanyak di dunia setelah India dan Brazil (Kurniawan, 2011; Dinas Komunikasi dan Informatika
Pemerintah Jawa Timur, 2012).
• Daerah di Indonesia yang termasuk dalam endemis kusta yaitu Aceh, Jawa, Sulawesi Selatan, Maluku
Utara, dan Papua (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2009). Sepertiga lebih
dari total jumlah penderita kusta nasional berada di Provinsi Jawa Timur (Citra, 2010; Dinas Kominfo
Provinsi Jatim, 2012).
PATOFISIOLOGI
• Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh
Mycobacterium leprae terhadap kulit tergantung pada imunitas seseorang, kemampuan
hidup Mycobacterium leprae pada suhu yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta
sifat kuman yang avirulen dan non toksik.
• Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada
sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel schwann dijaringan
saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, hisitosit) untuk
memfagositnya. Pada kusta tipe LL (Lepromatosa) terjadi kelumpuhan sistem imunitas
seluler, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT (Tuberkoloid) terjadi kelumpuhan fungsi sistem imunitas seluler tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis,
makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan
masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium leprae , di samping itu
sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila
terjadi gangguan imunitas tubuh dalam schwann, kuman dapat berimigrasi dan beraktifitas. Akibtanya
aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Kosasih, dkk. 2007).
Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak,
sehingga respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat
meningkat. Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi limfosit.Tetapi
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti antigen M. leprae mana yang mendasari
kejadian patologis tersebut dapat terjadi. Determinan antigen tertentu yang mendasari
reaksi penyakit kusta pada tiap penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran
klinisnya dapat berbeda pula sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan
antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan saraf. Derajat penyakit tidak selalu
sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda.Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.
M. Leprae Hipoping mentasi

Kulit Gangguan integritas kulit

Konsep diri
Syaraf tepi

Isolasi diri

Kerusakan sensorik Motorik Autonomik

Hipoestesi Kelemahan otot Gangguan kelenjar keringat

Trauma / cidera Extremitas atas Kulit kering / pecah

Extremitas bawah Luka


Luka

Resti infeksi
Gangguan pola aktivitas
Infeksi Lemas
KLASIFIKASI
Dalam pemakaian obat kombinasi (MDT) untuk pemberantasan penyakit kusta, maka WHO
mengelompokkan penyakit kusta atas dua kelompok berdasarkan jumlah lesi kulit dan
pemeriksaan apusan lesi kulit, yaitu:
1. Tipe Pausibaliser (PB) terdiri atas tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid (TT), Borderline
Tuberkuloid (BT). Jumlah lesi sebanyak 1 hingga 5 lesi kulit. Hasil pemeriksaan basil
tahan asam (BTA) negatif.
2. Tipe Multibasiler (MB) terdiri atas tipe Boderline (BB), Borderline Lepromatous (BL),
Lepromatous (LL). Jumlah lesi lebih atau sama dengan 6 lesi kulit. Hasil pemeriksaan
BTA positif.
Sampai saat ini untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi
Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histoplatologis, dan mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit
kusta dalam 5 tipe yaitu :
• Tipe Tuberkuloid (TT)
• Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
• Tipe Borderline (BB)
• Tipe Borderline Lepromatous (BL)
• Tipe Lipromatous (LL)
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda kusta tidak nampak jelas dan berjalan sangat lambat. Bahkan, gejala kusta muncul 20
tahun setelah bakteri berkembang biak didalam tubuh penderita. Beberapa di antaranya adalah :
• Mati rasa, baik sensasi terhadap perubahan suhu, sentuhan, tekanan atau pun rasa sakit.
• Muncul lesi pucat dan menebal pada kulit.
• Muncul luka tapi tidak terasa sakit.
• Pembesaran saraf biasanya terjadi disiku dan lutut.
• Kelemahan otot sampai kelumpuhan, trauma otot kaki dan tangan.
• Kehilagan alis dan bulu mata.
• Mata menjadi kering dan jarang mengedip, serta dapat menimbulkan kebutaan.
• Hilangnya jari jemari.
• Kerusakan pada hidung yang dapat menimbulkan mimisan, hidung tersumbat, atau
kehilangan tulang hidung.
Berdasarkan tingkat keparahan gejala, kusta di kelompokkan menjadi 6 jenis, yaitu :
• Intermediate leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang kadang sembuh dengan sendirinya,
namun dapat berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang diantaranya berukuran besar dan
mati rasa. Selain itu, beberapa saraf juga dapat terkena. Tuberculoid leprosy dapat sembuh dengan sendirinya,
namun bisa berlangsung cukup lama atau bahkan berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Borderline Tuberculoid leprosy. Lesi yang muncul pada kusta ini serupa dengan lesi yang ada pada Tuberculoid
leprosy, namun berukuran lebih kecil dan lebih banyak. Kusta jenis Borderline Tuberculoid leprosy dapat
bertahan lama atau berubah menjadi jenis tuberculoid, bahkan beresiko menjadi jenis kusta yang lebih parah lagi.
Pembesaran saraf yang terjadi pada jenis ini hanya minimal.
• Mid-borderline leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan plak kemerahan, kadar mati
rasa sedang, serta membengkaknya kelenjar getah bening. Mid-borderline leprosy
dapat sembuh, berahan, atau berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Borderline lepromatous leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan lesi yang berjumlah
banyak (termasuk lesi datar), benjolan, plak, nodil, dan terkadang mati rasa. Sama
seperti Mid-borderline leprosy, borderline lepromatous leprosy dapat sembuh,
bertahan, atau berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Lepromatous leprosy. Ini merupakan jenis kusta paling parah yang ditandai dengan
lesi yang mengandung bakteri dan berjumlah banyak, rambut rontok, gangguan
saraf, anggota badan melemah, serta tubuh yang berubah bentuk. Kerusakan yang
terjadi pada Lepromatous leprosy tidak dapat kembali seperti semula.
FAKTOR FAKTOR PENDERITA
KUSTA
faktor agent
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang,
sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.
Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat
tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa ireguler besar
yang disebut sebagai globi ( Depkes, 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3
minggu, diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis) kuman kusta dari sekret nasal
dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977, dalam Leprosy Medicine in the Tropics
Edited by Robert C. Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada
suhu 27º30º C
M. leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan
dapat bertahan hidup 46 hari, ada lima sifat khas :
• M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia
buatan;
• Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
• M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin).
• M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan bertumbuh
dalam saraf perifer.
• Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang Stabil dengan
aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif
pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).
faktor host
• Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.
• Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti.
• Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti.

faktor environment
• Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat. Buruknya kondisi kesehatan
lingkungan yang banyak ditemui pada warga miskin, diduga menjadi sarang yang
nyaman untuk berkembangnya kuman kusta.
CARA PENULARAN
• Faktor Sumber Penularan.
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak akan
menularkan kusta, apabila berobat teratur.
• Faktor Kuman Kusta.
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada
suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat
menimbulkan penularan.
• Faktor Daya Tahan Tubuh.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 2 orang sembuh
sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan
pengaruh pengobatan.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering,
diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya
harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan
berulang-ulang.
PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan Klinis
1. Kulit
Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari :
• Pemeriksaan pandang
• Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
• Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
Pemeriksaan Bakteriologi
• Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
• Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam yaitu
Zieal Neelse atau kinyoon – Gabett.
• Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig-zag, huruf z dan setengah atau seperempat lingkaran.
Pemeriksaan Sesologi
• Lepromin test : untuk mengetahui imunitas seluler dan membantu menentukan tipe
kusta.
• MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Agglutination) : untuk mengetahui imunitas
humoral terhadap antigen yang berasal dari M. Leprae.
• PCR (Polimerase Chain Reaction). Sangat sensitive, dapat mendeteksi 1 – 10 kuman,
Seiaan diambil biasanya pada jaringan

Pemeriksaan Histopatologi
Sebagai pemeriksa penunjang untuk diagnosis dan menentukan tipe kusta.
PENATALAKSANAAN
Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
• Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
• DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
• Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
• Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari
diminum di rumah.
• DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
• Pengobatan MDT terbaru
Pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe
PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
• Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka
dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari
yang seharusnya.
• Evaluasi Pengobatan
Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6 sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan
menjalani pemeriksaan laboratorium.
Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :
• Tipe PB selama 2 tahun.
• Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Hilang/Out of Control (OOC)
• Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil
obat dan dikeluarkan dari register pasien.
• Relaps (kambuh)
• Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.
Komplikasi
• Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIC/PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:
• Laboratorium
• Darah rutin: tidak ada kelainan
• Bakteriologi:
• Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang meningkat
sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel
epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel langerhans.Kadang-kadang terdapat
gambaran nekrosis (kematian jaringan) didalam granulosum.Dimana penyembuhannya
ditandai dengan fibrosis.
PENCEGAHAN
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
• Penyuluhan kesehatan
• Pemberian imunisasi

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
• Pengobatan pada penderita kusta
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit
penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena
tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain
3. Pencegahan tersier
• Pencegahan cacat kusta
• Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :
• Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
• Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan
yang berlebihan.
• Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
• Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan.
• Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
B. Diagnosa keperawatan
• Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyebaran penyakit.
• Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, kaku.
• Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit yang dideritanya.
• Resti infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang lemah.
• Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.
• Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan pada tubuh atau perasaan merasa
ditinggalkan.
C. Intervensi
Diagnosa : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyebaran, ulkus
akibat M. Leprae.
Tujuan : Menunjukkan tingkah laku atau tehnik mencegah kerusakan kulit atau menigkatkan
penyembuhan.
Kriteria Hasil : - Mencapai kesembuhan
- Menunjukkan penyembuhan pada lesi
- Tidak terjadi komplikasi dan proses penyebaran tidak terlalu banyak
Intervensi dan Rasional :
1. Gunakan tehnik aseptik dalam perawatan luka. R/ Mencegah luka dari perlukaan
mekanis dan kontaminasi.
2. Kaji kulit tiap hari dan warnanya turgor sirkulasi dan sensori. R/ Menentukan garis dasar
bila ada terdapat perubahan dan dapat melakukan intervensi yang tepat.
3. Instruksikan untuk melaksanakan hygiene kulit dan melakukan masase dengan lotion /
krim. R/ Mempertahankan kebersihan kulit dan menurunkan resiko trauma dermal
kulit yang kering dan rapuh massase. Meningkatkan sirkulasi kulit dan
meningkatkan kenyamanan.
D. Implementasi

E. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
• Amirudin. M. D. 2012. Penyakit Kusta: Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya: PenerbitBrilian Internasional.
• Mansjoer Arif, ddk, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Ketiga Edisi Kedua, Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.
• Adhi Juandha, Prof. Dr, Ilmu Penyakit Kulid dan Kelamin, Edisi Ketiga, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 1999..
• Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab / UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, RSUD Soetomo, Surabaya,
2000.
• Marilyn E. Dongoes.2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3. Jakarta : EGC.
• Lynda Juall Carpenito.2000. Buku Diagnosa Keperawatan, edisi 8. Jakarta: EGC.
• Standar Asuhan Keperawatan Interna RS Siti Khadijah, Sepanjang, 2004
• Widyastuti, A. M. S. 2017. Asuhan keperawatan dengan morbus Hansen. 1-5.
• InfoDATIN. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2015.

Anda mungkin juga menyukai