Anda di halaman 1dari 18

REFERAT Agustus 2021

Reaksi Kusta Tipe 1

Disusun Oleh:

Aliyah Rezky Fahira


N 111 20 025

PEMBIMBING KLINIK
dr. Seniwaty Ismail, SpKK, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Aliyah Rezky Fahira


No. Stambuk : N 111 20 025
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Referat : Reaksi Kusta Tipe 1
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Agustus 2021

Pembimbing Klinik Mahasiswa

dr. Seniwaty Ismail, SpKK, FINSDV Aliyah Rezky Fahira


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great Imitator Disease”
karena penyakit ini seringkali tidak disadari karena memiliki gejala yang hampir
mirip dengan penyakit kulit lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh bakteri kusta
sendiri mengalami proses pembelahan yang cukup lama yaitu 2–3 minggu dan
memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan lebih. Penularannya dapat melalui
kontak langsung dengan sekret nasal atau inokulasi pada kulit dari individu yang
terinfeksi. Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan kematian,
namun paling sering menyebabkan kecacatan.1,2
Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO
mengalami peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di
tahun 2016. Sebesar 94% dari insiden kusta ini dilaporkan oleh 14 negara dengan
>1000 kasus baru tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih banyak wilayah yang
menjadi kantong endemisitas tinggi kusta di dunia. Asia Tenggara merupakan
regional dengan insiden kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun 2016. Indonesia
merupakan negara dengan penyumbang insiden kusta ke-3 tertinggi di dunia,
yakni sebanyak 16.286 kasus, setelah Brazil (25.218 kasus) & India (145.485
kasus).2
Pasien kusta dapat mengalami suatu episode inflamasi yang disebut reaksi
kusta, dapat timbul sebelum, selama, maupun sesudah pengobatan. Terdapat 2
macam reaksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2 (erythema nodosum
leprosum), dibedakan dari jenis imunitas yang berperan. Reaksi tipe 1 disebabkan
oleh peningkatan respons imun seluler berupa reaksi hipersensitivitas tipe lambat
terhadap antigen M. leprae di saraf dan kulit.3
Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan tipe 2 atau eritema nodusum
leprosum (ENL), Kedua jenis reaksi kusta ini dapat terjadi terpisah, tetapi dapat
timbul pada pasien yang sama di saat yang berbeda. Fenomena Lucio sering
dianggap sebagai rekasi kusta tipe 3 atau dikenal sebagai rekasi kusta sangat berat.
Reaksi kusta merupakan penyebab terbesar kerusakan saraf dan kematian
sebagian besar penderita kusta; jika dapat terdeteksi pada saat yang tepat,
komplikasi dapat dicegah.3

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan Refarat ini untuk menguraikan mengenai definisi,
etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan
pengobatan terhadap kusta dan reaksi kusta tipe 1.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang saraf tepi dan kulit.4
World Health Organization (WHO) mengkasifikasikan kusta menjadi dua
kelompok yaitu kusta multibasiler (MB) dan kusta pausibasiler (PB). Pada kusta
pausibasiler, respon imun seluler berfungsi dengan baik, sedangkan pada kusta
multibasiler imunitas seluler buruk sehingga gagal untuk melisiskan M. leprae.6

2.2. Epidemiologi
Kusta termasuk dalam salah satu penyakit menular yang angka kejadiannya
masih tinggi, misalnya di India, Brazil, dan Indonesia. Pada tahun 2004-2014
Indonesia menempati peringkat ketiga dalam jumlah kasus kusta di dunia
setelah India dan Brazil. Penyakit kusta merupakan masalah nasional kesehatan
masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia, prevalens rate-nya masih
tinggi. Data dari Pusat Data dan Informasi mengenai Profil Kesehatan Indonesia
menunjukkan prevalensi penyakit kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96 per
10.000 penduduk. Morbus hansen dapat terjadi pada semua usia, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kemungkinan yang sama besar untuk menderita
penyakit ini.5

2.3. Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yaitu suatu basil tahan asam,
gram positif, obligat intraseluler yang tidak dapat dibiakkan. Bakteri ini dapat
tumbuh pada suhu 30°C, di bawah suhu tubuh manusia. Hal ini yang
menjelaskan lesi kusta lebih banyak di area tubuh yang lebih dingin.4

2.4. Patogenesis
Manifestasi klinis kusta tergantung dari imunitas seluler pejamu. Pada kusta
lepromatosa didapatkan kegagalan imunitas seluler dalam melawan M. leprae,
sehingga terjadi multiplikasi basil, penyebaran infeksi dan akumulasi antigen
pada jaringan yang terinfeksi. Tidak adanya limfosit dan makrofag yang
teraktivasi menyebabkan kerusakan saraf yang timbulnya lambat dan perlahan.
Pada kusta tuberkuloid, terjadi imunitas seluler dominan sehingga infeksi
terbatas pada satu atau beberapa lokasi pada kulit dan saraf tepi. Pasien
tuberkuloid mampu membentuk granuloma yang terdiri dari sel T-helper, di
mana pasien lepromatosa tidak mampu membentuk granuloma serta
didominansi oleh sel T-supresor. Di antara bentuk polar terdapat bentuk
borderline, dimana perluasan penyakit mencerminkan keseimbangan antara
imunitas seluler dan jumlah basil. Penyebaran hematogen dan multiplikasi basil
pada kusta lepromatosa terjadi pada lokasi yang dingin dan superfisial seperti
mata, saluran nafas atas, testis, otot dan tulang kecil pada tangan, kaki dan
wajah maupun saraf tepi dan kulit. Berbeda dengan kusta tuberkuloid,
multiplikasi basil terdapat pada beberapa lokasi dan terkadang basil tidak dapat
ditemukan.4

2.5. Klasifikasi Kusta


2.6. Gejala Klinis
Ada beberapa tanda-tanda pada tersangka (suspek) dan positif penyakit Kusta.
Ada yang tidak nampak jelas, terjadi sangat lambat dan tergantung dari tingkat
atau tipe dari penyakit Kusta tersebut yaitu :
• Tanda-tanda pada kulit :
1. Adanya bercak tipis berwarna merah atau putih seperti panu pada
bagian tubuh manusia. (hal ini yang kadang dianggap biasa oleh
penduduk)
2. Awalnya bercak putih ini hanya sedikit ukuran bercak dan
jumlahnya, tetapi lama-lama bercak tersebut semakin melebar dan
banyak.
3. Adanya pelebaran / pembesaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, auricularis magnus serta peroneus, yang biasanya terjadi
pada daerah siku dan lutut.
4. Beberapa kelenjar keringat kurang bekerja secara normal sehingga
kulit tampak tipis dan mengkilap.
5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit
6. Kehilangan alis dan bulu mata / mengalami kerontokan atau tidak
berambut
7. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat
8. Lepuh tidak nyeri.7
• Tanda-tanda pada syaraf ;
1. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau
muka.
2. Gangguan gerak pada anggota badan atau bagian muka.
3. Adanya cacat (deformitas).
4. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.7

Gejala Kusta sendiri dibagi menjadi enam jenis berdasarkan tingkat keparahan
gejalanya, yaitu:
• Intermediate leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi yang
tampak datar dan kadang sembuh dengan sendirinya, namun dapat
berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi yang
tampak datar di antaranya berukuran besar dan mati rasa. Beberapa saraf
dapat terkena. Tuberculoid leprosy dapat sembuh dengan sendirinya,
namun gejala ini bisa berlangsung cukup lama bahkan berkembang
menjadi jenis kusta yang lebih parah.
• Borderline tuberculoid leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa
lesi yang muncul serupa seperti lesi pada tuberculoid leprosy, namun
berukuran lebih kecil dan lebih banyak. Kusta jenis borderline
tuberculoid leprosy dapat bertahan lama bahkan dapat berubah menjadi
jenis tuberculoid dan menjadi jenis kusta yang lebih parah lagi.
Pembesaran saraf yang terjadi pada jenis ini hanya minimal.
• Mid-borderline leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan adanya plak
kemerahan, kadar mati rasa dalam kadar sedang serta terjadi
pembengkakan kelenjar getah bening. Mid-borderline leprosy dapat
sembuh, bertahan atau berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah
(get worse).
• Borderline lepromatous leprosy. Jenis kusta ini ditandai dengan lesi
yang berjumlah banyak (termasuk lesi datar), benjolan, plak, nodul, dan
terkadang mati rasa. Sama seperti mid-borderline leprosy, borderline
lepromatous leprosy dapat sembuh, bertahan, atau berkembang menjadi
jenis kusta yang lebih parah.
• Lepromatous leprosy. Jenis kusta ini paling parah ditandai dengan lesi
yang mengandung bakteri dan berjumlah banyak, rambut rontok,
gangguan saraf, anggota badan melemah serta tubuh yang berubah
bentuk (deformitas). Kerusakan (kecacatan) yang terjadi pada
lepromatous leprosy tidak dapat kembali seperti semula.7

2.7. Penegakan Diagnosis


A. Anamnesis
Pada anamnesa ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya.
a. Kapan timbul bercak/keluhan yang ada mulai dirasakan.
b. Apakah ada anggota keluarga serumah yang mempunyai keluhan
yang sama.
c. Berapa lama kontak serumah dengan penderita.
d. Apakah pernah tinggal didaerah endemis.
e. Riwayat pengobatan sebelumnya.7

B. Pemeriksaan Fisik
a. Didapatkan tiga tanda kardinal sebagai dasar untuk menegakkan
diagnosis penyakit kusta, berupa ditemukannya lesi kulit yang mati
rasa, penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf, dan hasil
pemeriksaan BTA positif dari kerokan jaringan kulit (slit-skin
smear) pasien.8
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa
raba. Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak
lurus pada kelainan kulit yang dicurigai. Sebaiknya penderita duduk
pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan
bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia
harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,
menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan
ke atas untuk bagian yang sulit dijangkau. Ini dikerjakan dengan
mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup
matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/ karton.
Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit
yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anestesi.
Anestesi pada telapak tangan dan kaki kurang tepat diperiksa
dengan kapas, gunakan ballpoint seperti dijelaskan pada bagian
pencegahan cacat.7
c. Pemeriksaan saraf
Raba dengan teliti saraf tepi berikut, saraf aurikularis magnus, saraf
ulnaris, saraf radialis, saraf medianus, saraf peroneus dan saraf
tibialis posterior (petugas harus memperhatikan raut muka penderita
apakah dia kesakitan atau tidak waktu saraf diraba). Kemudian
lakukan pemeriksaan terhadap fungsi-fungsi saraf tersebut. Bila
hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka catat dan
gambar kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu penderita,
sesuai tanda-tanda yang telah ditentukan jumlahnya, besarnya dan
letaknya.7
Pada saat meraba saraf, perhatikan: (1) Apakah ada
penebalan/pembesaran. (2). Apakah saraf kiri dan kanan sama besar
atau berbeda. (3). Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf.7

Sewaktu melakukan palpasi saraf lihat juga mimik penderita, apakah


ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari
beberapa saraf yang disebutkan, ada tiga saraf yang wajib diraba
yaitu saraf ulnaris, peroneus communis dan tibialis posterior.
Pemeriksaan Fungsi Saraf Raba dengan teliti saraf tepi berikut :
saraf aurikularis magnus, saraf ulnaris, saraf radialis, saraf
medianus, saraf peroneus dan saraf tibialis posterior. Kemudian
lakukan pemeriksaan terhadap fungsi saraf-saraf tersebut.7

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan penyakit
kusta salah satunya adalah pemeriksaan bakterioskopik, yaitu melalui
sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit yang kemudian
dilanjutkan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Bila diagnosis meragukan,
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan
serologi PGL-1 (Phenolic Glycolipid-1) atau PCR (Polymerase Chain
Reaction). Gambaran histopatologi dari kusta tipe tuberkuloid adalah
ditemukan granuloma tuberkuloid pada lapisan dermis yang terdapat
kelompok sel epiteloid dengan sel giant dan hanya didapatkan sedikit
gambaran basil. Untuk gambaran tipe lepromatosa didapatkan subepidermal
clear zone, ditemukan adanya gambaran sel busa dan ditemukan banyak
basil.4

Dalam menegakkan diagnosis kusta harus ditemukan adanya kelainan saraf


atau ditemukannya bakteri tahan asam pada jaringan. Oleh karena bakteri
kusta tidak dapat di biakkan, maka adanya bakteri tahan asam ini sangat
menentukan diagnosis. Bakteri tahan asam pada jaringan paling baik terlihat
dengan pengecatan karbolfusin, menggunakan modifikasi Ziehl-Neelsen
melalui pengecatan Fite-Farraco. Adanya M. leprae yang ditemukan di saraf
atau adanya sel epiteloid granuloma di saraf cukup diagnostik untuk
memastikan diagnosis kusta, terutama jika didapatkan perubahan hitologis
yang khas.4

Diagnosis kusta dapat ditegakkan berdasarkan tanda cardinal, yaitu


ditemukan makula eritematus atau hipopigmentasi dengan hipoestesi atau
anastesi, didapatkan pembesaran saraf tepi dengan nyeri dan gangguan fungsi
saraf tepi, dan hasil pemeriksaan bakteri tahan asam yang positif. Diagnosis
untuk menegakkan kusta adalah apabila ditemukan satu dari gejala tersebut.
Selain itu, diperlukan anamnesis, apakah ada riwayat keluarga, kontak
dengan pasien kusta, dan riwayat pengobatan kusta.4

Pemeriksaan bakteriologis digunakan untuk menegakkan diagnosis dan


mengobservasi pengobatan. Pemeriksaan dilakukan pada kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2–3 lesi lain yang paling aktif, yang paling
eritematosa, dan infiltratif. Indeks Bakteri adalah kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid dengan nilai dari 0 sampai 6+. Definisi
indeks tersebut adalah sebagai berikut.4

a. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)


b. 1+ bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ bila 1 – 10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e. 4+ bila 11 – 100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 5+ bila 101 – 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Sedangkan Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid


dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid.4

Jumlah solid
 x 100%
Jumlah solid + nonsolid

2.8. Diagnosis Banding


Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan kulit pada
Kusta. Bahkan ada istilah yang menyebutkan Kusta sebagai peniru terhebat (the
greatest imitator) dalam penyakit kulit. Beberapa kelainan kulit yang mirip
dengan Kusta antara lain:
1. bercak eritem berskuama: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik,
tinea korporis.
2. Bercak hipopigmentasi dengan skuama: pitiriasis versicolor, pitiriasis
alba.
3. Bercak hipopigmentasi tanpa skuama: vitiligo.
4. Papul atau nodul: neurofibromatosis, prurigo nodularis.9
Diagnosis banding dari tipe tuberkuloid adalah ptyriasis alba, sedangkan untuk
tipe lepromatosa adalah dermatofibroma, limfoma, dan mikosis funguides.4

2.9. Penatalaksanaan
MDT atau Multidrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta,
yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya
bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik.
Multy Drug Therapy (MDT) dapat menyembuhkan kusta dalam beberapa bulan.
Jika penderita diobati sedini mungkin segera setelah tanda pertama yang
merupakan gejala kusta muncul, kebanyakan penderita tidak akan mengalami
masalah serius dan dapat menjalani kehidupannya dengan utuh dan normal.
Multi Drug Treatment (MDT) merupakan regimen dari Rifampisin, Dapsone
dan Clofazime untuk MB dan regimen Rifampisin dan Dapsone untuk PB.
Pengobatan dilakukan selama 6-8 bulan untuk PB dan 12-16 bulan untuk MB
dan dapat dikerjakan pada faskes tingkat pertama.6,7

Berikut ini merupakan kelompok orang-orang yang membutuhkan MDT:


a. Kasus baru: mereka dengan tanda kusta yang belum pernah mendapat
pengobatan MDT.
b. Ulangan, termasuk didalamnya adalah:
• Relaps (kambuh) diobati dengan regimen pengobatan baik PB ataupun
MB.
• Masuk kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali
setelah dinyatakan default (baik PB maupun MB).
• Pindahan (pindah masuk): harus dilengkapi dengan surat rujukan berisi
catatan pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut. Kasus ini
hanya membutuhkan sisa pengobatan yang belum lengkap.
• Ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan


yang direkomendasikan oleh WHO, regimen tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penderita Pauci Baciler (PB) Dewasa Pengobatan bulanan: hari


pertama (dosis yang diminum di depan petugas)
• kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)
• 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg Pengobatan harian: hari ke 2-
28, 1 tablet dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan: 6 blister diminum selama 6-9 bulan
2. Penderita Multi-Basiler (MB) Dewasa Pengobatan bulanan: hari
pertama (dosis yang diminum di depan petugas)
• kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)
• 3 tablet Lampren @100 mg (300 mg)
• 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
• 1 tablet Lampren 50 mg
• 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan Lama
pengobatan: 12 blister diminum selama 12-18 bulan
3. Dosis MDT menutur umur Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun
tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan
berat badan.
• Rifampisin : 10 mg/kg BB
• DDS : 2 mg/kg BB
• Clofazimin : 1 mg/kg BB7
2.10. Prognosis
Pasien kusta tipe TT dan BT yang berubah tipe menjadi TT dapat sembuh
dengan sendiri tetapi dapat juga menjadi progresif dengan morbiditas dan
kerusakan saraf dengan atau tanpa reaksi.4

2.11. Komplikasi
Komplikasi utama kusta adalah kerusakan saraf tepi, insufisiensi vena, atau
skar. Sebanyak seperempat hingga sepertiga pasien kusta baru, sudah
mengalami kecacatan akibat kerusakan saraf yang ireversibel, terutama pada
tangan, kaki, dan mata. Adanya keratitis disebabkan karena mata kering,
intensitivitas kornea, dan lagoftamlmus. Insufisiensi vena terjadi akibat
kerusakan pada katup vena dalam sehingga menyebabkan dermatitis stasis dan
ulkus. Kerusakan sendi terjadi akibat hilangnya sensasi nyeri yang sifatnya
protektif. Keterlibatan saraf simpatis menyebabkan menurunnya hidrosis
sehingga menyebabkan keringnya telapak tangan dan kaki. Kombinasi berulang
inilah yang pada akhirnya menimbulkan siklus terjadinya trauma kulit.4

2.12. Reaksi Kusta Tipe 1


Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta,
merupakan reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody
(humoral response) yang merugikan, terutama jika mengenai saraf tepi karena
menyebabkan gangguan fungsi (cacat).3
Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan
suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon imun seluler atau respon imun
humoral), dengan akibat yang merugikan penderita. Reaksi kusta dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah pengobatan dengan obat kusta. Reaksi kusta
dibagi menjadi 2, yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta
tipe I disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai
dengan lesi kulit memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis, dan gangguan fungsi
saraf, serta dapat terjadi demam. Sedangkan reaksi tipe II merupakan reaksi
humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan
fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi, dan adanya komplikasi pada organ tubuh
lainnya.5
Reaksi tipe 1 mempunyai ciri khas yaitu timbulnya inflamasi akut dari lesi
kulit atau saraf maupun keduanya. Kusta bentuk borderline (BT, BB, BL)
merupakan risiko kuat terjadinya reaksi tipe 1, namun dapat terjadi pada kusta
bentuk polar. Reaksi kusta tipe 1 mempunyai onset cepat, sering berulang, dan
dapat merusak saraf.3

Patogenensis
Reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti
halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi Mycobacterium leprae (M.
leprae) dapat memicu ekspresi MCH kelas II pada permukaan sel. Hal ini akan
memicu limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi dengan mediasi sitokin, seperti
TNF. Pada dasarnya rekasi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara
imunitas dan basil; hasilnya dapat terjadi upgrading/reversal ataupun
downgrading. Reaksi tipe 1 ini diartikan reaksi reversal karena paling sering
dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan
downgrading reaction lebih jarang dijumpai karena berjalan lebih lambat dan
umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapatkan pengobatan.3

Gejala Klinis

Gejala berupa perubahan lesi kulit ataupun saraf akibat peradangan karena
antigen M. leprae terdapat pada saraf dan kulit, khususnya sel Schwan dan
makrofag. Manifestasi klinis lesi kulit berupa kemerahan, bengkak, nyeri dan
panas. Pada saraf dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi saraf. Gejala
konstitusi umumnya lebih ringan dibanding reaksi tipe 2.3

Gambar 1. Reaksi Tipe 1/Reversal


Tabel 1. Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi kusta tipe 1

Pengobatan

Pasien kusta harus diedukasi mengenai risiko reaksi kusta tipe 1 saat
mendapatkan pengobatan MDT, sehingga dapat mencari pertolongan.
Pengobatan reaksi kusta tipe 1 bertujuan untuk mengatasi inflamasi akut, rasa
nyeri dan kerusakan saraf. Pengobatan MDT seharusnya dimulai atau
dilanjutkan pada pasien dengan reaksi kusta tipe 1 tanpa mengurangi dosis.
Pasien kusta tipe 1 ringan diobati dengan analgetik dan sedative bila perlu,
reaksi kusta tipe 1 berat diobati dengan kortikosteroid oral 30-40 mg setiap hari
selama satu bulan dan diturunkan 5 mg tiap bulan.3
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang saraf tepi dan kulit.
2. Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta,
merupakan reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody
(humoral response) yang merugikan, terutama jika mengenai saraf tepi karena
menyebabkan gangguan fungsi (cacat)
3. Reaksi kusta dibagi menjadi 2, yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II.
4. Reaksi tipe 1 mempunyai ciri khas yaitu timbulnya inflamasi akut dari lesi
kulit atau saraf maupun keduan
5. Pengobatan MDT seharusnya dimulai atau dilanjutkan pada pasien dengan
reaksi kusta tipe 1 tanpa mengurangi dosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Noviastuti, A. Soleha, T. Morbus Hansen Tipe Multibasiler (Mid Borderline)


dengan Reaksi Kusta Reversal dan Kecacatan Tingkat I. Jurnal Medula Unila.
2017; Vol 7. No. 2
2. Tami, M. Hubungan antara Kusta Tipe Pausi Basiler dengan Angka
Keberhasilan Pengobatan Kustadi Jawa Timur. Jurnal Berkala Epidemiologi.
2019; Vol 7. No. 1
3. Vionni. Arifputra, J. Arifputra, Y. Reaksi Kusta. CDK Journal. 2016; Vol 43.
No. 7
4. Hidayati, A.N. Buku Seri Dermatologi dan Venereologi 1: Infeksi Bakteri di
Kulit. Surabaya: Airlangga University Press; 2019.
5. Andini, F., Warganegara, E. Morbus Hansen Tipe Multibasiler dengan Reaksi
Kusta Tipe 1 dan Kecacatan Tingkat 2. Jurnal Medula Unisa. 2016; Vol 6.
No.1
6. Saraswati, P.A. Rusyati, L.M.M. Karakteristik Penderita Kusta Multi Basiller
(MB) dengan Reaksi Erythema Nodosum Leprosum (ENL) di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Sanglah selama Tahun 2016-2018. Intisari Sains Medis.
2019; Vol 10. No.3
7. Siswanto. Asrianti, T. Neglected Tropical Disease Kusta Epidemiologi
Aplikatif. Samarinda: Mulawarman University Press; 2020.
8. Prasetyo, R.A. Penatalaksanaan penyakit kusta dengan kecatatan derajat II
pada Laki-laki usia 42 tahun melalui Pendekatan Dokter Keluarga. JIMKI.
2019; Vol 7. No. 1

Anda mungkin juga menyukai