Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks

dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Nama lainnya adalah lepra, Morbus Hansen. Saraf primer sebagai afinitas pertama diikuti oleh kulit, mukosa traktus respiratorius dan organ lain kecuali SSP. Cara penularannya tidak diketahui pasti, sebagian besar ahli berpendapat bahwa penularan dapat terjadi melalui inhalasi dan kontak pada kulit yang erat dan lama serta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Sputum dapat banyak mengandung kuman dari traktus respiratorius atas. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Gejala tersebut antara lain berbentuk lagoftalmus, gangguan sensibilitas kornea, hilangnya sensibilitas pada tangan dan kaki, kulit yang kering dengan atau disertai ulkus. Kadang ditemukan tangan dan kaki lunglai serta mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta, Diagnosis penyakit kusta biasanya tidak sukar ditegakkan. Pada sebagian besar kasus dapat didiagnosis berdasarkan cara konvensional dengan pemeriksaan klinis, disertai pemeriksaan bakteriologis, dan histopatologis. Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih, 2002).

2.2 Epidemiologi Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah: a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam. b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Microbacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : - Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa - Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti - Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti - Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah - Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat (Zulfikli, 2003). Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 2535 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.

Gambar 2.1 Penyebaran Lepra di Dunia ( WHO, 2002)

2.3 Etiologi Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta positif Gram. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 25 tahun (Kosasih, 2002).

2.4 Patogenesis M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis. M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel Schwann memiliki fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif. Sedangkan pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan (Kosasih, 2002).

Gambar 2.2 Patogenesis Berbagai Reaksi Lepra 2.5 Gejala Klinik Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam tabel berikut: PB (Pausibasilar) 1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi yang jelas Hanya satu cabang saraf MB (Multibasilar) >5 lesi Distribusi lebih simetris Hilangnya sensasi kurang jelas Banyak cabang saraf Positif Lepromatosa (LL), Borderline lepromatous (BL), Mid borderline (BB)

Lesi kulit (macula yang datar, papul yang meninggi, infiltrate, plak eritem, nocus) Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena BTA Tipe

Negatif Indeterminate (I), Tuberkuloid (T), Borderline tuberkuloid (BT)


5

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar Karakteristik Lesi Tipe Jumlah Distribusi Permukaan Macula atau macula dibatasi infiltrate Satu atau beberapa Terlokasi dan asimetris Kering,skuama Macula dibatasi infiltrat Satu dengan lesi satelit asimetris Kering,skuama Macula Satu atau beberapa Bervariasi Dapat halus agak berkilat Agak terganggu Tuberkuloid Borderline Tuberkuloid Indeterminate

Sensibilitas hilang hilang BTA Pada lesi kulit negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif Tes Lepromin* Positif kuat (3+) Positif (2+) Meragukan *Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3minggu. Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar Karakteristik Lesi Tipe Jumlah Distribusi Permukaan Lepromatosa Macula, infiltrate difus, papul, nodus Banyak distribusi luas, praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus dan berkilap Borderline Lepromatosa Macula, plak, papul Banyak tapi kulit sehat masih ada Cenderung simetris Halus dan berkilap Mid-borderline Plak, lesi bentuk kubah, lesi punched out Beberapa, kulit sehat (+) Asimetris Sedikit berkilap, beberapa lesi kering Berkurang

Sensibilitas Tidak terganggu Sedikit berkurang BTA Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak kulit Pada Banyak Biasanya tidak ada Tidak ada hembusan hidung Tes Negatif Negatif Biasanya negatif Lepromin* *Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3minggu.

Perbedaan lepra tipe tuberculoid dan lepromatous ditunjukkan lewat skema berikut ini :

(www.ncbi.nlm.nih.gov, 2001)

Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung

Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah

2.6 Dasar diagnosis Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika,
8

psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark (Kosasih, 2002). Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak mebantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi (Siregar, 2003). Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing

kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,

tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung

(wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan


4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki

gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan

kolaps arkus pedis 6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal) 7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan bakterioskopik Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif). Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (Kosasih, 2002). Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas. Sediaan dari mukosa hidung jarang dilakukan karena: kemungkinan adanya M. Atipik dan M. leprae tidak pernah positif jika pada kulit negatif. M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang
10

pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. 2. Pemeriksaan histopatologik Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jarinagnnya tidak patologik (Kosasih, 2002). 3. Pemeriksaan serologik Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yamg juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah:

Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination) Uji ELISA ML dipstick (M. leprae dipstick)

2.7 Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang sebenarnya kronik. Klasifikasi yang sering dipakai adalah:

E.N.L (eritema nodusum leprosum) Reaksi reversal atau upgrading


11

E.N.L terutama timbul pada tipe lepramatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgM, Ig G) + komplemen kompleks imun. Kadar immunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepramatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, yang berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga disebut juga reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Umunya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak sehingga memerlukan pengobatan yang memadai (Kosasih, 2002). Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT atau LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi revesal, terjadi peningkatan SIS, hanya bedanya terjadi secara cepat dan mendadak. Isitilah downgrading untuk menunjukkan pergeseran ke arah lepromatosa. Gejala klinik reaksi reversal ialah umunya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang realtif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Kalau diperhatikan kembali reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesi eritema nodusum sedangkan reversal tanpa nodus sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular.
12

2.8 Penatalaksanaan Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita (Kosasih, 2002). WHO mengklasifikasikan kusta menjadi 2 berdasarkan atas adanya kuman tahan pada pemeriksaan bakterioskopis untuk pemilihan rejimen MDT : 1. Kusta Pausibasilar (PB) Kusta dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada sediaan hapus, yaitu : tipe I (Interminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline tuberculoid). 2. Kusta Multibasilar (MB) Kusta dengan BTA positf pada sediaan hapus, yaitu : BB (Borderline), BL (Borderline lepromatous) dan LL (Lepromatosa). Obat obat dalam rejimen MDT-WHO 1. Dapson Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan. Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak. Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim. 2. Rifampisin Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi.

13

Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kirakira 99.9% dalam waktu beberapa hari. Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. 3. Klofazimin Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan 2. Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus). 4. Etionamid dan Protionamid Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Obat ini bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta. Obat Kusta Baru Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu : adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada kusta MB. Pada penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT. Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : Bersifat bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak anatagonis terhadap obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin. A. Ofloksasin Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin. Kerjanya melalui hambatan pada enzim girase DNA mikobakterium.

14

B. Minosiklin Minosiklin merupakan turunan tetrasiklin yang bersifat lipofilik sehingga mampu menembus dinding M. leprae. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis protein melakui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang lain. C. Klaritromisin Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang lain dari minosiklin. Skema Rejimen MDT-WHO WHO membuat klasifikasi program rejimen MDT-WHO karena fasilitas bakterioskopik tidak selalu tersedia sehingga klasifikasi untuk rejimen ini juga didasarkan lesi kulit dan jumlah saraf yang terkena. Klasifikasi kusta untuk kepentingan rejimen MDT oleh WHO (1997) terbagi dalam 3 grup : 1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah. Rejimen terdiri dari : Rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan. 2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah Rejimen terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun. 3. Rejimen PB dengan lesi tunggal Rejimen terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan berat-badan ( lihat tabel) (Pramesemara, 2009). Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB Dapson Rifampisin 100 mg/hari 600 mg/bulan diawasi

Dewasa Anak-anak 10-14 tahun* 50 mg/hari 450 mg/bulan diawasi *Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan diawasi.

15

Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB Dapson Rifampisin Klofamizin Dewasa 100 600 mg/bulan 50 mg/hari dan 300 mg/bulan diawasi mg/hari diawasi Anak-anak 10-14 50 450 mg/bulan 50 mg selang sehari dan 150 mg/bulan tahun* mg/hari diawasi diawasi *Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan diawasi, klofazimin 50 mg 2x seminggu, dan klofazimin 100 mg/bulan diawasi. Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB lesi tunggal Dapson Ofloksasin Minosiklin Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg Anak-anak 5-14 tahun* 300 mg 200 mg 50 mg (dosis tunggal dan dimakan bersama-sama) * Tidak direkomendasikan pada wanita hamil dan anak-anak lebih kecil dari 5 tahun. Pengobatan pada situasi khusus A. Penderita yang tidak dapat makan rifampisin Situasi ini mungkin disebabkan karena alergi, hepatits kronis atau resisten terhadap obat ini. Tabel Rejimen untuk penderita yang tidak dapat makan rifampisin Jenis obat Dosis Klofazimin 50 mg/hari Ofloksasin 400 mg/hari Minosiklin 100 mg/hari Diikuti dengan Klofazimin dengan 50 mg/hari 18 bulan Ofloksasin Atau 400 mg/hari Minosiklin 100 mg/hari B. Penderita yang menolak klofazimin Situasi ini disebabkan pasien yang khawatir akan pewarnaan kulit. Pengobatan diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT harus tetap diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama kehamilan dan menyusui, bagi ibu dan bayinya, sehingga tidak perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam junlah kecil tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu pemakaiannya sampai bayinya lahir.
16

Lama pengobatan 6 bulan

Penanganan Reaksi Kusta Prinsip penanganan reaksi kusta : 1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau kontraktur 2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan 3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas 4. Mengatasi rasa nyeri Pengobatan E.N.L: Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Seseuai dengan perbaikan reaksi, dosinya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Obat lain yang dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan kepada ibu hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama pada pemberian dosis tinggi. Pengobatan reaksi reversal: Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah dipakai (Kosasih, 2002).

17

BAB III KESIMPULAN Lepra adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri yang menyerang kulit, syaraf tepi. Dan pada penderita dengan tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan bagian atas. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis dari lepra yaitu bentuk lepromatosa dan tuberkuloid. Pada lepra bentuk lepromatosa kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan infiltrat yang difus tersebar simetris bilateral dan biasanya ekstensif dan dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat membentuk krusta, tersumbatnya jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata dapat menimbulkan iritis dan keratitis. Pada lepra tipe tuberkuloid, lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa atau hipoetesi asimitris bilateral. Terserangnya syaraf biasanya cenderung lebih berat. Lepra bentuk borderline mempunyai gambaran dari kedua tipe lepra dan lebih labil. Mereka cenderung menjadi tipe lepromatosa jika penderita tidak diobati dengan benar dan menjadi tipe tuberkuloid pada penderita yang diobati dengan benar. Bentuk awal dari lepra ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan batas lesi yang tegas yang dapat berkembang menjadi bentuk tuberkuloid, borderline atau bentuk lepromatosa. Gejala klinis dari lepra dapat juga berupa reaksi kusta yaitu dengan episode akut dan berat. Reaksi kusta ini dibagi menjadi erythema nodosum leprosum pada penderita tipe lepromatosa dan reversal reaction pada lepra borderline. Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Timbulnya gejala terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala patognomonis lepra. Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obqat kombinasi, menjadi lebih baik, dan pengobatannya menjdi lebih sederhana. Namun jika sudah terdapat kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.

18

DAFTAR PUSTAKA

A. Kosasih. Kusta. 2002. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 139-142 Pramesemara. 2009. Pelaksanaan Kusta di Indonesia. http://pramareola14.wordpress.com / 2009/12/09/penatalaksanaan-kusta-di-indonesia. Diunduh tanggal: 25 Mei 2010. Siregar, R.S. 2004. Kusta (lepra). Dalam: Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. EGC. Jakarta. hal 141-142. Zulfikli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya. http://jowofile.jw.lt/ebook/ files8/Penyakit%20Kusta%20Dan%20Masalah%20Yang%20Ditimbulkannya_txt.txt. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Diunduh tanggal: 25 Mei 2010.

19

Anda mungkin juga menyukai