Anda di halaman 1dari 26

Gagal Jantung Kanan

Disusun Oleh:

Latifah Ramadani
1708436407

Pembimbing :

dr. Irwan, Sp.JP-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
Laporan Kasus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan kelainan pada struktur atau fungsi jantung yang

mengarah pada kegagalan jantung dalam memompakan darah yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan tubuh yang ditandai oleh sesak nafas dan fatik, baik saat

istirahat ataupun aktifitas.1

Data dari WHO pada tahun 2014, lebih dari 17,3 juta orang meninggal

karena penyakit kardiovaskuler dan 80% nya terjadi di negara miskin dan

berkembang.2 Prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat di

Indonesia. Berdasarkan data Riskesdas pada tahun 2013 tercatat sebesar 0,3%

prevalensi gagal jantung di Indonesia . Penyebab terus bertambahnya penderita

gagal jantung ini adalah masih seringnya ditemukan orang dengan faktor

terjadinya gagal jantung seperti perokok, penderita hipertensi, diabetes, obesitas,

dan dislipidemia.3

Prognosis penderita gagal jantung sangat dipengaruhi oleh perbaikan

penyakit yang mendasarinya, seperti penyakit arteri koroner, penyakit katup

jantung, hipertensi dan diabetes.4 Apabila penyakit dasar tidak terkoreksi maka

penderita memiliki prognosis yang buruk. Untuk keadaan gagal jantung berat

lebih dari 50%, pasien akan meninggal dalam tahun pertama.5

2
Laporan Kasus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal jantung

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai

pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.6

Berdasarkan lokasi gagal jantung, dapat dibedakan:

 Gagal jantung kanan

 Gagal jantung kiri

 Kegagalan biventrikel / CHF

2.2 Gagal jantung kanan

2.2.1 Definisi

Gagal jantung kanan adalah ketidakmampuan jantung kanan dalam

memompakan darah ke paru maupun ke jantung kiri.

2.2.2 Etiologi

Etiologi terjadinya gagal jantung kanan adalah7:

3
Laporan Kasus

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan berbagai

mekanisme.

4
Laporan Kasus

5
Laporan Kasus

Gagal jantung kanan dapat berdiri sendiri atau merupakan akibat dari

kegagalan ventrikel kiri. Apabila terjadi kegagalan ventrikel kiri, maka akibatnya

peningkatan tekanan cairan yang ditransfer kembali ke paru-paru, sehingga

membebani ventrikel kanan. Apabila jantung kanan tidak kuat memompa, maka

darah akan terbendung di sistem vena. Hal ini yang menyebabkan pembengkakan

tungkai dan kaki.

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis gagal jantung kanan ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sesuai.8

1. Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan seperti:

 Dispneu (namun bukan ortopnea atau paroxysmal nocturnal dyspnea)

 Penurunan kapasitisas aktivitas

 Nyeri dada

 Pembengkakan pada kaki

6
Laporan Kasus

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan khas gagal jantung kanan

seperti:

 Denyut nadi (aritmia takikardia)

 Peningkatan JVP

 Edema

 Hepatomegali dan asites

 S3 atau S4 RV

 Efusi pleura

3. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah rutin, elektrolit

serum, fungsi hati dan ginjal, profil lipid, brain natriuretic peptide

(BNP), dan hormon tiroid.

 Pemeriksaan rontgen toraks

Rontgen toraks untuk membedakan penyebab keluhan antara jantung

atau paru. Adanya kongestif pulmonal dan udema intersisial paru

semakin memperkuat diagnosis gagal jantung, serta ditambah dengan

adanya kardiomegali (CTR >50%).

 EKG

Pemeriksaan EKG diperlukan untuk mengetahui penyakit yang

mendasari terjadinya gagal jantung. Perubahan pada EKG seperti left

branch bundle block (LBBB), right bundle branch block (RBBB),left

7
Laporan Kasus

ventriculer hypertrophy (LVH), Q patologis block (LBBB), atau

perubahan pada gelombang T dapat ditemukan.

 Echocardiography (ECG)

Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum

digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, miokardium dan

perikadium.

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gagal jantung terdiri dari:9-10

1. Non farmakologi

 Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal

serta upaya timbul keluhan.

 Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol

 Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan tiba-tiba

 Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas.

 Hentikan kebiasaan merokok

2. Farmakologi

a. Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE I)

ACE I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simptomatik

dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % kecuali ada kontraindikasi.

ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi

perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan

meningkatkan angka kelangsungan hidup. Prosedur pemberian ACEI

untuk memulai pengobatan gagal jantung antara lain :

8
Laporan Kasus

I. Inisiasi pemberian ACEI


 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit

 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu

setelah terapi ACEI

II. Naikan dosis secara titrasi

III. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.

 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat

dirawat di rumah sakit

 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis

target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah

mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan

selanjutnya tiap 6 bulan sekali

Kontraindikasi pemberian ACEI

 Riwayat angioedema

 Stenosis renal bilateral

 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L

 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL

 Stenosis aorta berat


b. β-blocker

Indikasi pemberian penyekat β-blocker:

9
Laporan Kasus

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)

 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah

diberikan

 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,

tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi

cairan berat)

Cara pemberian β-blocker pada gagal jantung

 Inisiasi pemberian β-blocker

 Β-blocker dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada


pasien dekompensasi secara hati-hati.

 Naikan dosis secara titrasi

 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.


Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung,

hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit)

 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis β-blocker sampai


dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi

Kontraindikasi:

 Asma

 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit


(tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50

x/menit)

10
Laporan Kasus

c. Antagonis aldosterone

Indikasi pemberian antagonis aldosteron

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)

 Dosis optimal β-blocker dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI

dan ARB)

Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung

 Inisiasi pemberian spironolakton

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.

 Naikan dosis secara titrasi

 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu.


Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia.

 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu


setelah menaikan dosis

 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron:

 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L

 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL

 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium

 Kombinasi ACEI dan ARB

11
Laporan Kasus

d. Angiotensin receptor blockers (ARB)

ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi

ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah

diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat

antagonis aldosteron. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada

pasien intoleran ACEI.

 Inisiasi pemberian ARB

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.

 Naikan dosis secara titrasi

 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu.

Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target

atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah

mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap

6 bulan sekali

12
Laporan Kasus

e. Hydralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)

Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤

40%,Kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien

intoleran terhadap ACEI dan ARB.

f. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat

digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun

obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan.

Indikasi

 Fibrilasi atrial
dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat

aktifitas> 110 - 120 x/menit

 Irama sinus
1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %

2. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)

3. Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis

aldosteron jika ada indikasi.

Kontraindikasi

 Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika


pasien diduga sindroma sinus sakit

 Sindroma pre-eksitasi

 Riwayat intoleransi digoksin

Cara pemberian digoksin pada gagal jantung

13
Laporan Kasus

Inisiasi pemberian digoksin

 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal
normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis

diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari

 Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar
terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL

 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah


(amiodaron, diltiazem, verapamil, kuinidin)

g. Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda

klinis atau gejala kongesti.Tujuan daripemberian diuretik adalah untuk

mencapai status euvolemia (kering danhangat) dengan dosis yang

serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuaikebutuhan pasien, untuk

menghindari dehidrasi atau resistensi.

Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:

 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan


serum elektrolit

 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong

14
Laporan Kasus

 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan


tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada

diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk

mengatasi keadaan edema yang resisten

BAB III

15
Laporan Kasus

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

- Nama : Ny. P

- Usia : 61 tahun

- Jenis kelamin : Perempuan

- Agama : Islam

- Pekerjaan : Swasta

- Status : Menikah

- Tanggal masuk RS : 14 Mei 2018

3.2 Anamnesis

Keluhan utama

Sesak nafas yang semakin memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah

sakit (SMRS)

Riwayat Penyakit Sekarang

20 tahun SMRS pasien mengeluhkan sering sesak nafas setelah

berjalan/bekerja, dan sering terbangun malam hari akibat sesak nafas. Pasien juga

sering mengeluhkan batuk tanpa dahak, terutama pada malam hari. Pasien juga

mengeluhkan bengkak pada kaki. Bengkak tidak disertai rasa nyeri. Bengkak

tidak kemerahan dan tidak terasa panas. Bengkak kembali lama bila ditekan.

Pasien telah berobat ke poli jantung dan mengatakan sudah terkena hipertensi lalu

pasien diberi obat. Keluhan pasien berkurang setelah minum obat.

16
Laporan Kasus

Sejak saat itu keluhan sesak nafas dan kaki sembab sering muncul kembali

apabila pasien tidak minum obat. Pasien pernah dirawat inap apabila keluhan

sudah mengganggu pekerjaan pasien. Pasien disarankan untuk operasi tapi pasien

menolak.

3 tahun yang lalu pasien mengeluhkan lagi bengkak di kaki dan tangan,

tidak terasa nyeri. Perut semakin membesar dan sesak nafas dirasakan makin

memberat sehingga aktivitas terganggu.

1 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas. Sesak berkurang jika

pasien dalam posisi duduk. Pasien hanya dapat berjalan kekamar mandi akibat

sesak.

3 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas yang memberat. Sesak

dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluhkan kaki bengkak dan perut

semakin membuncit. Pasien mengaku pasien tidak minum obat sejak 1 minggu

yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat dirawat di Rumah Sakit dengan keluhan yang sama

Riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 20 tahun yang lalu

Riwayat penyakit jantung

Riwayat badan biru waktu kecil disangkal

Riwayat Diabetes militus disangkal

Riwayat Asma disangkal

Riwayat minum OAT disangkal

17
Laporan Kasus

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga menderita hipertensi pada ayah pasien

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat DM disangkal

Riwayat Asma disangkal

Riwayat pekerjaan, kebiasaan, dan sosial ekonomi

Pasien bekerja sebagai tukang masak

Pasien lahir pervaginam, cukup bulan, BBL >2,5 kg

Pasien tidak pernah merokok dan tidak minum minuman beralkohol

Pasien mengatakan jarang berolahraga

Pasien suka mengkonsumsi makanan bersantan dan berlemak serta goreng-

gorengan.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksan umum

- Kesadaran : Komposmentis Kooperatif

- Keadaan umum : Tampak sakit sedang

- Tekanan darah : 95/57 mmHg

- Nadi : 102 x/menit

- Nafas : 29 x/menit

- Suhu : 36,7 °C suhu aksila

Kepala dan leher

- Kulit dan wajah : edem palpebra

- Konjungtiva : Anemis (-/-)

- Sklera : Ikterik (-/-)

18
Laporan Kasus

- Pupil : Bulat, isokor ,refleks cahaya +/+

- Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB, tidak ada

pembesaran tiroid, JVP meningkat ( 5+5 cmH2O )

Thoraks

1. Paru-paru

Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan.

Tidak ada retraksi.

Palpasi : Vokal fremitus sama di kiri dan kanan

Perkusi : Redup dibasal paru kiri dan kanan

Auskultasi : Vesikuler melemah (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing

(-/-)

2. Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kanan : SIK 5 linea midclavicula

dextra

: Batas jantung kiri : linea midklavicula sinistra

Auskultasi : Bunyi S1 & S2 normal, irama irreguler, murmur

(-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Perut tampak cembung simetris, venektasi (-), scar

(-), spidernaevi (-)

Auskultasi : Bising usus (+), 8 x/menit

Palpasi : Distensi, undulasi (+), hepar dan lien sulit dinilai

19
Laporan Kasus

Perkusi : Redup pada seluruh lapangan abdomen

Eksremitas

Akral hangat, capillary refill time< 2 detik

Pitting oedem (+) pada kedua tungkai bawah

Sianosis (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

 Hb : 9,3 g/Dl

 Ht : 28,1 %

 Leukosit : 4030 u/L

 Trombosit : 121.000 u/L

 Kolesterol : 117 mg/dL

 LDL : 52,2 mg/dL

 HDL : 48 mg/dL

 Trigliserida : 84 mg/dL

 Kreatinin : 2,7 mg/dL

 Ureum : 113 mg/dL

 Asam urat : 12,9 mg/dL

20
Laporan Kasus

- EKG (16 Mei 2018)

Hasil EKG :

1. Atrial fibrilasi irreguler

2. HR: 100 x/menit

3. Gel. P tidak dapat diidentifikasi

4. Interval PR tidak dapat dinilai

5. Interval QRS: 2 kotak kecil

6. Axis = RAD ( Lead I negative, AvF positif)

Kesan : Atrial Fibrilasi

21
Laporan Kasus

Hasil Ekokardiografi

22
Laporan Kasus

3.5 Resume

Ny. P datang ke rumah sakit dengan leuhan sesak nafas yang memberat 3

hari SMRS. Sesak dirasakan terus menerus. Sesak bertambah saat beraktivitas dan

pasien mengeluhkan mudah lelah. Keluhan demam (-), BAB dan BAK normal

Pasien sebelumnya sudah didiagnosa memiliki penyakit jantung dan disuruh

kontrol teratur. Pasien terkadang lupa minum obat sehingga keluhan sering

berulang.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nafas 29x/ menit, nadi 102x/ menit, TD 95/57,

suhu 36,7’c, JVP meningkat 5+5 cmH2O. Saat pemeriksaan fisik toraks,

auskultasi jantung S1 dan S2 normal irama irregular, pada pemeriksaan

elektrokardiogram kesan iramaatrial fibrilasi.

3.6 Daftar masalah :

Gagal jantung kanan e.c hipertensi pulmonal

3.7 Penatalaksanaan

3.7.1 Non Farmakologis

- Bedrest head up 450, aktivitas fisik dibatasi

- O2 nasal kanul

3.7.2 Farmakologis

- Infus Nacl asnet


- Furosemide 3x20 mg
- Spironolakton 1x100 g
- Digoksin 1x0,5 tab
- Warfarin

23
Laporan Kasus

BAB IV

PEMBAHASAN

Ny.S datang kerumah sakit dengan keluhan sesak nafas 3 hari SMRS dan

kaki bengkak dan perut semakin membesar. Sesak semakin bertambah dirasakan

saat beraktivitas. Pasien mengaku mudah lelah, , demam (-), batuk (+), BAB dan

BAK normal. Sesak muncul setelah beraktifitas, tidak dipengaruhi oleh cuaca dan

makanan, serta riwayat alergi disangkal. Terdapat riwayat bengkak tangan dan

kaki. Pasien jarang berolahraga dan sering makanan berlemak dan goreng-

gorengan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nafas 29x/ menit, nadi 102x/ menit, TD

95/57 mmHg, suhu 36,7’c, JVP meningkat 5+5 cmH2O. Saat pemeriksaan fisik

toraks, perkusi batas jantung melebar, auskultasi jantung S1 dan S2 normal irama

irregular, pada pemeriksaan elektrokardiogram kesan RVH.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan yang

dilakukan, masalah pada pasien ini adalah Gagal jantung kanan e.c hipertensi

pulmonal.

Diagnosis gagal jantung kanan dapat ditegakkan dari gejala klinis dyspnea,

pembengkakan pada kaki, peningkatan JVP, kardiomegali dan irama gallop, dan

hepatomegali. Gagal jantung kanan pada pasien ini disebabkan oleh hipertensi

pulmonal. Pada gagal jantung kanan murni, b=ventrikel terbebani beban kerja

tekanan akibat peningkatan resistensi sirkulasi paru. Hipertropi dan dilatasi secara

umum terbatas pada ventrikel dan atrium kanan.

24
Laporan Kasus

DAFTAR PUSTAKA

1. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M,

Dickstein K, et all. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of

acute and chronic heart failure 2012. European Heart Jurnal. 2012.

Available from : www.eurheartj.oxfordjournals.org/content/33/14/1787 (

Accesed 28 November 2015 )

2. WHO. Cardiovascular disease, controlling high blood pressure. 2013.

Available from :www.who,int/cardiovascular_diseases/en (Accesed 28

November 2015).

3. Fadi shamsham, M.D, Judith mitchell, M.D. State University of New York

Health Science Center at Brooklyn, Brooklyn, New York Am Fam

Physician. 2000 Mar 1;61(5):1319-1328.

4. Colucci WS, Braunwald E. Pathophysiology of heart failure. In

Baunwald’s Heart Disease. A Textbook of cardiovascular medicine. 7th

edition. Elsevier Saunders. Philadelphia.2005

5. Ardy M, Hasan H. Prevalensi penyakit jantung hipertensi pada pasien

gagal jantung kongestif di RSUD H. Adam Malik. E-Journal FK USU.

2013;1(1)

6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses

penyakit. Edisi 6. EGC. 2012

7. Sokos GG. Right ventricular failure and pulmonary hypertension 2011.

Temple University. 2011

8. Gray HH, Dawkins KD. Lecture notes. Kardiologi.Edisi 4. Erlangga

25
Laporan Kasus

9. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FK

UI; 2007.

10. PERKI. Pedoman tatalaksana gagal jantung . Edisi pertama. 2015

26

Anda mungkin juga menyukai