DISUSUN OLEH:
Andini Larasati
00000000826
PEMBIMBING:
TANGERANG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………..……………………..……………….1
BAB 1 PENDAHULUAN…………………...……………………………………….2
2.1DEFINISI………………………………………………....………...……..3
2.2 EPIDEMIOLOGI……………………………………..…………...…..…3
2.4 ETIOLOGI………………………………...……………………………..4
2.7 KOMPLIKASI……………………………………..………………..….15
2.8 PENCEGAHAN……………………………………..……………….…15
2.9 PROGNOSIS……………………………………………………..……..16
BAB 3 KESIMPULAN………………………………………………..……………17
DAFTAR PUSTAKA……………………………..………………...………………18
BAB I
PENDAHULUAN
Banyak agen yang dapat menjadi penyebab terjadinya keracunan pada anak
dimana salah satunya yang paling sering adalah obat-obatan dimana mencapai 52.2 %
Agen lain seperti senyawa kimia yaitu pemutih dan insektisida juga menempati urutan
yang paling sering menjadi agen penyebab keracunan pada anak. Tanda gejala yang
membahayakan hidup pada keracunan anak berbeda dengan orang dewasa (sehingga
penanganannya perlu perhatian khusus.3,4
Tata laksana yang baik meliputi resusitasi dan stabilisasi awal, pengenalan
racun untuk penegakan diagnosis serta untuk menentukan antidotum apa yang akan
diberikan, berlanjut dengan pemberian terapi yang sesuai serta pencegahan yang baik
akan menghasilkan prognosis yang baik pula pada pasien.5 Dengan adanya penulisan
referat ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih bagi para dokter di
fasilitas primer sehingga kasus-kasus keracunan pada anak dapat menghasilkan
prognosis yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Keracunan didefinisikan ketika sel-sel di dalam tubuh manusia mengalami
kerusakan akibat adanya inhalasi, injeksi atau absorpsi senyawa beracun ke
dalam tubuh.6
2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2004, keracunan akut menyebabkan lebih dari 45.000 kematian pada
anak dan remaja usia dibawah 20 tahun. Negara yang lebih banyak terjadinya
keracunan yaitu negara yang memiliki pendapatan yang rendah seperti negara-
negara di Afrika. Untuk perbandingan insidensi daerah terjadinya keracunan
antara daerah pinggiran dibandingkan daerah perkotaan yaitu 50.7%: 44.11%.
Jenis kelamin yang lebih banyak mengalami kasus keracunan yaitu laki-laki
(60,25%) : perempuan (39.7%). Untuk bentuk terjadinya keracunan diketahui
paling banyak karena tidak disengaja sebanyak 97% dan sisa yang lainnya adalah
karena bunuh diri yaitu sebanyak 3%. 4,6
Penelitian yang dilakukan di RSUD dr. Soetomo pada bulan Januari-Desember
2011 didapatkan 12 pasien yang terdiagnosis keracunan. Perbandingan jenis
kelamin antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1. Kisaran usia yang masuk
bervariasi mulai 14 bulan sampai 120 bulan. Distribusi jenis racun yang
merupakan penyebab adalah hidrokarbon (41,7%), diikuti organofosfat (33,3%). 2
2.4 Etiologi
Banyak substansi yang dapat menjadi penyebab keracunan pada anak. Etiologi
yang menduduki paling seringnya terjadi keracunan pada anak yaitu obat-obatan.
Jenis obat-obatannya sendiri yang paling banyak yaitu analgesik (parasetamol
dan ibuprofen) dan trisiklik antidepresan. Hal ini dikarenakan karena banyaknya
orang dewasa yang mengonsumsi obat tersebut dan mudahnya akses
penyimpanan obat-obatan tersebut. 1
Tabel 1. Agen penyebab terjadinya keracunan berdasarkan persentase4
Obat 71
Produk Pembersih 38
Makanan 10
Pestisida 7
Hidrokarbon 5
sindroma simpatomimetik, kolinergik, antikolinergik, opioid, dan
sedatif/hipnotif.7
Tabel 2. Manifestasi klinis toxidrome7
Sindroma Gejala/Tanda Etiologi
Antikolinergik Agitasi, takipnea, takikardia, penglihatan Atropin,
kabur, pupil dilatasi, retensi urin, bising difenhidramin,
usus menurun, kulit merah dan kering. skopolamin
Albuterol,
amfetamin,
Simpatomimetik Agitasi, takipnea, hipertensi, bicara dan kafein, kokain,
aktifitas motorik berlebihan, tremor, pupil epinefrin,
dilatasi, disorientasi, insomnia, psikosis, efedrin,
kejang metamfetamin,
pseudoefedrin
Pada kasus keracunan akut anak, manifestasi klinis yang ada terbagi menjadi 4
bagian besar yaitu: gejala gastrointestinal meliputi mual, muntah, diare, serta
nyeri perut, gejala neurologi yang meliputi: kejang, miosis, penurunan
kesadaran hingga koma. Gejala respiratori meliputi: takipnea dan gagal nafas,
serta gejala umum lainnya meliputi demam dan lemas.4Berikut merupakan
manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada keracunan akut anak dengan
persentasenya (Tabel 3)
Tabel 3. Manifestasi Klinis yang umum terjadi pada keracunan akut anak8
mual dan muntah; gagal ginjal; kejang; tinitus
bolus kristaloid 10-20 ml/kgbb yang dapat dititrasi sesuai keadaan
klinis.
• Disablity: Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh, penilaian
derajat kesadaran menggunakan gcs, ukuran pupil serta reaktivitasnya,
adanya kejang serta kadar gula darah.
• Exposure: Pencatatan temperatur pada pasien. Memastikan pasien
tidak mengalami hipertemia atau hipotermia. Membuka baju dan
barang yang melekat dengan tujuan pembebasan dari paparan toksin
yang mungkin terdapat pada pakaian pasien dan menempel pada kulit.
Melakukan log roll untuk melihat kemungkinan adanya jejas pada
kasus keracunan yang penyebabnya karena paksaan atau kekerasan.5
2.6.3.1 Dekontaminasi lambung
Penggunaan dekontaminasi lambung masih merupakan topik yang
kontroversial di bidang toksikologi. Menurut American Academy of Clinical
Toxicologists (ACCT) dan European Association of Poison Centers and
Clinical Toxicologist (EAPCCT) prosedur dekontaminasi lambung sudah tidak
dimasukan ke dalam konsensus guideline karena komplikasi yang ada serta
manfaat yang dirasa tidak terlalu memberikan dampak. Pada anak dengan
gejala asimptomatik dengan keracunan racun yang non toksik, tidak
diperlukan dekontaminasi. Apabila keracunan bersifat simtomatik, atau racun
yang dicerna menyebabkan toksisitas yang lambat, dekontaminasi lambung
dapat menjadi pertimbangan. Faktor yang harus dipertimbangkan adalah
tingkat toksisitas dan fisik zat toksik, dan adanya kontraindikasi atau alternatif
tindakan.
Cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan racun dalam saluran
pencernaan bisa bermacam-macam diantaranya adalah dengan menginduksi
muntah, bilas lambung atau penggunaan karbon aktif dan katartiks. Manfaat
dekontaminasi lambung akan efektif bila dikerjakan dini jika obat belum
diabsorbsi yaitu 30 menit sampai 1 jam setelah awitan. Masing-masing dari
teknik dekontaminasi lambung mempunyai indikasi serta kontraindikasi
tersendiri sehingga tidak ada satupun dari teknik tersebut dilakukan secara
rutin dilakukan pada setiap kasus keracunan pada anak. Kontraindikasi
dilakukannya dekontaminasi lambung yaitu tertelannya zat yang korosif atau
senyawa hidrokarbon volatile. Dekontaminasi lambung juga tidak
diindikasikan untuk pasien yang menelan agen yang non toksik, dosis yang
non toksik pada agen yang toksik, atau pasien yang tidak menimbulkan gejala
meskipun menelan agen yang toksik, selain itu, juga tidak direkomendasikan
pada pasien yang sudah mengalami muntah berulang pasca keracunan serta
pasien yang datang melebihi waktu dapat dilakukannya dekontaminasi
lambung. 5,10,12,13
2.6.3.1.1 Penggunaan Sirup Ipekak
Merupakan salah satu agen yang dapat digunakan untuk merangsang
terjadinya muntah dengan tujuan untuk menghilangkan racun di dalam
lambung. Saat ini penggunaan sirup ipekak sudah tidak direkomendasikan
karena tidak adanya bukti secara klinis dapat mencegah absorbsi
meskipun penggunaannya sudah dilakukan dalam kurun waktu 1 jam
pasca keracunan. Sirup ipekak mengandung dua emetik alkaloid yang
bekerja pada sistem saraf pusat dan secara lokal pada saluran cerna untuk
menimbulkan muntah. Kontraindikasi pemberian sirup ipekak, antara lain
pada pasien dengan penurunan kesadaran, absennya refleks gag, kejang ,
serta pada bayi usia <6 bulan karena risiko aspirasi. Indikasi sirup ipekak
diberikan untuk orang-orang yang dalam kondisi sadar dan menelan racun
dalam satu jam terakhir. Senyawa racun yang harus dihindari adalah
hidrokarbon dan zat korosif. Awitan muntah biasanya terjadi dalam 20-30
menit pasca pemberian. Dosis yang dianjurkan yaitu pada bayi 6-12 bulan
sebanyak 10 mL, untuk anak 1-12 tahun sebanyak 15 mL, dan untuk anak
diatas 12 tahun sebanyak 30 mL.7,10,12
2.6.3.1.2 Bilas Lambung
Indikasi dilakukannya bilas lambung yaitu apabila awitan satu jam pasca
keracunan serta tertelannya racun yang mengancam jiwa. Beberapa faktor
seperti keadaan umum pasien yang keracunan tampak sakit berat, adanya
penundaan absorpsi pada usus pada keracunan obat trisiklik antidepresan,
tertelannya senyawa yang membutuhkan aktivasi metabolik sebelum
menjadi racun (contoh: parasetamol, metanol, etilen glikol dan beberapa
senyawa insektisida), tertelannya senyawa dalam jumlah yang besar, tidak
adanya bising usus pada pemeriksaan fisik mengindikasikan kemungkinan
efektifnya penggunaan bilas lambung empat sampai enam jam setelah
tertelannya obat. Obat yang menyebabkan motilitas usus atau
menyebabkan spasme pilorus seperti antikolinergik, opioids, salisilat,
bilas lambung dapat dikerjakan dalam 24 jam. Bilas lambung pada pasien
yang tidak sadar tidak disarankan karena kemungkinan dapat terjadinya
aspirasi. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu laringospasme, cedera
mekanik pada kerongkongan, esofagus, dan lambung, cairan dan elektrolit
imbalans. Apabila pasien menelan senyawa korosif atau distilasi
petroleum, bilas lambung merupakan kontraindikasi karena dapat terjadi
pneumonitis fulminan dan ruptur esofagus. Kontraindikasi lainnya yaitu
pada pasien yang mempunyai kemungkinan adanya perdarahan atau
perforasi pada saluran pencernaa, operasi yang baru saja terjadi. Hal lain
yang bisa dijadikan kontraindikasi yaitu adanya kemungkinan tertelannya
benda tajam yang berbarengan dengan tertelannya racun. Cara
dilakukannya bilas lambung yaitu menggunakan pipa nasogastrik ukuran
terbesar yang dapat masuk. Isi lambung harus diaspirasi terlebih dahulu
sebelum cairan pembilas dimasukan. Menggunakan larutan garam
fisiologis hangat 10-20 mL/kg, atau 50-100 mL pada anak kecil dan 150
mL-200 mL pada remaja, dapat diulang sampai cairan yang keluar
bersih.7,10,11
2.6.3.1.3 Arang Aktif
Menurut penelitian cara dekontaminasi lambung menggunakan karbon
aktif merupakan cara yang paling aman dan paling efektif untuk
mengurangi kadar obat yang terabsorbsi. Indikasi penggunaan karbon
aktif yaitu apabila racun yang tertelan dalam jumlah yang kecil serta
pemberian karbon aktif satu jam pasca awitan keracunan. Untuk
penggunaanya dapat diminum langsung secara oral. Apabila pemberian
oral tidak memungkinkan karena biasanya pasien mengeluhkan rasa yang
seperti pasir dan warnanya yang kehitaman, dapat digunakan pipa
nasogastrik. Karbon aktif dapat mengabsorpsi hampir semua racun selain
senyawa besi, alkohol dan distilasi petroleum. Kontraindikasi pemberian
karbon aktif yaitu tertelannya zat korosif, jalan napas yang tidak
terlindungi karena dapat terjadi aspirasi dan saluran cerna yang tidak intak
Dosis yang diajurkan yaitu 1-2 gram/kgbb (maksimum 100 g).
Penggunaan arang aktif dapat juga dilakukan setelah bilas lambung.7,12
2.6.3.1.4 Katartiks
Penggunaan katartiks juga merupakan cara rutin yang dapat dilakukan
untuk dekontaminasi lambung, meskipun efikasinya masih dipertanyakan.
Meskipun demikian, katartiks tidak mencegah absorbsi dari racun,
kegunaan utama dari katartiks yaitu untuk mecegah terjadinya konstipasi
Katartiks akan meningkatkan kecepataan transit saluran penceranaan dan
secara teori akan menurunkan waktu transit saat obat tersebut diabsorbsi.
Sediaan katartiks yang tersedia yaitu magnesium sitrat, disodium fosfat,
manitol dan sorbitol. Penggunaan katartiks yang harus dihindari yaitu
tertelannya senyawa korosif, diare yang parah, ileus, masalah elektrolit,
dan operasi pada saluran penceranaan dalam beberapa waktu terakhir.
Pemakaian rutin katartik bersamaan dengan arang aktif tidak
direkomendasikan. Dosis yang direkomendasikan untuk jenis katartiks
sorbitol dengan dosis maksimal 1 g/kgbb. Untuk katartiks magnesium
sitrat dosis maksimum yang dianjurkan 250 mL/kgbb.7,12
activated charcoal dan urin alkalinisasi. Mekanisme ekstrakorporeal terbagi
menjadi dialisis dan hemoperfusi.
! Gangguan asam basa, elektrolit atau hiperosmolalitas berat yang tidak
respon terhadap terapi.
! Hipotermia atau hipertermia berat.
2.6.3.4.4 Hemoperfusi
Pada hemoperfusi, darah akan melewati karbon atau kolom resin dimana
nantinya racun yang ada akan terabsorbsi. Indikasi hemoperfusi sama dengan
hemodialisis, tetapi teknik ini jarang diperlukan. Hemoperfusi dilakukan pada
jenis keracunan yang memiliki solubilitas air yang rendah seperti teofilin.7,13
2.6.4 Terapi spesifik
Pada beberapa racun memilik antidotum yang secara spesifik dapat diberikan
pada pasien yang mengalami keracunan.
Tabel 5 . Toksin serta antidotum spesifik10
Toksin Antidotum Dosis
Beta Blocker Glukagon Bolus 0.1 mg/kgbb; infus 0.07
mg/kgbb/jam
Digoxin Digoxin specific antibody 1 vial (38 mg) setara untuk digoksin 0.5
mg
Metanol Etanol 10 ml/kgbb loading; dosis maintenance:
1-2 ml/kgbb/jam
Sianida Hidroksikobalamin 70 mg/kgbb
Organofosfat Atropin 0.05 mg/kgbb; double dose setiap 5
menit
Besi Desferroksamin 10-15 mg/kgbb sampai asidosis
terkoreksi
Logam berat EDTA 20-30 mg/kgbb/hari
Asetaminofen N-Acetylsistein 150 mg/kgbb selama 15 jam;
dilanjutkan 50 mg/kgbb selama 4 jam;
dilanjutkan 100 mg/kgbb selama 16 jam
Opioids Naloxone 0.1 mg/kgbb, maksimal 2 mg
Sulfonilurea Okreotide 1 mikrogram/kgbb/ 6 jam IV
Trisiklik Natrium Bikarbonat 1 mEq/kgbb
antidepresan
Warfarin Vitamin K 1-5 mg/6-8 jam
dan fungsi fisiologis tubuh pasien kembali normal. Setelah semua tahap
tatalaksana terhadap kasus keracunan dilakukan, sebaiknya pasien dirawat
atau diobservasi di ruang perawatan intensif. Hal yang harus dimonitor yaitu
kemungkinan adanya kejang, aritmia, hipoksia, hipoglikemia dan kegagalan
fungsi ginjal dengan cara memonitor cairan, elektrolit, pantau GDS serta
status asam basa pada setiap pasien. Pada kasus keracunan yang disengaja (
kasus bunuh diri) terutama pada remaja, pendekatan secara multidisiplin
dapat dilakukan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan melibatkan
psikiater sehingga untuk kedepannya tidak terulang 7,13
2.7 Komplikasi
Menurut penelitian yang dilakukan beberapa komplikasi yang paling sering
terjadi yaitu adanya pneumonitis dan aspirasi pneumonia (5.2%), urutan
selanjutnya yaitu acute hepatic injury dimana terjadi peningkatan kadar alamine
transaminase >180 U/L dengan persentase 2.6 %. Aritmia juga merupakan salah
satu komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus keracunan akut dengan
persentase 1.3 %. Aritmia yang paling sering terjadi yaitu adanya gelombang QT
yang memanjang.14,15
2.8 Pencegahan
Hampir 2/3 anak dibawah 6 tahun yang mengalami keracunan akan mengalami
episode keracunan yang berulang. Meskipun angka mortalitas pasien dengan
keracunan sudah menurun drastis dalam 40 tahun terakhir, angka terjadinya
keracunan masih tergolong tinggi. Untuk menurunkan angka tersebut, tenaga
medis harus memberikan edukasi yang optimal pentingnya tindakan pencegahan
dan tata laksana yang baik. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
dengan meminimalisir adanya substansi yang beracun di dalam rumah. Apabila
tidak memungkinkan untuk meminimalisir adanya substansi yang beracun di
dalam rumah, bisa diedukasi untuk mengganti senyawa tersebut yang hampir
sama tetapi memiliki kadar toksisitas yang lebih rendah contoh: mengganti
aspirin dengan parasetamol. Penggunaan pembungkus atau tempat obat yang
tidak mudah dibuka oleh anak-anak. Hal ini berlaku juga untuk senyawa kimia
pada rumah tangga. Mengetahui tanda-tanda awal keracunan pada anak dan tahu
letak pusat keracunan yang dapat dituju sewaktu-waktu.6,10
2.9 Prognosis
Untuk kasus keracunan akut pada anak umumnya memiliki prognosis yang baik
(84.5%) akan keluar dari rumah sakit dengan cepat setelah mendapat perawatan
di rumah sakit yang baik. Pasien yang mendapatkan perawatan di ICU sekitar
10.5% dengan mortalitas 5 %. Menurut badan penelitian statistik di Amerika
Serikat melaporkan bahwa keracunan yang tidak fatal memiliki luaran 85%
secara umum.16
Bab III
KESIMPULAN
Tata laksana pada pasien keracunan akut terbagi menjadi 5 garis besar yaitu:
resusitasi dan stabilisasi awal, pengenalan racun untuk penegakan diagnosis,
pemberian terapi nonspesifik dimana terdapat dekontaminasi lambung, mata, maupun
kulit serta mempercepat eliminasi dari racun, selanjutnya terapi spesifik yang
berhubungan dengan antidotum dan terapi suportif.
Daftar Pustaka
13. Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning in children 1: general
management. Arch Dis Child. 2002; 87: 392-6.
14. Dayasiri MBKC, Jayamanne SF, Jayasinghe CY. Patterns and outcome of
acute poisoning among children in rural Sri Lanka. BMC Pediatrics. 2018;
18: 1-8.
15. Boyle JS, Betchel LK, Holstege CP. Management of the critically poisoned
patient. Scand J Trauma Resusc Emerg Med. 2009; 17; 1-11.
16. Seif E, Gomaa R, Eisa M. A retrospective study of acute poisoning in
children under 5 years old admitted to Alexandria poisoning center in
Egypt. JPM. 2016; 4; 32-39.