Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN PADA ANAK

Disusun oleh:
Aurelia Prajitno
NIM: 0000 0000 147

Pembimbing:
dr. Anita Halim, SpA

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 28 JANUARI – 6 APRIL 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
TANGERANG
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi TB laten (ITBL) merupakan keadaan respon imun menetap terhadap stimulasi oleh
antigen Mycobacterium tuberculosis (MTB) tanpa bukti adanya gejala TB aktif. Individu
dengan ITBL tidak menunjukkan gejala-gejala sakit TB tetapi berpotensi menjadi sakit TB.1
Skrining dan tatalaksana yang tepat penting dalam menemukan dan mencegah penyakit
TB pada anak dengan kontak. Tujuan dari diagnosa dan tatalaksana ITBL adalah sebagai
langkah pencegahan. Menurut sebuah penelitian, diketahui bahwa dari 269 anak dengan kontak
TB, 21 orang (8%) terdiagnosa menderita TB aktif, sedangkan 102 (38%) menunjukkan tanda-
tanda infeksi tanpa sakit (ITBL).2 Namun penerapan program skrining dan pencegahan ini
mempunyai berbagai tantangan. Antaranya, keterbatasan tempat untuk melakukan skrining,
kurangnya sarana pemeriksaan yang objektif untuk mendiagnosa ITBL dan menyingkirkan
diagnosa penyakit TB aktif, ketidaktersediaan terapi preventif, juga kepatuhan yang buruk pada
regimen pengobatan yang butuh waktu lama.3
Hingga saat ini, belum ada baku emas dalam mendiagnosis ITBL.1 Hal ini juga
menyulitkan dalam menentukan alat diagnostik yang paling akurat. Uji tuberkulin dan
Interferon-gamma release assay (IGRA) merupakan dua alat diagnostik yang dapat digunakan
untuk mediagnosis ITBL, namun tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
Keduanya bergantung pada reaksi imunologis terhadap antigen dari MTB, namun mempunyai
kegunaan dan nilai yang berbeda.
Dengan penulisan referat ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih
bagi para tenaga medis terutama di fasilitas primer sehingga dapat memperbaiki deteksi dini
ITBL dan mencegah terjadinya sakit TB.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infeksi laten (ITBL) adalah keadaan respon imun yang persisten terhadap stimulasi oleh
antigen-antigen Mycobacterium tuberculosis (MTB) tanpa manifestasi klinis TB aktif.
Seseorang dikatakan menderita TB laten apabila terinfeksi oleh bakteri TB tetapi tidak
menunjukkan tanda-tanda penyakit TB aktif dan tidak merasa sakit. Namun, penderita TB laten
dapat menderita penyakit TB aktif di masa depan.4 Pada infeksi TB laten, uji tuberkulin atau
interferon-gamma release assay (IGRA) positif, tetapi gambaran foto thorax normal atau
menunjukkan infeksi yang sudah sembuh (kalsifikasi).5

2.2 Epidemiologi
Dari 9 juta kasus baru TB di dunia, 1 juta merupakan anak berusia <15 tahun. Di mana dari
seluruh kasus TB pada anak ini 75% didapatkan di 22 negara dengan beban TB tinggi (high
burden countries) dengan kisaran persentase antara 3 hingga >25%. Indonesia sendiri
merupakan negara ke-3 di dunia dengan jumlah pasien TB terbanyak. Infeksi TB pada anak
terjadi akibat kontak dengan orang dewasa yang menderita TB aktif. Pada orang dewasa,
diagnosis TB mudah ditegakkan dari pemeriksaan dahak. Hal ini berbeda pada anak, sehingga
seringkali penanganan TB anak terabaikan, dan sampai beberapa tahun TB anak belum
termasuk prioritas kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia.6
Di negara berkembang seperti Indonesia, TB pada anak <15 tahun adalah 15% dari
seluruh kasus TB. Laporan mengenai TB anak di Indonesia masih jarang didapatkan, namun
menurut data yang ada, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5-6% dari total kasus TB di
Indonesia. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, didapatkan prevalensi
12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua).
Dari angka ini, prevalensi TB pada usia <1 tahun adalah 0,47%, 1-4 tahun 0,76% dan 0,53%
pada usia 5-14 tahun3. Sedangkan menurut Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014
yang dilakukan oleh Kemenkes RI, prevalensi TB pada anak <1 tahun adalah 0,2%; 0,4% pada
anak 1-4 tahun, dan 0,3% pada 5-14 tahun.7
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama risiko terinfeksi TB
dan menjadi sakit TB. Oleh karena itu, faktor risiko untuk infeksi dibedakan dengan faktor
risiko untuk menjadi sakit TB. Faktor risiko anak terinfeksi TB antara lain adalah anak terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan,

2
lingkungan dengan hygiene dan sanitasi yang tidak baik, dan tempat penampungan umum
seperti panti asuha, penjara, atau panti perawatan lain, yang banyak terdapat pasien TB dewasa
aktif. Terutama pasien dewasa dengan BTA sputum positif, infiltrate luas atau kavitas pada
lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta faktor lingkungan
yang kurang sehat seperti kurangnya sirkulasi udara. Pasien anak sendiri jarang menularkan
bakteri pada anak lain atau orang dewasa karena bakteri TB jarang ditemukan dalam sekret
endobonkrial pasien anak. Hal ini dikarenakan, pertama, TB pada anak umumnya
paucibacillary tetapi karena sistem imun anak yang belum matang, maka sudah cukup untuk
menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian menjadi sakit TB primer biasa
terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum.
Ketiga, selain karena tidak ada/sedikit sputum, pada anak tidak ada reseptor batuk di daerah
parenkim sehingga gejala batuk jarang ditemukan pada TB anak. Faktor risiko yang dapat
menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB yang paling utama adalah usia.
Anak <5 tahun mempunyai risiko lebih besar karena imaturitas sistem imunnya. Risiko sakit
TB akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi
TB, 43% akan menjadi sakit, pada usia 1-5 tahun, 24% menjadi sakit, dan pada usia remaja
15%. Anak <5 tahun juga lebih berisiko mengalami TB disseminata (TB milier, meningitis TB)
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas
dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 6 bulan - 1 tahun pertama setelah infeksi. Faktor
risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan
imunokompromais, diabetes melitus, dan gagal ginjal kronis. Status sosioekonomi yang rendah
juga merupakan faktor risiko yang tidak kalah penting.6
Tabel 1. Risiko Progresi dari Infeksi TB menjadi Sakit TB 16

Usia saat infeksi Jumlah kasus (%) TB Paru (%) TB Milier atau TB
primer (tahun) SSP (%)
<1 50 30-40 10-20
1-2 75-80 10-20 2,5
2-5 95 5 0,5
5-10 98 2 <0,5
>10 80-90 10-20 <0,5

3
2.3 Etiologi
MTB merupakan obligat anaerob. Pada jaringan tampak sebagai tuberkel-tuberkel basil yang
tipis, berbentuk batang lurus berukuran sekitar 0,4-3µm. MTB tidak dapat digolongkan ke gram
positif atau negatif. Basil ini juga disebut tahan asam (acid-fast bacillus) karena setelah
diwarnai ia tidak dapat luntur dengan campuran 95% ethyl alcohol dan 3% asam hidroklorat
yang biasanya dapat melunturkan perwarnaan pada semua bakteri kecuali MTB. Hal ini
dikarenakan pembungkus lilin yang dimiliki oleh basil tahan asam. MTB menyebar melalui
droplet berdiameter lebih kecil dari 25µm apabila seseorang yang terinfeksi batuk, bersin,
ataupun berbicara. Setelah droplet menguap, organisme yang tertinggal dapat terhirup dan
masuk ke alveoli. Di dalam alveoli, sistem imun pejamu merespon dengan melepaskan sitokin
dan limfokin yang memicu monosit dan makrofag. MTB kemudian mulai berkembang biak di
dalam makrofag. Beberapa makrofag mampu mengalahkan mikroorganisme ini, sedangkan
beberapa terbunuh oleh MTB. Dalam waktu 1-2 bulan setelah paparan, lesi patologis muncul
di paru.8

2.4 Patogenesis
Bakteri MTB menyebar dari orang ke orang melalui droplet di udara. Kerentanan pejamu
terhadap infeksi sangat bergantung pada polimorfisme genetik si pejamu dan bakteri MTB.
Setelah basil terhirup, biasanya mereka menempati lobus atas paru-paru.9 Dari sini terdapat
empat kemungkinan yang terjadi; (1) Respon imun awal pada pejamu cukup efektif dan dapat
membunuh semua basil sehingga tidak terdapat kemungkinan individu tersebut terinfeksi, (2)
Basilus tumbuh dan berkembang-biak segera setelah infeksi sehingga menyebabkan sakit TB
(TB primer), (3) Basil berhasil masuk tetapi non-aktif dan tidak menyebabkan sakit (TB laten),
atau (4) Basil yang non-aktif ini suaru saat berkembanglalu menyebabkan sakit (TB
reaktivasi).10

4
Gambar 1. Jalur tradisional infeksi MTB - TB aktif dan laten15

Makrofag alveolar merupakan pertahanan lini pertama dari sistem imun bawaan dan
mempunyai peran penting dalam menginisiasi respon imunologis berikutnya.8 Disitulah ia
berkembang biak dan menyebabkan pneumonitis non-spesifik. Di paru, neutrophil dan
makrofag mulai berkumpul untuk memfagositosis dan mengisolasi basil agar tidak menyebar.8
Proses yang terlibat dalam fagositosis termasuk pengikatan bakteri ke sel pejamu, internalisasi,
dan tahap akhirnya penghambatan pertumbuhan atau pembunuhan.10 Namun, beberapa basil
dapat tetap bertahan hidup di dalam makrofag, tidak mati oleh proses lisosomal, dan
berkembang biak di dalam makrofag. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh glikoprotein
lipoarabinomannan di permukaan dari mycobacterium yang menghambat reseptor mannose
pada sel fagositik. Sifat ini juga yang membedakan strain virulen dan avirulen dari
mycobacterium.10 Pada neonatus dan bayi, sistem imun bawaan di paru-paru ini belum matang
dan tidak dapat membatasi mycobacterium sebelum respon imun antigen-spesifik terinisiasi.9,11
Basil ini kemudian membentuk granuloma, sebuah lingkungan yang tertutup, dimana ia
menghentikan metabolisme dan replikasinya lalu memasuki tahap non-aktif yang sangat
resisten terhadap sistem pertahanan pejamu dan pengobatan. Beberapa basil juga bermigrasi ke
sistem limfatik dan kemudian bersarang di kelejar getah bening. Di kelenjar getah bening basil
akan diserang oleh limfosit dan menginisiasi respon imun.6 Kelenjar getah bening yang biasa
terlibat adalah kelenjar di mediastinum. Di kelenjar getah bening sel T CD4 teraktivasi dan
merupakan tahap awal dari pembentukan respon imun adaptif terhadap MTB. Sel T CD4 ini
kemudian juga secara cepat bergerak ke paru-paru. Di tahap ini, limfosit, juga neutrophil dan
makrofag, akan merespon dengan melepaskan interferon sebagai usaha menghambat replikasi
dan sebagai akibatnya memanggil lebih banyak makrofag untuk menyerang bakteri.6 Kadar

5
IFN-g merupakan penanda adanya respon imun adaptif terhadap MTB di paru. IFN-g sendiri
diproduksi oleh sel T CD4, dan peningkatan IFN-g di paru bersamaan dengan gambaran
munculnya sel T CD4 dan CD8. Diketahui juga bahwa aktivasi respon imun adaptif dapat
menghentikan pertumbuhan bakteria tetapi tidak membunuhnya. Waktu yang dibutuhkan untuk
munculnya sel T di paru adalah sekitar ~17-19 hari. Jeda waktu yang lama ini dapat
berhubungan dengan persiapan dari sel T limfosit naif yang terlambat, atau pergerakan limfosit
T efektor yang terlambat ke lokasi infeksi.12
Beberapa makrofag yang mati dan mengalami apoptosis juga akan mengaktivasi sel T
sitotoksik (CD8). Kumpulan neutrophil, limfosit, dan makrofag tadi akan membatasi koloni
basilus yang ada dengan membentuk suatu lesi granulomatosa yang disebut tuberkel. Jaringan
yang terinfeksi di dalam tuberkel akan mati dan membentuk zat seperti keju yang disebut
caseating necrosis. Disekitarnya akan terbentuk jaringan parut dari kolagen, memperkuat
isolasi basilus. Respon imun yang mencegah multiplikasi basilus ini selesai dalam kurang lebih
10 hari.9
2.4.1 Faktor Pejamu dalam ITBL
Sel T CD4 merupakan bagian sistem imun pejamu yang mempunyai peran penting dalam ITBL.
Sel T CD4 berfungsi membatasi pertumbuhan MTB saat infeksi primer dengan menghambat
pertumbuhan basiler dan pada fase kronis menjaga agar infeksi tidak mengalami reaktivasi.
Selain sel T CD4, sel T CD8 juga diketahui terlibat dalam respon imun terhadap MTB. Sel T
CD8 mempunyai sifat sitotoksik yang bergantung pada bermacam-macam mekanisme,
termasuk pada kasus infeksi TB, mekanisme apoptosis. Sel T CD8 melepaskan peptide yang
sifatnya antimicrobial, yaitu granulisin yang dapat membunuh bakteri TB intraselular. Selain
fungsi sitolitik ini, sel T CD8 juga memproduksi sitokin proinflamasi IFN-g dan TNF-a yang
dipercayai penting dalam respon imun terhadap infeksi TB. TNF-a adalah sitokin yang
diproduksi oleh makrofag, sel dendritic, dan sel T. TNF-a dapat mengikat pada reseptor TNFR1
dan TNFR2 di permukaan sel dan menginisiasi sinyal melalui jalur antiapoptotic dan
proinflamasi. Dalam hal infeksi TB, TNF-a meningkatkan presentasi molekul adhesi,
meningkatkan sekresi kemokin, dan menginduksi apoptosis dari makrofag yang mengandung
bakteri TB. Sitokin TNF-a juga meningkatkan integritas struktur granuloma. Menurut studi
pada mencit, kekurangan sitokin TNF-a menyebabkan multiplikasi MTB yang tidak terkontrol,
pembentukan granuloma yang jelek dengan nekrosis luas dan dinding yang lemah, penyebaran
bakteri secara luas, dan kematian dalam 28-35 hari setelah infeksi. Sehingga dapat disimpulkan
melalui banyaknya bukti yang ada bahwa TNF-a penting dalam menjaga ITBL dan mencegah

6
reaktivasi penyakit. Sitokin IFN-g juga berfungsi untuk menekan infeksi TB dalam tubuh.
Kurangnya IFN-g menyebabkan terbentuknya granuloma luas, kerusakan jaringan yang lebih
berat dan pertumbuhan basiler yang tidak terkontrol. Selain itu, IL-12 juga penting karena
sitokin ini yang meningkatkan produksi sel Th1, yaitu sel T yang memproduksi IFN-g.13
2.4.2 Faktor Mikrobiologis dalam ITBL
Bakteri MTB mempunyai metabolisme lipid dan energi yang khusus. Bakteri ini mempunyai
genom yang mengandung gen dalam jumlah besar yang memampukannya untuk memecah
berbagai macam asam lemak melalui proses beta-oksidasi yang berterusan. Penumpukan lipid
ini berhubungan dengan ketahanan bakteri dalam tubuh pejamu dan toleransi terhadap
antibiotika. Selain metabolisme lipid, mempunyai jalur metabolisme lain untuk membentuk
ATP, bahkan dalam keadaan hipoksia. Kemampuan inilah yang menyebabkan bakteri ini tetap
bertahan dalam tubuh walaupun tidak menimbulkan penyakit TB.13

2.5 Klinis
Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri MTB. Infeksi
ini dapat bersifat sistemik mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi paling sering di
paru. Infeksi di paru merupakan lokasi infeksi primernya. Penyakit ini sudah ada sejak
peradaban manusia dan merupakan masalah kesehatan yang sangat serius, baik pada aspek
gangguan tumbuh-kembang, morbiditas, mortalitas, dan kecacatan. Infeksi TB dan sakit TB
merupakan hal yang harus dibedakan. Infeksi TB mudah diketahui secara relatif dengan
berbagai pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin. Tetapi, sesorang yang terinfeksi TB
dengan uji tuberkulin positif, belum tentu menderita sakit TB.14
Penyakit TB aktif meliputi berbagai tampilan klinis dan bentuk penyakit. Setelah infeksi
awal dengan bakteri TB, beberapa orang berprogres secara cepat menjadi penyakit aktif yang
disebut TB aktif atau TB primer. Pada beberapa orang, infeksi awal ini berhasil dibatasi oleh
sistem imun tubuh dan tidak menimbulkan gejala apapun. Kondisi ini disebut TB laten. Namun
dapat muncul penyakit beberapa lama setelahnya (biasanya bertahun-tahun) dan kondisi ini
disebut TB reaktivasi atau TB pasca-primer.15
Infeksi TB pada anak seringkali asimptomatis. Gejala yang dapat muncul biasanya
sifatnya non-spesifik dan menyerupai infeksi pada umumnya seperti malaise, demam subfebris
berkepanjangan, nafsu makan berkurang, dan erythema nodosum.5,14 Apabila terdapat gejala
pada sistem respiratori berupa batuk kronis >3 minggu atau nyeri dada maka harus dicurigai ke
arah TB. Kecurigaan pada TB juga harus dipikirkan apabila berat badan anak sulit naik,

7
menetap atau malah turun, dibuktikan dengan pemeriksaan fisis antropometri, grafik berat
badan dan tinggi badan pada posisi bawah atau di bawah p5, dan setelah masalah gizi
disingkirkan dan ditatalaksana dengan adekuat.13 Pada beberapa anak dapat ditemukan gejala
gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh bdengan pengobatan baku. Kadang-
kadang dapat disertai pembesaran KGB setelah terbentuknya proses hipersensitivitas tipe
lambat. Penyakit TB primer yang progresif memberikan gambaran pneumonia yang muncul
tidak lama setelah infeksi.5 Selain di paru, MTB juga dapat menyebabkan infeksi di tempat lain.
Gambaran ekstrapulmoner yang paling umum adalah limfadenopati (67%), diikuti oleh
meningitis TB (13%, terjadi paling sering pada bayi dan balita), TB pleura (6%), TB milier
(5%), dan TB skeletal (4%). Risiko terjadinya infeksi ekstrapulmoner paling tinggi di kalangan
anak yang imunokompromais. Anak-anak ini juga berisiko mengalami progresi dari ITBL
menjadi sakit TB aktif.
Tabel 2. Tanda dan Gejala TB Paru15

Tanda dan gejala klinis Bayi Anak-anak Remaja


/ Tipe penyakit
Gejala
Demam Lazim Tidak lazim Lazim
Keringat malam Jarang Jarang Tidak lazim
Batuk Lazim Lazim Lazim
Batuk berdahak Jarang Jarang Lazim
Hemoptysis Tidak pernah Jarang Jarang
Dyspnea Lazim Jarang Jarang
Tanda
Rhonki Lazim Tidak lazim Jarang
Wheezing Lazim Tidak lazim Tidak lazim
Suara napas ¯ Lazim Jarang Tidak lazim
Lokasi penyakit
Paru Lazim Lazim Lazim
Paru + Ekstraparu Lazim Tidak lazim Tidak lazim

Pada individu dengan TB laten tidak terlihat bukti klinis adanya infeksi TB. Dari studi
epidemiologi yang dilakukan di berbagai negara baik yang berkembang dan negara maju,
diketahui bahwa 5-10% individu dengan TB laten akan menderita TB reaktivasi dalam masa
hidupnya15. Sebanyak 5-10% anak di atas 3 tahun yang menderita TB laten akan menjadi sakit
TB, dan kebanyakan terjadi dalam 1 hingga 2 tahun setelah infeksi awal.16 Pada TB laten,
infeksi MTB atau paparan terhadap MTB dapat dibuktikan hanya melalui reaktivitas tubuh
pejamu terhadap antigen MTB melalui pemeriksaan uji tuberkulin (Tuberkulin skin test atau

8
TST). Hasil dari pemeriksaan ini adalah munculnya indurasi yang dapat diukur pada kulit yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat.15
Tabel 3. Rekomendasi TST pada Bayi, Anak, dan Remaja5

Anak yang terindikasi TST atau IGRA segera

• Kontak dengan individu yang dipastikan atau diduga menularkan TB (investigasi kontak)
• Anak dengan gambaran radiologi atau temuan klinis mengarah ke penyakit TB
• Anak pendatang dari negara endemis TB (misal: Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, negara
Uni Soviet)
• Anak dengan riwayat perjalanan ke negara endemis dan kontak bermakna dengan orang yang
statusnya tidak jelas di negara tersebut
Anak yang disarankan melakukan pemeriksaan TST atau IGRA setiap tahun

• Anak dengan infeksi HIV (TST saja)


Anak dengan peningkatan risiko progresi dari ITBL menjadi sakit TB
• Anak dengan kondisi medis lain, termasuk diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, malnutrisi,
dan imunodefisiensi bawaan atau dapatan.
Tanpa paparan baru, anak-anak ini tidak lebih berisiko mendapatkan infeksi TB. Namun karena
defisiensi imun yang ada berhubungan dengan kondisi-kondisi ini, kemungkingan terjadinya
progresi menjadi penyakit yang berat lebih tinggi. Oleh karena itu, penting untuk mendapatkan
riwayat kontak TB untuk pasien-pasien ini. Apabila riwayat kontak positif/mungkin positif, maka
pemeriksaan TST dan IGRA segera dan berkala harus dipertimbangkan.
Pemeriksaan TST atau IGRA harus dilakukan sebelum inisasi terapi imunosupresif,
termasuk pemberian steroid berkepanjangan, transplantasi organ, penggunaan
penghambat TNF-a atau terapi imunosupresif lainnya.

9
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Tes Mantoux
2.6.1.1 Prinsip Tes Mantoux
Tes Mantoux merupakan TST standar yang dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
respon tubuh terhadap antigen tuberkulin. Reaksi ini merupakan manifestasi dari
hipersensitivitas lambat yang dimediasi oleh sel T (Reaksi hipersensitivitas tipe 4). Tes ini
biasanya positif 2-6 minggu setelah onset infeksi (hingga 3 bulan) dan pada saat penyakit
simptomatis. Tes ini lebih disukai pada anak <5 tahun. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada
tahap awal penyakit, atau dengan infeksi TB yang berat, dengan penyerta infeksi virus, atau
sebagai akibat dari imunosupresi akibat penyakit lain seperti HIV atau malnutrisi5. Cara
melakukan tes Mantoux adalah sebagai berikut 5,14;
1. Tuberkulin PPD 0,1ml disuntikkan secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah
suntikan memanjang terhadap lengan (longitudinal).
2. Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan.
3. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam mm
4. Interpretasi hasil uji tuberkulin
• Positif: indurasi ³10mm
• Negatif: indurasi <5mm
• Meragukan: 5-9mm (perlu diulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu)
Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)
pada anak. Reaksi tuberkulin yang positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun
walaupun pasien sudah tembuh, sehingga uji tuberkulin tidak dapat digunakan untuk memantau
pengobatan.

2.6.2 IGRA (Interferon-gamma relase assay)


IGRA adalah pemeriksaan darah yang mngukur produksi interferon-gamma oleh sel limfosit T
sebagai respon terhadap antigen MTB atau M.bovis tetapi bukan antigen dari vaksin BCG.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas yang mirip dengan tes Mantoux tetapi hasilnya tidak
dipengaruhi oleh vaksin BCG. Namun, sama dengan pemeriksaan TST, hasilnya juga tidak
tepat digunakan pada orang imunokompromais dan TB aktif.5

10
IGRA merupakan pemeriksaan darah in vitro untuk mengetahui respon imun seluler,
khususnya pelepasan IFN-g oleh sel T karena stimulasi dari antigen terhadap kompleks MTB,
khususnya peptide yang tidak dimiliki oleh substrain yang terdapat pada vaksin BCG,
khususnya early secreted antigenic target 6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein 10 (CFP-10).
Oleh karena itu, IGRA lebih spesifik daripada tes Mantoux. Uji kuantifikasi IFN-g
dalam international units (IU) per milliliter (QuantiFERON-TB Gold In-Tube atau QFT) atau
pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent spot (ELISPOT) yang dilakukan pada sel
mononuclear di darah tepi. Hasilnya merupakan jumlah sel T yang memproduksi IFN-g dalam
bentuk bintik-bintik (TB SPOT).17

Gambar 2. Prinsip pemeriksaan IGRA18

Di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika IGRA resmi digunakan sebagai
sarana diagnosis ITBL. Sarana diagnostik ITBL yang baik adalah mampu secara tepat
memprediksi risiko seseorang akan berkembang atau tidak berkembang menjadi sakit TB. Dari
metaanalisis terhadap 60 penelitian, diadapatkan empat outcome yaitu spesifisitas IGRA untuk
ITBL adalah 98-100%, nilai prediktif positif 94%, nilai prediktif negatif 97,8-99,8%.
Sedangkan untuk nilai prediktif positif perkembangan ITBL menjadi TB aktif 3,3-10%. Dari
sebuah metaanalisis terhadap 37 penelitian disimpulkan bahwa IGRA hanya meningkatkan
ketepatan diagnosis TB pada anak imunokompeten berusia >5 tahun pada populasi
berpenghasilan tinggi.18 Oleh karena itu, IGRA tidak direkomendasikan untuk menggantikan
uji tuberkulin dalam mendiagnosis ITBL pada anak di negara dengan pendapatan rendah dan
menengah.19

11
Tabel 4. Perbandingan uji tuberkulin dan IGRA

TST IGRA
Antigen yang digunakan Purified protein derivative Antigen spesifik TB
Bahan uji Kulit Darah
Sel yang terlibat Neutrofil, Sel T CD4, CD8, Sel T CD4 in vitro
Treg
Kunjungan pasien 2 kali 1 kali
Waktu yang diperlukan untuk 48-72 jam 24 jam
memperoleh hasil
Pengaruh riwayat vaksin BCG Menyebabkan hasil positif Relatif tidak berpengaruh
palsu
Pengaruh infeksi NTM Menyebabkan hasil positif Positif palsu pada infeksi
palsu M.kansasii, M.szulgai,
M.gordonae, M.marinum, M.
riyadhense
Pengaruh keadaan Berpotensi menyebabkan hasil Relatif tidak berpengaruh
imunodefisiensi negative palsu
Kontrol internal pemeriksaan Tidak ada Ada
Pembacaan hasil Relatif subjektif Relatif objektif
Pengerjaan Tidak membutuhkan Membutuhkan peralatan
peralatan/tenaga khusus khusus dan tenaga terampil
Biaya pemeriksaan Murah Mahal

2.6.3 Foto Toraks


Apabila hasil tes Tuberkulin positif tetapi tidak menunjukkan gejala TB dan hasil radiografi
toraksnya normal, maka dapat dikatakan anak tersebut hanya mengalami infeksi TB (ITBL)
dan bukan sakit TB.17 Masa inkubasi setelah MTB terhirup bisa sampai 6 minggu. Dalam masa
inkubasi ini, gambaran radiografi biasanya normal. Setelah 1-3 bulan dari paparan, pembesaran
kelenjar hilar atau mediastinal dapat terlihat dalam 50-70% kasus. Prevalensi pembesaran
kelenjar menurun dengan bertambahnya usia. Pembesaran kelenjar getah bening bisa
ditemukan pada 100% anak di bawah 3 tahun dan 88% pada anak yang lebih besar. Sedangkan
gambaran kerusakan parenkim lebih jarang ditemukan pada anak di bawah 3 tahun (51%)
dibandingkan dengan anak di atas usia 3 tahun (78%)

12
Gambaran radiologis yang sugestif TB antaranya adalah:
a. Pembesaran kelenjar parahilus atau paratrakeal
b. Konsolidasi segmen/lobus paru
c. Gambaran milier
d. Kavitas
e. Efusi pleura
f. Atelektasis
g. Kalsifikasi

Gambar 3. Gambaran TB primer pada bayi usia 4 bulan, tampak fokus radio-opak (anak panah) di segmen
inferolateral dari lobus kanan atas5

Gambar 4. Foto toraks anteroposterior anak dengan obstruksi limfobronkial dengan kolaps paru kiri 20

13
Gambar 5. Efusi pleura pada anak 10 tahun dengan TB paru. Tampak pembesaran bayangan jantung (panah
putih) dan efusi pleura (asterisk hitam) 20

Foto toraks merupakan landasan diagnosis, terutama pada kasus TB yang tidak
mempunyai gejala klinis. Pada anak-anak, seluruh segment lobus mempunyai risiko yang sama
menjadi fokus infeksi, limfadenopati di hilus merupakan gambaran khas yang hampir selalu
ada pada kasus TB anak, dan pembesaran ini dapat menyebabkan obstruksi bronkus dan
menyebabkan udara terperangkap di dalam paru, hiperinflasi paru, dan emfisema lobaris.5
Dibutuhkan tampak anteroposterior dan lateral untuk visualisasi kelenjar getah bening yang
optimal.20

Gambar 6. Foto Thorax anak 5 tahun dengan TB paru primer (a) gambaran anteroposterior, dan (b) lateral 20

Kadang juga dapat terlihat gambaran pneumonia lobaris tanpa limfadenopati hilar yang
bermakna. Pada infeksi yang destruktif, dapat terjadi likuefaksi dari parenkim paru dan
berujung pembentukan kavitas dengan dinding kalsifikasi tipis. Di kalangan remaja, gambaran

14
radiologis TB paru adalah lesi segmental dengan limfadenopati hilat atau infiltrate di apeks
seperti pada orang dewasa, dengan atau tanpa kalsifikasi.5

Gambar 7. Gambaran TB post-primer pada anak 14 tahun menunjukkan kavitasi, traksi dan bronkiektasis sistik
pada paru kanan 20

Gambar 8. Gambaran fokus Ghon pada foto toraks anteroposterior 20

15
2.6.4 Pemeriksaan Mikrobiologi
2.6.4.1 Deteksi Mycobacterium21
1. Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA)
Pemeriksaan BTA dan mikroskopi apusan merupakan pemeriksaan yang cepat dan murah
untuk mendeteksi adanya BTA. Namun, sensitivitas pemeriksaan dahak bergantung pada kadar
BTA dalam sampel. Untuk dapat terdeteksi, sebuah sampel harus mengandung BTA paling
tidak 1000 – 10 000 colony-forming units (CFU)/ml. Hal ini susah untuk diterapkan pada pasien
anak karena TB anak sifatnya paucibacillary sehingga sensitivitasnya sangat rendah pada
pemeriksaan dahak.
2. Amplifikasi asam nukleat atau deteksi antigen
Pemeriksaan amplifikasi asam nukleat yang dapat dilakukan adalah real-time polymerase
chain reaction (RT-PCR) dan line probe assays (LPA). Pemeriksaan ini memeriksa gen dari
bakteri TB tersebut. Bahkan beberapa modalitas yang lebih baru dapat mendeteksi resistensi
antibiotik berdasarkan gennya. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF atau GenExpert mempunyai
sensitvitas yang tinggi pada sampel dahak yang positif pada pemeriksaan mikroskopik, dan
sensitivitas sedang pada sampel negatif secara mikroskopis.
3. Kultur mycobacterium
Kultur mycobacterium mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tertinggi untuk TB paru
pada anak. Batas minimal untuk terdeteksinya bakteri TB dari media cair dan solid adalah
kurang-lebih 10-100 CFU/ml dan 50-150 CFU/ml. Sedangkan untuk RT-PCR dibutuhkan
minimal 100-150 CFU/ml.
2.6.5 Diagnosa Infeksi TB pada Anak
Diagnosa infeksi TB pada anak bergantung pada analisa semua bukti yang didapatkan dari
riwayat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang berhubungan. ITBL sendiri
definisikan secara klinis sebagai hanya hasil positif dari uji tuberkulin atau IGRA, tanpa
gambaran lesi aktif TB pada foto toraks.20 Pendekatan diagnosis TB pada anak adalah melalui
menanyakan riwayat dengan teliti, termasuk riwayat kontak TB, selain gejala-gejala yang
konsisten dengan TB. Dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang dilakukan juga sebaiknya
menilai pertumbuhan anak. Lalu pemeriksaan penunjang seperti tes Mantoux lalu foto toraks.
Pemeriksaan mikrobiologi untuk memastikan juga dapat dilakukan. Apabila dicurigai TB
ekstraparu, maka dapat juga dilakukan penunjang yang relevan. Setelah itu, disarankan untuk
melakukan pemeriksaan status HIV.23

16
Pemeriksaan mikrobiologi tidak rutin dilakukan, tetapi harus dipertimbangkan pada
anak dengan gejala klinis konsisten dengan TB. Selain untuk memastikan adanya bakteri TB,
juga untuk mengetahui sensitivitas/resistensi terhadap antibiotik.
Faktor risiko infeksi TB pada anak adalah;23
1. Satu rumah atau kontak dekat dengan kasus TB paru aktif (terutama BTA positif)
2. Usia < 5 tahun
3. Infeksi HIV
4. Malnutrisi
2.6.5.1 Anamnesis
Melalui anamnesis, harus dicari adanya paparan pada individu yang menderita TB. Misal
tinggal serumah atau lingkungan dekat dengan anak. Kasus sumber dengan BTA positif di
dahak lebih mungkin menularkan dibandingkan dengan kasus BTA negatif. Kontak yang
serumah seringkali merupakan sumber infeksi pada anak < 5 tahun. Bayi hingga anak usia
sekolah paling sering untuk tertular TB dari orang yang serumah. Jarak dari paparan hingga
infeksi biasanya terjadi dalam jangka waktu 1 tahun. Beberapa hal di bawah ini merupakan ciri-
ciri penting dalam mendiagnosa TB pada anak;23
1. Semua anak berusia 0-4 tahun (bergejala/tidak) dan anak berusia 5 tahun ke atas yang
simptomatis, yang mempunyai kontak dengan kasus TB
2. Anak semua usia dengan infeksi HIV yang mempunyai kontak TB
3. Apabila seorang anak terdiagnosa TB, harus dicari kontak TB nya dan dicari juga
kemungkinan kasus yang belum terdiagnosa yang serumah dengan anak
4. Apabila seorang anak diketahi menderita TB aktif, anak-anak lain yang merupakan
kontak dekatnya harus dicari dan dilakukan skrining. Anak-anak harus dianggap
menularkan jika ditemukan BTA positif di dahaknya atau gambaran TB dengan kavitasi
di foto toraksnya.
Mengenai kontak, hal yang harus diperdalam adalah intensitas paparan anak pada
sumber infeksi, juga derajat keparahan dan pengobatan sumber infeksi. Penting juga untuk
mengetahui status nutrisi anak, status imunisasi BCG (adanya luka BCG). Banyaknya orang
yang serumah dengan anak, sirkulasi udara di rumah, paparan terhadap sinar matahari, dan jarak
fisik orang yang sakit TB tersebut terhadap anak merupakan risiko lingkungan yang harus
diperhatikan. Diketahui bahwa masa kontak 15-20 menit dengan orang dewasa yang menderita
TB paru cukup untuk menularkan bakteri TB. Ciri-ciri di atas juga cukup untuk menjadi syarat
dilakukan skrining infeksi TB.22

17
Gejala infeksi TB pada anak biasanya kronis dan menetap lebih dari 2 minggu tanpa
perbaikan setelah diberikan terapi yang adekuat untuk kemungkinan penyakit lain (contoh:
antibiotik untuk pneumonia, antimalaria untuk demam, usaha perbaikan gizi untuk gagal
tumbuh). Gejala paling sering seperti batuk, demam, nafsu makan menurun, penurunan berat
badan atau gagal tumbuh, mudah lelah dan kurang aktif, tidak muncul pada anak dengan ITBL.
23

2.6.5.2 Pemeriksaan fisis


Tidak ada gambaran khusus pada pemeriksaan fisis yang dapat memastikan bahwa gejala pada
anak secara spesifik mengarah kepada diagnosa TB paru. Jika ada pun, gejala-gejala ini jarang
ditemukan dan merupakan gambaran dari TB ekstraparu. Misal, adanya gibbus merupakan
gambaran khas TB di vertebra. Antropometri juga merupakan hal yang penting dalam penilaian
status infeksi TB pada anak. Terutama pada anak yang telah mendapatkan terapi nutrisi atau
suplementasi tetapi tetap sulit untuk menaikan berat badan, atau bahkan berat badan terus
menurun, harus dipikirkan adanya penyakit kronis seperti TB.23
2.6.5.3 Uji Tuberkulin (Tes Mantoux)
Hasil uji tuberkulin positif menandakan bahwa sesorang sedang atau pernah terinfeksi MTB.
Uji tuberkulin dianggap positif apabila hasilnya >5mm pada anak yang mengalami
immunosupresi (HIV positif, malnutrisi berat), atau >10mm pada anak dengan status imunologi
normal (sebelum atau sesudah vaksin BCG).
Pembacaan hasil Tes Mantoux
Hasil uji tuberkulin harus dibaca diantara 48 hingga 72 jam setelah penyuntikan. Seorang pasien
yang tidak kembali dalam 72 jam kemungkinan harus dilakukan uji tuberkulin ulang.
1. Lakukan inspeksi pada lokasi penyuntikan
Perhatikan daerah suntikan dibawah pencahayaan yang cukup, dan ukur indurasi
(daerah kulit yang menebal), bukan eritema (kulit merah)
2. Palpasi indurasi
Gunakan jari untuk menemukan batas indurasi
3. Tandai indurasi
Gunakan ujung jari sebagai panduan untuk menandai ujung yang paling lebar dari
indurasi
4. Ukur diameter indurasi dengan penggaris yang bening dan fleksibel
Letakkan angka 0 pada penggaris di batas dalam ujung indurasi. Baca angka pada batas
dalam ujung indurasi yang satunya (ambil angka lebih kecil jika batas berada di antara
2 titik pada skala millimeter)

18
5. Catat diameter indurasi
Jangan mencatat hasil sebagai “positif” atau “negatif” tetapi catat hanya dalam
millimeter. Jika tidak ada indurasi, catat sebagai 0mm
Interpretasi uji tuberkulin bergantung pada dua faktor, yaitu diameter indurasi, dan
risiko seseorang terinfeksi TB dan progresi menjadi sakit TB jika terinfeksi. Terdapat
kemungkinan terjadinya positif palsu atau negatif palsu.
Tabel 5. Penyebab negatif palsu dan positif palsu pada uji tuberkulin25

Penyebab negatif palsu Penyebab positif palsu


- Penyuntikan atau interpretasi yang salah - Interpretasi yang salah
- Penyimpanan tuberkulin yang tidak - Vaksin BCG
tepat
- Infeksi virus (misal; campak, cacar) - Infeksi dengan mycobacterium lain
(non-tuberkulous)
- Vaksin hidup dalam 6 minggu terakhir
- Malnutrisi
- Infeksi bakteri (misal; typhoid, lepra,
pertussis)
- Pengobatan imunosupresif (misal;
corticosteroid)
- Pasien neonates
- Imunodefisiensi primer
- Penyakit jaringan limfoid (misal;
penyakit Hodgkin, limfoma, leukemia,
sarcoidosis)
- Keadaan rendah protein
- TB berat

19
2.6.6 Tatalaksana
Pengobatan ITBL disebut juga kemoprofilaksis. Tujuan dari pengobatan ITBL adalah untuk
mencegah aktivasi penyakit di masa depan. Diketahui bahwa 50% anak yang dirawat dengan
TB yang dipastikan secara kultur mempunyai kontak TB yang dekat dan tidak mendapatkan
kemoprofilaksis. Oleh karena itu, WHO juga menerapkan panduan bahwa semua anak di bawah
5 tahun yang kontak TB positif, terutama pada kasus yang BTA positif, harus diberi Isoniazid
selama 6 bulan setelah kemungkinan penyakit TB paru aktif dieksklusi. Monoterapi dengan
Isoniazid selama 6-9 bulan terbukti mengurangi risiko TB pada anak yang terpapar sebanyak
>90% dengan kepatuhan pengobatan yang baik.11
2.6.6.1 Pilihan Pengobatan ITBL
Monoterapi dengan Isoniazid
Pengobatan selama 6 bulan dengan isoniazid saja merupakan pengobatan standar baik untuk
anak maupun dewasa dengan ITBL. Terdapat beberapa penelitian yang membuktikan bahwa
monoterapi dengan isoniazid menurunkan risiko keseluruhan sebanyak 33%, dan efektivitas
mencapai 64% pada individu dengan uji tuberkulin positif. Isoniazid dapat juga diberikan
selama 9 bulan. Menurut analisa yang dilakukan oleh United States Public Health Service
terhadap penelitian tahun 1950-1960an mengenai durasi terapi dengan isoniazid, dikatakan
bahwa manfaat dari isoniazid meningkat secara progresif apabila diberikan hingga 9-10 bulan,
tetapi setelah itu tidak terjadi banyak perubahan (stabil). Dosis pemberian isoniazid yang
disarankan untuk pemberian 6 atau 9 bulan adalah 10mg/kgBB (7-15mg/kgBB) dengan dosis
maksimum 300mg.24
Rifampicin dan isoniazid
Pemberian rifampicin dan isoniazid selama 3-4 bulan mempunyai efektivitas yang sama dengan
pemberian isoniazid selama 6 bulan. Guideline development group (GDG) sebelumnya
menyimpulkan bahwa penggunaan rifampicin dan isoniazid ini dapat digunakan sebagai
alternatif di tempat dengan angka kejadian TB yang rendah. Masa pengobatan yang pendek ini
mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dan beberapa peneliti juga mengatakan risiko
efek samping lebih kecil. Dosis yang disarankan adalah 10mg/kgBB (maks. 300mg) untuk
isoniazid dan 15mg/kgBB (maks. 600mg) untuk rifampicin.24

20
Monoterapi dengan rifampicin
Penggunaan rifampicin selama 3-4 bulan mempunyai efektivitas yang sama dengan isoniazid
selama 6 bulan. Penggunaan rifampicin selama 3-4 bulan juga mempunyai risiko
hapatotoksisitas lebih rendah dibandingkan dengan monoterapi dengan isoniazid, namun risiko
untuk efek samping lainnya lebih tinggi. Dosis rifampicin yang disarankan untuk monoterapi
dengan rifampicin adalah 15mg/kgBB dengan dosis maksimum 600mg.24
Rifapentin dan isoniazid
Regimen ini diberikan setiap minggu selama 3 bulan, di mana dosis diberikan sebanyak 12 kali.
Menurut penelitian, regimen ini mempunyai efektivitas yang serupa dengan monoterapi
isoniazid selama 6-9 bulan, dengan risiko hepatotoksisitas yang lebih rendah secara signifikan.
Pada anak usia 2-11 tahun, dosis isoniazid yang disarankan adalah 25mg/kgBB, dan untuk anak
12 tahun ke atas, dosis isoniazid yang disarankan adalah 15mg/kgBB dengan dosis maksimum
900mg. Sedangkan dosis rifapentine yang disarankan sesuai berat badan;
10.0 – 14.0kg = 300mg, 14.1 – 25.0kg = 450mg, 25.1 – 32.0kg = 600mg, 32.1 – 50.0 = 750mg,
>50mg = 900mg (dosis maksimum 900mg).24

2.6.6.2 Pemilihan Regimen


Dalam penentuan regimen, seorang klinisi harus memperhitungkan ciri-ciri dari pasien yang
akan menerima terapi tersebut untuk memastikan bahwa terapi diselesaikan sampai tuntas.
Isoniazid selama 6 bulan, misalnya, lebih disukai dari segi pandang jangkauan, kebutuhan
sumber daya dan penerimaan pasien. GDG telah menyepakati bahwa penggunaan rifampicin
dan isoniazid selama 3 bulan pada bayi dan anak <15 tahun lebih bermanfaat dibandingkan
bahayanya, dan mempunyai angka ketuntasan pengobatan lebih tinggi dibandingkan dengan
monoterapi dengan isoniazid. Ditambah adanya sediaan kombinasi dosis tetap yang
mempermudah konsumsinya. Oleh karena itu, GDG sangat merekomendasikan regimen ini
meskipun kualitas bukti efektivitasnya masih rendah.24

2.6.6.3 Pemantauan Kepatuhan Pengobatan


Kepatuhan yang buruk merupakan hal yang sering terjadi pada kasus ITBL. Hal ini disebabkan
banyak orang tua yang tidak memahami maksud preventif dari pengobatan ITBL. Hal-hal yang
harus dipantau pada anak yang diberikan terapi ITBL adalah kepatuhan meminum obat,
menangani kekuatiran di keluarga, dan memantau timbulnya efek samping.25

21
Masalah yang sering terjadi adalah kegagalan menginisiasi pengobatan ITBL, dan
kegagalan menyelesaikan terapi ITBL. Dalam hal kegagalan menginisiasi pengobatan, faktor-
faktor yang dapat berpengaruh adalah pengetahuan, budaya, linguistik, kekhawatiran mengenai
efek samping, durasi pengobatan, dan finansial.25
Dari segi pengetahuan, orang awam tidak memahami konsep ITBL dimana seorang
anak yang tidak tampak sakit harus menerima pengobatan untuk mencegah terjadinya sakit.
Cara untuk mengatasi hal ini adalah menjelaskan kepada orang tua bahwa saat ini anak sudah
terinfeksi bakteri TB meskipun saat ini belum sakit, sehingga perlu diberikan obat untuk
mencegah supaya anak tidak menjadi sakit. Penjelasan ini dapat diperkuat dengan menampilkan
data-data yang menunjukkan bahwa pengobatan ini efektif dalam mencegah infeksi menjadi
sakit TB. Dapat juga menyarankan orang tua untuk mengakses informasi yang dipercaya
mengenai ITBL (misal, website CDC).25
Dari segi budaya, orang tua susah melepaskan dari stigma yang ada mengenai infeksi
TB, sehingga sulit untuk menerima bahwa anak mereka merupakan salah satu dari orang
dengan infeksi TB. Perlu dijelaskan bahwa TB di Indonesia merupakan suatu endemik.
Sehingga sangat memungkinkan untuk seorang anak yang sistem pertahanan tubuhnya belum
matang menjadi terinfeksi bakteri TB yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia.25
Sedangkan pada faktor linguistik, seperti hambatan bahasa atau penggunaan istilah yang
sulit dipahami oleh orang awam, dapat menggunakan penterjemah yang fasih dalam bahasa
daerah pasien tersebut, misalnya, atau membuat pamflet dalam bahasa sesederhana mungkin
yang dapat dipahami oleh orang awam.25
Wajar juga bagi orang tua untuk mempunyai kekhawatiran mengenai timbulnya efek
samping dari obat-obatan yang harus dikonsumsi oleh anak. Banyak orang tua yang mempunyai
pengetahuan bahwa dengan mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama dapat
merusak organ. Sehingga perlu diedukasikan ke keluarga bahwa pemberian pengobatan adalah
karena lebih bermanfaat dibandingkan dengan penyakit yang dapat timbul jika anak tidak
diobati. Walaupun demikian, tetap harus dijelaskan kepada orang tua bahwa terdapat risiko
terjadi efek samping, meskipun risikonya lebih kecil pada anak dibandingkan pada orang
dewasa Perlu juga diajarkan kepada orang tua untuk memantau kemungkinan timbulnya efek
samping dan apa yang harus dilakukan saat timbul efek samping agar orang tua menjadi lebih
tenang. Memberikan cara pada orang tua untuk menghubungi dokter yang bersangkutan bila
terjadi apa-apa juga dapat mengurangi kekhawatiran orang tua. Jangka waktu pengobatan yang
lama juga membuat keluarga menjadi tidak nyaman. Penyelesaian bagi masalah ini adalah
menawarkan regimen dengan durasi pengobatan yang paling pendek.25

22
Di negara berkembang seperti Indonesia, masalah keuangan sering kali menjadi
hambatan dalam pengobatan.25 Saat ini pemerintah Indonesia menjalankan upaya pelayanan
kesehatan melalui BPJS Kesehatan sebagai pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Hal ini sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Permenkes Nomor 28 Tahun 2014
mengenai pedoman pelayanan kesehatan. Dari konsultasi, pemeriksaan hingga pengobatan
dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FTKP) seperti puskesmas, klinik, dan
praktir dokter mandiri dengan biaya ditanggung penuh. Pasien dengan kasus yang lebih rumit
juga dapat dirujuk ke pelayanan kesehatan tingkat sekunder atau tersier.26,27

2.6.6.4 Pemantauan Efek Samping


Individu dengan ITBL tidak mempunyai penyakit atau kelainan yang aktif, oleh karena itu
penting untuk meminimalisir risiko efek samping yang dapat menimbulkan gangguan. Efek
samping paling sering timbul dengan isoniazid, rifampicin, dan rifapentine. Efek samping yang
harus dipantau adalah adanya gejala seperti penurunan nafsu makan, nausea, muntah, nyeri
perut, mudah lelah atau lemas, warna air kencing menjadi gelap, feses pucat, atau tampak
kuning. Selain gejala gastrointestinal juga dapat timbul gejala pada sistem saraf,
musculoskeletal, dan juga kulit seperti rasa kebas atau kesemutan pada tangan dan kaki, nyeri
sendi, sakit kepala, dan ruam kulit.25 Apabila pasien tidak dapat menghubungi pelayanan
kesehatan secepatnya pada saat muncul gejala seperti di atas, maka pasien tersebut disarankan
untuk menghentikan pengobatan segera. Oleh karena itu disarankan juga untuk memeriksa
fungsi hati sebelum memulai terapi ITBL pada individu dengan faktor risiko seperti riwayat
penyakit hati, sedang mengkonsumsi obat-obat lain yang bersifat hepatotoksik, rutin
mengkonsumsi alkohol, penyakit hati kronis, infeksi HIV, usia >35 tahun, kehamilan atau
dalam masa post-partum (3 bulan setelah persalinan). Apabila hasil pemeriksaan awal ini
abnormal, maka dibutuhkan pertimbangan yang sangat hati-hati untuk memastikan bahwa
terapi yang diberikan tidak lebih membahayakan dibanding manfaatnya, dan apabila terapi
diberikan, pemeriksaan fungsi hati harus diulang pada setiap kunjungan. Pemeriksaan juga
harus dilakukan pada pasien yang timbul gejala-gejala efek samping seperti gejala
gastrointestinal, anoreksia, atau malaise, pada saat terapi.24, 25

23
Tabel 6. Gejala yang sering timbul pada anak dengan terapi ITBL dan strategi untuk menghadapinya18

Gejala Penyebab yang mungkin Strategi


Nyeri abdomen segera setelah Mengkonsumsi INH sebelum Memberitahu keluarga/orang
mengkonsumsi obat makan menyebabkan iritasi tua untuk memberikan obat
lambung setelah makan
Nyeri abdomen beberapa jam Kemungkinan efek Hentikan pengobatan segera
setelah mengkonsumsi obat hepatotoksik dan kembali ke dokter untuk
atau nyeri abdomen dengan evaluasi ulang
muntah, icterus, atau gejala lain
Diare berhubungan dengan INH Sediaan suspensi INH berdasar Merubah sediaan ke tablet
sorbitol, menyebabkan diare (digerus dan dicampurkan ke
osmotik makanan)
Kebas/kesemutan di INH menybabkan defisiensi Memberikan suplemen B6 pada
tangan/kaki piridoksin (vitamin B6) dan kelompok:
menyebabkan neuropati perifer - Bayi dengan ASI eksklusif
- Remaja
- Infeksi HIV
- Anak dengan risiko
malnutrisi atau malabsorpsi
Nyeri sendi Pirazinamid dapat Periksa kadar asam urat,
meningkatkan kadar asam urat hentikan pirazinamid dan
dalam darah pertimbangkan regimen lain

Ruam Disebabkan oleh pirazinamid Strategi bergantung pada luas


dan ciri ruam. Apabila ruam
urtikaria atau disertai wheezing
atau angioedema harus
dihentikan segera
pengobatannya

Infeksi lain Infeksi lazim pada anak Ingatkan keluarga bahwa


pengobatan TB hanya
membunuh bakteri TB dan
tidak mencangkup infeksi lain.
Edukasi bahwa anak masih
boleh mendapatkan antibiotic
lain atau obat antiviral dengan
OAT.

Sakit kepala Tidak spesifik, secara Jelaskan pada keluarga bahwa


tradisional tidak berhubungan pada anak-anak kepala
dengan OAT lini pertama merupakan salah satu lokasi
manapun yang normal untuk timbul nyeri
setelah melakukan pemeriksaan
dan memastikan tidak ada tanda
bahaya

24
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 3% anak mengalami peningkatan enzim hati
tanpa gejala. Pada kejadian seperti ini, tidak perlu dilakukan modifikasi terapi. Peningkatan
enzim fungsi hati >3 kali lipat dari batas atas nilai normal dengan gejala efek samping atau >5
kali lipat dari batas atas nilai normal tanpa gejala menandakan adanya hepatotoksisitas dan
regimen pengobatan harus di modifikasi. Hepatotoksisitas dapat berupa peningkatan
transaminase saja hingga hyperbilirubinemia atau gagal hati.25 Isoniazid dapat menyebabkan
hepatotoksisitas, neuropati perifer, gangangguan gastrointestinal, dan ruam. Rifampicin dan
rifapentine seringkali menyebabkan gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam, dan
trombositopenia. Sedangkan pirazinamid dapat menyebabkan ruam, hepatotoksisitas, dan nyeri
sendi.25

25
BAB III
KESIMPULAN

Definisi dari infeksi tuberkulosis laten atau ITBL adalah adanya infeksi oleh MTB tetapi tanpa
tanda-tanda penyakit TB aktif dan tidak merasa sakit. Meskipun tidak sakit, ITBL dapat
menjadi TB aktif jika tidak ditangani dengan baik. Risiko progresi ITBL menjadi sakit TB lebih
tinggi pada anak di bawah 5 tahun karena sistem imun yang belum matang. Mereka juga lebih
rentan menderita TB berat yang meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, Risiko
tertinggi terjadinya progresi dari ITBL menjadi sakit TB adalah selama 6 bulan – 1 tahun
pertama setelah infeksi.
Secara klinis, infeksi TB pada anak jarang sekali menimbulkan gejala, tetapi penting
untuk didiagnosa dan diterapi secepat mungkin agar tidak menjadi sakit TB. Seorang anak
disarankan dilakukan pemeriksaan uji tuberkulin atau IGRA segera apabila terdapat kontak
dengan individu yang dipastikan atau diduga menularkan TB. Masa kontak 15-20 menit dengan
orang dewasa yang positif TB cukup untuk menularkan bakteri TB pada anak. Diagnosa ITBL
dapat ditegakkan apabila pada uji tuberkulin terdapat indurasi ³10mm atau IGRA.
Terdapat berbagai regimen untuk terapi ITBL, dengan satu jenis obat atau dua jenis
obat. Tetapi di Indonesia regimen yang paling sering digunakan adalah Isoniazid dengan dosis
10mg/kgBB/hari selama 6 hingga 9 bulan atas dasar pertimbangan efek samping dan
ketersediaan obat.
Namun orang awam seringkali tidak memahami maksud preventif dari pengobatan
ITBL. Berbagai masalah sering timbul dalam menginisasi terapi dan menyelesaikan terapi. Hal
ini dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan, kekhawatiran mengenai efek samping obat,
dan durasi pengobatan yang lama menurunkan angka kepatuhan. Masalah ini dapat diatasi
dengan memberikan edukasi kepada orang tua mengenai apa itu ITBL, bahayanya jika tidak
diobati, dan mengurangi kekhawatiran orang tua dengan menjelaskan bahwa risiko terjadinya
efek samping kecil. Dari sisi tenaga medis juga dapat mengurangi kekhawatiran orang tua
dengan memberikan orang tua akses untuk dapat bertanya.
Dengan cara-cara ini, diharapkan angka penderita TB aktif di Indonesia akibat
reaktivasi TB laten dapat diturunkan sehingga mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
khususnya pada populasi anak.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI: Rekomendasi diagnosis dan tatalaksana infeksi laten tuberkulosis pada anak. IDAI

2. Triasih R, Robertson CF, Duke T, Graham SM. A prospective evaluation of the symptom-based screening
approach to the management of children who are contacts of tuberculosis cases. Clin Infect Dis. 2015;60:p12-
8.

3. Graham S. LTBI management for children: where are the gaps? In: Technical consultation on the
programmatic management of LTBI. Seoul: International union against tuberculosis and lung disease.
2017:p1-35.

4. Latent tuberculosis infection (LTBI). Geneva: WHO; [updated 2019 January 12]. Avaialble from:
https://www.who.int/tb/areas-of-work/preventive-care/ltbi_faqs/en/

5. Kronman MP, Marshall SG, Ong T, Striegl A, Vora SB. Tuberculosis. In: Marcdante K, Kliegman R, editors.
Nelson essentials of pediatrics. 8th ed. Philadelphia: Elsevier. 2018. p1176-1187.

6. Kartasasmita CB. Epidemiologi tuberkulosis. Sari pediatri 2009;11:p124-9.

7. Indah M. Tuberkulosis. In: Kurniasih M, editor. Infodatin tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI; 2018. p3-8.

8. Caroll KC. Mycobacteria. In: Weitz M, Naglieri C, editors. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical
Microbiology, 26th ed. New York: McGraw-Hill. 2013. p313-326.

9. Brashers VL, Huether SE. Alterations in pulmonary function. In: McCance KL, Huether SE, editors.
Pathophysiology: the biologic basis for disease in adults and children, 7th ed. Missouri: Elsevier. 2014. p
1273-4.

10. Schluger NW, Rom WN. The host immune response to tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med.
1998;157:p679-691.

11. Newton SM, Brent AJ, Anderson S, Whittaker E, Kampmann B. Pediatric tuberculosis. Lancet Infect Dis.
2008;8:p498-510.

12. Wolf AJ, Desvignes L, Linas B, Banaiee N, Tamura T, Takatsu K, et al. Initiation of the adaptive immune
response to mycobacterium tuberculosis depends on antigen production in the local lymph node, not lungs.
Journal of Experimental Medicine. 2008;205:p105-115.

13. Dutta NK, Karakousis PC. Latent tuberculosis infection: myths, models, and molecular mechanisms.
Microbiology and Molecular Biology Reviews. 2014;78:p343-371.

14. Soedarmo SSP, Rampengan TH, Hadinegoro SRS, Ismoedijanto, Darmowandoyo W, Pasaribu S, et al.
Tuberkulosis. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, editors.
Pedoman pelayanan medis Jakarta: IDAI. 2009: p 323 – 328.

15. O’Garra A, Redford PS, McNab FW, Bloom CI, Wilkinson RJ, Berry MPR. The immune response in
tuberculosis. Annu Rev Immunol. 2013;31:p475-527.

16. Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatrics in Review. 2010;31:p13-26.

17. Pai M, Denkinger CM, Kik SV, Rangaka MX, Zwerling A, Oxlade O, et al. Gamma interferon release assays
for detection of mycobacterium tuberculosis infection. Clinical Biology Reviews. 2014;27:p3-20.

18. Adilistya T. Manfaat pemeriksaan interferon-gamma release assay untuk diagnosis tuberkulosis di Indonesia.
CDK. 2016;43:p545-550.

27
19. Audrey T. Peran IGRA dalam mendiagnosa tuberkulosis laten. Jakarta: AloMedika; [updated 2018
September 16]. Available from: https://www.alomedika.com/peran-igra-dalam-mendiagnosa-tuberkulosis-
laten

20. Concepcion NDP, Laya BF, Andronikou S, Daltro PAN, Sanchez MO, Austine J, et al. Standardized
radiographic interpretation of thoracic tuberculosis in children. Pediatr Radiol. 2017;47:p1237-1248.

21. Roya-Pabon CL, Perez-Velez CM. Tuberculosis exposure, infection and disease in children: a systemic
diagnostic approach. Pneumonia: 2016;8:p23-41.

22. Carvalho I, Goletti D, Manga S. Silva DR, Manissero D, Migliori D. Managing latent tuberculosis infection
and tuberculosis in children. Pulmonology. 2018;24:p106-114.

23. Graham S, Grzemska M, Hill S, Kedia T, Wong N. Treatment of TB in children. In: Brands A, Graham S,
Grzemska, editors. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in
children, 2nd ed. Geneva: WHO. 2014. p 33-38.

24. Aung ST, Cedillos R, Chaisson R, Padmapriyadarsini C, Chesire L, Durovni B, et al. In: Dadu A, Doherty
M, Falzon D, editors. Latent tuberculosis infection: updated and consolidated guidelines for programmatic
management. Geneva: WHO. 2018. p 23-6.

25. Cruz AT. Ahmed A, Mandalakas AM, Starke JR. Treatment of latent tuberculosis infection in children. Ped
Infect Dis. 2013;2:p248-258.

26. Depkes RI. Berobat gratis, pasien TB bisa sembuh asal patuh. Depkes RI. 2012. [cited 2019 March 3].
Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/2145/berobat-gratis-pasien-tb-bisa-sembuh-asal-
patuh-.html

27. Rizky G. BPJS Tanggung biaya seluruh pengobatan TB. KalPos. 2017 [cited 2019 March 3]. Available from:
http://kaltim.prokal.co/read/news/295396-bpjs-tanggung-biaya-seluruh-pengobatan-tb.html

28

Anda mungkin juga menyukai