Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Infeksi tuberkulosis laten (ITBL) adalah keadaan dimana seseorang

terdapat bakteri M. tuberkulosis namun tidak menimbulkan tanda dan gejala

dimana saat dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto toraks dalam

keadaan normal dan tidak menimbulkan gejala di luar paru seperti tulang, ginjal,

mata, jantung, dan hati namun apabila pemeriksaan antibodi terhadap M.

tuberkulosis dilakukan dapat ditemukan hasil positif yaitu dengan menggunakan

pemeriksaan uji tuberkulin atau interferon gamma release assay (IGRA) (CDC,

2013).

2.2. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri aerobik berbentuk batang

lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini

berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding Mycobacterium

tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).

Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis ialah asam mikolat, lilin

kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan

mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat

merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan

fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah

polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang

kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat

3
4

tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya

penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol (Getahun, 2015).

Manusia adalah satu-satunya reservoir bagi Mycobacterium tuberculosis.

Bakteri ini menyebar melalui udara tepatnya melalui droplets dari manusia yang

terinfeksi. Droplet ini berukuran 1-5πm, dimana satu kali batuk dapat

menghasilkan 3000 droplet, dimana hanya 10 bacil yang diperlukan untuk

menginisiasi infeksi (Getahun, 2015).

2.3. Epidemiologi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius dengan angka kematian tinggi di

dunia. Tuberculosis menempati peringkat 5 besar penyakit dengan angka

kematian tinggi pada wanita dengan umur 15-44 tahun. Pada tahun 2014, 9,6 juta

juta orang terjangkit penyakit tuberkulosis dan 1,5 juta orang meninggal

karenanya. Sebanyak 95% kasus TB ditemukan di negara miskin hingga negara

berkembang (WHO, 2015). TB menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab

kematian tertingi di Indonesia. Prevalensi TBC secara pasti belum diketahui,

asumsi prevalensi BTA (+) di Indonesia adalah 130/100000 penduduk.

Rendahnya angka kesembuhan dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor

penderita, petugas, ketersediaan obat, lingkungan, PMO, serta virulensi dan

jumlah kuman (Widoyono, 2011).

Menurut WHO pada tahun 2014 terdapat 2 – 3 milyar orang yang

terinfeksi oleh bakteri Mycrobacterium tuberkulosis, ini berarti bakteri M.

tuberkulosis sudah ada di dalam tubuh manusia namun belum menimbulkan

gejala dan pada hampir 5-10% akan berkembang menjadi penyakit yang
5

menimbulkan gejala dengan mayoritas berkembang menjadi TB aktif dalam 5

tahun setelah infeksi pertama. Penyakit ini memerlukan perhatian khusus karena

penyebarannya yang mudah dan menyerang sistem pernapasan . Sekitar 9-10 juta

orang menderita TB dan sekitar 2,6 juta penderita meninggal oleh penyakit TB ini

(WHO, 2014).

Dengan jumlah 2-3 milyar orang terinfeksi penyakit TB, WHO

memberikan perhatian khusus agar permasalahan ini dapat di tangani dengan baik

sehingga infeksi TB laten ini tidak berkembang menjadi TB aktif yang di

kuatirkan bila tidak di tangani dengan baik akan membuat penyebaran TB

menjadi sangat pesat. Target WHO pada tahun 2050 adalah tingkat kematian,

penderitaan dan penyebaran TB berubah menjadi nol atau penurunan yang

signifikan yaitu 1 kasus per 1 juta penduduk pertahun (WHO, 2015).

Infeksi TB laten atau yang sering di sebut dengan fase “tidur“ ini tidak

dapat ditularkan kepada individu yang lain namun pada saat daya tahan tubuh

menjadi lemah bakteri yang sedang dalam fase “tidur” ini akan menjadi fase

“bangun” atau aktif dan dapat menyebarkan bakteri M.tuberculosis (American

Thoracic Society, 2000). WHO memberikan strategi untuk profilaksis TB latent

diantara nya adalah isoniazid dan rifampisin, di Indonesia sendiri isoniazid yang

di konsumsi selama 6 bulan menjadi lini pertama dalam pencegahan yang

dikarenakan beberapa faktor (Ahmad, 2010).

Sekitar 50-70% individu yang terpajan M.tuberculosis diperkirakan dapat

mengatasi infeksi TB nya melalui mekanisme imun bawaan atau adaptif. Sisanya

30-50% akan menjadi TB aktif dan ITBL dengan proporsi 5% menjadi TB aktif
6

dan 95% menjadi ITBL. Berbagai data mengungkapkan 2-15% ITBL dapat

berkembang menjadi TB aktif (PDPI, 2016).

2.4. Faktor Risiko

Kelompok resiko terinfeksi TB atau ITBL (PDPI, 2016):

 Kontak erat dengan pasien TB aktif atau suspek TB

 Berada pada tempat dengan resiko tinggi untuk terinfeksi

tuberkulosis (misalnya, lembaga oermasyarakatan, fasilitas

perawatan jangka panjang, dan tempat penampungan tunawisma)

 Pertugas kesehatan yang melayani pasien tuberkulosis

 Bayi, anak-anak, dan dewasa muda terpajan orang dewasa yang

beresiko tinggi terinfeksi TB aktif.

Kelompok resiko tinggi ITBL menjadi TB aktif (PDPI, 2016):

 Infeksi HIV

 Bayi dan anak usia <5 tahun

 Pasien yang mendapat pengobatan immunoterapi misal Tumor

Necrosis Factor-alfa (TNF alfa) antagonis, kortikosteroid sistemik,

terapi immunosupresi pada transplantasi organ

 Individu dengan riwayat terinfeksi tuberkulosis pada 2 tahun

terakhir

 Individu tidak pernah mendapatkan pengobatan TB tetapi pada foto

toraks ada fibrotik

Pasien diabetes, silikosis, gagal ginjal kronik, leukimia, limfoma atau

kanker kepala, leher atau paru.


7

2.5. Patogenesis

Patogenesis terjadinya infeksi TB dimulai dari masuknya Mycobacterium

tuberculosis yang terdapat dalam percik renik, karena ukurannya sangat kecil (<5

μm) maka bakteri tersebut dapat mencapai alveolus. Selanjutnya terjadi proses

fagositosis oleh makrofag, sebagian bakteri akan mati sedangkan sebagian lagi

akan terus berkembang biak dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis

makrofag. Setelah itu Mycobacterium tuberculosis membentuk lesi disebut fokus

primer atau Ghon. Dari fokus primer, Mycobacterium tuberculosis menyebar

melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini

menyebabkan terjadinya inflamasi pada saluran limfe (limfangitis), dan di

kelenjar limfe (limfadenitis). Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan

limfadenitis dinamakan kompleks primer. Pada saat terbentuknya kompleks

primer akan terbentuk imunitas seluler dan dinyatakan infeksi primer telah terjadi

(PDPI, 2016).

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuk imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Penyebaran hematogen yang paling sering

terjadi adalah penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).

Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit

sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian bersarang pada

berbagai organ tubuh dengan vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,

limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ

lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lainlain. Pada umumnya, kuman disarang

tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang). Sarang di apeks paru disebut
8

dengan fokus Simon, yang kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi

TB apeks paru saat dewasa (Rahajoe, 2008).

Gambar 1. Progresivitas infeksi TB pada orang yang kontak dengan droplet


mengandung M. tuberculosis (Ahmad, 2010)

Secara imunopatogenesis, setelah terinhalasi di paru, kuman TB

mempunyai beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, respon imun awal

penjamu secara efektif membunuh semua kuman TB, sehingga TB tidak terjadi.

Kedua segera setelah infeksi terjadi multiplikasi, pertumbuhan kuman TB dan

muncul manisfestasi klinis, yang dikenal sebagai TB primer. Ketiga, kuman TB

dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten (ITBL) dengan uji tuberkulin positif
9

sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman TB laten pada suatu saat dapat

menjadi aktif ketika terjadi penurunan imunitas tubuh (PDPI, 2016).

2.6. Diagnosis

Pada pasien ITBL tidak terdapat gejala klinis. Manifestasi klinis akan

timbul jika terjadi reaktivasi dari kuman TB. Manifestasi klinis pada reaktivasi

TB laten sama dengan TB paru atau TB ekstra paru sesuai lokasi reaktivasi

kuman TB. Diagnosis TB laten ditegakkan berdasarkan uji tuberculin atau tes

IGRA. Berikut perbedaan ITBL dan TB aktif (PDPI, 2016):

Gambar 2. Perbedaan ITBL dan TB aktif (PDPI, 2016)

Uji tuberkulin merupakan pengukuran imunitas seluler delayed type

hypersensitivity (DTH) terhadap purified protein derivate (PPD) tuberkulin yang


10

merupakan antigen berbagai mikrobakteria termasuk M tb, BCG tb, dan lainnya.

Hal ini menyebabkan uji tuberculin rendah spesifisitasnya di daerah yang

vaksinasi BCG nya tinggi dan infeksi mikobakterium selain M. tuberculosis.

Pengukuran reaksi tuberculin pada manusia dilakukan dengan mengukur diameter

indurasi yang terjadi pada kulit 48-72 jam setelah penyuntikan antigen. Uji

tuberculin dilakukan dengan menyuntukkan intradermal 0,1 ml PPD 5 TU dengan

teknik Mantoux. Selanjutnya pembacaan hasil uji tuberculin dilakukan dalam 48-

72 jam (CDC, 2013).

Hasil tes tuberkulin negatif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut

tidak terinfeksi dengan basil TB. Selain itu dapat juga karena terjadi pada saat

kurang dari 10 minggu sebelum imunologi seseorang terhadap basil TB

terbentuk. Jika terjadi hasil yang negatif maka tes tuberkulin dapat diulang 3

bulan setelah suntikan pertama. Hasil tes tuberkulin yang positif dapat diartikan

sebagai orang tersebut sedang terinfeksi basil TB. Menurut guideline ACHA (The

American College Helath Association) menyebutkan jika hasil tes tuberkulin

positif maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan foto thoraks dan

pemeriksaan dahak. Jika hasil foto thoraks normal dilakukan pemberian terapi TB

laten, tetapi jika hasil foto thoraks terjadi kelainan dan menunjukkan ke arah TB

maka digolongkan ke dalam TB paru aktif (Kenyorini et al, 2006).

Reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap tuberkulin PPD juga

mengindikasikan adanya infeksi berbagai nontuberculosis mycobacteria atau

vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) hal ini merupakan penyebab positif

palsu pada tes kulit tuberkulin. Reaksi positif yang ditimbulkan oleh vaksinasi
11

BCG dapat beberapa tahun tetapi biasanya reaksi lebih lemah dan sering

berdiameter kurang dari 10 mm (Kenyorini et al, 2006).

Pemeriksaan IGRA digunakan untuk menentukan ITBL dengan mengukur

respons imun terhadap protein TB dalam darah. Specimen dicampur dengan

peptide untuk menstimulasi antigen dati M.tuberculosis dibandingkan dengan

control. Pada orang yang terinfeksi TB sel darah putih akan mengenali antigen

yang terstimulasi sehingga mengeluarkan IFN gamma. Hasil IFGRA adalah

bersasarkan jumlah IFN gamma yang dikeluarkan (Suhail, 2011).

Interpretasi pada pemeriksaan IGRA menggunakan purified antigens

M.tuberculosis untuk menstimulasi limfosit darah perifer memproduksi IFN

gamma. Interpretasi hasil pemerisaan IGRA Quantiferon (QFT) berdasarkan

jumlah IFN gamma yang dikeluarkan menggunakan ELISA. Pada T-SPOT TB

menghitung jumlah sel yang mengeluarkan IFN gamma menggunakan ELISPOT

(Suhail, 2011).

Keuntungan Keterbatasan
Alat diagnosis ITLB Darah harus diproses dalam 8-
30 jam setelah diambil
Uji spesifik terhadap M.tuberculosis Belum banyak data tentang
reactive t-cells IGRA pada anak dibawah 5
tahun, pasien bekas TB, orang
yang pernah dilakukan
pemeriksaan IGRA
Tidak dipengaruhi vaksin BCG
Lebih jarang dipengaruhi oleh infeksi
non tuberculosis mycobacterium (ntm)
Hanya membutuhkan 1x kunjungan
Tidak menyebabkan fenomena booster
Hasil interpretasi tidak dipengaruhi
persepsi petugas kesehatan
Hasil didapatkan dalam 24 jam
Tabel 2. Keuntungan dan Keterbatasan Pemeriksaan IGRAs (WHO, 2015)
12

Gambar 3. Alur Diagonisis ITBL (WHO, 2015)

Dalam diagnosis ITBL beberapa hal khusus perlu diperhatikan untuk

menentukan jenis pemeriksaan, interpretasi hasil pemeriksaan dan pengobatan

ITBL, meliputi (CDC, 2013) :

1. Vaksinasi BCG pada Negara endemik TB

BCG akan menimbulkan reaksi silang terhadap uji tuberculin tetapi

seiring jarak reaksi ini akan hilang. Uji tuberculin yang diulang akan

memperlama reaktivasi uji tuberculin pada orang yang mendapat vaksinasi BCG

sehingga interpretasi uji tuberculin pada orang yang mendapat vaksinasi BCG
13

harus mempertimbangkan factor resiko infeksi TB. Pemeriksaan IGRA

menggunakan antigen M.tuberculosis spesifik sehingga tidak menimbulkan reaksi

silang dengan BCG dan tidak menimbulkan reaksi positif palsu pada pasien yang

mendapat vaksinasi BCG.

2. Infeksi HIV

Setiap penderita HIV harus segera diperiksa ITBL baik dengan uji

tuberculin maupun IGRA. Hasil negatif tidak selalu ada resiko ITBL karena

tergantung kondisi imunitas pasien saat pemeriksaan dilakukan sehingga

pemeriksaan uji tuberculin maupun IGRA perlu dilakukan rutin setiap tahun bila

hasil awal negative. Pemeriksaan ulang juga perlu dilakukan setelah pasien

mendapat ARV bila hasil sebelumnya negative, karena kondisi imunitas pasien

HIV akan membaik setelah pemberian ARV sehingga respons imun terhadap TB

juga membaik.

3. Fenomena Booster

Hasil pemeriksaan uji tuberculin dapat negatif pada individu yang

terinfeksi karena waktu infeksi sudah sangat lama, tetapi pemeriksaan uji

tuberculin akan menstimulasi reaksi terhadap uji tuberculin sehungga hasil

pemeriksaan uji tuberculin berikutnya akan positif yang disebut sebagai

fenomena booster. Kondisi seperti ini perlu digunakan metode 2 tahap, yaitu bila

hasil uji tuberculin pertama negatif, uji tuberculin harus diulang setelah 1-3

minggu. Jika hasil uji tuberculin kedua positif maka interpretasi hasil uji

tuberculin adalah positif atau ITBL dan dilakukan tata laksana yang sesuai. Bila

kedua hasil negative maka interpretasi uji tuberculin adalah negative.


14

4. Kontak dengan pasien TB

Individu yang kontak dengan pasien TB aktif yang menular (BTA positif)

dengan hasil pemeriksaan awal negatif harus diulang pemeriksaan 8-10 minggu

setelah kontak terakhir. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi infeksi karena saat uji

sebelumnya belum terdeteksi. Pada anak <5 tahun dan individu

imunokompromais yang kontak dengan penderita TB yang menular, dengan hasil

pemeriksaan IGRA atau uji tuberculin negative harus dilakukan pemeriksaan foto

toraks. Bila hasil foto toraks normal maka berikan obat untuk ITBL dan lakukan

pemeriksaan ITBL 8-10 minggu setelah kontak. Jika hasil pemeriksaan kedua

adalah positif maka pengobatan ITBL dilanjutkan. Bila hasil pemeriksaan

negative pengibatan dapat dihentikan.

5. Kehamilan

Uji tuberkulin aman dan dapat digunakan untuk perempuan hamil, tetapi

lakukan hanya bila pasien memiliki resiko menderita ITBL atau ada kemungkinan

ITBL menjadi TB aktif. Bila hasil positif pasien harus menjalani pemeriksaan

foto toraks dengan pengaman (apron) dan pemeriksaan mikrobiologi lain untuk

membuktikan bukan TB aktif.

2.7. Tatalaksana

Pilihan pengobatan yang direkomendasikan ITBL yaitu (Suhail, 2011):

 Isoniazid selama 6 bulan

 Isoniazid selama 9 bulan

 Isoniazid dan Rifapentine (RPT) sekali seminggu selama 3 bulan

 3-4 bulan Isoniazid dan Rifampisin


15

 3-4 bulan Rifampisin

Evaluasi WHO , menunjukkan hasil pengobatan ITBL yang tidak berbeda

antara INH 6 bulan atau 9 bulan, dibandingkan dnegan regimen RPT dan INH

selama 3 bulan. WHO tidak menetapkan regimen yang digunakan karena terdapat

persamaan hasil pengobatan INH-R selama 3-4 bulan dan R selama 3-4 bulan

sebagai pilihan alternative terhadap INH 6 bulan.

Dosis
Obat Lama Dosis Frekuensi
total

Isoniazid 9 bulan Dewasa = 5 mg/kg Tiap hari 270


(INH) Anak = 10-20 mg/kg
Dosis maksimal = 300 mg
Dewasa = 15 mg/kg 2x/minggu 76
Anak = 20-40 mg/kg
Dosis maksimal = 900 mg

6 bulan Dewasa = 5 mg/kg Tiap hari 180


Anak = tidak
direkomendasikan
Dosis maksimal = 900 mg
Dewasa = 15 mg/kg 2x/minggu
Anak = tidak
direkomendasikan

Isoniazid 3 bulan Dewasa dan anak usia ≥ 12


(INH) dan tahun:
Rifapentine  INH: dapat dibulatkan
(RPT) sampai dengan hampir 50
mg atau 100 mg, maks
900 mg: 15 mg/kg
 RPT :
- 10.0-14.0 kg = 300 mg
- 14.1-25.0 kg = 450 mg
- 25.1-32.0 kg = 750 mg
- ≥ 50.0 kg = max. 900 mg

Rifampisin Dewasa = 10 mg/kg Tiap hari 120


(R) Dosis maksimal = 600 mg
16

Evaluasi selama pemberian obat profilaksis

Setiap pasien yang memulai pengobatan pencegahan harus mendapat

edukasi yang cukup meliputi (CDC, 2013) :

1. Dosis obat

2. Tanda dan gejala efek samping dari masing-masing obat yang paling

sering terjadi dan paling mengancam jiwa serta kapan pengobatan harus

dihentikan atau bila evaluasi klinis diperlukan

3. Hentikan pengobatan sesegera mungkin dan datang ke dokter jika tanda

atau gejala berikut muncul:

a. Hilangnya nafsu makan tanpa sebab yang jelas (anoreksia)

b. Nausea atau muntah

c. Urin berwarna gelap dan atau ikterik

d. Ruam kulit yang luas

e. Parestesi yang persisten di tangan atau kaki

f. Lelah yang persisten, kelemahan atau demam yang berlangsung

selama 3 hari atau lebih

g. Nyeri abdomen (terutama di kuadran kanan atas)

h. Mudah lebam atau perdarahan

i. Arthralgia atau gejala seperti flu yang terkait dengan pengobatan

4. Menghubungi dokter dan segera menghentikan pengobatan jika dokter

tidak dapat dihubungi kerika mengalami efek samoing atau kesakitan

yang tidak dapat dijelaskan


17

5. Rencana pengawasan pengobatan yang meliputi penilaian bulanan ntuk

kepatuhan, efek samping, dan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan-

pertanyaan lainnya.

Risiko resistensi pada penatalaksanaan ITBL

Prevalens mutasi berhubungan dengan rerata mutasi dan jumlah populasi

bakteri. Bila populasi bakteri tinggi maka kemungkinan mutan resisten akan

meningkat. Pada ITBL jumlah bakteri sangat sedikit sehingga kemungkinan

terjadinya spontan sangat minimal. Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada

bukti bahwa penggunaan INH untuk profilaksis meningkatkan resistensi

(Caminero, 2013).

Anda mungkin juga menyukai