Anda di halaman 1dari 58

REFERAT Mei , 2021

PENYAKIT JAMUR SISTEMIK

Disusun Oleh :

Dhea Rizkhytha
N 111 20 076

PEMBIMBING KLINIK
dr. Asrawati Sofyan, Sp.KK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK
KEGIATAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
BAB I
PENDAHULLUAN

Kesehatan kulit yang tidak terjaga dapat menimbulkan berbagai macam


penyakit kulit sehingga perlu menjaga kesehatan kulit agar terhindar dari
penyakit kulit sehingga tidak mengganggu penamilan dan aktifitas orang tersebut.
Pada negara beriklim tropis seperti Indonesia, penyakit kulit salah satu yang
sering dijumpai. Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 menunjukkan
bahwa penyakit kulit menempati peringkat ketiga dari sepuluh penyakit
terbanyak yang mengakiatkan kejadian penyakit kulit di Indonesia masih
tergolong tinggi dan menjadi permasalahan berarti. Kurangnya kesadaran dan
ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan menyebabkan penularan yang
semakin cepat. Faktor lingkungan, kebiasaan sehari-hari yang buruk, perubahan
iklim, bakteri, jamur, virus, daya tahan tubuh, alergi, dan lain-lain merupakan
faktor penyebab berbagai penyakit kulit.(1)
Mikroorganisme penyebab terjadinya penyakit infeksi antara lain adalah
jamur, parasit, virus, dan bakteri. Agen infeksi dikenal sebagai mikroba yang
berenang seharian di seluruh tubuh kita. Mikroba berada di mulut, tenggorokan,
gusi, saluran hidung, gastroinstentinal, dan mikroorganisme lainnya. Misalnya
bakteri, virus, jamur menjadi bagian dari setiap manusia berupa makanan dan
bahan kimia. Beberapa kematian disebabkan oleh adanya infeksi. Hanya sel
jaringan sehat dan organ dalam tubuh kita yang dapat secara efektif
mempertahankan diri terhadap mikroorganisme menular. Mikroba, baik berupa
bakteri, virus atau jamur, biasanya tidak menimbulkan penyakit sampai
perlawanan dari tubuh menurun.
Infeksi jamur merupakan kelainan yang sering terjadi pada manusia.
Keadaan ini diperkirakan terutama sebagai akibat adanya penggunaan obat-
obatan dan penyakit lain yang menyebabkan timbulnya keadaan imunosupresif di
negara berkembang dan sedang berkembang. Lingkungan panas dengan
kelembaban yang tinggi pada daerah tropis dan subtropis menyebabkan
kandidiasis merupakan salah satu infeksi jamur yang sering ditemukan.
Infeksi jamur pada kulit, rambut, dan kuku adalah masalah infeksi paling
sering ditemukan. Infeksi jamur, atau disebut mikosis, dapat dibagi menjadi
mikosis superfisialis, subkutan, dan sistemik. Mikosis superfisialis menyerang
kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot dan jaringan ikat
dibawah kulit, sedangkan mikosis sistemik merupakan penyebaran infeksi jamur
secara hematogen termasuk patogen oportunisik pada pasien imunokompromais.
Mikosis sistemik merupakan infeksi jamur yang pintu awal masuk ke
tubuh biasanya pada lokasi yang dalam seperti paru-paru,, saluran pencernaan,
atau sinus paranasalis. Jamur ini dapat menyebar melalui aliran darah sehingga
menimbulkan infeksi yang menyeluruh. Pada prinsipnya ada dua va infeksi yang
menyeluruh. Pada prinsipnya ada dua variasi utama dari mikosis sistemik :
mikosis oportunistik dan mikosis respirasi endemik. Mikosis sistemik
oportunistik yang paling banyak ditemukan pada manusia adalah kandidiasis
sistemik atau profunda, aspergilosis, dan zygomikosis sistemik.
Mikosis-mikosis ini menyerang pasien-pasien yang dilatarbelakangi oleh
penyakit yang berat, seperti keadaan AIDS, neutrofeni oleh karena karena
keganasan, transplantasi organ padat, atau pembedahan yang luas. Saat terapi
kombinasi antiretrovirus digunakan, insiden mikosis sistemik pada pasien yang
terinfeksi Human terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menurun
secara signifikan. Pada pasien-pasien neutrofeni, jamur-jamur lain terkadang juga
dapat menyebabkan infeksi. Secara umum, sebagian besar infeksi oportunistik ini
jarang melibatkan kulit, meskipun infeksi dapat terjadi pada lingkungan dan
cuaca apapun. Manifestasi klinis dari mikosis oportunistik juga bervariasi karena
tergantung pada lokasi masuknya organisme dan penyakit yang
melatarbelakanginya. Mikosis respirasi endemik antara lain Histoplasmosis ( tipe
klasik dan afrika), blastomycosis, coccidioidomycosis, paracoccidioidomycosis
dan infeksi yang disebabkan oleh Penicillium marneffei. Manifestasi klinis dari
infkksi-infeksi ini dipengaruhi oleh Status imun yang melatarbelakanginya dan
banyak didapatkan pada kondisi imunodefisiensi,terutama AIDS. Meskipun
demikian, mereka mempunyai pola klinis yang mirip pada semua infeksi. Infeksi-
infeksi ini juga dapat menyerang individu yang sehat. Infeksi mempunyai area
endemik yang berbatas jelas yang ditentukan oleh faktor-faktor yang mendukung
daya hidup organisme penyebab di lingkungan, seperti cuaca. Rute infeksi yang
sering adalah melalui paru-paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sporotrikosis

a) Etiologi

Sporotrikosis adalah infeksi kronik jamur subkutan atau sistemik


yang disebabkan oleh Sporothrix schenckii. Tanda-tanda infeksi
termasuk nodul subkutan supuratif yang berkembang secara proksimal
sepanjang aliran limfatik (limfokutaneus sporotrikosis). Infeksi paru
primer (sporotrikosis pulmonal) atau inokulasi langsung ke dalam
tendon /otot jarang terjadi.Sporotrikosis osteoartikular muncul dari
inokulasi langsung atau secara hematogen. Penyebaran infeksi yang
muncul dengan penyebaran lesi kutan multipel tanpa keterlibatan organ
limfa yang jelas dan keterlibatan beberapa organ dapat sering ditemui
pada pasien dengan AIDS.

Telah disebutkan di atas bahwa sporotrikosis disebabkan oleh


jamur Sporothrix schenkii, termasuk dalam genus Sporotrichum. jamur
ini memiliki 2 bentuk yaitu bentuk miselial dan bentuk ragi (yeast).
Bentuk miselial ditandai dengan adanya hifa ramping yang bersepta dan
bercabang yang mengandung konidiofor tipis yang pada ujungnya
membentuk vesikel kecil yang bergabung membentuk dentikel. Tiap
dentikel menghasilkan satu konidium dengan ukuran kira-kira 2-4m dan
konidia ini ini membentuk gambaran seperti bunga. Sedangkan bentuk
ragi dari jamur Sporothrix schenkii menunjukkan bentuk spindle
dan/atau oval dengan ukuran 2,5-5m dan menyerupai bentuk cerutu.
Biakan secara in vitro dapat menunjukkan gambaran miselial pada suhu
25 C, sedangkan gambaran ragi dapat ditemukan pada biakan dengan
temperatur 37 C.
b) Epidemiologi

Infeksi sporotrikosis terjadi pada negar-negara beriklim sedang


dan tropis. Sporotrikosis dapat ditemukan di negara Amerika Utara,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, termasuk juga Amerika Serikat
bagian selatan dan Meksiko, juga di negara Afrika, Mesir, Jepang, dan
Australia. Negara dengan rasio infeksi tertinggi antara lain: Meksiko,
Brazil, dan Afrika Selatan. Di Eropa, infeksi sporotrikosis ini sudah
jarang terjadi. Di alam, jamur ini tumbuh pada bagian tanaman yang
telah membusuk seperti tumpukan tumbuhan,daun dan batang tanaman
yang telah membusuk. Walaupun infeksi sporotrikosis ini biasanya
sporadis, Sporothrix schenkii juga menyerang para pekerja yang kontak
langsung dengan organisme ini seperti mereka yang menggunakan
jerami sebagai bahan penutup tubuh, tukang kebun, pekerja di hutan,
dan pelancong yang menyebabkan kontak dengan tumpukan tanaman
penginfeksi.

Organisme ini masuk ke dalam kulit sebagai luka setempat.


Sporotrikosis dapat menyerang semua usia dan jumlah penderita laki-
laki dan perempuan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.
Umumnya infeksi terjadi akibat inokulasi jamur melalui duri tanaman,
goresan, dan trauma kecil saat rekreasi ataupun saat bekerja seperti
berkebun, memancing, berburu, bertani dan beternak, menambang dan
memotong kayu. Selain itu, sporotrikosis juga berkaitan dangan cakaran
atau gigitan binatang. Sejak tahun 1984. kucing peliharaan memmegang
peranan yang penting terhadap transmisi mikosis ke manusia. Kasus
sporotrikosis yang disebabkan oleh hewan ini paling banyak terjadi di
Brazil, dimana anatara tahun1998 sampai 2004 didapatkan 1.503
kucing, 64 ekor anjing dan 759 manusia terinfeksi oleh jamur
Sporothrix schenkii. Isolasi jamur dari kuku dan rongga mulut kucing
semakin menguatkan bahwa transmisi dapat terjadi melalui cakaran
ataupun gigitan.
c) Patofisiologi

Sporotrikosis adalah infeksi kronis yag disebabkan Sporothrix


schenkii yang ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit
dan jaringan subkutis di atas nodus biasanya lunak dan pecah
membentuk ulkus yang indolen. Penyakit ini mempunyai insiden yang
cukup tinggi pada daerah tertentu. Umumnya ditemukan pada pekerja di
hutan maupun petani. Sporotrikosis sangat sering didapat dari inokulasi
kutaneus, terutama oleh vegetasi seperti duri dan kayu. Transmisi dari
hewan ke manusia jarang ditemukan. Inokulasi yang multiple
diperkirakan terjadi serentak. Hal ini dibingungkan dengan penyebaran
dari lesi primer yang tunggal. Gambaran dan rangkaian dari
sporotrikosis bergantung pada respon imun host serta ukuran dan
virulensi inokulum. Pada host yang sebelumnya tidak terinokulasi,
terjadi keterlibatan pembuluh limfe regional.

Dalam kasus dengan host yang pernah terpapar dengan


Sporothrix schenkii tidak terjadi penyebaran pembuluh limfe dan sebuah
fixed ulcer berada pada tempat inokulum atau plaque yang
granulomatous (terutama pada wajah). Pada awalnya, infeksi jamur ini
didapat melalui inokulasi kutaneus. Gambaran awal berupa kemerahan,
nekrotik, dan papul noduler dari sporotrikosis kutaneus biasanya muncul
pada minggu 1-10 setelah penetrasi luka di kulit. Lesi ini merupakan
granulomasupuratif yang mengandung histiosit dan giuant cells, dengan
netrofil yang mengumpul di tengah dan dikelilingi oleh limfosit dan sel
plasma. Infeksi dari jamur Sporothrix schenkii menyebar dari lesi awal
ke sepanjang saluran limfatik, membentuk rantai nodular yang indolen
dan lesi ulserasi khas dari limfokutaneus sporotrikosis. Jaringan lain
dapat terlibat melalui perluasan langsung dan melalui hematogen (lebih
jarang). Tempat infeksi ekstrakutaneus yang paling sering adalah tulang,
sendi, sarung tendon dan bursae. Penyebaran secara hematogen-
khususnya pada orang yang immunocompromised- menghasilkan
infeksi kutaneus dan visceral yang luas, termasuk meningitis.

d) Gambaran klinis

Sporotrikosis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu:


(1) limfokutaneus, (2) fixed cutaneus, (3) disseminated, dan (4)
ekstrakutaneus. Bentuk limfokutaneus adalah bentuk yang paling umum,
sekitar 75% dari seluruh kasus. Biasanya setelah masa inkubasi 1-10
minggu atau lebih, lesi berwarna ungu kemerahan, nekrotik, lesi nodular
kutaneus mengikuti jalur limfatik dan biasanya membentuk
ulserasi. Selain itu pada bentuk limfokutaneus tidak dijumpai adanya
gejala sistemik. Isolasi pada tempat lesi ini tumbuh baik pada temperatur
35 ºC dan 37 ºC.

Gambar 1. Sporotrikosis limfokutaneus, lesi ulserasi spenjang sistem limfe.

Pada bentuk  fixed cutaneous sporotrichosis, lesi primer


berkembang dari tempat implantasi jamur, biasanya pada tempat-tempat
yang sering terekpos seperti tungkai, tangan, dan jari. Umumnya pada
saat awal lesi berupa nodul yang tidak nyeri yang kemudian menjadi
lunak dan pecah menjadi ulkus dengan discharge yang serous.
Gambar 2. sporotrikosis kulit terfiksasi. Tampak plak berkerak/verrucous
berkembang di tempat inokulasi terlihat pada wajah. Sumber : (Mahajan, 2014)

Gambar 3. penampakan lesi nodululserstif muncul disepanjang limfatik


proksimal ke tempat cedera inokulasi awal. Sumber : (Mahajan, 2014)

Sporotrikosis sistemik ini jarang dijumpai dan lesi dapat


mengenai tulang, sendi, mukosa (mulut, hidung, mata), susunan saraf
pusat (meningen), ginjal, hati, usus dan genitalia.Nodul paru kronik
dengan kavitasi, artritis, dan meningitis merupakan yang tersering
dijumpai. Kondisi ini dapat juga disertai dengan kelainan kulit.
e) Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan reaksi radang


granulomatosa, sel langhans tipe raksasaasteroid bodies, dan mikroabses
piogenik.Organismenya sendiri jarang dan sulit ditemukan.Pada pasien
gangguan imun, jamur dapat berbentuk seperti rokok 1-3µm x 3-10 µm
jumlahnya banyak sekali.

Gambar 4. Sporotrkosis dengan pewarnaan haematoxylin dan eosin. Organisme


jarang ditemukan. A. Tampak asteroid bodies. B. jamur berbentuk rokok.

Gambar 5. koloni sporothrix schenckii pada sabouraud dextrose agar (SDA)


pada suhu 25℃. warna krem awal berubah menjadi coklat kehitaman saat
matang. Sumber : (Mahajan, 2014)
Gambar 6. (a) Sporothrix schenckii dari kultur di SDA pada suhu 25 ° C.
Terlihat di sini adalah percabangan halus, bentuk jamur dengan konidia
pyriform karateristik susunan mirip bunga atau pola mirip lengan (noda-
laktofenol katun biru x40). (b) Fase ragi isolat Sporothrix schenckii dari kultur
pada agar infus jantung otak pada suhu 37 ° C. Sel ragi tunas (panah tebal) dan
sel ragi berbentuk cerutu (panah tipis) diselingi di antara spora (noda Gram,
x100) terlihat di sini. Sumber : (Mahajan, 2014)

Pada pemeriksaan biakan sediaan diambil dari lesi atau bahan


eksudat dengan kuret atau biopsi dan dibiakkan dalam agar
sabouraud.Pada kultur primer, jamur tumbuh berupa koloni putih
kompak yang semakin gelap seiring waktu. Pemeriksaan mikroskopis
ditemukan hifa dengan konidia oval kecil atau triangular.

f) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sporotrikosis harus berdasarkan tipe dan keparahan


penyakitnya. Berdasarkan pedoman terbaru tahun 2007 yang
dikeluarkan oleh Infectious Disease of Sporotrikosis America (IDSA)
yaitu, pRekomendasi Pengobatan untuk

Sporotrichosis Diseminata (Sistemik):

1. Amfoterisin B, diberikan sebagai suatu formulasi lipid pada dosis


dari 3-5 mg/kg sehari, dianjurkan untuk pengobatan sporotrikosis
diseminata. Amfoterisin B deoxycholate,diberikan pada dosis 0,7-
1,0 mg/kg sehari, dapat juga digunakan tetapi tidak disukai oleh
peneliti.
2. Itrakonazol diberikan pada dosis 200 mg dua kalisehari dianjurkan
sebagai terapi lanjutan setelah pasien merespon terhadap pengobatan
awal dengan amfoterisin B dan harusdiberikan untuk menyelesaikan
total minimal 12 bulan terapi.

3. Kadar serum itrakonazol harus ditentukan setelah pasien menerima


agen ini setidaknya selama 2 pekan untuk memastikan paparan obat
yang memadai.

4. Seumur hidup terapi penekan dengan itrakonazol diberikan pada


dosis 200 mg sehari mungkin diperlukan pada pasien dengan AIDS
dan pasien imunosupresi lainnya jika imunosupresitidak dapat
disembuhkan.

B. Aspergillosis

a) Etiologi

Aspergillosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Jamur


Aspergillus. Aspergillosis merupakan sebuah spectrum dari penyakit
manusia dan binatang yang disebabkan oleh anggota dari genus
Aspergillus. Ini termasuk (1) mikotoksikosis karena menelan makanan
yang terkontaminasi; (2) alergi dan sekuele terhadap keberadaan konidia
atau pertumbuhan sementara dari organisme pada lubang-lubang tubuh;
(3) kolonisasi tanpa perluasan pada akvitas yang belum terbentuk dan
jaringan yang rusak; (invasive), (4) peradangan, granulomatosa, penyakit
“narcotizing” pada paru, dan organ-organ lain; dan jarang sekali (5)
sistemik dan penyakit diseminata yang mematikan. Jenis penyakit dan
beratnya bergantung pada status fisiologi dari hospes dan spesies
Aspergillus yang terlibat. Bronkopulmonari aspergillus alergik dapat
terjadi pada orang yang alergi terhadap Aspergillus. Pasien yang
mengalami bronkopulmonari aspergillosis alergik mengalami asma dan
diobati dengan prednisolon untuk mengobati bunyi nafas mengi, dan
antijamur (mis, itrakonazol dan amfoterizin) untuk mengobati infeksi.
Bentuk yang paling umum adalah alergi bronchopulmonary aspergillosis,
pulmonary aspergilloma dan invasif aspergillosis. Kebanyakan manusia
menghirup spora Aspergillus setiap hari, namun aspergillosis umumnya
hanya berkembang pada individu yang immunocompromised (imun
rendah), kebanyakan jenis jamur Aspergillus yang paling umum
menyerang adalah Aspergillus fumigatus berbentuk bola yang mengisi
kavitas. Terjadi reaksi imunologis terhadap proses ini. Pada umumnya
terdapat antibody pemicu (IgG) dan pada 50% kasus disertai hasil tes kulit
positif terhadap Aspergillus spp1,19.

Agen penyebab bersifat kosmopolitan dan diantaranya Aspergillus


fumigatus, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus nidulans dan
Aspergillus terreus. Aspergillosis merupakan infeksi opurtunistik, paling
sering terjadi pada paru-paru, dan disebabkan oleh spesies Aspergillus
yaitu Aspergillus fumigatus, jamur yang terutama ditemukan pada pupuk
kandang dan humus. Spora spesies ini dapat diisap masuk ke dalam paru-
paru dan menyebabkan infeksi kronik atau aspergillosis diseminata, jika
terjadi infeksi paru invasif oleh Aspergillus.

Gambar 7. beberapa papula pada makula eritematosa di daerah brachialis terasa


gatal di atasnya yang ditunjukkan oleh panah. Sumber : (Sheilaadji, M. 2021)

b) Epidemiologi
Hewan yang rentan terserang aspergillosis adalah unggas, kuda,
sapi, domba, babi, kucing, anjing, kelinci, kambing dan kera. Penularan
aspergillosis terjadi melalui udara, debu dan bahan ternak seperti pakan,
air minum dan lain- lain yang tercemar spora. Aspergillosis dapat bersifat
akut hingga kronik. Kematian terjadi dalam waktu 1-2 hari. Morbiditas
dan mortalitas pada anak ayam cukup tinggi. Kejadian aspergillosis pada
unggas di Indonesia pertama kali dilaporkan sekitar tahun 1952. Lebih dari
20 tshun kemudian, pengamatan penelitiannya mulai digiatkan, dan
beberapa laporan telah banyak ditulis. Namun, sejauh itu, pembahasan
epidemiologinya belum banyak dilakukan.

c) Patofisiologi

ada empat jenis utama dari aspergillosis:

a. Alergi bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) adalah bentuk


paling ringan dari aspergillosis dan biasanya mempengaruhi orang-
orang dengan asma atau fibrosis kistik (kondisi warisan di mana
paru-paru bisa terpasang dengan lendir). Kondisi ini biasanya
sebagai akibat dari reaksi tubuh terhadap aspergillus.

b. Aspergilloma adalah tempat jamur memasuki paru-paru dan


kelompok bersama untuk membentuk simpul padat jamur, yang
disebut bola jamur. Aspergilloma adalah kondisi jinak yang
mungkin pada awalnya tidak menimbulkan gejala, tapi seiring,
waktu kondisi yang mendasarinya dapat memburuk dan mungkin
menyebabkan: Batuk darah (hemoptitis), Mengi, Sesak napas,
Penurunan berat badan, Kelelahan.

c. Kronis necrotizing asper-gillosis (CNA) adalah penyebaran, infeksi


kronis lambat paru-paru. Hal ini biasanya hanya mempengaruhi
orang-orang dengan kondisi paruparu yang sudah ada, atau
orangorang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah.
d. Aspergillosis paru invasif (IPA) adalah infeksi umum pada orang
dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah karena sakit atau
mengambil imunosupresan. Ini adalah bentuk paling serius dari
aspergillosis yang dimulai di paru-paru yang kemudian menyebar
dengan cepat ke seluruh tubuh.

Untuk Aspergillosis Diseminata, Penyebaran hematogenik ke organ


dalam lain dapat terjadi, terutama pada pasien dengan penurunan daya
tahan tubuh yang berat atau ketagihan obat intravena. Abses dapat terjadi
di otak (aspergillosis otak), ginjal (aspergillosis ginjal), jantung
(endokarditis, miokarditis), tulang (osteomielitis), saluran pencernaan.
Lesi mata (keratitis mikotik, endoftalmitis dan aspergilloma orbital)
dapat juga terjadi, baik sebagai hasil dari penyebaran atau setelah trauma
setempat atau pembedahan.

Gambar 8. Lesi kulit multipel pada kaki penerima transplantasi sumsum tulang
yang telah menyebar aspergillosis. Kultur dari spesimen biopsi kulit dan darah
A. fumigatus tumbuh. Sumber : (Burik, V. 2019)

d) Gambaran klinis

Tanda-tanda dan gejala aspergillosis bervariasi. Berikut adalah di


antaranya:
1. Reaksi alergi. Beberapa orang dengan asma atau cystic fibrosis akan
mengalami reaksi alergi saat terpapar jamur aspergillus. Tanda dan
gejala dari kondisi yang dikenal sebagai alergi bronchopulmonary
aspergillosis, meliputi: demam, batuk yang disertai darah dan lendir,
memburuknya asma

2. Kumpulan serat jamur. Kumpulan serat jamur dapat terbentuk di


paru-paru yang memiliki rongga. Jenis aspergillosis ini disebut
aspergilloma. Rongga paru-paru dapat terjadi pada orang yang
mengalami penyakit paru-paru serius seperti emfisema, tuberkulosis,
dan sarcoidosis. Aspergilloma adalah kondisi jinak yang pada
awalnya mungkin tidak menimbulkan gejala, tapi seiring waktu
menyebabkan: batuk yang sering berdarah, sesak napas, penurunan
berat badan, kelelahan

3. Infeksi. Bentuk paling parah aspergillosis disebut aspergillosis paru


invasif. Kondisi ini terjadi ketika infeksi menyebar dengan cepat
dari paru-paru melalui aliran darah ke otak, jantung, ginjal, atau
kulit. Aspergillosis paru invasif umumnya terjadi pada orang dengan
sistem kekebalan tubuh melemah karena penyakit tertentu atau saat
menjalani kemoterapi. Tanda dan gejala tergantung pada organ yang
terkena, tetapi secara umum meliputi: demam dan menggigil, batuk
berdarah, pendarahan parah dari paru-paru, sesak napas, nyeri dada
dan nyeri sendi, mimisan, pembengkakan wajah pada satu sisi, lesi
kulit (lecet-lecet pada kulit).

Hemoptisis adalah gejala yang paling umum dari aspergilloma.


Gejala lain termasuk suhu tinggi dan batuk. Gejala CNA mencakup batuk
terus-menerus yang membawa lendir, hemoptisis, suhu tinggi, penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan, keringat malam, dan badan terasa
tidak enak. Gejala IPA dapat bervariasi tergantung pada keberadaan
infeksi menyebar dalam tubuh. Mungkin termasuk suhu tinggi, batuk yang
membawa lendir, hemoptisis, menginitis, nyeri dada, dangkal, napas cepat,
sakit kepala, dan kelelahan. Kondidi buruk aspergillosis dapat menyebar
melalui aliran darah untuk menyebabkan kerusakan organ luas. Gejalanya
meliputi demam, menggigil, shock, delirium, kejang, dan pembekuan
darah, dapat mengem-bangkan gagal ginjal, gagal hati (menyebabkan
penyakit kuning), dan kesulitan bernapas, kematian dapat terjadi dengan
cepat. Aspergillosis dari saluran telinga menyebabkan gatal dan kadang-
kadang nyeri. Cairan dapat terkuras semalaman dari telinga, sehingga
meninggalkan noda di atas bantal.

Gambar 9. Aspergilloma. Area putih di bagian kanan atas (lobus) paru mungkin
adalah bola jamur (aspergilloma). sumber : (Hasanah, 2017)

Sebuah bola jamur di paruparu dapat menyebabkan gejala dan


dapat ditemukan hanya dengan sinarX dada, atau mungkin menyebabkan
berulang batuk darah, nyeri dada, dan kadang-kadang parah, bahkan fatal,
pendarahan. Infeksi Aspergillus invasif cepat di paru-paru sering
menyebabkan batuk, demam, nyeri dada, dan kesulitan bernapas. Selain
gejala tersebut di atas, sebuah X-ray atau computerized tomography (CT)
scan daerah yang terinfeksi memberikan petunjuk untuk membuat
diagnosis. Bila mungkin, dokter mengirimkan sampel material yang
terinfeksi ke laboratorium untuk mengkonfirmasi identifikasi jamur19.

e) Pemeriksaan penunjang

Mendiagnosis infeksi yang disebabkan oleh jamur aspergillus bisa


sulit dan tergantung pada jenis infeksi aspergillus. Aspergillus terkadang
ditemukan dalam air liur dan dahak orang sehat. Sulit untuk membedakan
aspergillus dari jamur lainnya di bawah mikroskop dan gejala infeksi
biasanya mirip dengan kondisi seperti tuberkulosis. Untuk
mengkonfirmasi kondisi, dokter mungkin melakukan beberapa tes seperti:

1. Tes olah gambar: Rontgen dada atau CT scan dapat mengungkapkan


massa jamur (aspergilloma), serta tanda karakteristik invasif dan
alergi aspergilosis bronkopulmoner.

2. Tes sekresi pernapasan: Dalam tes ini, sampel dahak akan diwarnai
dengan zat pewarna dan diperiksa untuk mengidentifikasi adanya
filamen aspergillus. Spesimen ini kemudian ditempatkan dalam
suatu tempat yang mendorong pertumbuhan jamur untuk membantu
memastikan diagnosa.

3. Tes darah dan jaringan: Tes kulit, dahak dan air liur dapat
membantu dalam mengkonfirmasi alergi aspergilosis
bronkopulmoner. Untuk tes kulit, sedikit antigen aspergillus
disuntikkan ke dalam kulit lengan. Jika darah memiliki antibodi
terhadap jamur, kulit akan terasa mengeras dan muncul benjolan.
Tes darah dapat menunjukkan kadar antibodi tertentu yang
menunjukkan respon alergi.

4. Biopsi: Dalam beberapa kasus, memeriksa sampel jaringan dari


paru-paru atau sinus di bawah mikroskop mungkin diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis aspergillosis invasif19.
f) Penatalaksanaan

Perawatan dan pengobatan aspergillosis dapat dilakukan dengan


cara :

1. Observasi: Aspergillomas tunggal biasanya tidak membutuhkan


pengobatan, dan obat-obatan biasanya tidak efektif dalam mengobati
massa jamur ini. Aspergillomas yang tidak menimbulkan gejala
mungkin diperiksa secara ketat dengan bantuan rontgen dada. Jika
kondisi terus berkembang, penggunaan obat anti-jamur mungkin
disarankan.

2. Kortikosteroid oral: Tujuan mengobati alergi aspergilosis


bronkopul-moner adalah untuk mencegah asma yang sudah ada atau
memburuknya cystic fibrosis. Cara terbaik untuk melakukannya
adalah dengan kortikosteroid oral. Obat anti-jamur tidak membantu
untuk alergi aspergilosis bronkopulmoner, tetapi dapat dikombina-
sikan dengan kortikosteroid untuk mengurangi dosis steroid dan
meningkatkan fungsi paru-paru.

3. Obat antijamur: Obat ini adalah pengobatan standar untuk


aspergillosis paru invasif. Secara historis, obat yang sering
digunakan adalah amfoterisin B, tetapi obat yang lebih baru
vorikonazol (Vfend) kini lebih disukai karena tampaknya menjadi
lebih efektif dan mungkin memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Semua obat anti-jamur dapat menyebabkan masalah serius seperti
kerusakan hati atau ginjal. Obat juga dapat berinteraksi dengan obat
lain jika diberikan kepada orang-orang dengan sistem imun lemah.

4. Operasi: Karena obat anti-jamur tidak cukup untuk mengatasi


aspergillomas yang parah, operasi untuk mengangkat massa jamur
adalah pilihan pengobatan pertama yang diperlukan ketika terjadi
pendarahan di paru-paru. Karena operasi sangat berisiko, dokter
mungkin menyarankan embolisasi sebagai gantinya. Dalam
embolisasi, ahli radiologi akan mengulir kateter kecil ke dalam arteri
yang memasok darah ke rongga yang berisi bola jamur dan
menyuntikkan bahan yang menyumbat arteri. Meskipun prosedur ini
dapat menghentikan pendarahan masif, tetapi pendarahan bisa saja
terulang. Embolisasi umumnya dianggap sebagai pengobatan
sementara.

C. Kriptokokosis

a) Etiologi

Infeksi yang disebabkan oleh jamur kriptokokus atau dikenal


dengan nama kriptokokosis (Cryptococcosis') merupakan mikosis yang
bersifat global, teijadi diseluruh dunia dan bisa menimbulkan kematian.
Kriptokokosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur
Cryptococcus neoformans. Infeksi ini secara luas ditemukan di dunia dan
umumnya dialami oleh penderita dengan sistem imun yang rendah, seperti
penderita human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency
syndrome (HIV/AIDS), pasien dengan pengobatan kortikosteroid jangka
panjang, transplantasi organ, dan keganasan limforetikuler. Infeksi oleh
Cryptococcus neoformans terutama menyebabkan meningitis dan
meningoensefalitis pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS didiagnosis
sebagai kriptokokal meningitis.

Genus Cryptococcus terdiri lebih dari 50 spesies, tetapi C


neoformans dan Cryptococcus gattii yang merupakan mikroba pathogen
pada manusia.C neoformans memiliki 2 varian yaitu var neoformans dan
var gattii. Sebagian besar kasus Kriptokokosis pada HIV disebabkan
Cryptococcus neoformans var. grubii (serotype A), sementara var.
neoformans (serotype D) menyebabkan kasus kriptokokosis terutama di
Eropa, serta sebagian kecil disebabkan infeksi Cryptococcus gatti
(dahuluC. neoformans serotipe B and C). Kedua spesies ini memiliki 5
spesies, berdasarkan spesifisitas dari polisakarida kapsularnya,
yaituserotype A, D dan AD (C Zneoformans) dan serotipe B dan C (C
gattii).

b) Epidemiologi

Lima sampai sepuluh persen orang yang terinfeksi HIV mini


adalah 0,4-1,3 kasus perseratus ribu orang pada populasi umum, 2-7 kasus
perseribu pasien AIDS, dan 0,3-5,3 kasus perseratus pasien yang
menjalani transplantasi. Kriptokokal meningitis adalah manifestasi klinis
yang paling sering ditemukan merupakan infeksi oportunistik kedua paling
umum yang terkait dengan AIDS di Afrika dan Asia Selatan dengan
kejadian kriptokokosis 15%-30% ditemukan pada pasien dengan AIDS.
Tanpa pengobatan dengan antifungal yang spesifik, mortalitas dilaporkan
100% dalam dua minggu setelah munculan klinis kriptokokosis dengan
meningoensefalitis pada populasi terinfeksi HIV.

Gambar 10. Pada pejamu yang mengalami imunosupresi, infeksi kriptokokus


menyebabkan meningitis, yang mungkin terjadi terwujud pada pencitraan sebagai
lesi otak fokal yang besar. Sumber : (Revankar, S. 2021)

c) Patofisiologi

Infeksi teijadi melalu inhalasi jamur yang berkapsul atau


basidiospora, sehingga infeksi pertama teijadi di paru. Spora akan berdiam
di alveoli dan difagosit oleh makrofag sehingga teijadi inflamasi
granulomatosa. Kapsul yang ada pada kriptokokus bersifat antifagositik
dan imunosupresif sehingga bisa menghambat pengenalan oleh sel-sel
fagosit dan menghambat migrasi sel- sel radang ke tempat infeksi. Respon
tubuh terhadap infeksi ini meliputi sistim imunitas seluler dan humoral
yang melibatkan sel-sel radang seperti makrofag, limfosit T, CD4, CD8
dan NK cell. Imunitas humoral yang berperan meliputi antibodi terhadap
kriptokokus, dan faktor antikriptokokus yang larut dalam serum darah.
Selaiijutnya jamur akan membentuk kompleks kelenjar limfe di paru.
Reaksi selanjutnya tergantung dari status imunitas penderita, jumlah
paparan dan tingkat virulensi dari organism yang bersangkutan, bisa
sembuh, bisa teijadi granulomata yang berakibat infeksi laten atau
menyebar.

Pada kasus yang berat biasanya menyerang penderita dengan


kelainan pada fungsi sel T akibat keganasan, obat imunosupresif dan
penyakit autoimun seperti sarkoidosis. Jamur ini bisa menyerang hampir
semua sistim tubuh dan otak merupakan organ yang amat beresiko
teijadinya infeksi. Penularan yang didapat pada penderita HTV masuk
melalui inbalasi saluran nafas. Organisme ini menginvasi SSP setelah
melalui penyebaran hematogen. Tempat predileksi di otak adalah pada
korteks perivaskuler substansia grisea, basal ganglia dan cairan
serebrospinal. Di otak jamur tersebut membentuk lesi massa fbkal bisa
soliter atau multiple yang disebut cryptococcoma yang sebenarnya
merupakan kumpulan dari jamur yang tumbuh berdekatan. Karena lesi
bisa membesar sehingga membentuk massa maka bisa mengakibatkan
kejang dan hemiparese. Pada beberapa kasus cryptococcoma bisa disertai
edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang berakibat hernia
serebri.

Pada penderita dengan HIV seropositif, sebagian kasus meningitis


kriptokokus adalah diakibatkan oleh reaktivasi infeksi laten yang mungkin
didapat beberapa tahun sebelumnya. Pada penderita ini biasanya disertai
kerusakan parenkim otak yang luas dan tingginya konsentrasi jamur dalam
tubuh terutama ekstraseluler dibandingkan mereka yang HIV seronegatif.

Meningitis adalah manifesasi tersering dari infeksi kriptokokus.


Sebenarnya lebih tepat disebut meningo-encephalitis karena pada
pemeriksaan histopatologi terbukti bahwa ruang subarachnoid dan
parenkim otak juga terkena. Meningitis bisa teijadi dalam dalam beberapa
hari sampai satu minggu dan bisa menjadi meningitis kronis.

d) Manifestasi klinis

Paru merupakan gerbang utama tempat masuknya Cryptococcus


neoformans. Infeksi primer pada paru sering asimptomatik, namun gejala
bervariasi tergantung pada faktor pejamu, inokulum, dan virulensi
organisme sehingga penyakit dapat menyebar secara sistemik dengan
tempat predileksi utamanya adalah pada otak. Gejala penyakit ini bisa
asimptomatis sampai yang berat yaitu meningitis. Secara umum
kriptokokosis pada paru dapat menimbulkan gejala seperti batuk, nyeri
dada, pleuritis, demam, sesak nafas, dan sindrom distres pernafasan akut
(terutama pada pasien immunocompromised).

Gambar 11. Kriptokokosis


diseminata dapat berupa lesi kulit
pustular, papular, nodular, atau
ulserasi. Lesi bisa menyerupai
jerawat, moluskum kontagiosum,
atau sel basal karsinoma.
Sumber : Revankar, S. 2021

Meningitis merupakan manifestasi paling sering kriptokokosis,


peradangan ini juga disertai dengan peradangan parenkim otak sehingga
istilah meningoensefalitis lebih tepat digunakan. Kriptokokal meningitis
harus selalu dimasukkan dalam diagnosis diferensial pada kasus
meningoensefalitis kronis atau subakut karena gambaran klinis yang tidak
spesifik. Pada pasien HIV, penyakit ini dikaitkan dengan adanya
imunosupresi, biasanya pada keadaan jumlah CD4 <100 sel/µL dan
kurangnya respons inflamasi yang dilihat dari jumlah leukosit <20/µL
dengan titer antigen Cryptococcus serum yang tinggi.

e) Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium

Pengecatan dengan Tinta India

Pengecatan dengan tinta india amat sederhana dan relatif sensitif dan
bisa dipakai untuk mendiagnosa dengan cepat. Sensitifitas bisa
mencapai 75% bila bahan di sentrifus. Tetapi bila konsentrasi jamur
kuran dari 104 CFU maka pemeriksaan dengan tinta India biasanya
negative. Pada penderita HIV teijadi konsentrasi jamur yang tinggi di
CSS sehingga pengecatan dengan tinta India akan memberikan hasil
yang positif.

Kultur

Kultur CSS dan kultur darah G. neoformans pada agar Sabouraud pada
suhu 35°C biasanya menyebabkan jamur tumbuh amat ccpal (48-72
jam). Konfirmasi hasil kultur dilakukan dengan pembiakan pada agar
corn meal dan akan tampak pertumbuhan kapsul. Pada agar birdseed
akan tampak koloni coklat yang amat khas. Pemeriksaan kultur CSS
lebih sensitif dibandingan dengan pengecatan dengan tinta India dengan
sensitifitas mendekati 90%. Kultur darah bisa mendeteksi adanya
cryptococcemia dalam waktu 3 sampai 7 hari.

Pemeriksaan antigen

Pemeriksaan antigen kriptokokus bersifat sensitif dan spesifik. Metode


yang dipakai adalah latex agglutination atau ELISA. Bahan yang dipakai
bisa dari serum atau eairan CSS. Sensitifitas pada kasus CSS melebihi
90%. Pemeriksaan ini bersifat kwalitatif, pemeriksaan secara kwantitatif
sampai sekarang belum memuaskan. Pemeriksaan antigen serum
kriptokokus seringkali negatif pada penderita non HIV. Penyebab hasil
negatif diantaranya adalah titer yang rendah, infeksi awal, adanya
kompleks imun, strain jamur yang tidak tertutup kapsul dengan
sempurna dan kurang memproduksi polisakarida.

Pemeriksaan serotyping

Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan berbagai jenis serotipe


kriptokokus. Biaya pemeriksaan mahal dan tidak tersedia secara luas.
Untuk membedakan jenis var. gattii dan varietas yang lain cukup
dilakukan dengan menggunakan agar biotyping.

Pemeriksaa cairan serebro spinals (CSS)

Pungsi lumbal biasanya akan menunjukkan adanya peningkatan tekanan


pembuka. Diagnosa definitif untuk meningitis kriptokokus adalah
ditemukannya jamur pada CSS atau darah pemeriksaan serologi.
Pengecatan dilakukan dengan tinta India, dan pemeriksaan antigen
kriptokokus serta kultur jamur. CSS biasanya menunjukkan adanya
leukositosis ringan dengan mononucleosis predominan (50-500 sel/pL).
Protein CSS jarang melebihi 500-1000 mg/dL dan mungkin bisa normal
terutama pada penderita HTV. Pada penderita HIV, hitung jumlah sel
jauh lebih rendah. Perbandingan glukosa dengan glukosa darah biasanya
agak rendah.

2. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis seperti CT Scan Kepala atau M RI Kepala


dilakukan untuk mengetahui adanya kemungkinan penyakit lain seperti
tumor, toxoplasmosis atau limphoma.

CT scan kepala
CT scan otak tampak normal pada lebih dari 50 % kasus, tak ada lesi
yang patognomik dan kalaupun ada kelainan yang terjadi mirip dengan
meningitis tuberkulosa. Kelainan yang sering dijumpai adalah
hydrocephalus.

MRI kepala

Dibandingkan CT scan, MRI kepala lebih sering menunjukkan kelainan.


Kelainan yang tampak tergantung dari penyakit yang menyertai,
misalnya pada penderita AIDS akan tampak atrofi kortikal secara difus
dan jarang teijadi hidrosefalus. Atrofi korteks pada penderita ini
mungkin akibat langsung dari infeksi retroviral-nya. Sebaliknya gyral
enhancement lebih sering teijadi pada penderita non HIV. Pada beberapa
penderita tampak adanya lesi fokal yang berkelompok dan hiperintens di
basal ganglia atau otak tengah. Ulangan MRI akan menunjukkan
enhancement karena proses inflamasi

Foto thorax

Paru merupakan organ nomer 2 yang sering terkena infeksi jamur ini
terutama jenis var gattii , kelainan biasanya berupa pneumonia lobaris,
nodul soliter atau multipel, obstruksi vena cava superior, kavitas, efusi
pleura atau empyema. Gambaran paru mirip tuberkulosis. Penderita HIV
lebih cenderung menderita meningitis daripada infeksi paru.
Gambar 12 . Foto ini menunjukkan pneumonia kriptokokus lobus kanan atas.
Sumber (Revankar, S. 2021)

f) Penatalaksanaan

Obat Anti Jamur

Pengobatan dengan anti jamur pada meningitis kriptokokus amat terbatas:

Amphotericin B

Amphotericin B masih merupakan pilihan utama, diberikan secara


intravena. Angka kekebalan masih rendah tetapi obat ini bersifat
nefrotoksik, meskipun bisa bersifat reversivel bila dosis total tidak
melebihi 4 g. Fungsi ginjal bisa lebih memburuk bila diikuti dengan
penurunan kadar natrium sehingga dianjurkan untuk memberikan infuse
salin sebelum dilakukan terapi. Pemberian secara intratekal hanya
dilakukan pada penderita yang mengalami kekambuhan. Dosis bisa
diberikan sampai 10 mg/kg/hari. Kombinasi terapi amphotericin B dengan
flucytosine menghasilkan efek fungisida yang amat bagus, terutama pada
fase akut, eliminasi kriptokokus dari CSS lebih cepat bila dibandingkan
dengan pemberian amphotericin secara monoterapi. Efek samping berupa
panas, menggigil, mual, muntah, diare, nyeri kepala dan nyeri otot.
Flucytosine

Flucytosine adalah nukleotida analog, tersedia dalam bentuk formula oral


atau intravena. Secara in vitro flucytosine akan mempercepat sterilisasi
CSS. Kerugian dari obat ini adalah harganya mahal, tolerabilitas rendah
dan angka resistensi yang meningkat bila diberikan secara monoterapi.

Efek, samping mulai ringan sampai berat berupa mual, muntah, nyeri
kepala, kemerahan pada kulit, nyeri abdomen, diare dan meningkatnya
trigliserida.

Flucytosine bisa meyebabkan efek samping yang serius seperti sitopenia


sehingga penderita perlu diperiksa hitung jenis sel darah secara berkala,
kadar flucytosin dalam darah sebaiknya di ukur 3-5 hari setelah terapi.
Kadar yang diperbolehkan adalah 30-80 g/ml (2 jam setelah minum obat)
sedangkan kadar diatas 100 mg/ml harus dihindari . Pemberian flucytocin
lebih dari dua minggu bisa memperburuk fungsi ginjal oleh sebab itu perlu
dilakukan penyesuaian dosis dan pemeriksaan fungsi ginjal secara berkala.

Golongan azole (misalnya fluconazolc).

Obat jenis ini mempunyai kelebihan dalam potensi, tolerabilitas, penetrasi


ke dalam CSS dan bisa diberikan secara oral atau intravena. Dibandingkan
dengan itrakonazole, fluconazole kurang poten tetapi penetrasi ke CSS
lebih bagus dan dalam penelitian klinis hasil nya lebih bagus. Menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh Powderly dkk menunjukkan bahwa
fluconazole merupakan obat untuk terapi rumatan yang paling efektif.

Azole terbaruseperti voriconazole danposaconazole^secara invitro lebih


bagus melawan C neofromans dbandingkan fluconazole tetapi belum ada
penelitian untuk kasus meningitis kriptokokus.Efek samping berupa mual,
nyeri kepala, kemerahan pada kulit, nyeri abdomen, diare dan
meningkatnya trigliserida.
D. Histoplasmosis

a) Etiologi

Histoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh


jamur Histoplasma capsulatum . Manusia dapat terinfeksi dengan cara
terhirupnya spora jamur melalui saluran nafas. Kemudian menyerang
sistem retikuloendotelial dalam jaringan limfatik, paru, limpa, hati,
kelenjar adrenal, ginjal, kulit, sistem saraf pusat dan organ tubuh lainnya.
Penyakit ini tidak ditularkan dari manusia ke manusia maupun dari hewan
ke manusia atau sebaliknya.

Histoplasma capsulatum adalah jamur dimorfik dan di alam bebas


hidup di tanah yang mengandung kotoran burung, ayam dan kelelawar.
Kemudian beberapa laporan menyebutkan bahwa jamur ini bisa dijumpai
pada tumpukan kayu dan kuda. Perkembangannya akan bertambah subur
di daerah dengan suhu antara 22 - 29°C dan kelembaban 67 - 87 %.

b) Epidemiologi

Mulanya penyakit ini diperkirakan hanya tersebar di Amerika


Serikat saja, tetapi kemudian juga dijumpai di negara-negara beriklim se-
dang dan tropis di lima benua. Kasus-kasus histoplasmosis ini cenderung
meningkat oleh karena adanya faktor pencetus di antaranya bila seseorang
mempunyai aktivitas berhubungan dengan tanah yang mengandung
kotoran hewan seperti tersebut di atas, mengunjungi gua yang dihuni
kelelawar, atau seseorang berhubungan dengan kayu baik sebagai pekeija
atau bertempat tinggal di sekitarnya. 7 dari 17 penderita histoplasmosis
yang dikumpulkannya ternyata bertempat tinggal di daerah yang banyak
kelelawar atau dekat dengan peternakan ayam dan burung.
c) Patofisiologi

Infeksi histoplasmosis sangat mirip tuberkulosis. Inhalasi spora


menyebabkan infeksi primer paru, dengan pembenihan pada organ
multipel. Respons imun efektif menyebabkan granulomatosa yang
mengandung organisme, kadang disertai dengan kalsifikasi. Infeksi
histoplasmosis pada usia lanjut yang sering yaitu infeksi histoplasmosis
progresif kronik diseminata. Pasien dengan penyakit ini tidak
secara jelas mengalami imunosupresi tetapi mengalami defek selektif
pada imunitas dimediasi sel terhadap H.capsulatum. Penyakit ini ditandai
dengan paratisasi pada sistem retikuloendoplasma. Makrofag pada kelenjar
getah bening, hati, limpa sumsum tulang dan paru mengandung banyak
jamur. Pasien akan mengalami demam, keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan, dan fatigue. Pada pasien kadang juga ditemukan
adanya ulkus mukokutan. Pansitopenia dan peningkatan alkali fosfatase
sering dijumpai. Keterlibatan kelenjar adrenal difus dapat menyebabkan
penyakit Addison dengan manifestasi kelemahan, hipotensi
ortostatik, hiperkalemia dan hiponatremia. Rontgen thoraks seringkali
menunjukkan infiltrat difus. Bentuk histoplasmosis ini bersifat fatal jika
tidak ditatalaksana segera.

Gambar 13. Pada penderita


imunosupresi, histoplasmosis
dapat menyebar ke kulit, sumsum
tulang, otak, hati, limpa, dan
sistem limfatik. Lesi oral pada
gambar ini meniru gejala sifilis
primer, tetapi pengujian
menghasilkan Histoplasma
capsulatum. Sumber :
(Revankar, S. 2021)
d) Manifestasi klinis

Histoplasmosis paru merupakan penyakit mirip influenza dengan


adenopati hilus. Splenomegali dan eritema nodosum atau eritema
multiforme mungkin ada. Histoplasmosis diseminata dapat terjadi sebagai
penyakit akut pada bayi, anak kecil, atau pasien dengan tanggap imun
lemah. Penyakit memburuk hingga mengenai sistem retikuloendotelial,
dengan adenopati difus, hepatosplenomegali, pneumonitis, dan mengenai
sumsum tulang, menyebabkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
Kematian disebabkan oleh gagal napas, perdarahan saluran gastro-
intestinal, atau sepsis bakteri.

Gambar 14. Tampak papul dan nodul multipel, pada wajah (A) dan kaki (B)
bentuk bulat sampai oval, ukuran bervariasi diameter 0,5-1 cm. Tampak pula
ulkus multipel, bentuk oval, ukuran 1 x 1 x 0,5–1 x 2 x 0,5 cm, tepi landai, dasar
jaringan granulasi, tertutup oleh krusta tebal berwarna kecoklatan.

e) Pemeriksaan penunjang

Foto sinar-X dada menunjukkan bercak-bercak infiltrat dan


adenopati hilus pada sekitar 25% pasien. Daerah yang terkena akhirnya
dapat berkalsifikasi, menyebabkan daerah khas "peluru" histoplasmosis
yang sembuh. Penyakit sembuh sendiri ini menetap selama 3-4 minggu.
Diagnosis dibuat dengan biakan dari tempat-tempat yang secara steril
normal atau sputum dengan menggunakan media jamur standar. Untuk
biakan darah, metode sentrifugasi-lisis memberikan hasil paling baik.
Probe DNA digunakan untuk mengidentifikasi organisme yang tumbuh
secara perlahan, sering kali membutuhkan 2-6 minggu. Antigen
polisakarida histoplasma dapat dideteksi dengan sistem
radioimmunoassay. Uji kulit tidak direkomendasikan untuk diagnosis.
Gambar 15. Tampak sediaan mengandung blastospora dengan latar belakang
eritrosit padat (pembesaran lemah (A) dan pembesaran kuat (B).

f) penatalaksanaan

Histoplasmosis akut pada anak yang lebih tua dan dewasa


merupakan penyakit yang sembuh sendiri dan tidak memerlukan terapi.
Bentuk histoplasmosis lain, termasuk penyakit paru bergejala pada bayi
dan anak kecil serta penyakit diseminata, diobati dengan amfoterisin B.
Pada anak dengan gangguan imun (terutama mereka yang menderita
AIDS), terapi supresif jangka panjang diperlukan; itrakonazol telah
digunakan berhasil.

E. Koksidioidomikosis

a) Etiologi

koksidioidomikosis atau Demam San Joaquin atau juga Demam


Lembah disebut demikian karena infeksi ini berasal dari
koksidioidomikosis yang sifatnya endemic pada beberapa daerah kering di
Barat daya Amerika Serikat dan Amerika Latin. Koksidioidomikosis
biasanya menyerang paru-paru. Tetapi infeksi ini biasanya sembuh sendiri,
penyebaran jarang terjadi, tetapi sifatnya mematikan. Koksidioidomikosis
(demam San Joaquin reumatisme padang pasir) disebabkan oleh
Coccidioides immitis, suatu jamur dimorfik.
b) Epidemiologi

Coccidioides immitis terdapat dalam tanah di negara bagian barat


daya, termasuk Texas barat, Arizona, New Mexico, dan California. Jamur
ini juga terdapat di Mexico dan daerah tertentu Amerika Tengah dan
Selatan. Infeksi biasanya merupakan penyakit masa kanak-kanak dan,
sekali terkena, memberikan imunitas permanen. Spora menyebar melalui
inhalasi atau, terkadang, dengan implantasi. Penyebaran antar-orang tidak
terjadi. Musim panas, tanah kering, dan liang binatang pengerat
merupakan lingkungan yang ideal untuk pemeliharaan spora yang
infeksius. Masa inkubasi 10-16 hari, dengan kisaran 1 minggu sampai 1
bulan.

c) Patofisiologi

Infeksi dari jamur ini didapat melalui inhalasi artrospora yang


terdapat di udara. Infeksi pernafasan yang nantinya timbul dapat bersifat
asimptomatis dan mungkin hanya terbukti dengan pembentukan antibody
presipitasi dan tes kulit positif dalam 2-3 minggu. Disamping itu penyakit
yang menyerupai influenza, yang disertai demam, lesu, batuk, dan rasa
sakit di seluruh tubuh juga dapat terjadi. Kurang dari 1% orang yang
terinfeksi C.immitis, penyakitnya berkembang menjadi bentuk yang
menyebar dan sangat fatal. Hal ini dapat sangat menyolok terlihat pada
wanita yang sedang hamil. Ini disebabkan karena kadar estradiol dan
progesterone yang meningkat pada wanita hamil dapat menambah
pertumbuhan C. immitis. Sebagian besar orang dapat dianggap kebal
terhadap reinfeksi, setelah tes – tes kulitnya menjadi positif. Akan tetapi,
bila individu seperti ini kekebalannya ditekan dengan obat atau penyakit,
penyebarannya dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primernya.
Koksidioidomikosis yangmenyebar dapat disamakan juga dengan
tuberkolosis, dengan lesi pada banyak organ tubuh, tulang dan susunan
saraf pusat.
d) Manifestasi klinis

Infeksi paru primer tidak bergejala pada 60% pasien. Penyakit


bergejala dapat menyerupai sindrom influenza. Manifestasi kulit dapat
meliputi ruam papulomakular difus; urtikaria; dan sering, eritema
nodosum atau, terkadang eritema multiforme. Infeksi kulit dapat terjadi
pascatrauma atau melalui penyebaran jamur dan sering terjadi dengan
artralgia. Efusi pleura dan pneumonitis mungkin ada. Pemeriksaan sinar-X
dada sering lebih menjelaskan daripada temuan-temuan pada pemefiksaan
fisik. Jarang terjadi sindrom kavitas atau kavitas ibrosa progresif kronik.
Jamur kadang dapat penyebar ke kulit, tulang, dan meningen. Penyakit
Iseminata pada pasien terinfeksi HIV telah ditemukan di daerah endemik.

Gambar 16 . lesi tipe exanthem


dan eritema multiform umum pada
pasien dengan demam dan batuk
kering. Sumber : (Arce, 2016)

Gambar 17. Coccidioidomycosis


diseminata pada kulit dengan lesi
multipel. Sumber : (Arce, 2016)
Gambar 18. Coccidioidomycosis
kulit primer pada seorang gadis
yang mengalami lesi verukosa
eksofitik di regio plantar.
Sumber : (Arce, 2016)

e) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan histologis jaringan paru atau jaringan lain yang


terlibat menunjukkan sferula kontur-ganda disertai dengan endospora
tanpa tunas. Dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan KOH dengan
Pengambilan spesimen untuk biakan pada media yang tepat harus
dilakukan secara hati-hati karena jamur sangat menular. Pada meningitis,
CSS hampir selalu mengandung antibodi spesifik. Kadar dan persistensi
titer fiksasi komplemen dalam serum dan CSS berguna imtuk menentukan
prognosis dan untuk pedoman terapi.

Gambar 19. (d) Pemeriksaan KOH dengan sferul dengan endospora dan dinding
tebal. (e) Spherule di dalam sel raksasa berinti banyak (H&E). Sumber : (Arce,
2016)

f) Penatalaksanaan

Infeksi koksidioida primer sembuh sendiri, dan tidak memerlukan


terapi spesifik. Penyakit kavitas menetap mungkin memerlukan eksisi
bedah, biasanya bersama dengan pengobatan amfoterisin B. Amfoterisn B
adalah agen pilihan untuk pengobatan koksidioidomikosis diseminata dan
dapat diikuti dengan terapi fluokonazol. Fluokonazol juga telah berhasil
digunakan. Untuk meningitis, pemberian intratekal biasanya digunakan
selain terapi sistemik. Kekambuhan, yang ditandai dengan nyeri kepala
atau dengan kelainan kimia CSS, dapat terjadi beberapa tahun setelah
terapi berhenti. Debridemen bedah dapat diindikasikan untuk lesi
terlokalisasi, bergejala, atau progresif.

F. Parakoksidioidomikosis

a) Etiologi

Jenis mikosis yang sebelumnya disebul dengan nama South


American blastomycosis ini disebabkan oleh Paracoccidioides brasiliensis.
Jenis jamur dimorfik P. brasiliensis ini tumbuh sebagai ragi dengan
pembentukan lunas dalam jaringan tubuh pejamu. namun dapat pula
tumbuh sebagai ragi atau kapang pada media perbenihan. Identifikasinya
dilakukan berdasarkan gambaran jamur tersebut sceara makroskopis dan
mikroskopis. Kemiripan yang superfisial dengan Blastomyces dermatitidis
dapat menyebabkan kesalahan diagnosis.

b) Epidemiologi

Kasus parakoksidioidomikosis terbatas di benua amerika yaitu dari


Meksiko ke Argentina. Distribusi kasus parakoksidioidomikosis dan
tingkat infeksi p.brasiliens menurut sampel populasi heterogen di berbagai
negara dan di berbagai wilayah di setiap negara bersifat endemis. Sekitar
80% kasus yang dilaporkan terjadi di Brazil, dan sebagian besar sisanya
terjadi di Venezuela, Kolombia dan Argentina. Daerah endemik kedua
adalah terletak di sepanjang perbatasan timur wilayah Amazon barat dan
Negara Bagian Rondonia pada khususnya.
c) Patofisiologi

Infeksi jamur ini diperkirakan terjadi melalui inhalasi spora dari


sumber-sumber lingkungan, tetapi reservoir-nya dalam alam masih tidak
jelas. Infeksi paru pada mulanya hanya menimbulkan beberapa gejala.
Penyebaran secara hematogen ke membran mukosa mulut dan hidung,
kelenjar limfe, dan lokasi lainnya menyebabkan pasien datang ke dokter.
Kasus yang fatal memperlihatkan penyebaran infeksi ke kelenjar adrenal,
traktus gasirointeslinal, dan banyak organ visera lainnya.

Gambar 20. Paracoccidioidomycosis: pada keadaan akut menunjukkan


pembesaran limfanodi, dengan tampakkan inflamasi dan formasi abses. Sumber :
(Anais Brasileiros de Dermatologia, 2013)

d) Manifestasi klinis

Gejala yang lazim ditemukan mencakup ulkus dengan indurasi


pada mulut, orofaring, laring, dan hidung; kelenjar limfe yang membesar
serta menghasilkan sekret, lesi pada kulit dan alat genital; dan batuk
produktif, penurunan berat badan, dispnea, serta kadang-kadang panas.
Penularan infeksi terbatas di Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan
Meksiko, tetapi sifat indolensi infeksi ini yang ekstrim menyebabkan
diagnosisnya baru dapat diketahui beberapa tahun setelah pasien
meninggalkan daerah endemik. Foto toraks paling sering memperlihatkan
gambaran pneu- monia yang berupa bercak bilateral.

Gambar 21. Parakoksidioidomikosis : tampak kelopak mata dan tarsus yang


memberi gambaran titik-titik heoragik pada daerah mukosa. Sumber : (Anais
Brasileiros de Dermatologia, 2013)

Gambar 22. Parakoksidioidomikosis : ulkus plantar dengan tipe hiperkeratotik.


Sumber: (Anais Brasileiros de Dermatologia, 2013)
Gambar 23. Parakoksidioidomikosis : lesi vegetant dan ulserasi dengan diagnosis
banding karsinoma spinoseluler. Sumber: (Anais Brasileiros de Dermatologia,
2013)

Gambar 24.
Parakoksidioidomikosis : lesi
eritematosa infiltrasi dengan pola
sarcoid, dengan diagnosis banding
lupus eritematosa dan sarcoidosis.
Sumber: (Anais Brasileiros de
Dermatologia, 2013)

e) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan kultur dari sputum, pus, dan lesi mukosa acapkali


memberikan petunjuk diagnostik. Diagnosis dapat dibuai melalui
pemeriksaan sediaan apus atau histologi, meskipun pemeriksaan kultur
lebih disukai. Tes serologi terpadu menunjukkan diagnosis dan memantau
terapi.

f) Penatalaksanaan
Kasus parakoksidioidomikosis yang lebih ringan dapat sembuhkan
oleh pengobatan selama satu tahun dengan ketokonazoloral, 200 hingga
400 mg per hari. Itrakonazol tampaknya membenkan hasil pengobatan
yang sebanding. Untuk kasus yang lebih lanjut dilakukan penyuntikan
amfoterisin B intravena. yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian
ketokonazol oral.

G. Blastomikosis

a) Etiologi

Blastomyces dermatitides merupakan jamur dimorfik yang tumbuh


pada suhu kaar sebagai kapan berwarna putih atau coklat kemerahan
namun dalam tubuh pejamunya atau pada suhu 37℃tumbuh sebagai sel
mirip ragi yang berbentuk bulat dengan tunas. Jamur ini dapat
diidentifikasi berdasarkan penampakannya, sifat dimorfismenya, dan
gambaran spora kecil-kecil yang terdapat pada hifa dari bentuk kapangnya.
Kalau isolat dari dua tipe pasangan yang berlawanan ini tumbuh sangat
berdekatan pada media perbenihan yang khusus, struktur dengan sporulasi
akan muncul dan menandai bentuk jamur yang sempurna, yaitu
Ajellomyces dermatitidis.

b) Epidemiologi

Di Amerika Utara, mikosis endemik blastomikosis, histoplasmosis,


dan coccidioidomikosis bertanggung jawab atas penyakit serius pada host
yang imunikompeten dan imunokomposisi mulai dari penyakit
asimtomatik, sembuh sendiri hingga penyakit invasi yang mengancam
jiwa. Terlepas dari potensi keparahan infeksi ini, penyakit ini dilaporkan
hanya di negara bagian dan provinsi tertentu, hanya memberikan cakupan
sebagian dari wilayah endemisitas yang diketahui. Beberapa laporan
terbaru menunjukkan peningkatan insiden dan perluasan endemisitas
geografis dari infeksi jamur dimorfik di amerika utara. Infeksi jamur ini
dibatasi oleh geografi dan usia. Blastomikosis jarang dijumpai pada setiap
tempat, tetapi mayoritas kasus terdapat di daerah tenggara, tengah dan
atlantik tengah Amerika Serikat dengan kadang-kadang dijumpai kasus di
tempat lainnya di Amerika Serikat Serta Kanada. Sejumlah kasus juga
ditemukan di Afrika, Meksiko, Amerika Tengah dan kadang-kadang
Amerika Selatan. Sebagian besar pasien infeksi jamur ini berusia anatara
20 dan 69 tahun. Rasio laki-laki/perempuan adalah 10:1. predisposisi
pekerjaan tidak terdapat.

c) Patofisiologi

Infeksi tampaknya diperoleh lewat inhalasi jamur dari tanah,


tumbuhan yang mengalami dekomposisi, atau kayu yang membusuk.
Beberapa kesimpulan kasus terjadi setelah sejumlah individu melakukan
aktivitas rekreasi di hutan-hutan di sepanjang aliran sungai. Infeksi tidak
ditularkan antarmanusia. Infeksi paru awal dapat sembuuh spontan atau
menjadi kronik. Penyebaran ke bagian paru lainnya. Pembentukan kavitas
atau terjadinya lesi endobronkial dapat terlihat pada kasus kronik. Tanpa
tergantung apakah lesi pada paru akan sembuh spontan atau tidak, infeksi
umumnya menyebar secara hematogen ke kolit, jaringan subkutan, tulang,
prostat, epididimis atau mukosa hidung, mulut atau laring. Yang lebih
jarang terjadi infeksi menyebar ke otak, meningen, hepar, kelenjar limfe,
atau lien. Penyebarluasan infeksi mungkin baru tampak beberapa minggu
atau beberapa tahun setelah terdapatnya lesi pada paru. Infeksi yang
progresif hanya kadang-kadang saja dapat dikaitkan dengan penyakit yang
mendasari atau dengan pengobatan imunosupresif. Respon inflamasi yang
terjadi mencangkup limfosit, sel raksasa, dan neutrofil. Hiperplasia
pseudoepiteliomatosa yang terjadi mungkin tampak mencolok dan dapat
menghasilkan diagnosis karsinoma sel skuamosa yang keliru

d) Manifestasi klinis
Sejumlah kecil pasien akan menderita pneumonia yang akut dan
sembuh sendiri. Gejala febris, batuk produktif, mialgia, dan malaise
biasanya menghilang dalam waktu satu bulan. Gambaran infiltrat paru
akan lenyap perlahan ketika B.dermatitidis menghilang dari dalam sputum.

Mayoritas terbesar pasien blastomikosus memiliki awitan yang


lamban dan perjalanan penyakit yang progresif kronik. Febris, batuk,
penurunan berat badan, keluhan mudah lelah, lesi pada kulit dan nyeri
dada merupakan gejala yang sering ditemukan. Lesi kulit cenderung
terjadi pada bagian tubuh yang terbuka dan melebar setelah beberapa
minggu kemudian dari bentuk jerawat atau pimple menjadi lesi yang
berbatas tegas, verukosa serta memperlihatkan pembentukan krusta dan
mengalami ulserasi.

Gambar 25 .Lesi verukosa pada kulit. Sumber : (Siemieniuk dalam thelancet,


2015)

Rasa nyeri dan limfadenopati regional yang terjadi tampak


minimal. Lesi kronik yang lebar dapat menunjukkan kesembuhan di
bagian sentralnya dengan pembentukan jaringan parut dan terjadinya
kontraktur. Lesi pada membran mukosa menyerupai karsinoma sel
skuamosa. Lesi yang bersifat osteolitik dapat terjadi pada hampir setiap
tulang dan ditemukan sebagai abses dingin tau sinus yang mengeluarkan
sekret. Perluasan lesi ke sendi yang berhubungan dapat menyebabkan
pembengkakan yang lamban. Rasa nyeri, dan gerakan yang terbatas. Lesi
prostat dan epididimis secara klinis menyerupai tuberkulosis
e) Pemeriksaan penunjang

Diagnosis blastomikosis dibuat dengan terlihatnya jaut ini dalam


pemeriksaan kultur sputun, pus, atau urin. Ditangan individu yang
berpengalaman, diagnosis berdasarkan penampakan mikroorganisme
tersebut dalam sediaan apus yang basah atau potongan untuk pemeriksaan
histopatologi sudah memadai. Jamur mungkin terlihat dalam pemeriksaan
sitologi sediaan apus sputum tetapi keberadaan jamur ini dapat dengan
mudah terlewatkan.

Gambar 26 . Rontgen dada


menunjukkan rongga lobus
atas. Sumber : (Siemieniuk dalam
thelancet, 2015)

Gambar 27. CT koronal dada yang


direkonstruksi menunjukkan
penyakit kavitas. Sumber :
(Siemieniuk dalam thelancet,
2015)

Gambar 28. Pewarnaan Gömöri


methenamine silver pada jaringan
biopsi menunjukkan tunas sel
yeast berbasis luas, karakteristik
blastomyces dermatitidis.
Sumber : (Siemieniuk dalam
thelancet, 2015)

f) Penatalaksanaan

Beberapa pasien blastomikosis terlihat dengan lesi paru yag


berisfat transitorik, namun tidak ada pedoman yang kita ketahui untuk
membedakan pasien ini dengan pasien yang penyakitnya berlanjut secara
lokal atau menyebar luas. Karena itu, setiap pasien harus mendapatkan
pengobatan. Amfoterisin B intravena merupakan preparat pilihan bagi
pasien dengan perjalanan infekso yang prorgesif cepat, dengan sakit yang
berat atau dengan meningitis. Lesi pada kulit dan paru yang tidak disertai
pembentukan kavitas harus diobati selama sekitar 8 sampai 10 minggu.
Takaran total yang dianjurkan untuk seorang pasien dewasa adalah 2 gram.
Penyakit paru dengan pembentukan kavitas atau infeksi yang terjadi di
luar paru serta kulit harus diobati selama sekitar 10 hingga 12 minggu
dengan dosis 2,5 gram atau lebih. Ketokonazol merupakan obat yang
efektif untuk pasien blastomikosis meningeal yang dalam dengan severitas
yang ringan hingga sedang dan yang penggunaan obatnya dapat
diandalkan. Dosis awal ketokonazol untuk pasien dewasa adalah 400 mg
sekali sehari yang kemudian dinaikkan setelah satu bulan kemudian
menjadi 600 atau 800 mg per hari bila kesembuhannya suboptimal.
Itrakonazol dengan dosis 200 mg PO sekali atau dua kali sehari merupakan
preparat alternatif yang efektif. Terapi dilanjutkan selama 6 hingga 12
bulan. Angka mortalitas pada kasus dengan pengobatan yang tepat adalah
15 persen atau kurang.

H. Kandidiasis

a) Etiologi

Spesies Candida merupakan penyebab penting infeksi nosokomial


yang menyebabkan kematian dan lama rawat menjadi lebih lama.
Kandidemia didefinisikan sebagai adanya spesies Candida dalam darah.
Infeksi dari kandida dapat menimbulkan gejala penyakit yang bermacam-
macam dari infeksi superfisial dan mukosa sampai ke penyakit invasif
yang berkaitan dengan kandidemia dan keterlibatan metastasis ke organ.
Survey terbaru prevalensi dari berbagai center mengidentifikasikan spesies
kandida sebagai penyebab terbanyak infeksi patogen di darah.
Gambar 29. Sel Ragi dan Pseudohifa. Sumber : (Jawetz, Melnick and Adelberg’s,
2013)

Candida albicans merupakan penyebab kandidiasis yang paling


sering ditemukan, namun C.tropicalis, C.parapsilosis, C. guilliermondii,
C.glabrata, C. Krusei serta beberapa spesies lainnya dapat menyebabkan
kandidiasis profundus dan bahkan membawa akibat yang fatal. C.
parapsilosis terutama menonjol untuk potensinya dalam menimbulkan
endokarditis. C.tropicalis menyebabkan sepertiga kasus kandidiasis
profundus pada pasien neutropenia.

Pasien dengan defisiensi imun yang mempunyai faktor risiko lebih


terhadap infeksi jamur semakin banyak terdapat di intensive care units
(ICU). Penggunaan alat monitor yang invasif dan terapi juga
meningkatkan risiko kolonisasi jamur dan infeksi jamur. Penggunaan
antibiotika yang semakin luas dapat mensupresi flora normal kuman di
saluran pencernaan, sehingga menimbulkan pertumbuhan kandida di
saluran pencernaan, sehingga dapat menimbulkan infeksi sistemik yang
dapat menimbulkan kematian. Hal ini menimbulkan tantangan untuk
mengetahui epidemiologi, diagnosis dan terapi yang direkomendasikan
untuk infeksi kandida.

b) Epidemiologi

Perkembangan infeksi jamur saat ini semakin meningkat, terutama


sejak penyakit HIV/AIDS menjadi kasus infeksi secara global. Dalam
dekade terakhir ini, infeksi jamur menarik perhatian terutama munculnya
mikosis oportunistik dan mikosis nosokomial sebagai penyebab angka
kesakitan dan kematian. Infeksi jamur pada manusia dibagi berdasarkan
pendekatan anatomi, infeksi jamur endemik dan infeksi jamur oportunistik
(HIV/AIDS, leukemia, limfoma maligna dan transplantasi organ).
Pendekatan anatomi infeksi jamur terdiri infeksi mukokutaneous dan
infeksi intraabdomen. Infeksi mukokutaneus dapat menyebabkan
morbiditas serius, namun jarang menimbulkan kematian. Sedangkan
infeksi jamur organ melalui penyebaran secara sistemik dapat
menyebabkan penyakit berat dan dapat mengancam nyawa.

Kandidiasis, merupakan infeksi oportunistik jamur dengan insidens


tertinggi. Kandida merupakan flora normal yang dapat beradaptasi untuk
hidup pada manusia (saluran cerna, saluran urogenital dan kulit). Saat ini
Kandida merupakan infeksi nosokomial terbanyak dengan insidensi yang
meningkat di USA dan Eropa. Sebagai patogen nosokomial, menurut hasil
studi populasi secara aktif memperlihatkan adanya kasus kandidemia pada
fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan. Hal ini menunjukkan bahwa
kandida tidak hanya terdapat pada pasien perawatan kritis. Walaupun
pertumbuhannya meningkat di rumah sakit, kandidemia secara bermakna
lebih jarang ditemukan pada kelompok pasien dengan risiko tinggi.
Menurut penelitian, insidensi kandidemia memperlihatkan adanya
peningkatan spesies non albican dari kandida. Hal ini terjadi oleh
meningkatnya penggunaan flukonazol. C. Parapsilosis adalah spesies
candida kedua terbanyak di bagian selatan Eropa sedangkan C.Glabrata
sebagai penyebab kandidemia kedua terbanyak di bagian Eropa lainnya
seperti Perancis, Jerman dan Inggris. Perbedaan spektrum dari kandidiasis
invasif berhubungan dengan perbedaan tipe pasien yang diobati, yang
terdapat di masing-masing pusat pengobatan dan memerlukan penggunaan
pendekatan klinik yang berbeda.

c) Patofisiologi
Patogenesis infeksi jamur dapat dimulai melalui jaringan
ekstraselular maupun dalam fagosit. Kulit yang tidak intak/ atau terdapat
lesi merupakan port de entry infeksi jamur. Respon imun yang pertama
kali berperan terhadap infeksi jamur adalah cell-mediated-immunity (CMI)
yang bersifat protektif dengan menekan reaktivasi infeksi jamur tanpa
bergejala dan mencegah terjadinya infeksi oportunistik. Respon cell
mediated immunity(CMI) dapat menginduksi terbentuknya granuloma.
Granuloma dapat terbentuk oleh berbagai penyakit sistemik, misalnya
pada koksidioidomikosis, histoplasmosis dan blastomikosis. Respons imun
yang terjadi berikutnya adalah respons imun terhadap mikroorganisme
ekstraselular dan respons imun terhadap intraseluler fakultatif. Respons
imun seluler merupakan mediator utama dalam perlawanan terhadap
infeksi jamur. Sel T CD4+ dan CD8+, respons sel TH1 merupakan respons
yang protektif, sedangkan respons sel Th2 dapat merugikan host. Oleh
karena itu, inflamasi granulomatosa sering menjadi penyebab kerusakan
jaringan pada host yang terinfeksi jamur intraseluler13.

d) Manifestasi klinis

Kandidiasis oral ditemukan sebagai bercak berwarna putih yang


konfluen dan melekat pada mukosa oral serta faring, khususnya di dalam
mulut dan lidah. Lesi ini biasanya tanpa rasa nyeri tetapi pembentukan
fisura pada sudut mulut tanpa menimbulkan nyeri. Kandidiasis kulit
ditemukan sebagai daerah intertriginosa yang mengalami maserasi serta
menjadi merah, paronikia, balantis, ataupun pruritus ani. Kandidiasis kulit
perineum dan skrotum dapat disertai dengan lesi pustuler yang diskrit pada
permukaan dalam paha. Kandidiasis mukokutaneus yang kronik atau
kandidiasis granulomatosa secara khas ditemukan sebagai lesi kulit
sirkumskripta yang mengalami hiperkeratosis, kuku jari yang mengalami
distrofi serta hancur, alopesia parsial di daerah lesi pada kulit kepala, dan
kandidiasis oral serta vaginal. Infeksi sistemik sangat jarang terjadi, tetapi
wajah dan tangan penderita dapat mengalami kelainan bentuk yang hebat.
Gejala lainnya mencangkup epidermofitosis kronik, displasia gigi, dan
hipofungsi kelenjar paratiroid, adrenal, serta tiroid. Sejumlah defek fungsi
sel T telah dikemukakan pada pasien ini. Kandidiasis vulvaginalis
menyebabkan gejala pruritus, rabas, dan kadang-kadang nyeri saat
berhubungan seks atau buang air kecil. Pemeriksaan dengan spekulum
memperlihatkan mukosa yang mengalami inflamasi dan eksudat encer
yang sering dengan cairan seperti dadih (curd) berwarna putih13.

Ulserasi yang kecil dan dangkal yang soliter hingga multipel akibat
candida dapat terlihat dalam esofagus atau saluran pencernaan. Lesi pada
esofagus cenderung terdapat pada bagian sepertiga distal dan dapat
menyebabkan keluhan disfagia atau nyeri substernal. Lesi lainnya seperti
itu cenderung bersifat asimtomatik tetapi mempunyai arti yang penting
pada pasien leukemia sebagai port d’entre untuk kandidiasis diseminata.
Dalam traktus urinarius, lesi yang paling sering ditemukan dapat berupa
abses renal yang didapat secara hematogen dan bisa menyebabkan
azotemia atau kandidiasis kandung kemih. Invasi ke dalam kandung kemih
biasanya terjadi setelah tindakan kateterisasi atau instrumentasi pada
penderita diabetes atau pada pasien yang mendapatkan antibiotik
berspektrum luas. Lesi umumnya asimtomatik dan benigna. Kadang-
kadang invasi retrogard ke dalam pelvis renis menyebabkan nekrosis
papila renal13,3.

Penyebarluasan candida secara hematogen ditemukan dengan


gejala demam dan toksisitas tetapi hanya dengan beberapa gambaran lokal.
Satu atau lebih abses retina dapat ditemukan dan secara perlahan-lahan
abses ini meluas ke dalam humor viterus. Pasien dapat mengeluhkan nyeri
orbital, penglihatan kabur, skotoma, atau opasitas yang melayang-layang
dan menghalangi lapangan penglihatan. Kandidiasis pulmonalis hampir
selalu terjadi secara hematogen dan terlihat pada foto thoraks hanya kalau
abses tersebut berjumlah cukup banyak untuk menimbulkan infiltrat
noduler yang samar-samar atau difus. Kandidiasis pada endokard atau di
sekitar prostesa intrakardiak menyerupai infeksi bakteri pada tempat-
tempat ini. Meningitis atau artritis candida yang kronik dapat terjadi akibat
penyakit yang diseminata atau penyisipan prostesa dalam hal artritis atau
infeksi pintas ventrikuloperitoneal. Manifestasi fokal penyakit diseminata
yang jarang dijumpai mencangkup osteomielitis, lesi kulit yang pustuler,
miositis dan abses serebri.

Gambar 30. (A) Beberapa papulonodul eritematosa pada kulit kepala, dan (8)
beberapa makula eritematosa pucat dan beberapa bercak eritematosa dengan
vesikel / bula pada batang tubuh dan ekstremitas Biopsi kulit pada kedua (C) kulit
kepala dan (D) tungkai bawah kiri , mengungkapkan infiltrasi sel inflamasi
campuran dengan beberapa agregat hifa (panah) dan spora (panah) di dermis dan
subkutis (pewarnaan hematoksilin-eosin; pembesaran asli: (C) 10x dan (D)
400x). sumber : (International Journal of Infectious Diseases, 2010)
e) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan langsung dapat dilakukan yaitu Kerokan kulit atau


usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 20% atau dengan
pewarnaan Gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu. Kerokan
kulit untuk pembuatan sediaan apus dapat dilakukan pada kulit, kuku, dan
mukosa oral serta vaginal.

Untuk pemeriksaan biakan, Bahan yang akan diperiksa ditanam


dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi
antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 3TC, koloni
tumbuh setelah 2-5 hari, berupa koloni mukoid putih3.

Untuk Kandidiasis sistemik, Jika ada lesi kulit; dari kerokan kulit
dapat dilakukan pemeriksan histopatologi dan kultur jaringan kulit. Lesi
candida yang lebih dalam lagi dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
histologi terhadap sayatan spesimen hasil biopsi atau dengan pemeriksaan
kultur cairan serebrospinal, darah, cairan sendi, atau spesimen bedah.
Pemeriksaan kultur darah sangat berguna untuk endokarditis candida dan
keadaan sepsis yang disebabkan oleh pemasangan infus, tetapi
pemeriksaan ini sering tidak begitu memberikan hasil yang positif pada
bentuk penyakit diseminata lainnya.

f) Penatalaksanaan

Kandidiasis kulit pada daerah yang mengalami maserasi akan


memperlihatkan respons terhadap tindakan yang mengurangi kelembaban
kulit dan iritasi plus pemakaian preparat antifungus yang dioleskan secara
topikal dalam bahan dasar nonoklusif. Serbuk nistatin atau krem yang
mengandung preparat siklopiroks atau azol cukup berkhasiat. Klotrimazol,
mikonazol, ekonazol, ketokonazol, sulkonazol dan oksikonazol tersedia
dalam bentuk krem atau losion. Vulvovaginitis candida memberikan
respons yang lebih baik terhadap golongan azol daripada preparat
supositoria niastin. Diantara formula vaginal klotrimazol, mikonazol,
tiokonazol, butakonazol, dan terkonazol hanya terdapat sedikit perbedaan
pada khasiatnya. Pengobatan sistemik terhadap vulvovaginitis candida
dengan menggunakan ketokonazol atau flikonazol lebih mudah dilakukan
daripada pengobatan topikal, tetapi potensi preparat tersebut untuk
menimbulkan efek yang merugikan yang lebih besar. Preparat troches
kotrimazol yang dapat diberikan lima kali sehari lebih efektif untuk
mengatasi kandidiasis oral dan esofagus dibanding suspensi nistatin.
Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg per hari juga berkhasiat
untuk esofagitis candida tetapi banyak pasien yang kurang dapat menyerap
obat tersebut dengan baik karena mendapatkan preparat antagonis reseptor
H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada pasien dengan penyakit
AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga 200mg per hari merupaka
preparat yang paling efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan
esofagus.

Kalau gejala esofagus yang terjadi sangat menonjol, pemberian


amfoterisin B intravena dengan dosis 0,3mg/Kg BB per hari selama 5
hingga 10 hari dapat bermanfaat. Kandidiasis kandung kemih akan
memperlihatkan respons terhadap tindakan irigasi dengan larutan
amamfoterisin B, 50 g/Ml, selama 5 hari. Jika tidak ada kateter kandung
kemih, preparat oral flukonazol dapat digunakan untuk mengendalikan
kandiduria. Pada semua bentuk kandidiasis superfisial, kejadian
eksaserbasi setelah pengobatan yang berhasil sering dijumpai. Kecuali bila
faktor yang mendasari infeksi jamur tersebut dapat dihilangkan.

Amfoterisin B intravena merupakan obat pilihan pada kandidiasis


diseminata. Cara kerja obat ini adalah amfoterisin B berikatan kuat dengan
ergosterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan
menyebabkan membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberapa
bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Obat
tersebut biasanya diberikan dengan dosis 0,4 hingga 0,5 mg/Kg BB setiap
hari sekali atau dengan dosis ganda setiap 2 hari sekali selama waktu
beberapa minggu. Pada pasien tanpa kontraindikasi untuk pemakaian
flusitosin, pemberian obat dengan dosis 100 hingga 150 mg/Kg BB per
hari plus amfoterisin B dengan dosis 0,3 mg/Kg BB per hari merupakan
pilihan alternatif yang efektif. Ketokonazol dengan dosis dewasa 200mg
per hari kemungkinan merupakan obat pilihan untuk kandidiasis
mukokutaneus yang kronik.

I. Mukormikosis

a) Etiologi

Mukormikosis adalah suatu penyakit yang jarang ditemui, tapi


sering berakibat fatal, yang disebabkan oleh jamur ordo mucorales.
Spesies Rhizopus, Rhizomucor, dan cunninghamella paling sering
ditemukan, namun spesies Apophysomyces, Saksenea, Mucor, dan
Absidia kadang-kadang menyebabkan mukormikosis. Jenis jamur ini
memiliki hifa yang lebar dan jarang memiliki septum dengan diameter
yang tidak seragam serta berkisar dari 6 hingga 50 mikron. Jamur tersebut
secara tidak jelas sulit tumbuh dari jaringan yang terinfeksi. Kalau dapat
terjadi, pertumbuhan jamur ini berlangsung cepat dan banyak pada
sebagian besar media perbenihan dengan suhu kamar. Identifikasinya
dilakukan berdasarkan penampakan makroskopis dan mikroskopis jamur
tersebut.

b) Epidemiologi

Infeksi ini terutama menyerang individu imunokompromis,


walaupun pernah ditemukan mukormikosis pada individu imunokompeten.
Insidens di Eropa berdasarkan penelitian retrospektif multisenter
disebutkan 1- 60/ 100 pasien yang masuk ke RS, sedangkan di Asia Pasifik
meningkat seiring peningkatan penderita imunokompromis.
c) Patofisiologi

Spesies Rhizopus dan Rhizomucor terdapat dimana-mana dan


ditemukan pada tumbuhan yang membusuk, kotoran hewan serta makanan
yang kandungan gulanya tinggi. Infeksi oleh spesies jamur ini jarang
terjadi dan terutama ditemukan hanya pada pasien dengan penyakit serius
yang sudah ada sebelumnya. Mukormikosis yang berasal dari dalam sinus
paranasal dan hidung terutama terjadi pada pasien diabetes melitus yang
tidak terkontrol dengan baik. Pasien transplantasi organ, keganasan
hematologi, atau pasien yang mendapatkan terapi deferoksamin jangka
panjang merupakan predisposisi untuk terjadinya mukormikosis pada sinus
atau paru. Mukormikosis gastrointestinal terdapat pada sejhmlah keadaan,
mencangkup uremia, malnutrisi berat, dan penyakit diare. Infeksi didapat
dari alam tanpa melalui penularan antar manusia. Pada semua bentuk
mukormikosis, invasi vaskuler oleh hifa jamur sangat menonjol. Nekrosis
iskemik atau hemorhagik merupakan gambaran histologik yang dominan.

d) Manifestasi klinis

Jamur mukor dapat mengenai organ hidung dan sekitarnya (rhino-


orbita dan rhino-orbito-cerebral), jaringan lunak dan paru. Selain itu juga
dilaporkan dapat menginfeksi saluran cerna, otak, jantung, ginjal, hati,
limpa dan saluran empedu. Gambaran klinis mukormikosis banyak
dikaitkan dengan penyakit yang mendasarinya atau kondisi imunitas
individu tersebut. Mukormikosis paru sering ditemukan pada individu
penderita keganasan hematologi termasuk penerima transplantasi sumsum
tulang, penderita keganasan organ padat dan gangguan kekebalan seperti
HIV/ AIDS dan penyakit auto imun, gangguan fungsi ginjal dan penerima
steroid jangka lama, selanjutnya penderita DM dan terakhir individu
dengan trauma, luka bakar dan major surgery.Mukormikosis rinoserebral
lebih banyak ditemukan pada penderita DM dan mukormikosis
kulitterutama ditemukan pada individu paska trauma. Selain pada
penderita DM, mukormikosis serebral dapat muncul sebagai diseminasi
dari mukormikosis paru, sehingga hendaknya diwaspadai adanya
mukormikosis serebral bila muncul gejala neurologis pada penderita
mukormikosis paru.Selain itu ada hal lain yang dapat mempemudah
individu terinfeksi mukormikosis, yaitu obat azol (dalam hal ini
vorikonazol) yang mempermudah terinfeksi mukor dan mempertinggi
virulensinya, dan individu yang terinfeksi aspergillus invasif. Pada
penderita keganasan hematologi dan penerima transplantasi sumsum
tulang, mukormikosis menempati peringkat ketiga sebagai infeksi jamur
invasif setelah candida dan aspergillus. Gambaran klinik sering tidak khas
dan bervariasi berdasarkan penyakit dasar pasien sehingga penegakan
diagnosis masih sulit. Jangka waktu dari munculnya gejala awal hingga
ditegakkannya diagnostik mukormikosis bervariasi tergantung pada
penyakit dasarnya. Mediannya diketahui satu pekan untuk penderita paska
trauma dan penerima transplantasi sumsum tulang, dua pekan untuk
penderita dengan keganasan hematologi, tiga pekan untuk penderita DM
dan enam pekan untuk penderita penerima transplantasi organ padat2.

e) Pemeriksaan penunjang.

Diagnostik yang saat ini digunakan adalah pemeriksaan


histopatologi, kultur, radiology (MRI or CT scan) dan molecular.
Pemeriksaan PCRRFLP tampaknya mejadi pilihan dalam penegakan
diagnostic dan penentuan spesies penyebab mukormikosis. Pada
pemeriksaan histopatologi, masih sulit mendapatkan gambaran hifa jamur
yang khas dengan disertai gambaran peradangan supuratif disekitarnya.
Sedangkan kultur tidak selalu berhasil, karena beberapa hal diantaranya
pengambiln sampel yang tidak tepat dan tidak tepatnya perlakuan sampel
sebelum pemeriksaan. Tumbuhnya jamur mukor pada kultur hendaknya
dicermati apakah tumbuh di area sampel atau diluar sampel klinik yang
ditanam. Karena mukor dapat ditemukan juga di lingkungan, sehingga bila
ditemukan di luar area penanaman sampel klinik, maka mukor tersebut
bukan penyebab infeksinya. Penegakan diagnostik dapat disesuaikan
dengan ketersediaan alat dan sumber daya manusia terlatih yang ada.
Semakin cepat diagnostic dapat ditegakkan, maka makin baik. Diagnostik
disini sangat penting karena mempengaruhi tatalaksana yang pada
gilirannya akan mempengaruhi outcome pasien. Gambaran mukor dalam
sediaan histopatologi adalah sebagai hifa yang dikelilingi area peradangan.

Gambar 31. Edema wajah kanan dan paralisis. (A) Eschar wajah nekrotik hitam
adalah ciri khas mukormikosis (panah hitam). (B) Pemindaian pencitraan
resonansi magnetik menunjukkan proptosis (panah putih), sinusitis ethmoid.
Sumber :(Ally, dalam The American Journal. 2019)

f) Penatalaksanaan

Tatalaksana mukormikosis adalah pembedahan yang agresif dan


terapi medis yang diikuti dengan perawatan intensif. Selain itu
rekonstruksi juga dilakukan bila ada jaringan yang harus di perbaiki akibat
invasifitas mukormikosis, seperti pembuatan palatum yang rusak akibat
mukormikosis oral. Semakin awal penegakan diagnosis dan tatalaksana
sangat mempengaruhi hasil akhir. Regimen obat yang dianjurkan adalah
amfoterisin B baik yang deoksikolat (1,5 mg/ kg/ BB/ hari) maupun yang
liposomal (3-5 mg/ kg/ BB/ hari) dan dibarengi dengan posaconazole.
BAB IV
PENUTUP

A.Kesimpulan

Infeksi jamur sistemik dimulai dari infeksi lokal atau dari koloni
jamur dalam saluran cerna atau selaput lendir lain yang kemudian menyebar
ke berbagai alat tubuh lain. Infeksi dapat juga dimulai dari paru karena
jamur yang terhisap. Jamur yang dapat menimbulkan infeksi sistemik yaitu
diantaranya, spesies Sporothrix schenckii, Spesies Aspergillus,
Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis,
Blastomyces dermatidis, Paracoccidioides brasiliensis, candida albicans, dan
Spesies Mucorales. Apabila organisme ini masuk ke tubuh pejamu (hospes)
dengan kondisi yang sangat lemah atau immunocompromised, maka infeksi
yang terjadi biasanya berat dan tidak jarang mengancam jiwa. Infeksi jamur
sistemik (IJS) merupakan keadaan klinis yang sangat serius.

B. Saran

Penulis tentunya masih menyadari jika refarat diatas masih terdapat


banyak kekeliruan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis juga sangat
mengharapkan lebih banyak lagi penelitian yang membahas tentang infeksi
jamur sistemik melihat dari resiko mortalitasnya yang relatif tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Putri, D. D. Furqon,M,T, Perdana R,S. Klasifikasi Penyakit Kulit pada


Manusia Menggunakan metode Binary Decision Tree Support Vector
Machine (BDTSVM), Jurnal Pengembangan Teknologi informasi dan Ilmu
Komputer Vol 2.No 5.
2. Adawiyah, R. Mukormikosis, Jurnal Kedokteran Klinik. Volume 1.Nomor
3. 2017
3. Menaldi, S.L., Bramono,K., Indriatmi, W. kandidiasis. Dalam: Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Balain Penerbit FKUI:
Jakarta.2016
4. PERDOSKI. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia: Jakarta. 2017
5. Sibero, T.H. Management of Sporotrikosis, Jurnal Kedokteran Universitas
Lampung. Volume 4. Nomor 7.2018
6. Sugianto, P. krptokokosis. Dalam : Neurology update dalam PIN 2014 Solo.
UNS press: Kentingan. 2014
7. Desiekawati, Efrida. Kriptokokal Meningitis : Aspek Klinis dan Diagnosis
Laboratorium, Jurnal Kesehatan Andalas. Volume 3. nomor 5. 2019
8. Mulyana, R., Marisa, T.Y. Infeksi Jamur Pada Geriatri, Jurnal Human.
Volume 5. Nomor 1. 2020
9. Tanjung, A., Mardianto. Prevalensi histoplasmosis pada mahasiswa
kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara dan hubungan hewan
peliharaan dengan tes histoplasmin, Berkala Umu Kedokteran. Volume 29.
Nomor 3. 2016
10. Hasanah,U. mengenal Aspergillosis, Infeksi Jamur Genus Aspergillus,
Jurnal keluarga sehat sejahtera. Volume 15. nomor 2. 2017
11. Brown, M., et all. Epidemiology and Geographic Distribution of
Blastomycosis, Histoplasmosis, and Coccidioidomycosis, Ontario, Canada,
1990–2015, Emerging Infectious Disease. Volume 24. nomor 7. 2018
12. Suardana, I.W. Aspergillosis, Histoplasmosis. Dalam : Buku Ajar
Zoonosis.penerbit PT Kanisius : Depok. 2015.
13. Sinarta, J., Siahaan, M.J. Pedoman Dalam Penanganan Kandidiasis, Majalah
Ilmiah Methoda. Volume 8. nomor 1. 2018
14. Martinez, R. Epidemiology of paracoccidioidomycosis, Universidade de São
Paulo. Volume 57. nomor 19. 2015.
15. Richard, B. Penyakit Infeksi. Dalam : Nelson Esesnsi Pediatri Edisi 4.
elsevier : USA. 2010
16. Price, A.S., Wilson, L.M. Gangguan sistem dermatologi. Dalam:
patofisiologi. Volume 2. edisi ke enam. Elsevier: Jakarta. 2006.
17. Asdie, A.H. editor. Penyakit infeksi. Dalam : prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Volume 2. edisi 13. penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta. 2017.
18. Setiabudi, R. ilustrator. Obat anti fungal. Dalam : buku farmakologi dan
terapi FK UI. Edisi 5. penerbit FK UI: Jakarta. 2012
19. Sheilaadji, U.M., et al. Cutaneous Aspergilosis Caused by Aspergillus
Flavus. Volume 33. nomor 1. 2021

Anda mungkin juga menyukai