Anda di halaman 1dari 15

SPOROTRIKOSIS

1.1 PENDAHULUAN

Sporotrikosis adalah infeksi subkutaneus dan sistemik yang disebabkan oleh

Sporothrix schenckii yang merupakan jamur dimorfik yang tumbuh dengan cepat.1

Sporotrikosis merupakan infeksi jamur profunda yang kronis dan ditandai dengan adanya

pembesaran kelenjar getah bening serta lesi yang berupa nodul lunak dan mudah pecah lalu

membentuk ulkus yang indolen.2 Sporotrikosis memiliki sinonim sebagai rose gardener’s

disease. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi dari duri mawar sebagai faktor

penting infeksi dari sporotrikosis.3

Mikosis profunda jenis ini merupakan mikosis subkutan yang paling banyak terjadi

di Amerika Selatan. Kasus yang paling banyak dilaporkan terjadi di Meksiko lalu diikuti

dengan bagian Amerika yang lain, Australia, Asia, dan Afrika. Kasus sporotrikosis jarang

dijumpai di Eropa. Pada awal abad 21, terjadi peningkatan kasus sporotrikosis di Rio de

Janeiro, Brazil, dimana dari tahun 1998-2004 tercatat 759 kasus sporotrikosis telah

diidentifikasi dan diobati. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tapi paling banyak

menyerang orang dewasa kuhususnya yang bekerja di peternakan, kebun, dan di hutan.1

Angka morbiditas dari sporotrikosis pada umumnya rendah meskipun terapi yang

diberikan dalam jangka panjang dan dapat memberikan efek samping yang serius. Pada

bentuk infeksi sistemik, penyakit ini dapat mengancam hidup terutama pada orang-orang

dengan immunocompromised.1 Oleh sebab itu, dibutuhkan penanganan yang tepat bagi

penderita sporotrikosis agar nantinya dapat tercapai hasil pengobatan yang maksimal.

1
2.1 DEFINISI

Sporotrichosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dismorfik

Sporothrix schenkii. Umumnya jamur ini menginfeksi dermis dan subkutis. Selain itu,

jamur ini dapat menyebabkan infeksi sistemik dengan gangguan paru-paru, arthritis hingga

meningitis. Dengan kata lain, jamur ini dapat menyebabkan infeksi lokal (subkutan)

maupun sistemik. Lesi biasanya terletak pada ekstremitas, yang dimulai dengan bentuk

nodul. Kemudian nodul tumbuh, saluran limfe menjadi keras seperti kawat dan membentuk

rangkaian nodul, nodul ini menjadi lunak dan membentuk ulkus. Kadang-kadang di dalam

jaringan, sel jamur dikelilingi sebuah rumbai refraktil eosinofil, badan asteroid, yang

merupakan karakteristik organisme, walaupun gambaran yang sama dapat ditemukan pada

infeksi organisme lain (misalnya telur Schistosoma).4

Sporotrikosis memiliki sinonim sebagai rose gardener’s disease. Hal ini

disebabkan oleh adanya kontaminasi dari duri mawar sebagai faktor penting infeksi dari

sporotrikosis.3

2.2 SEJARAH

Sporotrikosis pertama kali ditemukan oleh Benjamin Schenck pada tahun1898.

Schenck mengisolasi agen penyebab penyakit ini lalu mengirim sampel tersebut ke Erwin

Smith, seorang mikologis yang kemudian menyimpulkan bahwa organisme penyebab

penyakit ini termasuk dalam genus Sporotrichum. Di Eropa, kasus sporotrikosis pertama

kali dilaporkan pada tahun 1903 dan lebih dari 200 kasus dilaporkan dalam kurun waktu 10

tahun (Mariat 1968). Kasus sporotrikosis di Brazil pertama kali dilaporkan pada tahun

1907 oleh Lutz dan Splendore, mereka juga merupakan orang yang menemukan bahwa

bentuk ragi dari jamur ini dapat dibiakkan secara in vitro. 1,5

2
Bentuk dimorfik dari jamur ini pertama kali ditemukan oleh Howard (1961).

Bentuk dimorfik tersebut adalah bentuk miselial dan bentuk ragi. Bentuk miselial ini

didapatkan pada biakan dengan temperatur 25 ºC, sedangkan bentuk ragi ditemukan pada

temperatur 37 ºC. 5

2.3 EPIDEMIOLOGI

Infeksi sporotrikosis terjadi pada negar-negara beriklim sedang dan tropis.

Sporotrikosis dapat ditemukan di negara Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika

Selatan, termasuk juga Amerika Serikat bagian selatan dan Meksiko, juga di negara Afrika,

Mesir, Jepang, dan Australia. Negara dengan rasio infeksi tertinggi antara lain: Meksiko,

Brazil, dan Afrika Selatan. Di Eropa, infeksi sporotrikosis ini sudah jarang terjadi. Di alam,

jamur ini tumbuh pada bagian tanaman yang telah membusuk seperti tumpukan tumbuhan,

daun dan batang tanaman yang telah membusuk. Walaupun infeksi sporotrikosis ini

biasanya sporadis, Sporothrix schenkii juga menyerang para pekerja yang kontak langsung

dengan organisme ini seperti mereka yang menggunakan jerami sebagai bahan penutup

tubuh, tukang kebun, pekerja di hutan, dan pelancong yang menyebabkan kontak dengan

tumpukan tanaman penginfeksi. Organisme ini masuk ke dalam kulit sebagai luka

setempat.4

Sporotrikosis dapat menyerang semua usia dan jumlah penderita laki-laki dan

perempuan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Umumnya infeksi terjadi

akibat inokulasi jamur melalui duri tanaman, goresan, dan trauma kecil saat rekreasi

ataupun saat bekerja seperti berkebun, memancing, berburu, bertani dan beternak,

menambang dan memotong kayu. Selain itu, sporotrikosis juga berkaitan dangan cakaran

atau gigitan binatang. Sejak tahun 1984. kucing peliharaan memmegang peranan yang

penting terhadap transmisi mikosis ke manusia. Kasus sporotrikosis yang disebabkan oleh

3
hewan ini paling banyak terjadi di Brazil, dimana anatara tahun1998 sampai 2004

didapatkan 1.503 kucing, 64 ekor anjing dan 759 manusia terinfeksi oleh jamur Sporothrix

schenkii. Isolasi jamur dari kuku dan rongga mulut kucing semakin menguatkan bahwa

transmisi dapat terjadi melalui cakaran ataupun gigitan.

2.4 ETIOLOGI

Telah disebutkan di atas bahwa sporotrikosis disebabkan oleh jamur Sporothrix

schenkii, termasuk dalam genus Sporotrichum jamur ini memiliki 2 bentuk yaitu bentuk

miselial dan bentuk ragi (yeast). Bentuk miselial ditandai dengan adanya hifa ramping

yang bersepta dan bercabang yang mengandung konidiofor tipis yang pada ujungnya

membentuk vesikel kecil yang bergabung membentuk dentikel. Tiap dentikel

menghasilkan satu konidium dengan ukuran kira-kira 2-4 µm dan konidia ini ini

membentuk gambaran seperti bunga.1,5

Gambar 1. gambar konidiofor dan konidia dari jamur Sporothrix schenkii , Dikutip dari (1)

Sedangkan bentuk ragi dari jamur Sporothrix schenkii menunjukkan bentuk spindle

dan/atau oval dengan ukuran 2,5-5 µm dan menyerupai bentuk cerutu. Biakan secara in

vitro dapat menunjukkan gambaran miselial pada suhu 25 ºC, sedangkan gambaran ragi

dapat ditemukan pada biakan dengan temperatur 37 ºC. 1,3,5

4
Gambar 2. Gambar bentuk ragi dari jamur Sporothrix schenkii; Dikutip dari (1)

2.5 PATOGENESIS

Sporotrikosis adalah infeksi kronis yag disebabkan Sporothrix schenkii yang

ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit dan jaringan subkutis di atas

nodus biasanya lunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen. Penyakit ini mempunyai

insiden yang cukup tinggi pada daerah tertentu. Umumnya ditemukan pada pekerja di

hutan maupun petani.2 Sporotrikosis sangat sering didapat dari inokulasi kutaneus,

terutama oleh vegetasi seperti duri dan kayu. Transmisi dari hewan ke manusia jarang

ditemukan. Inokulasi yang multiple diperkirakan terjadi serentak. Hal ini dibingungkan

dengan penyebaran dari lesi primer yang tunggal. Gambaran dan rangkaian dari

sporotrikosis bergantung pada respon imun host serta ukuran dan virulensi inokulum. Pada

host yang sebelumnya tidak terinokulasi, terjadi keterlibatan pembuluh limfe regional.

Dalam kasus dengan host yang pernah terpapar dengan Sporothrix schenkii tidak terjadi

penyebaran pembuluh limfe dan sebuah fixed ulcer berada pada tempat inokulum atau

plaque yang granulomatous (terutama pada wajah).3

Pada awalnya, infeksi jamur ini didapat melalui inokulasi kutaneus. Gambaran awal

berupa kemerahan, nekrotik, dan papul noduler dari sporotrikosis kutaneus biasanya

muncul pada minggu 1-10 setelah penetrasi luka di kulit. Lesi ini merupakan granuloma

5
supuratif yang mengandung histiosit dan giuant cells, dengan netrofil yang mengumpul di

tengah dan dikelilingi oleh limfosit dan sel plasma.1

Infeksi dari jamur Sporothrix schenkii menyebar dari lesi awal ke sepanjang

saluran limfatik, membentuk rantai nodular yang indolen dan lesi ulserasi khas dari

limfokutaneus sporotrikosis. Jaringan lain dapat terlibat melalui perluasan langsung dan

melalui hematogen (lebih jarang). Tempat infeksi ekstrakutaneus yang paling sering adalah

tulang, sendi, sarung tendon dan bursae. Penyebaran secara hematogen-khususnya pada

orang yang immunocompromised- menghasilkan infeksi kutaneus dan visceral yang luas,

termasuk meningitis.1

2.6 GAMBARAN KLINIS

Sporotrikosis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu: (1) limfokutaneus,

(2) fixed cutaneus, (3) disseminated, dan (4) ekstrakutaneus. Bentuk limfokutaneus adalah

bentuk yang paling umum, sekitar 75% dari seluruh kasu s. Biasanya setelah masa inkubasi

1-10 minggu atau lebih, lesi berwarna ungu kemerahan, nekrotik, lesi nodular kutaneus

mengikuti jalur limfatik dan biasanya membentuk ulserasi.6 Selain itu pada bentuk

limfokutaneus tidak dijumpai adanya gejala sistemik. Isolasi pada tempat lesi ini tumbuh

baik pada temperatur 35 ºC dan 37 ºC. 6,7

Gambar 3. Sporotrikosis limfokutaneus, lesi ulserasi spenjang sistem limfe.; Dikutip dari (7)

6
Pada bentuk fixed cutaneous sporotrichosis, lesi primer berkembang dari tempat

implantasi jamur, biasanya pada tempat-tempat yang sering terekpos seperti tungkai,

tangan, dan jari. Umumnya pada saat awal lesi berupa nodul yang tidak nyeri yang

kemudian menjadi lunak dan pecah menjadi ulkus dengan discharge yang serous ataupun

purulen. Yang penting diingat bahwa, lesi tetap terlokalisir di sekitar tempat implantasi

awal dan tidak menyebar sepanjang saluran limfe.7

Gambar 4. Fixed cutaneous sporotrichosis; Dikutip dari (7)

Infeksi disseminated seperti infeksi sporotrikosis visceral, osteoartikular,

meningeal, dan sporotrikosis pulmoner sering terjadi pada pasien dengan penyakit penyerta

seperti diabetes melitus, keganasan hematologi, alkoholisme, penggunaan agen

immunocompromised, penyakit paru menahun, dan infeksi HIV.

Gambar 5. Sporotrikosis disseminated; Dikutip dari (1)

7
Bentuk ekstrakutaneus adalah bentuk yang jarang terjadi dan bentuk ini biasanyua

berasal dari inhalasi konidia atau penyebaran secara hetogen yang berasal dari inokulasi

yang dalam. Penyakit osteoartikular dengan monoartritis atau tenosinovitis sering

ditenukan pada sporotrikosis ekstrakutaneus. Sporotrikosis pulmoner terjadi pada laki-laki

dengan penyakit paru dan menyerupai tuberkulosis, dengan komplikasi fibrokavitari.

Sporotrikosis meningitis jarang terjadi, tapi pernah didapatkan pada pasien HIV dengan

jumlah CD4 <200 sel/ml.6

2.7 GAMBARAN HISTOPATOLOGIS

Secara histopatologis, inflamasi supuratif dan granulomatous terlihat di dermis dan

subkutan. Organisme penyebab jarang terlihat. Pewarnaan antibodi fluoresensi mungkin

membantu menggambarkan bentuk cigar (cigar-shaped) ragi (lihat gambar 2). Kadang-

kadang di dalam jaringan, sel jamur dikelilingi sebuah rumbai refraktil eosinofil, badan

asteroid yang merupakan karakteristik organisme, walaupun gambaran yang sama dapat

ditemukan pada infeksi organisme lain (misalnya telur Schistosoma).1,3

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sumber terbaik dari bahan untuk diagnostik adalah pulasan eksudat dan biopsi.

Sporothrix schenkii sangat jarang terlihat pada pemeriksaan mikroskopis langsung karena

raginya biasanya muncul hanya pada jumlah kecil; organiseme penyebab dapat diisolasi

dengan membacanya pada agar Saboraud’s. Pada kultur yang pertama kali, jamur tumbuh

sekaligus dan berkembang menjadi jamur dengan kepadatan dan koloni putih yang

menggelap sesuai usia. Secara miroskopis, hifa memproduksi konidia segitiga atau konidia

oval yang kecil yang keduanya ada pada hifa yang khusus pada miselium.4

8
Gambar 6. Jamur Sporothrix schenkii pada media agar Saboraund.; Dikutip dari (8).

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Ketika terdapat bentuk sporotrichoid, penyebab utama yang harus dipikirkan adalah

infeksi mikobakterial yang atipik, yaitu M.marinum, yang secara umum penyebabnya

ditunjukkan pada tabel 1. Sebagai organisme yang tidak terlihat secara khas oleh KOH atau

pemeriksaan histopatologi, kultur (pus atau jaringan) biasanya dibutuhkan untuk diagnosis

sporotrikosis secara tepat. Pertumbuhannya berlangsung cepat pada suhu 25º C,

mengeluarkan sebuah glabrous putih hingga coklat yang menjadi tetap dan berkerut,

menjadi berpigmen gelap dengan penuaan. Secara mikroskopik, konidia yang berkelompok

di ujung konidiofor (hifa); yang tunggal, konidia berdinding tebal dan berpigmen yang

dapat juga tumbuh dari hifa. Dalam suhu 37ºC, dalam media yang kaya glukosa,

pertumbuhannya lambat, berwarna keputihan, pucat, koloni seperti ragi. Dalam

pemeriksaan mikroskopik, tunas ragi terlihat seperti bentuk rokok, contohnya yaitu

Sporothrix schenkii adalah bagian dari famili dimorfik dari fungi. Diagnosis banding

sporotrikosis dan penyebaran lesi terlihat luas dan termasuk kelainan lainnya dari

granulomatous, dimana keduanya sama-sama infeksius dan meradang.3,4

Kondisi secara umum sulit dibedakan dengan sporotrikosis adalah mikrobakterial

dan infeksi kutaneus primer Nocardia dan leismaniasis. Infeksi mikrobakterial non

9
tuberkulosis disebabkan oleh organisme Marinum (granuloma fish-tank), mirip limfangitik

sporotrikosis. Selain itu, sporotrikosis juga harus dapat dibedakan dengan histoplasmosis,

spinocellular carsinoma, foreign body granulomas, dan pioderma yang dalam. 3,4

Tabel 1. Agen penyebab penyakit infeksi dengan pola limfokutaneus (‘spototrikoid’)

Agen penyebab penyakit infeksi dengan pola limfokutaneus (‘spototrikoid’)

Terbanyak

Mikobakterium atipikal, khususnya M. marinum tapi juga spesies lain (cth. M. chelonae,

M. kansasii)

Sporotrikosis

Penyebab yang tiak biasa

Nocardiosis

Bakteri piogenik (cth. Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes)

Pseudallescheria boydii

Jarang (pada negara maju)

Leishmaniasis

Tularemia

Tuberculosis

Jamiur dimorfik lain selain Sporothrix schenckii

Jamur oportunis pada orang dengan immunocompromised (cth. Fusarium, Alternaria)

Glanders (Burkholderia mallei)

10
Agen penyebab penyakit infeksi dengan pola limfokutaneus (‘spototrikoid’)

Penyakit akibat cakaran kucing

Anthrax

Cowpox

Acanthamoeba spp.

Dikutip dari (3)

2.10 PENATALAKSANAAN

Sebagian besar kasus sporotrikosis adalah infeksi pada kulit dan jaringan subkutan

yang terlokalisir yang tidak membahayakan hidup dan dapat diobati dengan pemberian

obat anti jamur oral. Pengobatan terpilih untuk fixed cutaneus atau sporotrikosis

limfokutaneus adalah itrakonazole selama 3-6 bulan. Obat pilihan untuk sporotrikosis

osteoartikular juga itrakonazole, tapi terapi diteruskan setidaknya selama 12 bulan.

Sporotrikosis pulmoner memberikan respons yang kurang terhadap pengobatan. Infeksi

yang berat memerlukan pengobatan dengan amfoterisin B; untuk infeksi yang ringan

sampai sedang dapat diobati dengan itrakonazole. Bentuk disseminated dan meningitis

jarang dan biasanya memerlukan pengobatan dengan amfoterisin B. Pada pasien dengan

AIDS kebanyakan dengan infeksi yang luas dan membutuhkan terpi supresif seumur hidup

dengan itrakonazole setelah penggunaan amfoterisin B.9

Pada pasien sporotrikosis kutaneus dan limfokutaneus, itrakonazole 200 mg/hari

disarankan selama 2-4 minggu setelah semua lesi telah teratasi, biasanya total lama

pengobatan 3-6 bulan. Pasien yang tidak memberikan respon dapat diberikan itrakonazole

dengan dosis yang lebih tinggi (200mg, 2 kali sehari); terbinafin 500 mg dua kali sehari;

11
atau saturated solution of potassium iodide (SSKI) dengan dosis awal 5 tetes, tiga kali

sehari dan dinaikkan sampai 40-50 tetes, tiga kali sehari. Flukonazole (400-800 mg/hari)

digunakan bila pasien tidak dapat mentoleransi obat-obat yang tadi disebutkan.6,9

Untuk sporotrikosis pulmoner, obat pilihannya adalah amfoterisin B yang diberikan

dalam bentuk formulasi lipid dengan dosis 3-5 mg/kg/hari, atau amfoterisin B deoksikolat

dengan dosis 0,7-1 mg/kg/hari sebagai terapi awal. Setelah tampak perbaikan dapat

diberikan itrakonazole 200 mg dua kali/hari selama paling sedikit 12 bulan.6,9

Pengobatan pilihan untuk keterlibatan osteoartikular adalah itrakonazole 200 mg

dua kali sehari selama paling sedikit 12 bulan. Jika lesinya luas atau terapi dengan

itrakonazole gagal maka dapat diberikan amfoterisin B yang diberikan dalam bentuk

formulasi lipid dengan dosis 3-5 mg/kg/hari, atau amfoterisin B deoksikolat dengan dosis

0,7-1 mg/kg/hari.6,9

Pada sporotrikosis meningeal, obat pilihannya adalah amfoterisin B yang diberikan

dalam bentuk formulasi lipid dengan dosis 5 mg/kg/hari selama 4-6 minggu, disarankan

sebagai terapi awal lalu dilanjutkan dengan itrakonazole 200 mg dua kali sehari. Untuk

pasien AIDS, terapi supresif dengan itrakonazole 200 mg/hari direkomendasikan untuk

mencegah relaps.6

Wanita hamil yang menderita sporotrikosis pulmoner tau disseminated dapat

menggunakan amfoterisin B dalam bentuk formulasi lipid dengan dosis 3-5 mg/kg/hari

atau amfoterisin B deoksikolat dengan dosis 0,7-1 mg/kg/hari; derivat azole harus

dihindari. Untuk anak-anak dapat diberikan itrakonazole 6mg/kg dapat ditingkatkan

sampai 400 mg/hari atau SSKI, dengan dosis awal satu tetes tiga kali sehari sampai

maksimum 10 tetes tiga kali sehari.6

12
2.11 PENCEGAHAN

Sarung tangan sebaiknya digunakan selama menangani atau merawat hewan yang

terinfeksi, khususnya kucing. Setelah sarung tangan dilepaskan, tangan sebainya dicuci

secara keseluruhan dan didesinfeksi dengan menggunakan chlorhexidine, povidone iodine,

atau cairan lain dengan aktivitas antijamur. Pakaian pelindung seperti sarung tangan, baju

lengan panjang, dan celana panjang dapat menurunkan resiko terinfeksi ketika bekerja di

semak mawar, rumput kering, tanaman berduri atau bagian tanaman lainnya yang dapat

menusuk kulit dimana tanaman ini berkaitan dengan insidens sporotrikosis.

2.12 PROGNOSIS

Sebagian besar bentuk sporotrikosis pada manusia adalah bentuk limfokutaneus

yang biasanya terlokalisir pada kulit dan jarang sekali menyebabkan kematian. Namun,

luka parut dan superinfeksi bakteri mungkin terjadi. Selain itu juga ada resiko menjadi

disseminated atau superinfeksi bakteri yang dapat menyebabkan sepsis.10

Disseminated sporotrichosis memiliki prognosis yang buruk dan dapat mengancam

jiwa penderitanya. Disseminated sporotrichosis lebih banyak terjadi pada orang dengan

penyakit penyerta lainnya seperti alkoholisme, diabetes, kanker atau imunosupresif.

Sporotrikosis pulmoner juga sangat jarang terjadi. Penyakit ini biasa ditemukan pada orang

dengan penyakit paru yang telah ada sebelumnya atau peminum alohol. Sporotrikosis

pulmoner dapat menjadi kronik dan berakibat fatal, selain itu respon terhadap

pengobatannya tidak begitu baik.10

13
3.1 KESIMPULAN

Sporotrikosis disebabkan oleh jamur dimorfik Sporotrix schenckii (bentuk

miselium pada suhu 250C dan bentuk ragi pada suhu 370C), yang diperoleh karena

inokulasi trauma atau inhalasi spora jamur. Kelainan kulit akibat inokulasi, berupa papul,

nodus dengan perluasan secara limfogen kutan yang disebut sebagai sporotrichoid pattern.

Lesi eritematosa berwarna keunguan dengan permukaan datar atau verukus dan dapat

terjadi ulserasi. Manifestasi ektrakutan berupa osteoartritis, penyakit paru kronis, dan

keterlibatan SSP yang terjadi akibat penyebaran hematogen pada pasien

imunokompromais.

Gambaran histopatologik adalah radang granulomatosa dengan hiperplasia

pseudoepiteliomatosa. Pada perwarnaan PAS dapat ditemukan spora berbentuk cigar

(cerutu) di dalam granuloma. Terapi pilihan pada sporotrikosis kutan adalah kalium yodida

4-6 ml, 3 kali sehari yang diteruskan selama 3-4 minggu setelah tercapainya kesembuhan

klinis. Pengobatan alternatif adalah itrakonazol 100mg-200mg/hari atau terbinafin 250

mg/hari sedangkan pada yang diseminata ataupun dengan keterlibatan SSP diberikan

amfoterisin B intravena. Terapi diteruskan sampai 1 minggu setelah terjadi perbaikan

klinis.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Miller, Scott D. Dermatologic manifestation of sporotrichosis. 2016. Available from:


URL: https://emedicine.medscape.com/article/1091159-overview. Diakses tanggal 14
Juni 2019.

2. Budimulja, Unandar. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi III
(Editor: Djuanda Adhi,dkk). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.
p. 88-9.

3. Bolognia, Jean L,dkk. Subcutaneous mycosis dalam Dermatology. Volume I. Edisi II


(Editor: Callen, Jeffrey, dkk). Elsevier Inc. 2008.

4. Hay, Roderick J. Deep fungal infection dalam Fitzpatrick’s dermatology in general


medicine. Edisi VII (Editor: Klaus Wolff,dkk). New York: The McGraw-Hill
Company. 2008. p. 1831-6.

5. Mendoza, Natalia,dkk. Cutaneous and subcutaneous mycoses dalam Clinical


Mycology. Edisi II (Editor: Anaissie, Elias, dkk). New York: Elsevier. 2009. p. 367-69.

6. Higuita, Nelson I. Sporotrichosis. 2018. Available from: URL:


https://emedicine.medscape.com/article/1091159-overview. Diakses tanggal 14 Juni
2019.

7. Kauffman, Carol A, dkk. Practice guideline guidelines for the management of patients
with sporotrikosis dalam Clinical Infectious Disease. 2000; 30: 684-7.

8. Center for Food Security and Public Health. Sporotrichosis. 2017. Available fro: URL:
http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/sporotrichosis.pdf. Diakses tanggal 14
Juni 2019.

9. Entjang. Indan.2003. Mikrobiologi & Parasitologi. PT.Citra Aditya bakti. Bandung.

10. Gould. Dinah.2003. Mikrobiologi Terapan Untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai