Anda di halaman 1dari 33

Referat

Krisis Hipertensi
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :

Dexel Putra P.S Simbolon, S.Ked


120611033

Preseptor :
dr. Herlina Sari, Sp.S

BAGIAN ILMU NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

RSUD CUT MEUTIA

ACEH UTARA

1
2018

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan penyusunan referat dan case yang
berjudul “Krisis Hipertensi” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini
dimaksudkan untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Neurologi
Dalam di Rumah Sakit Umum Cut Meutia.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada


berbagai pihak yang telah membantu dan membimbing saya dalam penyusunan
referat ini, terutama kepada :

1. dr. Herlina Sari, Sp.S


2. Perawat Bangsal Neurologi RSUD Cut Meutia
3. Perawat Poliklinik Saraf RSUD Cut Meutia
4. Rekan-rekan koasisten Kepaniteraan Klinik Ilmu Neurologi periode 17
Desember 2018 – 25 January 2019

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak lain yang telah
membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih ditemui


banyak kekurangan , baik isi maupun format penyusunan. Maka dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
mendatang.

Akhir kata, saya selaku penyusun berharap referat mengenai “Krisis


Hipertensi” ini dapat berguna bagi rekan-rekan sekalian.

Lhokseumawe, Januari 2019


Penyusun

Dexel Putra P.S Simbolon, S.Ked


120611033

2
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia dan

berkaitan erat dengan pola perilaku hidup masyarakat itu sendiri. Selama kurun

waktu kehidupannya, penderita hipertensi bisa mengalami peningkatan tekanan

darah yang mendadak yang disebut sebagai krisis hipertensi. Keadaan ini dapat

menyebabkan kerusakan organ target yang pada akhirnya akan meningkatkan

angka kematian akibat hipertensi.

Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan

secara garis besar, The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini

menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi

(mendesak). (15). Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari

tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Seberapa besar TD yang dapat

menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga bisa terjadi pada

penderita yang sebelumnya nomortensi atau HT ringan/sedang.

Menurut beberapa penulis, 1% dari penderita hipertensi akan mengalami

krisis hipertensi dengan gangguan kerusakan organ seperti infark serebral

(24,5%), ensefalopati (16,3%) dan perdarahan intraserebral atau subaraknoid

(4,5%), gagal jantung akut dengan edema paru (36,8%), miokard infark akut atau

angina tidak stabil (12%), diseksi aorta (2%), eklampsia (4,5%) dan ginjal (1%).

Kejadian krisis hipertensi diperkirakan akan meningkat pada masyarakat

sejalan dengan meningkatnya data hipertensi, seperti dikemukakan oleh majalah

3
the Lancet dan WHO, dari 26% (tahun 2000) menjadi 29% (tahun 2025) sehingga

diperkirakan kejadian hipertensi krisis akan meningkat dari 0,26% menjadi 0,29%

penduduk dewasa di seluruh dunia pada masa yang akan datang.

Untuk mencegah timbulnya kerusakan organ akibat krisis hipertensi di

Indonesia, perlu dilakukan upaya pengenalan dini dan penatalaksanaan krisis

hipertensi yang disepakati bersama sehingga dapat dilaksanakan oleh para dokter

di pelayanan primer ataupun di rumahsakit. Dalam makalah ini akan dibahas

mengenai definisi, klasifikasi, aspek klinik, prosedur diagnostik dan pengobatan

krisis hipertensi.1,2,3

4
BAB II

KRISIS HIPERTENSI

DEFENISI

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang

mendadak (sistole ≥ 180mmHg dan/atau diastole ≥ 120 mmHg), pada penderita

hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera.

EPIDEMIOLOGI

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20%

HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis

hipertensi dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 –

130 mmHg yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan

yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis

HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 –

7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang

tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10

tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika

hanya lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di

Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadian ini.3,4

KLASIFIKASI KRISIS HIPERTENSI

5
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan

perioritas pengobatan, sebagai berikut :

1. Hipertensi Emergensi (darurat)

Kenaikan tekanan darah mendadak, ditandai dengan TD Diastolik

> 120 mmHg dan disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang

disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Pada

keadaan ini diperlukan tindakan penurunan tekanan darah yang segera

dalam ukuran waktu menit/jam. Keterlambatan pengobatan akan

menyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. Penderita perlu dirawat

di ruangan intensive care unit atau (ICU).1,2

2. Hipertensi Urgensi (mendesak)


Kenaikan tekanan darah mendadak ditandai TD diastolik > 120

mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ

sasaran. TD harus diturunkan dalam 24-48 jam sampai batas yang aman

memerlukan terapi parenteral.1,2

Kedua jenis krisis hipertensi ini perlu dibedakan dengan cara anamnesis

dan pemeriksaan fisik, karena baik faktor resiko dan penanggulannya berbeda.

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >

200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple

drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

6
2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai

dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke

fase maligna.

3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >

120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,

peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal

ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.

Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi

essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang

sebelumnya mempunyai TD normal.

4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan

keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini

dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

Tabel I : Hipertensi Emergensi ( darurat )


TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.

􀂙 Pendarahan intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.

􀂙 Hipertensi ensefalopati.

􀂙 Aorta diseksi akut.

􀂙 Oedema paru akut.

􀂙 Eklampsi.

􀂙 Feokhromositoma.

􀂙 Funduskopi KW III atau IV.

􀂙 Insufisiensi ginjal akut.

7
􀂙 Infark miokard akut, angina unstable.

􀂙 Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :


 Sindrome withdrawal obat anti hipertensi.
 Cedera kepala.
 Luka bakar.
 Interaksi obat.

Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )


 Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I.
 KW I atau II pada funduskopi.
 Hipertensi post operasi.
 Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.

Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak

hanya dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya

kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat

mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai

contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati,

gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik >

140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita

hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi

ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul

walaupun TD 160/110 mmHg.1,2,4

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi tidaklah begitu jelas, namun

demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :

8
1. Peran peningkatan Tekanan Darah

Akibat dari peningkatan mendadak TD yang berat maka akan terjadi

gangguan autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik

yang menimbulkan kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan

terhadap sistem autoregulasi secara terus-menerus akan memperburuk keadaan

pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi keadaan kerusakan endovaskuler

(endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai nekrosis fibrinoid di

arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle) dimana akan

terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif. Trigernya

tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang

mendasarinya.

Bila stress peningkatan tiba-tiba TD ini berlangsung terus-menerus maka

sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman dan selanjutnya

melakukan vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh darah. Usaha ini

dilakukan agar tidak terjadi penjalaran kenaikan TD ditingkat sel yang akan

menganggu hemostasis sel. Akibat dari kontraksi otot polos yang lama, akhirnya

akan menyebabkan disfungsi endotelial pembuluh darah disertai berkurangnya

pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi endotelial akan ditriger oleh

peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya seperti sitokin, endhotelial

adhesion molecule dan endhoteli-1.

Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel

endotelial, menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem

koagulasi yang teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi

9
akan mengendapkan materi fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah

kecil dan sempit sehingga makin meningkatkan TD. Siklus ini berlangsung terus

dan menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh darah yang makin parah dan

meluas.

2. Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin

Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memegang peran penting

dalam patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin dalam darah

akan meningkatkan vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula

meningkatkan hormon aldosteron yang berperan dalam meretensi air dan garam

sehingga volume intravaskuler akan meningkat pula. Keadaan tersebut diatas

bersamaan pula dengan terjadinya peningkatan resistensi perifer pembuluh darah

yang akan meningkatkan TD. Apabila TD meningkat terus maka akan terjadi

natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan akan merangsang renin

kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II sehingga terjadi iskemia

pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau krisis hipertensi.2,3

FAKTOR RESIKO

Krisis hipertensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut :1,2

 Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti

hipertensi tidak teratur.


 Kehamilan.
 Penggunaan NAPZA.
 Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar

berat, phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskuler, trauma

kepala.

10
 Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.

MANIFESTASI KLINIS

 Bidang Neurologi :

o Sakit kepala, hilang/kabur penglihatan, kejang, gangguan

kesadaran (somnolen, sopor, coma).

 Bidang Mata :

o Funduskopi berupa perdarahan retina, eksudat retina, edema papil.

 Bidang kardiovaskular :

o Nyeri dada, edema paru.

 Bidang Ginjal :

o Azotemia, proteinuria, oliguria.

 Bidang obstetri :

o Preklampsia dengan gejala berupa gangguan penglihatan, sakit

kepala hebat, kejang, jantung kongestif dan oliguri, serta gangguan

kesadaran/gangguan serebrovaskuler.

Tabel 2. Gambaran Klinik Hipertensi Darurat 5


Tekanan Gastro-
Funduskopi Status neurologi Jantung Ginjal
darah intestinal
Perdarahan, Sakit kepala, Denyut jelas,
> 220/140 eksudat, kacau, gangguan membesar, Uremia, Mual,
mmHg edema kesadaran, dekompensasi, proteinuria muntah
papilla kejang. oliguria

11
DIAGNOSA

Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil

terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu

hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal

kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.1,2,3

1. Anamnesis :

 Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

 Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

 Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.

 Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, kejang, gangguan kesadaran,

perubahan mental, ansietas ).

 Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang, azotemia,

proteinuria ).

 Gejala sistem kardiovascular ( adanya gagal jantung, kongestif dan oedem

paru, nyeri dada ).

 Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.

 Riwayat kehamilan : preeklampsi dengan gejala berupa gangguan

penglihatan, sakit kepala hebat, kejang, nyeri abdomen kuadran atas, gagal

jantung kongestif dan oliguri, serta gangguan kesadaran/ gangguan

serebovaskular.

2. Pemeriksaan fisik :

12
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD mencari kerusakan

organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif,

altadiseksi). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan

neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari

penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

 Pengukuran tekanan darah di kedua lengan.

 Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas.

 Auskultasi untuk mendengar ada/tidak bruit pembuluh darah besar, bising

jantung dan ronkhi paru.

 Pemeriksaan neurologis umum.

3. Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

1) Pemeriksaan yang segera/awal seperti :

o Darah : Hb, hematokrit, kreatinin, gula darah dan elektrolit.

o Urinalisa

o EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.

o Foto thorax : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah

pengobatan terlaksana ).

2) Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil

pemeriksaan yang pertama ) :

 CT scan kepala
 Echocardiografi
 Ultrasinigrafi

13
Penetapan diagnostik

Walau biasanya pada krisis hipertensi ditemukan tekanan darah ≥

180/120mmHg perlu diperhatikan kecepatan kenaikan tekanan darah tersebut dan

derajat gangguan organ target yang terjadi.1,2,3

DIAGNOSIS BANDING

Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis


hipertensi seperti :
- Hipertensi berat
- Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
- Ansietas dengan hipertensi labil.
- Oedema paru dengan payah jantung kiri.

PENATALAKSANA KRISIS HIPERTENSI

A. TATALAKSANA HIPERTENSI EMERGENSI


 Penanggulangan hipertensi emergensi harus dilakukan di rumah sakit

dengan fasilitas pemantauan yang memadai.


 Pengobatan parenteral diberikan secara bolus atau infus sesegera mungkin.
 Tekanan darah harus diturunkan dalam hitungan menit sampai jam dengan

langkah sebagaiberikut:
 5 menit s/d 120 menit pertama tekanan darah rata-rata (mean arterial blood

pressure) diturunkan 20-25%.


 2 s/d 6 jam berikutnya diturunkan sampai <140/90 mmHg bila tidak ada

gejala iskemi organ.

Tujuan penanganan hipertensi krisis adalah adalah untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas. Penderita hipertensi emergensi harus dirawat di ruang

perawatan intensif dengan target pengobatan menurunkan tekanan arteri rerata

tidak lebih dari 25 % dalam satu jam dan jika sudah stabil selanjutnya diturunkan

14
menjadi 160/100-110 mm Hg dalam 2 - 6 jam. Penurunan tekanan yang terlalu

cepat dan melampui target tersebut dapat menginduksi iskemia renal, cerebral dan

koroner. Atas dasar hal tersebut pemakaian Nifedipin short acting tidak lagi

direkomendasi untuk pengobatan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika telah

tercapai target pengobatan awal dan tekanan darah stabil maka pengobatan untuk

menurunkan tekanan darah lebih lanjut dapat dimulai dalam 24-48 jam

kemudian.6,7,8

Obat yang dipergunakan untuk menurunkan tekanan darah pada hipertensi

emergensi diberikan secara parentral. Pengobatan hipertensi krisis secara spesifik

tergantung dari kerusakan target organ yang terjadi. Obat-obat yang biasanya

dipergunakan dalam penanganan penderita dengan hipertensi emergensi adalah

seperti berikut.

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi

Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis

hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau

urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran

maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu

dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial

maupun venous. Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu :

1 – 2 dosis 1 – 6 ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat,

foto sensitif, hipotensi.

15
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila

dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 –

5 menit, duration of action 3 – 5 menit. Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara

infus i. V. Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.

3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara

i. V bolus. Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit,

duration of action 4 – 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat

diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan.

Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,

hiperuricemia, aritmia, dll.

4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5

– 1 jam, i.v : 10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam. Dosis : 10 – 20

mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m. Pemberiannya bersama dengan alpha

agonist central ataupun Beta Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi

dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular. Efeksamping :

refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,

eksaserbasi angina, MCI akut dll.

5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on

action 15 – 60 menit. Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.

6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers.

Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis

5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m. Onset of action 11 – 2 menit, duration

of action 3 – 10 menit.

16
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan

menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 – 4 mg / menit

secara infus i.v. Onset of action : 1 – 5 menit. Duration of action : 10

menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest,

glaukoma, hipotensi, mulut kering.

8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 –

80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.

Onset of action 5 – 10 menit. Efek samping : hipotensi orthostatik,

somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll. Juga tersedia dalam

bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan

efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering

dijumpai.

9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan

sistem syaraf simpatis. Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset

of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam. Efek

samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with

drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan

kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.

10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.

Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug

dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 –10 menit

dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping :

17
rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila

dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat

oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah

lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD

dapat diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara

menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD

dapat naik kembali dalam beberapa menit.8,9

Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus

intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang

diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat

bila digunakan obat parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD

yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.

Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan, telah diteliti pemakaian

clonidine pada krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan adalah

150mcg ( 1 ampul ) dalam 1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai

dengan 12 tetes/menit. Setiap 15 menit dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan

dengan 4 tetes setiap kalinya sampai TD yang diingini diperoleh. Bila TD ini telah

dicapai diawasi selama 4 jam dan selanjutnya dengan obat per oral. Dengan

tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD yang diingini dan penderita

tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan.

Hasil yang diperoleh yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg

dalam 1 jam dan respons yang baik pada 90,5% kasus.

18
Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering timbul seperti mulut

kering, mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tand iskemi cerebral

ataupun stroke, obat ini akan memperberat gejala.10

Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi:

Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan

maupun yang sebaiknya dihindari adalah sbb :

1. Hipertensi ensenpalopati
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark
Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,

Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.

3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid :


Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol,.
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran :Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium

Nitroprusside dan loopdiuretuk.


Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labeta Lol.
6. Aorta disseksi :
Anjuran :Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan

B-antagonist, labetalol.
Hindarkan :Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi :
Anjuran :Hydralazine, Diazoxxide, labetalol,cantagonist, sodium

nitroprusside.
Hindarkan : Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist

19
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia :
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.

Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium

nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi.

Karena pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus

dengan monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat

menimbulkan hipotensi berat. Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah

Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan bolus intravena. Phentolamine,

Nitroglycerine Hidralazine diindikasikanpada kondisi tertentu.

Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang

diperukan secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam

jumlah kecil) dan tampaknya memberikan harapan yang baik.10,11

Obat oral untuk hipertensi emergensi

Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk

menggunakan obat oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam

penanganan hipertensi emergensi.

Bertel dkk 1983 mengemukakan hal yang baik pada 25 penderita dengan

dengan pemakaian dosis 10mg yang dapat ditambah 10mg lagi menit. Yang

menarik adalah bahwa 4 dari 5 penderita yang diperiksa, aliran darah cerebral

20
meningkat, sedang dengan clonidine yang diselidiki menurun, walaupun tidak

mencapai tahap bermakna secara statistik.

Di Medan dibagian penyakit dalam FK USU pada 1991, telah diteliti efek

akut obat oral anti hipertensi terhadap hipertensi sedang dan berat pada 60

penderita. Efek akut nifedipine dalam waktu 5-15 menit. Demikian juga dengan

clonidine dalam waktu 5-35 menit. Dari hasil ini diharapkan kemungkinan

penggunaan obat oral anti hipertensi untuk krisis hipertensi.

Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual

dan captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup

memuaskan setelah menit ke 20. Captoprial dan Nifedipine sublingual tidak

berbeda bermakna dam Menurunkan TD.

Captoprial 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara

sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60

menit dan juga dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan

nonrespons bila penurunan TD diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian

obat. Respons bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan

adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai

secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60

menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih

>120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari

simptom dan sign dari organ sasaran.8,9,10,11,12

Neurologic emergency.

21
Keadaan neurologic emergency yang tersering adalah hipertensi

ensepalopathi, intracerebral hemorhagic, dan acute ischemic stroke. Pada acute

stroke target penurunan tekanan darah masih kontroversial. Hipertensi pada

intracerebral bleeding direkomendasikan oleh American Heart Association

diberikan penanganan jika tekanan darah lebih dari 180/105 mmHg.

22
Pasien dengan ischemic stroke membutuhkan tekanan sistemik yang cukup

untuk mempertahankan perfusi di distal obsktruksi. Oleh karena itu tekanan darah

harus dimonitor ketat dalam 1 – 2 pertama. Hanya jika tekanan sistolik menetap

pada 220 mmHg diberikan penanganan.

Cardiac emergency

Keadaan hipertensi emergency dengan cardiac emergency diantaranya

acute myocard ischemic atau infarction, pulmonary edema, dan aortic dissection.

Pasien dengan temuan myocardial ischemia atau infarction, dapat diberikan

nitroglycerin, jika tanpa heart failure bisa ditambahkan beta blocker (labetalol,

esmolol) untuk menurunkan tekanan darah.

Pasien dengan aortic dissection, IV beta blocker harus diberikan pertama,

diikuti dengan vasodilating agent, dan IV nitroprusside. Target tekanan darah

kurang dari 120 mmHg dalam 20 menit.

Penanganan pada edema pulmo diawali dengan IV diuretics dilanjutkan IV

ACE inhibitor (enalaprilat) dan nitroglycerin. Sodium nitroprusside dapat

digunakan jika obat diatas tidak cukup menurunkan tekanan darah.

Hyperadrenergic states

Pasien dengan kelebihan cathecholamine pada seting pheochromocytoma,

cocaine atau over dosis amphetamine, monoamine oxidase inhibitor-induced

hipertensi atau clonidine withdrawal syndrome dapat bermanifestasi hipertensi

krisis sindrom.

23
Pheochromocytoma, kotrol tekanan darah inisial dapat diberikan Sodium

Nitroprusside atau IV phentolamine. Beta blockers bisa diberikan tapi tidak boleh

dipakai tunggal sampai alfa blokade tercapai.

Hipertensi disebabkan clonidine withdrawal penanganan terbaik adalah

dengan dilanjutkan pemberian clonidine disertai pemberian obat-obatan diatas.

Benzodiazepine merupakan agen pertama untuk penanganan intoksikasi cocaine.

Kidney failure

Acute Kidnet Injury (AKI) bisa merupakan penyebab maupun akibat dari

hipertensi emergensi. AKI termanifestasi dengan proteinuria, mikroskopik

hematuria, oliguria dan anuria. Penanganan yang optimal masih kontroversial.

Walaupun IV nitroprusside sering digunakan, namun dapat mengakibatkan

keracunan cyanida atau thiocyanate.

Parenteral fenoldopam mesylate lebih menjanjikan hasil yang baik dan

lebih safety. Penggunaannya mampu mencegah terjadinya keracunan cyanida atau

thiocyanate.

B. TATALAKSANA HIPERTENSI URGENSI

Pada umumnya pasien dengan hipertensi urgensi terjadi karena penghetian

terapi hipertensi sebelumnya. Penanganan penderita demikian, dilakukan

observasi beberapa menit dan bila tekanan darahnya tetap > 180/120 mm Hg,

maka dapat dilakukan terapi oral yang sesuai dan mungkin perlu dikombinasi

dengan obat oral sebelumnya, terutama jika jenis obat yang diberikan sebelumnya

24
dapat mengontrol tekanan darahnya dengan baik dan dapat ditoleransi oleh

penderita.

Prinsipnya, hipertensi urgensi dapat ditangani dengan anti-hipertensi oral

dengan perawatan rawat jalan. Namun keadaan ini sulit untuk memonitor tekanan darah

setelah pemberian obat. Obat yang diberikan dimulai dari dosis yang rendah

untuk menghindari terjadinya hipotensi mendadak terutama pada pasien dengan resiko

komplikasi hipotensi tinggi seperti geriatri, penyakit vaskuler perifer dan

atherosclerosis cardiovaskuler dan penyakit intrakranial. Target inisial penurunan

tekanan darah 160/110 dalam jam atau hari dengan konvensional terapi oral.

Beberapa pilihan obat:

 ACE inhibitor (Captopril), dengan pemberian dosis oral inisial 25 mg,

onset maksimulai dalam 15–30 menit dan maksimum aksi antara 30–90 menit.

Kemudian jika tekanan darah belum turun dosis dilanjutkan 50 mg–100 mg

pada 90–120menit kemudian.


 Calcium-channel blocker (Nicardipine), dosis oral awal pemeberian 30 mg, dandapat

diulangi setiap 8 jam sampai target tekanan darah tercapai. Onset aksi dimulai ½–2

jam.
 Beta blocker (Labetalol), non selektif beta blocker, dosis oral awal 200

mg, dan diulang 3-4 jam. Onset kerja dimulai pada 1–2 jam.
 Simpatolitik (Clonidine), dengan dosis oral awal 0.1–0.2 mg dosis loading

dilanjutkan 0.05-0.1 mg setiap jam sampai target tekanan darah tercapai.

Dosismaksimum 0.7 mg.

Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan:

25
Lama
Obat Dosis Efek Efek samping
kerja
Nifedipin
5-10mg
(Calcium sakit kepala, takhikardi,
Diulang 5-15 menit 2-6 jam
Channel hipotensi, flushing.
15 menit
Blocker)
Sublingual : angio neurotik oedema,
Captopril 12,5-25mg
10-15 menit rash, gagal ginjal akut pada
(ACE Diulang 6-8 jam
Oral : 15-30 penderita bilateral renal
Inhibitor) 30 menit
menit arteri sinosis
sedasi,mulut kering. Hindari
Clonidin pemakaian pada 2nd degree
75-150 ug
(Central atau 3rd degree, heart block,
Diulang / 30-60 menit 8-16 jam
alpha brakardi,sick sinus
jam
agonist) syndrome.Over dosis dapat
diobati dengan tolazoline.
10-40mg
Propanolol bronkokonstriksi, blok
Diulang / 15-30 menit 3-6 jam
(beta blocker) jantung
30menit

Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan

MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril terutama

digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan

katekholamine.

Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat

menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas

hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi). .

26
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD

dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.

Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih

sensitive terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita

dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua

dan pasien dengan volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine

harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah

TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya

orthotatis. Bila ID penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya penderita

dirawat dirumah sakit.13,14,15

Tabel : Algoritma untuk Evaluasi Krisis Hipertensi

Hipertensi Mendesak
Parameter Hipertensi Darurat
Biasa Mendesak
Tekanan
darah > 180/110 > 180/110 > 220/140
(mmHg)
Sakit kepala, Sesak napas, nyeri
kecemasan; Sakit kepala dada, nokturia,
Gejala
sering kali tanpa hebat, sesak napas dysarthria, kelemahan,
gejala kesadaran menurun
Tidak ada Kerusakan organ
kerusakan organ target; muncul Ensefalopati, edema
Pemeriksaan target, tidak ada klinis penyakit paru, insufisiensi
penyakit kardiovaskuler, ginjal, iskemia jantung
kardiovaskular stabil

Awasi 1-3 jam; Awasi 3-6 jam;


Pasang jalur IV,
memulai/teruskan obat oral
Terapi periksa laboratorium
obat oral, berjangka kerja
standar, terapi obat IV
naikkan dosis pendek

27
Periksa ulang Periksa ulang
Rencana Rawat ruangan/ICU
dalam 3 hari dalam 24 jam

Tabel : Obat yang dipilih untuk Hipertensi darurat dengan komplikasi

Komplikasi Obat Pilihan Target Tekanan Darah

SBP 110-120 sesegera


Diseksi aorta Nitroprusside + esmolol
mungkin
Nitrogliserin, Sekunder untuk bantuan
AMI, iskemia
nitroprusside, nicardipine iskemia
Nitroprusside,
Edema paru 10% -15% dalam 1-2 jam
nitrogliserin, labetalol
Fenoldopam,
Gangguan Ginjal 20% -25% dalam 2-3 jam
nitroprusside, labetalol
Kelebihan
Phentolamine, labetalol 10% -15% dalam 1-2 jam
katekolamin
Hipertensi
Nitroprusside 20% -25% dalam 2-3 jam
ensefalopati
Subarachnoid Nitroprusside,
20% -25% dalam 2-3 jam
hemorrhage nimodipine, nicardipine
Stroke Iskemik Nicardipine 0% -20% dalam 6-12 jam

PROGNOSIS

Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita

hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah

28
jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif

disertai uremia (48%), infrak Mio Card (1%), diseksi aorta (1%).

Prognosis menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan

penaggulangan penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplantasi ginjal.

Whitworth melaporkan dari penelitiannya sejak tahun 1980, survival

dalam 1 tahun berkisar 94% dan survival 5 tahun sebesar 75%. Tidak dijumpai

hasil perbedaan diantara retionopati KWIII dan IV. Serum creatine merupakan

prognostik marker yang paling baik dan dalam studinya didapatkan bahwa 85%

dari penderita dengan creatinite <300 umol/l memberikan hasil yang baik

dibandingkan dengan penderita yang mempunyai fungsi ginjal yang jelek yaitu 9

% .10,16

BAB III

KESIMPULAN

29
Hipertensi urgensi perlu dibedakan dengan hipertensi emergensi agar dapat

memilih pengobatan yang memadai bagi penderita. Hipertensi emergensi disertai

dengan kerusakan organ sasaran, sedangkan hipertensi urgensi tanpa kerusakan

organ sasaran /kerusakan minimal. Pada kebanyakan penderita krisis hipertensi ,

TD diastolik > 120 – mmHg.

Dalam memberikan terapi perlu diperhatikan beberapa faktor :

 Apakah penderita dengan hipertensi emergensi atau urgensi.


 Mekanisme kerja dan efek hemodinamik obat.
 Cepatnya TD diturunkan, TD yang diinginkan dan lama kerja, dari obat.
 Autoguralsi dan perfusi dari vital oragan(otak, jantung, dan ginjal) bila TD

diturunkan.
 Faktor klinis lain : obat lain yan gdiberikan , status volum dll.
 Efek sqamping obat
 Besarnya penurunan TD umumnya kira-kira 25% dari MAP ataupun tidak

lebih rendah dari 170-180/100mmHg.

Pemakaian obat parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena

TD dapat diatur sesuai dengan keinginan, sedangkan dengan obat oral

kemungkinan penurunan TD melebihi diingini sehingga dapat terjadi hipoperfusi

organ.

Drug of choice untuk hipertensi emergensi adalah Sodium Nitroprusside.

Nifedipine, Clinidine, merupakan oral anti hipertensi yang terpilih untuk

hipertensi urgensi.

Dari berbagai penelitian (dalam dan luar negri ) bahwa obat oral

Nifedipine dan Captopril cukup efektif untuk mengatasi hipertensi emergensi.

30
Pemberiaan diuretika pada hipertensi emergensi dimana dibuktikan adanya

volume overload seperti payah jantung kongestif dan oedema paru. Pemberian

Beta Blocker tidak dianjurkan pada krisis hipertensi kecuali pada aorta disekasi

akut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan Norman M. Hypertensive Crises. In: Kaplan’s Clinical

Hypertension 8th editions. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia

2002.p. 339-356.

31
2. Izzo Jr GJ L, et.al. Seventh Report of JNC on Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension

2003;42:1206-1252.
3. Ram S CV. Management of hypertensive emergencies:Changing

therapeautic options. Am Heart J 1991;122:356-363.


4. Ram S CV. Current Consepts in the Diagnosis and Management of

Hypertensive Urgencies and Emergencies. Keio J Med 1990; 4:225-236.


5. Vidt DG. Management of Hypertensive Emergencies and Urgencies. In:

Hypertension Primer 2nd Editions.. Eds. Izzo Jr G JL, and Black HR.

American Heart AssociatioNn 1999; p. 437-440.


6. Alpert J. S, Rippe J.M ; 1980 : Hypertensive Crisis in manual of

Cardiovascular Diagnosis and Therapy, Asean Edition Little Brown and

Coy Boston, 149-60.


7. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive

Crissis with Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831.


8. Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual

Captopril and Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive

Emergencies, Arch, Intren. Med, 151 : 678-82.


9. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut

obat anti hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita

hipertensi sedang dan berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta,

279-83.
10. Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in

Hypertensive Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21.


11. Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New

Engl J Med, 323 : 1177-83.


12. Gifford R.W, 1991 : Management of Hypertensive Crisis, JAMA

SEA,266; 39-45.

32
13. Gonzale D.G, Ram C.SV.S., 1988 : New Approaches for the treatment of

Hypertensive Urgencies and Emergencies, Cheast, I, 193-5.


14. Haynes R.B, 1991 : Sublingual Captopril and Nifedipine on Hipertensive

Emergencies, ACP Journal Clib, 45.


15. Houston MC ; 1989 : Pathoplysiology Clinical Aspects and tereatment

Dis, 32, 99-148.

16. Langton D, Mcgrath B ; 1990 : Refractory Hypertantion and Hypertensive

Emergencies in Hypertention Management, Mc Leman & Petty Pty

Limited, Australia, 169-75.

33

Anda mungkin juga menyukai