Anda di halaman 1dari 28

Case report session

HIPERTENSI URGENSI

Disusun oleh :

dr. Defri

Pembimbing :

dr. Yoviza Doarest, Sp.PD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD SUNGAI DAREH DHARMASRAYA

ANGKATAN KE IV PERIODE 2021-2022


DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..2

2.1 Definisi Krisis Hipertensi.................................................................................. 2

2.2.Epidemiologi Krisis Hipertensi……..……………………………………..2

2.3. Etiologi .............................................................................................................. 3

2.4 Patofisiologi........................................................................................................ 4

2.5 Klasifikasi .......................................................................................................... 6

2.6 Manifestasi Klinis.............................................................................................. 8

2.7 Cara Mendiagnosis dan Diagnosis Banding.................................................... 8

2.8 Penatalaksaan.....................................................................................................11

2.9 Komplikasi.........................................................................................................15

2.10 Pencegahan dan Edukasi................................................................................16

2.11 Prognosis..........................................................................................................16

BAB III LAPORAN KASUS.......................................................................................18

BAB IV KESIMPULAN…………………………………………………………......24

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................25
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi ditandai dengan tekanan darah tinggi yang menetap. Tekanan


darah biasanya dinyatakan sebagai rasio tekanan darah sistolik (yaitu, tekanan
yang diberikan darah pada dinding arteri saat jantung berkontraksi) dan tekanan
darah diastolik (tekanan saat jantung berelaksasi). Pasien dengan tekanan darah
tinggi jika tekanan darah mereka secara konsisten 140/90 mmHg atau lebih tinggi
berdasarkan pada pedoman yang dirilis pada tahun 2003. Pasien dengan tekanan
darah tinggi jika tekanan darah mereka secara konsisten 130/80 mmHg atau lebih
tinggi berdasarkan pada pedoman yang dirilis pada tahun 2017. Beberapa etiologi
dapat mendasari hipertensi. Mayoritas (90-95%) pasien memiliki hipertensi
esensial atau primer yang sangat heterogen dengan etiologi lingkungan gen
multifaktorial. Riwayat keluarga sering terjadi pada pasien dengan hipertensi,
dengan heritabilitas (ukuran seberapa banyak variasi sifat yang disebabkan oleh
variasi faktor genetik) diperkirakan antara 35% dan 50% di sebagian besar studi.
[1][2][3]

Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan


sekitar 1,13 Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang
di dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat
setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar orang yang
terkena hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal
akibat hipertensi dan komplikasinya. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) kesehatan menyebutkan bahwa biaya pelayanan hipertensi mengalami
peningkatan setiap tahunnya yaitu pada tahun 2016 sebesar 2,8 Triliun rupiah,
tahun 2017 dan tahun 2018 sebesar 3 Triliun rupiah. Berdasarkan Riskesdas 2018
prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun
sebesar 34,1%, tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di
Papua sebesar (22,2%). Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun
(31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%). [4]

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi
kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien
hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. [6]

Menurut Joint National Committee (JNC) tahun 2003 tentang Pencegahan,


Deteksi, Evaluasi, dan Pengobatan Tekanan Darah Tinggi (JNC 7) krisis
hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik >179 mmHg
atau tekanan darah diastolik >109 mmHg. Krisis hipertensi dibagi menjadi
hipertensi darurat atau hipertensi urgensi sesuai dengan ada atau tidak adanya
kerusakan organ target akut pada masing-masing tipe. Kerusakan organ target
dapat didefinisikan sebagai kerusakan akut dan mengakibatkan disfungsi mata
(temuan funduskopi, seperti perdarahan, eksudat, atau papiledema), otak
(hipertensi ensefalopati), jantung (edema paru akut), atau ginjal (gagal ginjal
akut). Diferensiasi ini merupakan entitas yang sangat berguna dalam praktek
klinis mengingat bahwa manajemen yang berbeda diperlukan, yang pada
gilirannya memiliki efek signifikan pada morbiditas dan mortalitas pasien ini.
Pada hipertensi urgensi, tekanan darah harus diturunkan dalam 24-48 jam,
sedangkan hipertensi emergensi memerlukan penurunan tekanan darah segera
untuk mencegah kerusakan organ target yang ireversibel. Namun, terlepas dari
perbedaan ini, pasien dengan hipertensi urgensi mungkin memiliki riwayat
kerusakan organ akhir sebelumnya dan hipertensi kronis tanpa disfungsi organ
target yang sedang berlangsung atau segera.[7]

2.2 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang
berbeda-beda sebab ada faktor-faktor genetik, ras, regional, sosiobudaya yang

2
juga menyangkut gaya hidup yang juga berbeda. Hipertensi akan makin
meningkat bersama dengan bertambahnya umur. [6]
Hipertensi mengambil porsi sekitar 60% dari seluruh kematian dunia. Pada
anak-anak yang tumbuh kembang hipertensi meningkat mengikuti dengan
pertumbuhan badan. Dengan bertambahnya umur, angka kejadian hipertensi juga
makin meningkat, sehingga diatas umur 60 tahun prevalensinya mencapai 65,4%.
Obesitas, sindroma metabolik, kenaikan berat badan adalah faktor risiko
independen untuk kejadian hipertensi. Faktor asupan NaCl pada diet juga sangat
erat hubungannya dengan kejadian hipertensi. Mengkonsumsi alkohol, rokok,
stress kehidupan sehari-hari, kurang olahraga juga berperan dalam kontribusi
kejadian hipertensi. Bila anamnesa keluarga ada yang didapatkan hipertensi, maka
sebelum umur 55 tahun risiko menjadi hipertensi diperkirakan sekitar empat kali
dibandingkan dengan anamnesa keluarga yang tidak didapatkan hipertensi.
Setelah umur 55 tahun, semua orang akan menjadi hipertensi (90%). [6]

2.3 Etiologi
Faktor penyebab hipertensi adalah terdapat perubahan vaskular berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab
hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga
karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan
resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan
menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat
kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi. [8]

Berbagai kejadian pemicu dapat menyebabkan hipertensi emergensi.


Mayoritas kedaruratan hipertensi terjadi pada pasien yang sudah didiagnosis
dengan hipertensi kronis. Ketidakpatuhan dengan obat antihipertensi dan
penggunaan simpatomimetik (adrenergik) adalah dua penyebab yang paling
umum. Ini mengarah pada peningkatan tekanan darah yang cepat di luar kapasitas
autoregulasi bawaan tubuh. Tingkat kenaikan di atas baseline kemungkinan
merupakan kontributor yang lebih penting dan menjelaskan mengapa pasien tanpa
hipertensi kronis dapat menunjukkan tanda-tanda hipertensi darurat pada tingkat

3
yang jauh lebih rendah, sementara pasien dengan hipertensi yang berlangsung
lama dapat mentolerir tekanan darah yang sangat tinggi tanpa mengalami
disfungsi organ akut.[11]

Ketidakpatuhan dengan terapi antihipertensi, penggunaan simpatomimetik,


dan disfungsi tiroid adalah di antara banyak kemungkinan penyebab hipertensi
urgensi. Bahkan kecemasan dan rasa sakit dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah yang akut dan memerlukan strategi pengobatan yang berbeda.
Tekanan darah tinggi yang salah karena peralatan atau teknik yang buruk adalah
penyebab potensial lain dari pembacaan tekanan darah tinggi yang harus
dievaluasi dan diperbaiki. Pseudohipertensi, pembacaan tekanan darah tinggi yang
salah karena arteri sklerotik atau kalsifikasi yang tidak kolaps selama inflasi
manset tekanan darah, adalah kemungkinan penyebab lain dari pembacaan
tekanan darah tinggi. Pseudohipertensi harus dipertimbangkan pada pasien yang
datang tanpa gejala yang menunjukkan disfungsi organ akhir tetapi dengan
peningkatan tekanan darah yang nyata meskipun manajemen tampaknya agresif.
[12]

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi yang tepat dari krisis hipertensi masih belum jelas. Namun, dua
mekanisme yang berbeda tetapi saling terkait mungkin memainkan peran sentral
dalam patofisiologi krisis hipertensi. Yang pertama adalah kegagalan mekanisme
autoregulasi di dasar vaskular. Sistem autoregulasi merupakan faktor kunci dalam
patofisiologi hipertensi dan krisis hipertensi. Autoregulasi didefinisikan sebagai
kemampuan organ (otak, jantung, dan ginjal) untuk mempertahankan aliran darah
yang stabil terlepas dari perubahan tekanan perfusi. Jika tekanan perfusi turun,
aliran darah yang sesuai menurun sementara, tetapi kembali ke nilai normal
setelah beberapa menit berikutnya. Dalam kasus kerusakan autoregulasi, jika
tekanan perfusi turun, menyebabkan penurunan aliran darah dan peningkatan
resistensi pembuluh darah. Pada krisis hipertensi, terdapat kekurangan
autoregulasi pada vascular bed dan aliran darah sehingga peningkatan tekanan

4
darah secara tiba-tiba dan resistensi vaskular sistemik dapat terjadi, yang sering
menyebabkan stres mekanik dan cedera endotel.[7]

Mekanisme kedua adalah aktivasi sistem renin-angiotensin, menyebabkan


vasokonstriksi lebih lanjut dan dengan demikian menghasilkan siklus terus
menerus dan kemudian iskemia. Selain mekanisme ini, keadaan protrombotik
mungkin memainkan peran kunci dalam krisis hipertensi; sebuah penelitian,
meskipun kecil, menunjukkan bahwa sP-selectin secara signifikan lebih tinggi
pada pasien dengan krisis hipertensi dibandingkan dengan kontrol normotensif
terlepas dari adanya retinopati, yang menunjukkan bahwa aktivasi trombosit
adalah temuan yang relatif awal dalam gejala sisa patofisiologis dari krisis
hipertensi.[7]

Patofisiologi krisis hipertensi hingga saat ini masih belum diketahui dengan
jelas. Diperkirakan, krisis hipertensi diakibatkan kegagalan fungsi autoregulasi
dan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang mendadak dan cepat.
Peningkatan tekanan darah menyebabkan stress mekanik dan jejas endotel
sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat. Hal tersebut juga memicu
kaskade koagulasi dan deposisi fibrin sehingga terjadi iskemia serta hipoperfusi
organ yang menyebabkan gangguan fungsi. Siklus tersebut berlangsung dalam
sebuah lingkaran yang berkelanjutan sehingga disfungsi organ target bersifat
progresif (semakin memberat). [10]

Patofisiologi yang mengakibatkan disfungsi organ akhir pada hipertensi


emergensi tidak sepenuhnya dipahami. Namun, tekanan mekanis pada dinding
pembuluh darah kemungkinan mengarah pada kerusakan endotel dan respons pro-
inflamasi. Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, trombosit,
dan aktivasi kaskade koagulasi, dan deposisi bekuan fibrin menyebabkan
hipoperfusi pada tingkat jaringan organ target. [11]

Patofisiologi hipertensi rumit dan tidak sepenuhnya dipahami. Pada awal,


perfusi jaringan jantung, ginjal, dan otak diatur secara ketat oleh berbagai
mekanisme. Dengan hipertensi kronis, kurva perfusi serebral bergeser ke kanan,

5
mengakomodasi tekanan darah dasar yang lebih tinggi sambil mempertahankan
tekanan perfusi serebral yang stabil. Kecepatan peningkatan tekanan darah
dianggap sebagai faktor penting dalam menyebabkan kerusakan organ akhir.
Peningkatan akut yang parah kemungkinan terkait dengan masuknya
vasokonstriktor humoral, yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular
sistemik. Peningkatan tekanan dinding pembuluh darah dan hasil cedera endotel
terkait dalam peningkatan permeabilitas pembuluh darah, aktivasi faktor koagulasi
dan trombosit, dan deposisi fibrin. Cedera endotel yang berlanjut dan nekrosis
fibrinoid menyebabkan iskemia, yang kemudian menyebabkan pelepasan lebih
lanjut mediator vasoaktif dan cedera lebih lanjut [12].

2.5 Klasifikasi

Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu: [5]

a. Hipertensi darurat (emergency hypertension) : dimana tekanan darah


yang sangat tinggi sistolik (>180 mmHg atau diastolik >120 mmHg) dan
terdapat kelainan/kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam)
agar dapat mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
Beberapa organ target pada krisis hipertensi yang harus diwaspadai, antara
lain:
 Neurologi : ensefalopati hipertensi, stroke iskemik/hemoragik,
papil edema, perdarahan intracranial;
 Jantung : sindrom koroner akut, edema paru, diseksi aorta, gagal
jantung akut;
 Ginjal : proteinuria, hematuria, gangguan ginjal akut,
 Preeklamsia/eklamsia, anemia hemolitik.
b. Hipertensi mendesak (urgency hypertension) : terdapat tekanan darah
yang sangat tinggi (sistolik >180 mmHg atau diastolik >120 mmHg) tetapi
tidak disertai kelainan/kerusakan organ target yang progresif, sehingga

6
penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan
jam sampai hari).

Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi adalah sebagai berikut: [8]

(b
erdasarkan A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension, 2013).

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara lain: [8]

a) Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110
mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug)
pada penderita dan kepatuhan pasien.
b) Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
c) Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130
mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan
intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun
kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi
maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial
ataupun sekunder dan jarang pada  penderita yang sebelumnya mempunyai
tekanan darah normal.
d) Hipertensi ensefalopati

7
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi
reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.

2.6 Manifestasi Klinis


Hipertensi krisis pada umumnya adalah gejala organ target yang terganggu,
diantaranya: [5]
 Nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta;
 Penglihatan kabur pada edema papila mata;
 Sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan
otak;
 Gagal ginjal akut

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan


organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap
pasien. Pada pasien dengan krisis hipertensi dengan perdarahan intrakranial
akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda
neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus kranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit
neurologi fokal. Dapat ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola,
perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain
manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina,
akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang
lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi. [8]

2.7 Cara Mendiagnosis dan Diagnosis Banding

Cara Mendiagnosis

Menurut pedoman gabungan baru 2017 dari American College of


Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA), krisis hipertensi
adalah tekanan darah sistolik >180 mmHg dan/atau diastolik > 120 mmHg. Gejala

8
krisis hipertensi sangat bervariasi termasuk sakit kepala, pusing, epistaksis,
kecemasan berat, dispnea, muntah, dan palpitasi. Krisis hipertensi akut
dikategorikan lebih lanjut menjadi hipertensi darurat (hipertensi emergensi),
ditandai dengan tekanan darah yang tinggi dan kerusakan organ target, atau
hipertensi urgensi ditandai dengan tekanan darah yang tinggi tetapi tanpa
kerusakan organ target. Tanda-tanda kerusakan organ bermanifestasi neurologis
sebagai stroke iskemik akut, perdarahan, atau ensefalopati hipertensi. Organ vital
lainnya juga dapat dipengaruhi oleh krisis hipertensi, mengakibatkan infark
miokard akut, gagal jantung ventrikel kiri akut dengan edema paru, disfungsi akut
mata, dan cedera ginjal akut. [9]

a. Anamnesis
Pada anamnesis menanyakan tentang riwayat hipertensi, penggunaan obat
bersamaan yang meningkatkan tekanan darah (misalnya, obat
antiinflamasi nonsteroid), riwayat sindrom sleep apnea, faktor risiko
kardiovaskular, dan komorbiditas lainnya. Pemeriksaan fisik yang relevan
termasuk jantung, supra-aorta, dan auskultasi perut untuk murmur
(koarktasio aorta), arteri leher untuk distensi, defisit neurologis,
fundoskopi untuk menilai retinopati, dan pemeriksaan perut untuk
mendeteksi aneurisma aorta. Tanda vital lanjutan pemantauan penting
untuk menilai perubahan kondisi pasien; misalnya, takikardia telah
dikaitkan dengan hipertensi emergensi karena hubungan klinisnya dengan
kegagalan ventrikel kiri akut. [9]
Riwayat hipertensi dan pengobatan hipertensi sebelumnya. Riwayat
konsumsi agen-agen vasopressor seperti simpatomimetik. Gejala organ
target yang dirasakan (serebrovaskuar, jantung dan fungsi penglihatan).[10]
b. Pemeriksaan Fisik
 Tekanan darah : tekanan darah sistolik >180 mmHg, tekanan
darah diastolik >120 mmHg;

9
 Funduskopi : spasme arteri segmental atau difus, edema retina,
perdarahan retina (superfisial, berbentuk api atau titik), eksudat
retina, papil edema, vena membesar;
 Pemeriksaan neurologis : sakit kepala, bingung, kehilangan
penglihatan, deficit fokal neurologis, kejang, koma;
 Status kardiopulmoner;
 Pemeriksaan cairan tubuh : oliguria pada gangguan ginjal akut;
 Pemeriksaan denyut nadi perifer.
c. Pemeriksaan penunjang
 Hematokrit dan apusan darah;
 Urinalisis : proteinuria, eritrosit pada urin (hematuria);
 Kimia darah : peningkatan kreatinin, azotemia (ureum >200
mg/dL), glukosa, elektrolit;
 Elektrokardiografi : adanya iskemia, hipertrofi ventrikel kiri;
 Foto toraks (jika terdapat kecurigaan gagal jantung atau diseksi
aorta)

Diagnosis banding

 Acute Kidney Injury


 Koarktasio Aorta
 Diseksi aorta
 Chronic Kidney Disease
 Eklampsia
 Hipokalsemia
 Hipertiroidisme
 Feokromositoma
 Stenosis arteri ginjal
 Perdarahan subarachnoid [11]

10
2.8 Penatalaksanaan

Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan


tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan
risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi
derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup
sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama
4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan
tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular
yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. [6]

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines


adalah : [6]

 Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan


memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari
diabetes dan dislipidemia.
 Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan
lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak
jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat
saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet
rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gr/ hari
 Olahraga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60
menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan
darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga
secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki,
mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di
tempat kerjanya.

11
 Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alcohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alkohol
semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan
dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2
gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau
menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan
tekanan darah.
 Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok
merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan
pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.

2.8.1 Hipertensi Urgensi


a) Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-
obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan
darah dalam 24 jam awal MAP/Mean Arterial Pressure dapat diturunkan
tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan
darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan
anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam
menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-
hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat
oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi. [8]
b) Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai
dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit
kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia,

12
angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada
arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random
terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22%
(p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap
8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang
sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan
memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam
penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup
dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg
secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan
diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai
dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian.
Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara diberikan
15-30 menit dan puncaknya 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg
kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan
darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang
sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki
puncak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan
oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat menurunkan
tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga
berhubungan dengan kejadian stroke. [8]

13
2.8.2 Hipertensi Emergensi
a) Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung
pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan
obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di
dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan
dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah
masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10%
selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan
darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan
pembuluh darah otak mengalami hipoperfusi. [8]
b) Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi
Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada
hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan
intrakranial dan stroke iskemik akut. American Heart Association
merekomendasikan penurunan tekanan darah >180/105 mmHg pada
hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus dipertahankan
dibawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah
harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah
tekanan darah akan menurun secara spontan. Secara terus-menerus MAP
dipertahankan >130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti
iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien
dengan hipertensi emergensi melibatkan iskemik pada otot jantung dapat
diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan,
bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker
(labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal,
kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti
nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah

14
sampai target tekanan darah yang diinginkan (tekanan darah sistolik >120
mmHg) dalam waktu 20 menit.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan
konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai
dengan proteinuria, hematuria, oliguria dan atau anuria. Terapi yang
diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan
secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan
sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat
menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian
nitroprusside dalam terapi gagal ginjal.
Hyperadrenergic staste. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena
pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat
monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti
pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over
dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal.
Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan
darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator
arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers
dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan
tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidin, terapi yang terbaik adalah
dengan memberikan kembali klonidin sebagai dosis inisial dan dengan
penambahan obat-obatan anti hipertensi. [8]
2.9 Komplikasi
Kegagalan untuk membuat diagnosis atau pengobatan hipertensi emergensi
dapat menyebabkan hal berikut: [11]
 Gagal ginjal
 Kehilangan penglihatan
 Infark miokard
 Stroke

15
2.10 Pencegahan dan Edukasi
Cara terbaik untuk mencegah hipertensi darurat adalah tetap patuh
dengan obat antihipertensi. Sementara hipertensi rutin dapat dikelola oleh
penyedia layanan kesehatan primer, konsultasi pada ahli penyakit jantung
dianjurkan bila pasien menggunakan lebih dari 3 antihipertensi dan tekanan
darah masih tetap tinggi. Sampai tekanan darah terkontrol tirah baring
dianjurkan. Direkomendasikan diet rendah sodium dan penurunan berat
badan.[11]

2.11 Prognosis
Tampaknya hipertensi emergensi memiliki prognosis yang berbeda
dengan hipertensi urgensi. Karena fakta bahwa beberapa obat dapat
digunakan untuk mengobati krisis hipertensi, data epidemiologi menunjukkan
bahwa kematian darurat hipertensi telah menurun secara bertahap dari 80%
pada tahun 1928 menjadi 10% pada tahun 1989. Dalam sebuah penelitian
baru-baru ini dengan pasien krisis hipertensi yang dirawat di unit perawatan
koroner, para peneliti menemukan bahwa kematian secara keseluruhan adalah
3,7%. Pada pasien dengan hipertensi darurat, mortalitas lebih tinggi (4,6%)
dibandingkan dengan pasien dengan hipertensi urgensi (0,8%). Meskipun
prognosis yang berbeda antara pasien dengan dua entitas, peneliti lain
mencoba untuk menemukan faktor prognostik kejadian jantung atau
serebrovaskular utama yang merugikan (MACCE) yang didefinisikan sebagai
gabungan dari infark miokard, angina tidak stabil, krisis hipertensi, edema
paru, stroke, atau serangan iskemik transien.[7]

Di masa lalu, hipertensi darurat sering dikaitkan dengan gangguan


ginjal, infark miokard, stroke atau kematian. Dengan kesadaran yang lebih
dan kontrol tekanan darah yang lebih baik, angka kematian telah menurun
secara signifikan dalam 3 dekade terakhir. Namun, setelah pengobatan akut,
kontrol tekanan darah yang tepat sangat penting jika seseorang ingin
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Prognosis jangka panjang

16
keseluruhan pasien dengan hipertensi darurat harus dijaga karena sejumlah
besar pasien dapat mengembangkan kejadian jantung yang merugikan atau
stroke dalam waktu 12 bulan.[11]

Ad Vitam : Dubia ad malam

Ad Sanactionam : Dubia ad malam

Ad Functionam : Dubia ad malam

17
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AR
Umur : 66 tahun
Alamat : S. Langkok
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 29 November 2021

ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA :
- Nyeri kepala sejak 1 jam SMRS

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


- Nyeri kepala sejak 1 jam SMRS, Nyeri kepala menjalar hingga ke tengkuk
- Mual dan muntah tidak ada
- Pandangan menjadi buram tidak ada
- Lemah anggota gerak tidak ada
- Nyeri dada, keringat dingin, atau jantung berdebar tidak ada
- Sesak napas tidak ada
- BAB dan BAK lancer

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :


- Pasien dengan riwayat HT sejak 4 tahun yang lalu, tetapi
2 bulan terakhir pasien tidak minum obat tensi lagi
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal

18
- Riwayat stroke : disangkal
- Riwayat penyakit ginjal : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :


- Riwayat hipertensi : ada, Ibu pasien sendiri
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat penyakit asma : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat Kebiasaan :
- Riwayat merokok : 2 bungkus/ hari Perokok berat
- Riwayat konsumsi alcohol : disangkal
- Riwayat konsumsi NAPZA : disangkal
- Riwayat konsumsi obat : disangkal
Sosial Ekonomi
Pekerjaan : pasien bekerja sebagai Petani

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E-4 V-5 M-6 = 15 Composmentis
BB/TB : 80kg/160cm
Vital sign (Saat Masuk RS) :
Tekanan Darah : 200/110 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.6 oC

19
PEMERIKSAAN KHUSUS
1. Kulit : Sawo matang ,tidak kering, ekstremitas teraba
hangat.
2. Kepala : Normocephal, deformitas (-)
3. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-)
4. Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan
JVP (-)
5. Telinga : Normal, membran timpani intak
6. Dada
- Jantung
Cor Hasil Pemeriksaan

Inspeksi Ictus cordis tidak tampak

Palpasi Ictus cordis pada SIC V linea midclavicularis sinistra 2


cm ke lateral, tidak kuat angkat

Perkusi Batas kanan atas : SIC II, linea parasternalis dextra

Batas kanan bawah : SIC IV, linea parasternalis dextra

Batas kiri atas : SIC II, linea parasternalis sinistra

Batas kiri bawah : SIC V, linea midclavicula sinistra

Auskultasi Bunyi jantung I-II intensitas regular, bising jantung (-)

S1-S2 normal, murmur (-), gallop (-)

- Paru

Pulmo Depan Belakang

Inspeksi Simetris, Simetris,

20
Ketinggalan gerak (-) Ketinggalan gerak (-)

Retraksi intercostae (-) Retraksi intercostae (-)

Palpasi Gerak dada simetris Gerak dada simetris

Fremitus normal Fremitus normal

Perkusi Hipersonor/hipersonor Hipersonor/hipersonor

Auskultasi SDV (-/-) SDV (-/-)

Wh (-/-), Rh (-/-) Wh (-/-), Rh (-/-)

- Abdomen:
 Inspeksi : dinding abdomen simetris, tampak datar
 Auskultasi : suara bising usus positif
 Perkusi : suara timpani pada ke empat kuadran
 Palpasi : tidak teraba massa atau hepar dan lien
Balotemen (-). Kandung kemih teraba kosong

- Ekstremitas:

 Ekstremitas Superior: Deformitas (-), clubbing finger (-), pucat (-),


akral sianosis (-), akral hangat (+)
 Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), edema pretibial (+/+), pucat
(-), akral sianosis(-), akral hangat (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
DARAH RUTIN
Hb : 12,9 g/dl
Leukosit : 7000/mm3
Hematokrit : 42 %
Trombosit : 239.000/mm3

21
Gula Darah

Glukosa sewaktu : 104 mg/dl


DIAGNOSIS

Hipertensi Urgency
DIAGNOSIS BANDING

Hipertensi Emergensi

TERAPI

- IVFD RL 20 tpm

- Monitoring vital sign

- Ramipril tab 10 mg po

- Bisoprolol 5 mg tab po

- Amlodipin 10 mg

PROGNOSIS

Quo ad Vitam : dubia


Quo ad Fungsional : dubia
Quo ad Sanationam : dubia

Follow up
Hari ke-1

tanggal S O A P

22
30/11/21 Nyeri kepala KU: TSS, CM HT Urgensi IVFD RL 20
10.02 (+)berkurang, TD: 160/100 mmHg tpm
Mual (+), Muntah HR: 98x/mnt Ramipril tab
(-), Nyeri Ulu Hati RR: 20x/mnt 1x10 mg po
(-) Sh: 36,5 C Bisoprolol 1x5
mg tab po
Amlodipin
1x10 mg
Paracetamol
3x500 mg po

Hari ke-2

tanggal S O A P

01/12/21 Nyeri kepala (-), KU: TSS, CM HT Urgensi IVFD RL 20 tpm


10.20 Mual (-), Nyeri Ulu TD: 150/90 Kontrol Tekanan
Hati (-) mmHg Darah
HR: 88x/mnt Ramipril tab
RR: 20x/mnt 1x10 mg po
Sh: 36,7 C Bisoprolol 1x5
mg tab po
Amlodipin 1x10
mg

23
BAB IV
KESIMPULAN

1. Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang


mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120
mmHg, pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan
segera.

2. Krisis hipertensi diklasifikasikan menjadi 2 hipertensi emergensi dan urgensi

3. Faktor resiko terbanyak yang sering menyebabkan krisis hipertensi ialah


penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti hipertensi
tidak teratur.

4. Penegakkan diagnosis krisis hipertensi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan penunjang.

5. Tujuan utama pada penangangan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan


darah. Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi harus
dilakukan segera (<1 jam) sedangkan kasus hipertensi urgensi dapat dilakukan
dalam kurun waktu beberapa jam hingga hari

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Oparil S, et al. 2018. Hypertension. Nat Rev Dis Primers 4: 18014.


Diakses pada tanggal 05 Juni 2021 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6477925/#!po=62.3077
2. National High Blood Pressure Education Program. The Seventh Report of
the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. Bethesda, MD: National Heart, Lung,
and Blood Institute; 2003.
3. Whelton PK, Carey RM, Aronow, WS, Casey DE, Collins KJ,
Himmelfarb CD, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
guideline for the prevention, detection, evaluation, and management of
high blood pressure in adults: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guideline. J Am Coll Cardiol. 2018; 71(19): 127-248. Diakses pada
tanggal 05 Juni 2021 dari
https://www.jacc.org/doi/pdf/10.1016/j.jacc.2017.11.006
4. Kementrian Kesehatan RI. 2019. Hipertensi Penyakit Paling Banyak
Diidap Masyarakat. Jakarta: Kemenkes RI. Diakses pada tanggal 05 Juni
2021 dari https://www.kemkes.go.id/article/view/19051700002/hipertensi-
penyakit-paling-banyak-diidap-masyarakat.html
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta : Interna Publishing; 2014.
6. PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit
Kardiovaskular. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Edisi pertama: Jakarta.
7. Varounis C, Katsi V, et al. Cardiovascular Hypertensive Crisis: Recent
Evidence and Review of the Literature. Front Cardiovasc Med. 2016; 3:
51. Diakses pada tanggal 05 Juni 2021 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5222786/#!po=70.0000
8. Devicaesaria A. 2014. Hipertensi Krisis. Medicinus 27 (3) : 9-17.

25
9. Hussein M. T. El, dan Nguyen A. The Essence of Hypertensive Crises.
The Journal for Nurse Practitioners. 2021; 17: 377-381. Diakses pada
tanggal 06 Juni 2021 dari https://www.npjournal.org/action/showPdf?
pii=S1555-4155%2820%2930721-2
10. Tanto C, et al. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV Jilid II. Jakarta:
Media Aesculapius.
11. Alley WD, Schick MA. Hypertensive Emergency. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
12. Alley WD, Copelin II EL. Hypertensive Urgency. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.

26

Anda mungkin juga menyukai