Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PATIENT SAFETY
“HIPERTENSI ”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

1. ASTIANI GELA (204111062)


2. IRENE ANJELI U. LAMAWITAK (204111047)
3. MARIA MAKDALENA L. SERAN (204111041)
4. NAMELWANGI TAINMETA (204111052)
5. SERLI R. P. JIARA (204111049)
6. VALDA MAHARANI DJU BIRE (204111053)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa, yang telah
melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah Patient safety dengan judul "Hipertensi".

Makalah ini merupakan salah satu tugas Patient Safety di program studi sarjana
farmasi. selanjutnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pengampu, Ibu apt. Yohana Putri, M. Farm yang telah memberikan bimbingan serta arahan
selama proses perkuliahan mata kuliah ini.

Kami menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari
itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Kupang , 11 Juni 2023

Penulis…………...

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................2
1.3 Tujuan.....................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi.........................................................................3


2.2 Patofisiologi............................................................................................................3
2.3 Hipertensi dengan Komorbiditas Spesifik..............................................................4
2.4 Terapi hipertensi dengan komorbid diabetes mellitus............................................8
2.5 Pendekatan Diagnosis.............................................................................................10
2.6 Obat-Obat Untuk Tata Laksana Hipertensi............................................................13

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Kasus......................................................................................................................16
3.2 SOAP......................................................................................................................18

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan.............................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................26

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140
mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg. Penderita hipertensi merupakan
pasien dengan risiko tertinggi terjadinya penyakit stroke dan penyakit kardiovaskular,
data dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2013, terdapat 9,4 juta per 1
miliar penduduk di dunia meninggal akibat gangguan penyakit kardiovaskular. Secara
keseluruhan prevalensi hipertensi sekitar 30-45% pada orang dewasa dan meningkat
progresif prevalensinya seiring bertambahnya usia, dimana diketahui bahwa terdapat
prevalensi >60% pada usia >60 tahun. Prevalensi hipertensi meningkat paling cepat di
negara berkembang (80% di dunia), di mana pengobatan hipertensi masih sulit untuk
dikontrol, sehingga berkontribusi pada meningkatnya epidemi penyakit
kardioserebrovaskular (CVD). Hipertensi mengakibatkan kematian sekitar 8 juta orang
setiap tahun, dimana 1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara. Di Indonesia Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi
di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta adalah 34,1% dibandingkan 25,8%
pada Riskesdas tahun 2013. Diperkirakan hanya seperempat kasus hipertensi di Indonesia
yang terdiagnosis, dan data menunjukkan bahwa hanya 0,7% pasien hipertensi
terdiagnosis yang minum obat antihipertensi (Kemenkes RI, 2021).
Hipertensi dapat terjadi bersamaan (komorbid) dengan diabetes atau merupakan
akibat proses patologis diabetes. Patogenesis hipertensi pada diabetes merupakan proses
yang kompleks dan belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Disfungsi otonom, aktivasi
sistem Renin-Angiotensin - Aldosterone (RAAS), resistensi insulin, aktivasi saraf
simpatis, disfungsi endotel, dan kekakuan pembuluh darah arteri merupakan sebagian
faktor yang diketahui berkontribusi pada terjadinya hipertensi pada diabetes (Oryza Rori,
2017).
Panduan penatalaksanaan hipertensi dibuat secara berkala dengan tujuan untuk
membantu klinisi yang menangani hipertensi dalam meningkatkan upaya pencegahan,
pengobatan dan kepatuhan pasien. Panduan hipertensi mengalami perubahan seiring
perkembangan yang biasanya diinisiasi oleh para pakar internasional berdasarkan
berbagai penelitian. Perubahan, perbaikan serta pengkinian rekomendasi dari panduan

1
terdahulu senantiasa dibutuhkan dengan hasil penelitian-penelitian berbasis bukti terbaru
(Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, 2019).
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa itu hipertensi?
2) Bagaimana komorbid dari penyakit hipertensi?
3) Bagaimana SOAP dari kasus hipertensi Tn James Frank?
1.3 Tujuan
1) Apa itu hipertensi?
2) Bagaimana komorbid dari penyakit hipertensi?
3) Bagaimana SOAP dari kasus hipertensi Tn James Frank?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi


Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik >140 mmHg dan/atau
diastolik >90 mmHg (Kemenkes RI, 2023).
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg
pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan Kesehatan (Perhimpunan Dokter
Hipertensi Indonesia, 2019).
Table 1. Rekomendasi Klasifikasi TD

Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi

(Kemenkes RI, 2021).


2.2 Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh interaksi
berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel
hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Curah jantung merupakan
3
faktor yang menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer total
menentukan nilai tekanan darah diastolik. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat
kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan resistensi perifer total. Ginjal memiliki peranan
dalam mengendalikan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron.

2.3 Hipertensi Dengan Komorbiditas Spesifik


Hipertensi dapat terjadi bersamaan (komorbid) dengan diabetes mellitus dan Ckd.
Diabetes Melitus
Diabetes melitus erupakan sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah atau hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Efek dari diabetes melitus ini merupakan kerusakan jangka panjang,
termasuk disfungsi dan kegagalan berbagai organ tubuh misalnya jantung, sistem saraf,
mata, ginjal dan pembuluh darah. (PERKENI, 2021).
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glucosuria (Kemenkes RI, 2021).
Penyulit memiliki definisi yang sama dengan komplikasi yaitu penyakit yang timbul
sebagai tambahan penyakit lain yang sudah ada. Komplikasi pada DM dapat berupa akut
maupun kronis. Komplikasi ini akan berpengaruh pada pemilihan terapi antidiabetik.
Secara umum, komplikasi DM dibagi menjadi komplikasi makrovaskular (penyakit
jantung koroner, penyakit arteri perifer, dan stroke) dan mikrovaskular (nefropati,
neuropati, dan retinopati diabetik). Kontrol gula darah dan modifikasi gaya hidup dapat
mengurangi risiko terjadinya komplikasi tersebut (Kemenkes RI, 2021).
Hipertensi merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya komplikasi makro dan
mikrovaskular. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan setiap kali kunjungan pasien
ke poliklinik. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dalam beberapa kali pemeriksaan dan
pada hari berbeda terdapat peningkatan tekanan darah >140/90 mmHg. (derajat
rekomendasi B) Semua pasien DM tipe 2 dengan hipertensi sebaiknya melakukan
pemeriksaan tekanan darah secara rutin di rumahnya.
Target pengobatan pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi tanpa disertai penyakit
kardiovaskular aterosklerotik atau risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik 10 tahun
ke depan 15%, harus mencapai target tekanan darah sistolik Pada wanita hamil dengan

4
diabetes, dan sebelumnya menderita hipertensi dan sudah mendapat terapi antihipertensi
maka target tekanan darah adalah 120-160/80-105 mmHg untuk mengoptimalisasi
kesehatan ibu dan mengurangi risiko gangguan pertumbuhan janin. (derajat rekomendasi
E) Pemberian terapi obat antihipertensi harus mempertimbangkan faktor risiko
kardiovaskular, efek samping obat dan keinginan pasien. Nefropati diabetik merupakan
kondisi yang banyak terdeteksi pada praktik klinis yang ditandai dengan profil risiko
kardiovaskular yang sangat tinggi. TD harus diturunkan menjadi 120-130/70-79 mmHg
pada pasien dengan nefropati diabetik. Kombinasi obat pada sebagian besar kasus salah
satunya adalah ARB karena berapapun TD, blokade sistem tersebut memberikan efek
proteksi ginjal. Tidak terdapat perbedaan antara penghambat ACE dan ARB, namun
pemberian bersamaan kedua obat ini tidak disarankan karena terbuktinya efek samping
pada pasien diabetes dan non diabetes (Kemenkes RI, 2021).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK)/Chronic Kidney Disease (CKD)
Penyakit Ginjal Kronik (PGK)/Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kerusakan
ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa darah, yang
ditandai adanya protein dalam urin dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang
berlangsung selama lebih dari tiga bulan (Hanggraini dkk, 2020).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama kejadian penyakit ginjal kronik dan
progresifitas penyakit ginjal kronik. Pada pasien penyakit ginjal kronik, sering didapatkan
hipertensi resisten, masked hypertension, dan peningkatan tekanan darah di malam hari.
Hal tersebut berhubungan dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang rendah, tingginya
albuminuria dan kerusakan organ yang dimediasi hipertensi. Meta-analisis terbaru
menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat menurunkan secara signifikan
kejadian penyakit ginjal stadium akhir pada pasien penyakit ginjal kronik, terutama pada
pasien dengan albuminuria. Penelitian meta-analisis lainnya yang lebih baru
menunjukkan penurunan tekanan darah menyebabkan penurunan signifikan mortalitas
secara keseluruhan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. Penurunan albuminuria
telah dipertimbangkan sebagai target pengobatan. Analisis data dari uji-uji klinik
menunjukan bahwa perubahan ekskresi albumin urin merupakan prediktor kejadian renal
maupun kejadian kardiovaskular. Meskipun demikian, beberapa uji klinik lain
menunjukkan pengobatan hipertensi yang kurang efektif dalam menurunkan albuminuria
namun efektif dalam menurunkan kejadian kardiovaskular atau sebaliknya. Sehingga,
penurunan albuminuria sendiri merupakan petanda pencegahan penyakit kardiovaskular
masih belum jelas. Pasien penyakit ginjal kronik harus mendapatkan edukasi gaya hidup,

5
terutama restriksi garam, dan tatalaksana farmakologi jika tekanan darah >140/90 mmHg.
Beberapa terapi farmakologi yang ada juga memiliki efek renoprotektif dan atau
kardioprotektif disamping menurunkan tekanan darah. Pencapaian target tekanan darah
pada pasien penyakit ginjal kronik biasanya membutuhkan terapi kombinasi. Kombinasi
yang dianjurkan yaitu kombinasi penyekat sistem reninangiotensin (RAS blocker) dan
penyekat kanal kalsium (CCB) atau diuretik. Secara umum, pada pasien dengan
hipertensi dan penyakit ginjal, penggunaan penyekat ACE (ACE inhibitor) atau ARB
(Angiotensin Receptor Blocker) disarankan sebagai antihipertensi utama, terutama pada
pasien dengan albuminuria (albumin ekskresi >30 mg). Keduanya memiliki efek
renoprotektif dan kardioprotektif. Manfaat penggunaannya untuk ginjal didapatkan pada
pasien dengan atau tanpa diabetes. ACE inhibitor atau ARB menginduksi vasodilatasi
pada arteriol eferen yang akan menurunkan tekanan intraglomerular sekaligus
menurunkan proteinuria. Hal tersebut juga menurunkan tekanan perfusi ginjal, sehingga
penurunan 10-20% estimasi laju filtrasi glomerulus sering terjadi pada pasien dalam
pengobatan hipertensi. Oleh karena itu, pemantauan elektrolit dan estimasi laju filtrasi
glomerulus harus dilakukan. Penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus ini seringnya
terjadi dalam beberapa minggu pertama pengobatan dan akan kembali stabil setelahnya.
Apabila penurunan eLFG berlangsung terus menerus dan semakin berat, terapi harus
dihentikan dan evaluasi lanjut diperlukan untuk menginvestigasi adanya penyakit
renovaskular. Namun, kombinasi dua golongan penyekat sistem renin-angiotensin ini
(ACE inhibitor dan ARB) tidak direkomendasikan. Pada penyakit ginjal kronik, apabila
estimasi laju filtrasi glomerulu  30ml/min/1.73 m2 obat golongan loop-diuretik
sebaiknya diberikan menggantikan golongan diuretik tiazid (Kemenkes RI, 2021).
Apabila terdapat keterbatasan data ABPM maupun HBPM, diagnosis hipertensi dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan darah konvensional sebanyak 3 kali dengan ambang
tekanan darah ≥140/90 mmHg sesuai dengan definisi hipertensi pada pasien penyakit
ginjal kronik tanpa hemodialisis (Kemenkes RI, 2021).
Tabel 3. Derajat Rekomendasi

Rekomendasi Peringkat Derajat


Bukti Rekomendasi
Pada penderita PGK, dengan atau tanpa diabetes, I A
modifikasi gaya hidup dan obat antihipertensi
dianjurkan bila tekanan darah klinik ≥140/90
mmHg.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, tekanan I A

6
darah sebaiknya diturunkan 140/90 mmHg
mencapai 130/80 mmHg.
Kombinasi obat yang dianjurkan adalah kombinasi I A
penyekat sistem renin-angiotensin (RAS blocker)
dan penyekat kanal kalsium (CCB) atau diuretik.
Penghambat RAS lebih efektif untuk menurunkan I A
albuminuria dibandingkan obat antihipertensi lain,
dan direkomendasikan sebagai bagian dari strategi
penatalaksanaan hipertensi bila terdapat
mikroalbuminuria atau proteinuria
Pada penyakit ginjal kronik, apabila estimasi laju IIa A
filtrasi glomerulus < 30ml/min/1.73 m2 obat
golongan loop-diuretik sebaiknya diberikan
menggantikan golongan diuretik tiazid.
Pada penyakit ginjal kronik, apabila estimasi laju III A
filtrasi glomerulus < 30ml/min/1.73 m2 obat
golongan loop-diuretik sebaiknya diberikan
menggantikan golongan diuretik tiazid.

Beberapa penyebab hipertensi menurut (Musakkar & Djafar, 2021), antara lain:
1) Keturunan Jika seseorang memiliki orang tua atau saudara yang mengidap hipertensi
maka besar kemungkinan orang tersebut menderita hipertensi
2) Usia Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambah usia seseorang maka
tekanan darah pun akan meningkat.
3) Garam Garam dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat pada beberapa orang.
4) Kolesterol Kandungan lemak yang berlebih dalam darah dapat menyebabkan
timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
pembuluh darah menyempit dan tekanan darah pun akan meningkat.
5) Obesitas/kegemukan Orang yang memiliki 30% dari berat badan ideal memiliki risiko
lebih tinggi mengidap hipertensi.
6) Stress Stres merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi di mana hubungan
antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan
saraf dapat menaikkan tekanan darah secara intermiten
7) Rokok Merokok dapat memicu terjadinya tekanan darah tinggi, jika merokok dalam
keadaan menderita hipertensi maka akan dapat memicu penyakit yang berkaitan
dengan jantung dan darah.
8) Kafein Kafein yang terdapat pada kopi, teh, ataupun minuman bersoda dapat
meningkatkan tekanan darah.
9) Alkohol Mengonsumsi alkohol yang berlebih dapat meningkatkan tekanan darah.

7
10) Kurang olahraga Kurang berolahraga dan bergerak dapat meningkatkan tekanan
darah, jika menderita hipertensi agar tidak melakukan olahraga berat.

2.4 Terapi hipertensi dengan komorbid diabetes mellitus


Diabetes melitus dan hipertensi adalah faktor terjadinya penyakit kardiovaskuler sehingga
penanganan hipertensi dan diabetes melitus sangat penting untuk mengurangi terjadinya
penyakit kardiovaskuler dan mortalitas. Berdasarkan JNC 7 (Chobanian et al., 2004),
tekanan darah untuk pasien diabetes dikontrol pada angka 130/80 mmHg atau lebih
rendah (0ryza.2017

Gambar 1. Alogaritma Pengobatan untuk Hipertensi


Dari algoritma pengobatan diatas maka terapi farmakologi yang dapat digunakan
untuk terapi hipertensi pada diabetes adalah sebagai berikut:
a. Angiotensis Converting Enzym Inhibitor (ACE inhibitor)
ACE inhibitor adalah terapi pilihan utama hipertensi pada pasien dengan atau
tanpa mikroalbuminuria, rpoteinurea, atau nefropati, yang berguna untuk menunda
progresifitas diabetik nefropati. Golongan penghambat ACE direkomendasikan
sebagai lini pertama antihipertensi pada pasien dengan diabetes. Obat golongan ini

8
akan mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II dimana angiotensin II
ini berperan sebagai vasokonstriktor dan stimulus sekresi aldosteron sehingga apabila
pembentukan angiotensin II ini dihambat maka tekanan darah akan menurun. Akan
tetapi, obat golongan penghambat ACE dapat mencegah degradasi bradikinin
akibatnya dapat muncul efek samping yaitu batuk kering. Obat golongan penghambat
ACE antara lain captopril, enalapril, lisinopril, benazepril, quinapril, ramipril,
perindopril, moexipril, fosinopril, dan trandolapril. Obat yang paling sering digunakan
adalah captopril dengan dosis 25-100 mg 2x sehari.
b. Antagonis Reseptor Angiotensin II
Antagonis reseptor angiotensin II dapat mengurangi komplikasi pada diabetes
dan merupakan terapi pilihan apabila pasien tidak toleran terhadap penghambat ACE.
Secara farmakologi, penghambat ACE dan antagonis reseptor angiotensin II dapat
bertindak sebagai nefroproteksi dengan adanya vasodilatasi pada arteri aferen ginjal.
Selain itu, antagonis reseptor angiotensin II juga dapat mengurangi risiko terjadinya
perkembangan disfungsi ginjal pada pasien dengan diabetes. Mekanisme kerja dari
obat golongan ini yaitu dengan menghambat reseptor angiotensin tipe I yang
memperantarai efek dari angiotensin II, dan obat golongan antagonis reseptor
angiotensin II tidak mencegah degradasi bradikinin seperti pada obat golongan
penghambat ACE sehingga tidak menyebabkan batuk kering. Obat golongan
antagonis reseptor angiotensin II antara lain eprosartan, candesartan, losartan,
valsartan, telmisartan, irbesartan, dan olmesartan. Dosis valsartan yang digunakan
adalah 80-320 mg 1x sehari. Sedangkan untuk telmisartan dosis yang digunakan
adalah 20-80 mg 1x sehari dan dosis irbesartan adalah 150-300 mg 1x sehari.
c. Diuretik
Diuretik thiazid pada dosis rendah efektif menurunkan tekanan darah.
Pemberian thiazid dosis renddah 25 mg, dapat terjadi efek samping berupa gangguan
metabolisme karbohidrat, dislipedimia, hipokalemia, hipomagnesia, hiperinsulinemia,
sedangkan hiperurecemia jarang terjadi. Loop diuretik menimbulkan toleransi
glukosa. Diuretik hemat kalsium meningkatkan resiko hiperkalemi pada pasien
diabetes. Thiazid memperburuk hiperglikemi. Efek yang ditimbulkan hanya
memperkecil tekanan darah bukan mencegah perluasan penyakit kardiovaskular.
Diuretik hemat kalium menginduksi natriuresis dalam jumlah yang kecil dan tidak
cukup efektif untuk menurunkan tekanan darah. Kemampuan utamanya adalah
mampu mengurangi kehilangan kalium ketika dikombinasikan dengan thiazid. Contoh
dari diuretik tipe ini adalah amilorid dan triamterene. Dosis amilorid adalah 5- 10 mg
1-2x sehari sedangkan dosis triamteren adalah 50-100 mg 1-2x sehari.
d. Penghambat Kanal Kalsium
Penghambat kanal kalsium terdiri dari dua golongan yaitu dihidropiridin dan
non dihidropiridin. menghambat masuknya ion Ca2+ sehingga menyebabkan relaksasi
otot polos arteriol. Hal ini menyebabkan turunnya resistensi perifer dan menyebabkan
turunnya tekanan darah. Golongan dihidropiridin dapat mengurangi terjadinya
kardiovaskular pada pasien dengan diabetes dan hipertensi, namun kurang efektif
dibandingkan obat kardiovaskular yang lain maka hanya digunakan apabila pasien
tidak toleran terhadap terapi pilihan atau untuk terapi tambahan dalam mencapai

9
target tekanan darah. Obat golongan penghambat kanal kalsium yang paling sering
digunakan adalah amlodipin, nifedipin dan diltiazem. Dosis penggunaan amlodipin
adalah 2,5-10 mg 1x, dosis nifedipin adalah 30-60 mg 1x dan dosis awal diltiazem
adalah 120-180 mg 1x sehari. Apabila tekanan darah masih belum dapat terkontrol
dengan salah satu golongan obat meskipun sudah diberikan dengan dosis maksimum
maka dapat diberikan terapi kombinasi menggunakan obat lain tetapi dari golongan
obat yang berbeda. Kombinasi tersebut dapat terdiri dari dua atau tiga macam obat
untuk mencapai target tekanan darah. Namun dalam kombinasi obat tersebut perlu
diperhatikan agar tidak terjadi interaksi obat sehingga dapat memperburuk keadaan
pasien. Kombinasi obat yang tidak dianjurkan yaitu penghambat ACE dan antagonis
reseptor angiotensin II. (Oryza.2017).

2.5 Pendekatan Diagnosis


2.5.1 Anamnesis
Dilakukan anamnesis untuk menanyakan berapa lama sudah menderita
hipertensi, riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek samping obat bila ada,
riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada keluarga serta kebiasaan
makan dan psikososial. Faktor risiko lainnya berupa kebiasaan merokok,
peningkatan berat badan, dislipidemia, diabetes, dan kebiasaan olahraga juga
harus ditanyakan ke pasien. Informasi penting yang dianjurkan untuk di gali
dalam anamnesis riwayat individu dan keluarga (Kemenkes RI, 2021).
Tabel 4. Anamnesis riwayat dan faktor risiko

Faktor risiko Riwayat menderita hipertensi, penyakit


kardiovaskular, stroke, atau penyakit ginjal pada
individu dan keluarga.

Riwayat faktor risiko hipertensi pada individu dan


keluarga (misal: hiperkolesterolemia familial).

Riwayat merokok Riwayat pola diet dan konsumsi


garam.

Riwayat konsumsi alcohol.

Kurangnya aktivitas fisik.

Riwayat gangguan disfungsi ereksi pada laki-laki

Riwayat pola tidur, mengorok, sleep apnoe (informasi


juga didapat dari pasangan).

Riwayat hipertensi pada kehamilan/ preeklamsia


sebelumnya.

10
Riwayat dan gejala Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, sinkop, TIA,
kerusakan organ defisit sensoris dan motoris, stroke, revaskularisasi
akibat hipertensi, arteri karotis, gangguan kognitif, demensia pada
penyakit geriatri, gangguan penglihatan.
kardiovaskular,
stroke, dan penyakit
ginjal.

Jantung: nyeri dada, sesak nafas, edema, infark


miokard, revaskularisasi koroner, sinkop, riwayat
palpitasi, aritmia (fibrilasi atrial), gagal jantung.

Ginjal: poliuria, nokturia, hematuria, infeksi saluran


kemih.

Arteri perifer: akral dingin, klaudikasio intermitten


(nyeri pada tungkai menghilang pada saat berjalan
jauh dan nyeri saat istirahat), revaskularisasi perifer.

Pasien dengan riwayat keluarga penyakit ginjal kronis


(contoh: penyakit ginjal poilikistik).

Riwayat Terdiagnosis hipertensi derajat 2-3 pada usia muda


kemungkinan (40 tahun) atau perburukan hipertensi yang
hipertensi sekunder. mendadak pada pasien usia tua.

Riwayat penyakit ginjal/saluran kemih.

Penggunaan obat ‘recreational’/ penyalahgunaan


obat/terapi yang dijalani saat ini: kortikosteroid,
vasokontriktor nasal, kemoterapi, yohimbine,
liquorice.

Adanya gejala berkeringat, sakit kepala, cemas, atau


palpitasi yang berulang dan mengarah kecurigaan
adanya feokromositoma.

Riwayat hipokalemia baik spontan maupun akibat


diuretik, gejala kelemahan otot, dan tetani
(hiperaldosteronisme).

Gejala sugestif penyakit tiroid atau hiperparatiroidism.

Riwayat kehamilan saat ini dan penggunaan


kontrasepsi,

Riwayat sleep apnoe.

Terapi obat Riwayat penggunaan obat antihipertensi saat ini


antihipertensi ataupun sebelumnya, baik efektivitas maupun
intoleransi terhadap pengobatan.

Kepatuhan terhadap terapi.

11
2.1.1 Penentuan Risiko Kardiovaskular
Direkomendasikan untuk selalu mencari faktor risiko metabolik (diabetes,
gangguan tiroid dan lainnya) pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa
penyakit jantung dan pembuluh darah. Penilaian faktor risiko dapat menggunakan
sesuai pedoman European Society of Cardiologist (ESC) (Tabel 5 dan 6.) dan
World Health Organization (WHO-HEARTS), technical package for
cardiovascular disease management in primary health care, Risk Based CVD
Management). Berdasarkan WHO-HEARTS penilaian risiko Kardiovaskuler
dibagi berdasarkan dua kelompok yaitu dengan pemeriksaan laboratorium
(kolesterol dan gula darah) dan tanpa pemeriksaan laboratorium.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tinggi dan berat badan, tanda-
tanda vital, lingkar pinggang (waist circumference), serta tanda/gejala deteksi
dini komplikasi kerusakan organ target akibat hipertensi. Pemeriksaan tanda dan
gejala tersebut meliputi pemeriksaan neurologis dan status kognitif, funduskopi
untuk hipertensi retinopati, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi jantung,
palpasi dan auskultasi arteri karotis, palpasi pada arteri perifer, perbandingan TD
pada kedua lengan atas kanan dan kiri, dan pemeriksaan ABI (Ankle Brachial
Index). Pemeriksaan tanda dan gejala hipertensi sekunder juga harus dilakukan,
yaitu: inspeksi kulit (café-au-lait patches pada neurofibromatosis
(phaechromocytoma)), palpasi ginjal pada pembesaran ginjal karena penyakit
ginjal polikistik, auskultasi murmur atau bruit pada jantung dan arteri renalis,
tanda dan gejala yang mengarah adanya koarktasio aorta, atau hipertensi
renovaskular, tanda penyakit Cushing’s atau akromegali, serta tanda penyakit
tiroid.
Sfigmomanometer Pilihan sfigmomanometer air raksa dan non air raksa
(aneroid atau digital). Gunakan sfigmomanometer yang telah divalidasi setiap 6-
12 bulan. Gunakan ukuran manset yang sesuai dengan lingkar lengan atas (LLA).
Ukuran manset standar panjang 35 cm dan lebar 12- 13 cm. Gunakan ukuran
yang lebih besar untuk LLA >32 cm, dan ukuran lebih kecil untuk anak. Ukuran
ideal panjang balon manset 80-100% LLA, dan lebar 40% LLA. Posisi Posisi
pasien: duduk, berdiri, atau berbaring (sesuai kondisi klinik). Pada posisi duduk:

12
Gunakan meja untuk menopang lengan dan kursi bersandar untuk
meminimalisasi kontraksi otot isometrik. Posisi fleksi lengan bawah dengan siku
setinggi jantung. Kedua kaki menyentuh lantai dan tidak disilangkan. Prosedur
Pasien duduk dengan nyaman selama 5 menit sebelum pengukuran TD dimulai.
Pengkuran TD dilakukan tiga kali dengan jarak 1-2 menit, dan pengukuran
tambahan hanya jika dua kali pembacaan pertama terdapat perbedaan >10
mmHg. TD diukur dari rata-rata dua.
pengukuran terakhir. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan pada pasien
dengan TD tidak stabil karena aritmia, seperti pada pasien dengan fibrilasi atrial,
yang mana auskultasi manual harus dilakukan karena alat otomatis tidak valid
dalam mengukur TD pada pasien fibrilasi atrial. Gunakan manset yang terstandar
(lebar 12-13 cm dan panjang 35 cm), namun sediakan pula manset yang lebih
kecil dan lebih besar untuk lengan yang kurus dan besar. Manset diposisikan
setinggi jantung, dengan punggung dan lengan relaks untuk menghindari
kontraksi otot yang meningkatkan TD.

2.6 Obat-Obat Untuk Tata Laksana Hipertensi


2.6.1 Pemilihan Obat Hipertensi
Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan tata laksana hipertensi saat ini
adalah dengan menggunakan terapi kombinasi pada sebagian besar pasien, untuk
mencapai tekanan darah sesuai target. Bila memungkinkan dalam bentuk single
pill combination (SPC), untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.
Lima golongan obat antihipertensi utama yang rutin direkomendasikan yaitu:
ACEi, ARB, beta bloker, CCB dan diuretik.

13
Tabel 5. Obat anti hipertensi oral

Kelas Obat Dosis Frekuensi Waktu Pemberian


(mg/hari) Obat
Obat-obat Lini Utama
Tiazid atau diuretik Hidroklorothiazid 25 - 50 1 Pagi hari
tipe tiazid Indapamide 1,25 – 2,5 1 Pagi hari
Captopril 1,25 - 150 2 atau 3 Malam hari
Enalapril 5 - 40 1 atau 2 Malam hari
Lisinopril 10 - 40 1 Malam hari
Penghambat ACE Perindopril 4 - 16 1 Malam hari
Ramipril 2,5 - 10 1 atau 2 Malam hari
Imidapril 5-10 1 Malam hari
Candesartan 8 - 32 1 Malam hari
(Eprosartan) 600 - 800 1 atau 2 Tidak ada data
Irbesartan 150 - 300 1 Malam hari
ARB Losartan 50 - 100 1 atau 2 Malam hari
Olmesartan 20 - 40 1 Malam hari
Telmisartan 80 - 320 1 Malam hari
Valsartan 80 - 320 1 Malam hari
Amlodipine 2,5 - 10 1 Pagi hari
CCB – (Felodipin) 5 – 10 1 Tidak ada data
dihidropiridine Nifedipine 60 - 120 1 Malam hari
Lecarnidipine 10-20 1 Pagi hari
CCB-non Diltiazem SR 180 - 360 1 Malam hari
dihidropiridine Diltiazem CD 100 - 200 1 Malam hari
Verapamil SR 120 - 480 1 Malam hari
Obat-obat Lini Kedua
Diuretik loop Furosemid 20 - 80 2 Pagi hari
(Torsemid) 5 – 10 1 Pagi hari
Diuretik hemat (Amilorid) 5 – 10 1 atau 2 Tidak ada data
kalium (Triamferen) 50 - 100 1 atau 2 Tidak ada data
Diuretik antagonis (Eplerenon) 50 - 100 1 atau 2 Tidak ada data
aldosteron Spironolakton 50 – 100 1 Pagi hari
Penyekat beta - Atenolol 25 - 100 1 atau 2 Pagi atau
kardioselektif malam hari
tidak ada
perbedaan
signifikan
Bisoprolol 2,5 - 10 1 Tidak ada data

2.1.1 Strategi Kombinasi Obat Hipertensi


Terdapat berbagai macam strategi untuk memulai dan meningkatkan dosis obat penurun
TD, yaitu pemberian monoterapi pada tatalaksana awal, kemudian meningkatkan dosisnya
bila belum mencapai target, atau diganti dengan monoterapi lain. Namun, meningkatkan

14
dosis monoterapi menghasilkan sedikit penurunan TD dan memberikan efek yang
merugikan. Sementara beralih dari satu monoterapi ke yang lain, memakan waktu
dan seringkali tidak efektif. Untuk alasanalasan ini, pedoman terbaru semakin
berfokus pada pendekatan bertingkat, memulai pengobatan dengan monoterapi
yang berbeda dan kemudian secara berurutan menambahkan obat lain sampai
kontrol TD tercapai. Pedoman merekomendasikan target TD yang lebih ketat
(pengobatan) nilai ≤130/80 mmHg pada populasi umum dan ≤140/90 mmHg
pada pasien hipertensi yang lebih tua), yang akan membuat pencapaian kontrol
TD bahkan lebih menantang.
Beberapa alasan perlu dipertimbangkan untuk mengidentifikasi mengapa saat
ini strategi pengobatan telah gagal mencapai tingkat kontrol TD yang lebih baik.
Pertama adalah adanya sekitar 5 - 10% dari pasien hipertensi yang menunjukkan
resistensi terhadap pilihan obat anti hipertensi, kedua adalah peranan dokter atau
perawatan tidak optimal yang mengakibatkan kegagalan kontrol TD, ketiga
tingkat kepatuhan pasien yang beragam, keempat adalah penggunaan pengobatan
kombinasi tidak memadai/ lebih banyak pasien yang di terapi dengan
menggunakan monoterapi, dan yang kelima adalah kompleksitas strategi
pengobatan saat ini yang juga akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam
berobat.
Pertimbangan di atas menunjukkan bahwa strategi pengobatan berbasis bukti
yang paling efektif untuk meningkatkan kontrol TD adalah pertama penggunaan
pengobatan kombinasi terutama dalam konteks target TD yang lebih rendah;
kedua dianjurkan penggunaan terapi SPC untuk meningkatkan kepatuhan
terhadap pengobatan; dan ketiga adalah mengikuti algoritma terapi dengan
menggunakan terapi SPC sebagai terapi awal, kecuali pada pasien dengan TD
dalam kisaran tinggi-normal dan pada pasien lanjut usia yang renta (frail).
Gambar 2. Pilihan kombinasi obat anti hipertensi

15
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kasus
 Keluhan utama pasien:
Peryataan pasien
"Saya di sini untuk menemui dokter baru saya untuk pemeriksaan. Aku baru saja
sembuh dari flu. Secara keseluruhan, saya merasa baik-baik saja, kecuali sakit kepala
sesekali dan pusing di pagi hari. Dokter saya yang lain meresepkan diet rendah garam
untuk saya, tetapi saya tidak menyukainyal"
 Hiperpigmentasi Pascainflamasi (HPI)
James Frank adalah seorang pria kulit hitam berusia 64 tahun yang datang ke dokter
kedokteran keluarga barunya untuk evaluasi dan tindak lanjut masalah medisnya. Dia
umumnya tidak memiliki keluhan, kecuali sakit kepala ringan sesekali dan beberapa
pusing setelah dia meminum obat paginya. Dia menyatakan bahwa dia tidak puas
ditempatkan pada diet rendah natrium oleh mantan dokter perawatan primernya.
 Kesehatan Mental Positif PMH:
 Hipertensi x 14 tahun
 Diabetes melitus (DM) tipe 2 x 16 tahun
 COPD, GOLD 3/Grup C
 BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
 CKD (Chronik Kidney Disease)
 Encok
 Familial Hypercholesterolaemia (FH)
Ayah meninggal karena Infark Miokard akut pada usia 73 tahun. Ibu meningga
karena kanker paru-paru pada usia 65 tahun. Ayah menderita hipertensi dan
dislipidemia. Ibu mengidap Hipertensi dan Diabetes melitus (DM).
 Stroke Hemoragik (SH)
Mantan perokok (berhenti 6 tahun yang lalu, riwayat 35 tahun); melaporkan asupan
alkohol dalam jumlah sedang (satu hingga dua minuman per hari), Dia mengakui
bahwa dia tidak patuh pada diet rendah sodiumnya (menyatakan, "Saya makan

16
apapun yang saya inginkan"). Dia tidak berolahraga secara teratur dan secara
fungsional agak terbatas oleh COPD-nya. Dia sudah pensiun dan tinggal sendiri. Dia
bekerja di Wal-Mart dan memiliki asuransi kesehatan melalui majikannya.
 Obat-obatan
 Hydrochlorothiazide/triamterene 25 mg/37.5 mg PO tiap AM
 Insulin glargine 36 unit subkutan setiap hari
 Insulin lispro 12 unit TID subkutan dengan makanan
 Doxazosin 2 mg PO tiap AM
 Carvedilol 12.5 mg PO BID
 Albuterol HFA MDI, dua inhalasi setiap 4-6 jam PRN sesak napas
 Tiotropium DPI 18 mcg, satu kapsul dihirup setiap hari
 Fluticasone/salmeterol DPI 250/50, satu inhalasi BID
 Mucinex DⓇ dua tablet setiap 12 jam PRN batuk/kemacetan
 Allopurinol 200 mg PO setiap hari
 Naproxen 220 mg PO setiap 8 jam PRN nyeri/HA
 Leukemia Limfoblastik Akut (All)
Ruam PCN
 Reactive Oxygen Species (ROS)
Pasien menyatakan bahwa secara keseluruhan dia baik-baik saja dan pulih dari flu.
Dia telah memperhatikan tidak ada perubahan berat badan yang besar selama
beberapa tahun terakhir. Dia mengeluh sakit kepala sesekali, yang biasanya
berkurang dengan naproxen, dan dia menyangkal penglihatan kabur dan nyeri dada.
Dia menyatakan bahwa sesak napas adalah "biasa" baginya, dan albuterolnya
membantu. Dia melaporkan telah mengalami dua eksaserbasi PPOK dalam 12 bulan
terakhir. Dia menyangkal mengalami hemoptisis atau epistaksis; ia juga menyangkal
mual, muntah, sakit perut, kram, diare, sembelit, atau darah dalam tinja. Dia
menyangkal frekuensi buang air kecil tetapi menyatakan bahwa dia dulu lebih sulit
buang air kecil sampai dokternya mulai memberinya doxazosin beberapa bulan yang
lalu. Dia tidak memiliki riwayat gejala rematik sebelumnya dan menyatakan bahwa
nyeri asam urat sesekali juga berkurang dengan naproxen.
 Pemeriksaan Fisik
 Gen
WDWN, laki-laki kulit hitam, kelebihan berat badan sedang: tidak
dalam tekanan akut
 VS
Tekanan Darah (TD) 162/90 mm Hg (duduk; ulangi 164/92 mm Hg), HR 76
bpm (reguler), RR 16/menit, Suhu 37°C. Berat Badan 95 kg, Tinggi 6'2".
 HEENT (Kepala, Mata, Telinga, Hidung dan Tenggorokan)
TM jelas; drainase sinus ringan, AV nicking dicatat, tidak ada perdarahan,
eksudat, atau papilledema.
 Leher
Lentur tanpa massa atau tiroid bruit, tidak terjadi pembesaran tiroid atau
limfadenopati.

17
 Paru-Paru
Paru-paru bidang CTA bilateral. Sedikit crackles basilar, ekspirasi ringan mengi.
 Jantung
RRR: S1 dan S2 Normal, S3/S4 Tidak.
 Abdominal Pain (ABD)
Lembut, NTND; tidak ada massa, bruit, atau organomegali. BS biasa.
 Genit/Rect
Pembesaran prostat
 Extension
Tidak ada CCE; beak ada pembengkakan sendi yang jelas atau tanda-
tanda sophi.
 Saraf/Neuro
Tidak ada defisit sensorik motorik kasar. CN II-XII utuh.

 Hasil Lab
• Na 1,38 mEq/L • Ca 9,7 mg/dL Panel lipid puasa
• K 4,7 mEq/L • Mg 2,3 mEq/L • Kol total 161 mg/dL
• Cl 99 mEq/L • A1C 6,1% • LDL 79 mg/dL
• CO227 mEq/L • Alb 3,4 g/dl • HDL 53 mg /dL
• BUN 22 mg/dL • Hb 13 g/dL • TG 144mg /dL
• SCr 2,2 mg/DL • Hct 40% Spirometru (6 bulan yang lalu)
• Glukosa 110 mg/dL • WBC 9,0 x 10/mm³ 2,38 L
• Asam URat 6, • Put 189 x 10/mm³ • FVC 2,38 L (54%sebelum)
7mg /dL • FEV1 1,21 L (48%
sebelum)
• FEV1/FVC 51%

 UA
Kuning, bening, SG 1,007, pH 5,5, (+) protein, (-) glukosa, (-) keton, (-) bilirubin, (-)
darah, (-) nitrit, RBC 0/hpf, WBC 1-2/ hpf, neg bakteri, satu sampai lima sel epitel.
 Elektrokardiogram (EKG)
EKG abnormal: irama sinus normal; pembesaran atrium kiri; kiri devisiasi sumbu;
LVH.
 Echocardiography (ECHO) (6 bulan lalu)
LVH Ringan, perkiraan EF 45%

3.2 SOAP
3.2.1 S: Subjektif
Nama pasien : James Frank
Usia : 64 tahun
Keluhan pasien: sakit kepala ringan sesekali, pusing dipagi hari dan mengalami
pusing setelah minum obat. Pasien tidak menyukai diet rendah Natrium yang
disarankan oleh dokter sebelumnya (“saya makan apapun yang saya inginkan”),

18
Pasien mengonsumsi alkohol dalam jumlah sedang dan tidak suka berolahraga
dan dibatasi oleh kondisi COPD
Riwayat Keluarga:
 Ayah meninggal karena Infark Miokard akut pada usia 73 tahun.
 Ibu meningga karena kanker paru-paru pada usia 65 tahun.
 Ayah menderita hipertensi dan dislipidemia. Ibu mengidap Hipertensi dan
Diabetes melitus (DM).

3.2.2 O: Objektif
Tanda Vital
Tekanan Darah (TD) 162/90 mm Hg (duduk; ulangi 164/92 mm Hg), HR 76 bpm
(reguler), RR 16/menit, Suhu 37°C. Berat Badan 95 kg, Tinggi 6'2”.

Riwayat Pengobatan
 Hydrochlorothiazide/triamterene 25 mg/37.5 mg PO Q AM Insulin glargine
36 unit subkutan setiap hariInsulin lispro 12 unit TID subkutan dengan
makanan
 Doxazosin 2 mg PO GAM
 Carvedilol 12.5 mg PO BID
 Albuterol HFA MDI, dua inhalasi Q 4-6 H PRN sesak napas
 Tiotropium DPI 18 mcg, satu kapsul dihirup setiap hari
Fluticasone/salmeterol DPI 250/50, satu inhalasi BID
 Mucinex DⓇ dua tablet Q 12 H PRN batuk/kemacetan
 Allopurinol 200 mg PO setiap hari
 Naproxen 220 mg PO Q8 H PRN nyeri/HA

Pemeriksaan laboratorium (Data Lab)

• Na 1,38 mEq/L • Ca 9,7 mg/dL Panel lipid puasa


• K 4,7 mEq/L • Mg 2,3 mEq/L • Kol total 161 mg/dL
• Cl 99 mEq/L • A1C 6,1% • LDL 79 mg/dL
• CO2 27 mEq/L • Alb 3,4 g/dl • HDL 53 mg /dL
• BUN 22 mg/dL • Hb 13 g/dL • TG 144mg /dL
• SCr 2,2 mg/DL • Hct 40% Spirometru (6 bulan yang lalu)
• Glukosa 110 mg/dL • WBC 9,0 x 10/mm³ 2,38 L
• Asam Urat 6,7 mg /dL • Put 189 x 10/mm³ • FVC 2,38 L (54%sebelum)
• FEV1 1,21 L (48%
sebelum)
• FEV1/FVC 51%

3.2.3 A: Assessment
Berdasarkan kasus yang ada maka pasien tersebut dapat dinyatakan:
 Hipertensi tidak terkendali

19
 DM Tipe 2 dikontrol dengan insulin glargine 36 unit sub kutan setiap hari
dan insulin lispro 12 unit TID
 BPH, gejalah membaik dengan Doxazosin 2 mg PO Tiap pagi hari
 Gout, dikontrol dengan Allopurinol 200 mg PO setiap hari
 PPOK stabil dengan Albuterol HFA MDI 2 inhalasi tiap 4-6 jam PRN Sesak
napas, Tiotropium DPI 18 mgc 1 kapsul di hirup setiap hari,
Fluticasone/salmeterol DPI 250/50, 1 inhalasi BID.
 Terjadi komplikasi CKD (Chronik Kidney Disease)/Gagal Ginjal Kronik
pada pasien

3.2.4 P: Plan dan Monitoring


Alternatif Terapi/Saran Terapi
Terapi Farmakologi
1. Hipertensi (HTN) tidak terkendali dapat dikontrol menggunakan Captopril
Dosis: 2 X 12,5-150 mg/hari.
Captopril diindikasikan untuk penderita hipertensi dengan diabetes
melitus. (kaptopril dapat menurunkan resistensi insulin), dan dapat
memperlambat perburukan fungsi ginjal pada pasien dengan diabetic
neuropati, penderita hipertensi dengan gagal jantung, pasca infark miokard
dengan gangguan fungsi diastolic (Basic Pharmacologi, 2023).
Golongan penghambat ACE direkomendasikan sebagai lini pertama
antihipertensi pada pasien dengan diabetes. Obat golongan ini akan mencegah
perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II dimana angiotensin II ini
berperan sebagai vasokonstriktor dan stimulus sekresi aldosteron sehingga
apabila pembentukan angiotensin II ini dihambat maka tekanan darah akan
menurun (Oryza, 2017).
Penggunaan Captopril dapat terjadinya interaksi obat dengan
Doksazosin berupa interaksi Minor yaitu Doksazosin dapat meningkatkan
aktivitas hipotensi Captopril (drugbank), namun interaksi terhadap kedua obat
ini dapat diatasi dengan melihat interval pemberian dimana untuk Dexosasin
diberi pada pagi hari sedangkan Captopril pada malam hari (Kemenkes RI,
2021).
2. Penggunaan NSAID (Naproxen) dihentikan karena sangat besar resiko
terjadinya interaksi obat dengan golongan obat antihipertensi contohnya
carvedilol dengan captopril dapat menyebabkan resiko atau tingkat keparahan
gagal ginjal, hiperkalemia, dan dapat meningkatkan hipertensi sehingga
mengakibatkan hipertensi pada pasien tidak terkendalikan.
3. Pergunaan Carvedilol sebagai antihipertensi dengan gagal jantung dihentikan
penggunaanya karena terjadi duplikasi terapi yaitu carvedilol dan Dexazosin
yang sama-sama merupakan golongan obat -1 Bloker. Dan carvedilol dapat
diganti dengan menggunakan Captopril.
4. Penggunaan Hidroklorothiazide sebagai antihipertensi yang merupakan lini
pertama dalam terap hipertensi juga dihentikan karena terjadi kontra indikasi

20
yaitu: hipersensitif, hipokalemia, gangguan ginjal/hati berat, kehamilan dan
menyusui dan juga adanya interaksi obat yang terjadi antara
hidroklorothiazide dan alopurinol yaitu risiko terjadinya reaksi
hipersensitivitas terhadap Allopurinol meningkat bila dikombinasikan dengan
Hydrochlorothiazide.

(Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, 2019).

Tabel. 6 Efek samping obat Antihipertensi

ACE inhibitor Batuk, hiperkalemia

Angiotensin Receptor Blocker Hiperkalemia lebih jarang terjadi


dibandingkan ACEi

Calcium Channel Blocker

Dihidropiridin Edema pedis, sakit kepala

Non-Dihidropiridin Konstipasi (verapamil), sakit kepala


(diltiazem)

21
Diuretik Sering berkemih, hiperglikemia,
hiperlipidemia, hiperurisemia,
disfungsi seksual

Sentral alfa-agonis Sedasi, mulut kering, rebound


hypertension, disfungsi seksual

Alfa bloker Edema pedis, hipotensi ortostatik,


pusing

Beta bloker Lemas, bronkospasme,


hiperglikemia, disfungsi seksual

(Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, 2019).

Terapi Non Farmakologi


1. Nitrisi
 Pembatasan konsumsi natrium
 Perubahan Pola Makan

2. Kebiasaan
 Penurunan Berat Badan dan Menjaga Berat Badan Ideal
 Berhenti Merokok dan konsumsi Alkohol
3. Latihan Fisik dan Olahraga Teratur (Kemenkes RI, 2021).

Interaksi Obat yang terjadi dari Riwayat pengobat yang digunakan pasien:

1. Doxazosin dan Carvedilol (Mayor)


Doxazosin dapat meningkatkan aktivitas ortostatik hipotensi, dan
antihipertensi Carvedilol.
Karena tindakan utama antagonis reseptor alfa-1 adrenergik adalah
menyebabkan arteri dan vena melebar sebagai sarana untuk mengobati

22
hipertensi, penggunaan bersamaan lebih dari satu antagonis reseptor alfa-1
adrenergik secara bersamaan akan meningkatkan efek antihipertensi dan
menyebabkan hipotensi berbahaya atau episode sinkop.
2. Hydrochlorothiazide dan Naproxen (Moderate)
Kemanjuran terapeutik Naproxen dapat menurun bila digunakan dalam
kombinasi dengan Hydrochlorothiazide.
Diuretik tiazid dapat meningkatkan konsentrasi asam urat dalam darah.
3. Naproxen dan Carvedilol (Moderate)
Naproxen dapat menurunkan aktivitas antihipertensi Carvedilol.
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dapat menghasilkan vasokonstriksi
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hal ini dapat meningkatkan
risiko hipertensi pada mereka yang diobati dengan anti-hipertensi beta-
blocker.
4. Hydrochlorothiazide dan Doxazosin (Moderate)
Kemanjuran terapeutik Doxazosin dapat ditingkatkan bila digunakan dalam
kombinasi dengan Hydrochlorothiazide.
Diuretik tiazid yang dikombinasikan dengan obat antihipertensi lainnya dapat
mempotensiasi efek hipotensi dari obat ini.
5. Doxazosin dan Naproxen (Moderate)
Kemanjuran terapeutik Doxazosin dapat menurun bila digunakan dalam
kombinasi dengan Naproxen.
Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dalam kombinasi dengan
beta-blocker dapat mengakibatkan berkurangnya efek antihipertensi dari beta-
blocker melalui sejumlah mekanisme. Salah satu mekanisme yang mungkin
melibatkan aksi NSAID untuk mengurangi aliran darah ginjal, mengurangi
filtrasi glomerulus, dan menyebabkan retensi natrium. Retensi natrium
tersebut dapat menyebabkan tekanan darah meningkat pada pasien yang
sensitif terhadap garam. Kemungkinan lain melibatkan efek NSAID untuk
menghambat sintesis prostaglandin. Karena prostaglandin terlibat dengan
peningkatan vasodilatasi dan pelemahan vasokonstriksi, penggunaan NSAID
dapat menangkal tonus vasodilatasi yang bergantung pada prostaglandin di
ginjal dan pembuluh darah ekstrarenal yang memediasi aksi antihipertensi
dari berbagai obat beta blocker.
6. Hydrochlorothiazide dan Allopurinol (Moderate)
Risiko reaksi hipersensitivitas terhadap Allopurinol meningkat bila
dikombinasikan dengan Hydrochlorothiazide.
Diperkirakan bahwa penghambat simportir allopurinol dan natrium klorida
yang digunakan secara bersamaan menyebabkan peningkatan risiko toksisitas
allopurinol. Toksisitas dapat disebabkan oleh peningkatan konsentrasi plasma
oxypurinol, metabolit utama allopurinol. Penurunan klirens oxypurinol ini
dapat terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal yang menggunakan diuretik
thiazide. Namun, ada sedikit bukti bahwa diuretik tiazid secara langsung
meningkatkan risiko mengalami toksisitas terkait allopurinol seperti reaksi
obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik (sindrom DRESS).

23
7. Naproxen dan Allopurinol (Minor)
Naproxen dapat menurunkan tingkat ekskresi Allopurinol yang dapat
menghasilkan tingkat serum yang lebih tinggi.
Obat subjek adalah agen nefrotoksik yang berpotensi merusak fungsi ginjal
dan menurunkan ekskresi obat yang terutama menjalani ekskresi ginjal
sebagai cara pembersihan utama, seperti obat yang terpengaruh. Ekskresi
ginjal yang dilemahkan dari obat yang terkena dapat meningkatkan
konsentrasi obat, menyebabkan peningkatan risiko efek samping terkait obat.

Monitoring
Lakukan pemantauan parameter/control tekanan darah tercapai dalam 3 bulan.
Lakukan pemantauan kadar gula darah pasien.
Selain kontrol BP, strategi terapeutik harus mencakup perubahan gaya hidup,
kontrol berat badan dan pengobatan yang efektif dari faktor risiko lain untuk
mengurangi risiko kardiovaskular residual.

Pertanyaan:
1. Mengapa kaptopril dipilih dalam terapi pada pasien Hipertendi denga DM?
Jawab:
Kaptopril dipilih karena:
 Merupakan lini pertama pada terapi hipertensi dengan komrbid DM
 Tiazid atau thiazide-type diuretics meskipun merupakan lini pertama
dalam terapi antihipertensi namun dilihat dari data lab pasien tersebut
untuk pemberian golongan diuretic dapat meningkatkan kadar asam urat
pada pasien.
Untuk golongan ini sebelumnya juga sudah diberi berupa
Hidroklorothiazide namun terjadi duplikasi terapi, dan kontra indikasi
terhadap penyakit pasien dan adanya interaksi obat yang terjadi
diantaranya (Hidroklorothiazide dengan Naproxen, Hidroklorothiazide
dengan Doxazosin, Hidroklorothiazide dengan Alluperinol) sehingga
hipertensi yang dialami TN James Frank tidak terkedalikan.
 Sedangkan golongan ARB (Angiotensin Reseptor Bloker) meskipun
dilihat dari efek sampingnya (Hiperkalemia lebih jarang terjadi
dibandingkan ACEi) namun tidak diberikan karena ARB merupakan
alternatif bagi pasien yang harus menghentikan ACE Inhibitor akibat
batuk yang persisten. Pada kasus TN James Frank sebelumnya belum
diberikan terapi ACE Inhibitor untuk menangani hipertensi pada pasien
sehingga untuk lini pertama disarankan terapi ACE inhibitor.

2. Dari obat-obat yang ada apakah ada yang dapat memperparah hipertensi?
Jawab: Ada

24
Obat golongan NSAID (Naproxen) resiko besar terjadinya interaksi obat
dengan golongan obat antihipertensi sehingga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah.
a) Naproxen dan Carvedilol (Moderate)
Naproxen dapat menurunkan aktivitas antihipertensi Carvedilol.
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dapat menghasilkan
vasokonstriksi yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hal ini
dapat meningkatkan risiko hipertensi pada mereka yang diobati dengan
anti-hipertensi beta-blocker (drugbank.com)
b) Doxazosin dan Naproxen (Moderate)
Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dalam kombinasi
dengan beta-blocker dapat mengakibatkan berkurangnya efek
antihipertensi dari beta-blocker melalui sejumlah mekanisme. Salah satu
mekanisme yang mungkin melibatkan aksi NSAID untuk mengurangi
aliran darah ginjal, mengurangi filtrasi glomerulus, dan menyebabkan
retensi natrium. Retensi natrium tersebut dapat menyebabkan tekanan
darah meningkat pada pasien yang sensitif terhadap garam. Kemungkinan
lain melibatkan efek NSAID untuk menghambat sintesis
prostaglandin. Karena prostaglandin terlibat dengan peningkatan
vasodilatasi dan pelemahan vasokonstriksi, penggunaan NSAID dapat
menangkal tonus vasodilatasi yang bergantung pada prostaglandin di
ginjal dan pembuluh darah ekstrarenal yang memediasi aksi antihipertensi
dari berbagai obat beta blocker (drugban,com).

25
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg
pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan.
Hipertensi dapat terjadi bersamaan (komorbid) dengan Diabetes Mellitus, Chronic
Kidney Disease (CKD), Hipertensi Berat dan Edema Pulmonal Akut, Hipertensi dan
Penyakit Jantung, Hipertensi Pada Penyakit Aorta dan Hipertensi Pada Penyakit
Serebrovaskular. Namun pada kasus diatas pasien mengalami komorbid hipertensi dengan
Diabetes Mellitus, Chronic Kidney Disease (CKD) atau biasa disebut juga dengan Gagal
Ginjal Kronis.
Faktor risiko dari hipertensi: Riwayat pribadi CVD (infark miokard, gagal jantung
[HF], stroke, transient ische mic attacks [TIA], diabetes, dislipidemia, penyakit ginjal
kronis [CKD], status merokok, diet, asupan alkohol, aktivitas fisik, aspek psikososial,
sejarah depresinya). Riwayat keluarga hipertensi, CVD prematur, (familial)
hiperkolesterolemia, diabetes.

26
DAFTAR PUSTAKA

Oryza, Rori. 2017. Profil Pengobatan Antihipertensi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Makasar: Sekolah Pascasarjana Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.

Kemenkes RI Nomor Hk.01.07/Menkes/4634/2021. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Hipertensi Dewasa. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. Jdih.Kemkes.Go.I

Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi


2019. Jakarta.

Unger, Thomas. 2022. 2020 International Society of Hypertension Global Hypertension


Practice Guidelines. Belanda: CARIM-Maastricht University. Clinical Practice
Guidelines. Hypertension is available at https://www.ahajournals.org/journal/hyp

Dipiro, Joseph T dkk. 2020. Pharmacotherapy A Patophysiologic Approach Edisi 11.

27

Anda mungkin juga menyukai