Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

AGAMA DAN IMAN DIHIDUPI DALAM PLURALITAS

Disusun Oleh :

NAMA : VALDA M. DJU BIRE

NIM : 20411053

KELAS :IB

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

PROGRAM STUDI FARMASI

TAHUN AJARAN 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

Sungguh luar biasa, di Indonesia dari Sabang sampai Merauke, berjajar beribu pulau, dengan
aneka flora dan fauna. Itu semua anugerah dari Sang Pencipta. Kekayaan alam dan keaneka-
ragaman makhluk hidup yang menghuni bumi Nusantara, terlebih manusia, sangat
memungkinkan tercipta atau terwujudnya tata kehidupan yang sejahtera bagi semua.

Namun sungguhkah demikian? Pluralitas atau keaneka-ragaman budaya, adat-istiadat, etnis, suku
dan agama merupakan modal dasar dan sekaligus peluang untuk hidup dalam keadilan,
persaudaraan, gotong royong demi terwujudnya kehidupan yang sejahera. Dan secara khusus,
dalam hal hidup beragama dan atau beriman mempunyai lahan subur untuk ditaburi nilai-nilai
religiusitas, seperti kerukunan antar umat beragama, keadilan, kebenaran, kedamaian,
persuadaraan, kesejahteraan. Hidup beragama dan beriman dalam masyarakat pluralis
membutuhkan landasan dan akar yang kuat dan mampu bertahan (dalam arti positif penuh
harapan) walau diterpa berbagai persoalan, tantangan dan hambatan.sebagaimana kita tahu iman
tidak identik dengan agama. Orang yang beragama belum pasti beriman. Sebaliknya, orang yang
beriman hampir pasti beragama. Dengan kata lain, iman merupakan kelanjutan dari penghayatan
agama yang baik dan benar. Atau bisa juga dikatakan bahwa agama belum tentu menjamin
seseorang untuk beriman. Tesis di atas menjadi nyata apabila kita menyimak realitas hidup
beriman di tengah pluralitas agama di Indonesia ini. Berdasarkan studi dan penelitian dari
lembaga yang berwenang dan kompeten di bidangnya, aneka konflik, pertikaian, selisih paham,
disharmoni hidup beragama dan yang semacamnya seringkali terjadi akibat fanatisme agama
yang berlebihan.

Fanatisme itu sendiri seringkali muncul akibat pemahaman ajaran agama yang minim bahkan
mungkin juga keliru. Lebih penting dari itu, fanatisme juga muncul sebagai akibat dari
penghayatan iman yang dangkal. Kebanyakan individu sudah berpuas diri dengan memeluk
suatu agama tertentu tanpa berusaha menghayati iman yang benar dan mendalam dari ajaran
agama tersebut. Oleh sebab itu, kita tidak heran bila menghadapi aneka tantangan dalam
menumbuhkan iman di bumi Indonesia ini.

Elaborasi singkat tentang iman di tengah pluralitas agama di Indonesia ini merupakan studi dan
refleksi kritis atas iman Kristiani dan bagaimana iman itu bertumbuh dan berkembang bersama
entitas agama-agama yang lain di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

Apa itu Iman dan apa itu Agama? Iman adalah kepercayaan seseorang akan sesuatu yang
berhubungan dengan agama, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, Kitab Suci dan
sebagainya. Akan tetapi iman juga bisa berarti ketetapan dan keteguhan hati serta keseimbangan
jasmani dan rohani seseorang. Sementara itu, agama diartikan sebagai kepercayaan kepada
Tuhan beserta dengan sifat-sifat kekuasaanNya dengan ajaran dan kewajiban-kewajiban yang
berhubungan dengan kepercayaan itu. Dari pengertian umum ini, secara sepintas kita nyaris tidak
menemukan perbedaan yang mencolok antara iman dan agama. Namun bila disimak lebih
cermat, ada perbedaan yang cukup mendasar di antara keduanya. Dengan beragama diandaikan
seseorang memiliki aneka kewajiban untuk mentaati segala aturan, hukum, ajaran, perintah,
larangan dan sebagainya dari agama tersebut. Di lain pihak, orang yang beriman tidak semata-
mata berurusan hanya dengan soal-soal tersebut. Orang beriman menghayati hidup
keagaamannya dengan cara mengatasi aneka ketentuan hukum agamanya. Aneka ketentuan
agama sudah secara mekanis-otomatis merasuk dalam dirinya dan menjadi sumber, kekuatan,
daya, penggerak, inspirasi dan motivasi bagi tindakannya.

Lantas bagaimana Gereja Katolik memahami dan mengerti iman itu?Untuk memahami arti iman
dalam konteks dan perspektif agama Katolik. Pertama, secara terminologis, iman berasal dari
akar kata Semit (Arab) 'Amn/Aman' yang berarti teguh, setia. Kedua, dalam dunia Perjanjian
Lama, Aman atau he emin bisa berarti hubungan timbal-balik, personal dan istimewa antara
Tuhan dengan manusia. Sama seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru meneruskan pemahaman
yang lalu. Akan tetapi, iman (pisteuo=Yunani) sudah memiliki tendensi arti yang lebih jelas,
yakni percaya akan Sabda Tuhan, patuh atau taat serta memiliki juga unsur kesetiaan. Dalam
Tradisi khususnya Teologi Skolastik, pemahaman tentang iman dibedakan menjadi tiga.
Pertama, Credere Deum. Artinya percaya bahwa Tuhan itu ada. Kedua, Credere Deo. Artinya,
percaya kepada Tuhan mengenai apa saja yang diwahyukanNya. Ketiga, Credere in Deum.
Artinya, percaya akan Tuhan berupa iman yang hidup dan sudah diresapi oleh cinta kasih.
Ungkapan-ungkapan ini berasal dari St. Agustinus. Tiga ungkapan Agustinian ini menonjolkan
segi personal dari hidup beriman yang ditujukan kepada persona atau yang merupakan sasaran
beriman manusia.

Mengapa Iman Perlu Dijaga? Karena berangkat dari suatu pengandaian bahwa di dalam dunia
ada tantangan yang menghadang perkembangan dan pertumbuhan iman tersebut. Iman
merupakan anugerah dan sekaligus tugas dari Allah sendiri. Oleh sebab itu, iman harus
berkembang dalam diri manusia lewat pembinaan dan penghayatan yang benar. Mengapa iman
perlu dijaga? Ada beberapa alasan yang dapat diberikan. Pertama, iman berasal dari Allah
sendiri. Iman bukan hasil usaha dan kerja keras manusia. Maka, apabila manusia secara personal
menyia-nyiakan iman yang ada dalam dirinya, sama artinya dengan meniadakan Allah dalam
hidupnya.
Kedua, iman perlu dijaga karena menjamin keselamatan kekal/rohani manusia. Konsili Vatikan
II menegaskan bahwa iman akan Kristus Yesus dibutuhkan oleh setiap orang yang percaya
kepadaNya sehingga sampai pada pengetahuan yang jelas akan Allah dan berkat rahmat Ilahi
berusaha menempuh hidup yang benar (LG art.16). Ketiga, iman perlu dijaga, mengingat bahwa
ia hadir dalam dunia dan dalam realitas manusiawi yang lemah. Manusia rohani tidak bisa ada
sendirian tanpa eksistensi manusia badani. Hal ini sangat riskan bagi iman yang secara nyata
harus diwujudkan dalam tindakan konkrit manusia. Dari ketiga alasan di atas, kiranya sudah
cukup jelas mengapa kita mesti menjaga iman yang melekat dalam diri dan menghidupi diri kita.
Adapun pluralitas atau keaneka-ragaman budaya, adat-istiadat, etnis, suku dan agama merupakan
modal dasar dan sekaligus peluang untuk hidup dalam keadilan, persaudaraan, gotong royong
demi terwujudnya kehidupan yang sejahera. Dan secara khusus, dalam hal hidup beragama dan
atau beriman mempunyai lahan subur untuk ditaburi nilai-nilai religiusitas, seperti kerukunan
antar umat beragama, keadilan, kebenaran, kedamaian, persuadaraan, kesejahteraan. Hidup
beragama dan beriman dalam masyarakat pluralis membutuhkan landasan dan akar yang kuat
dan mampu bertahan (dalam arti positif penuh harapan) walau diterpa berbagai persoalan,
tantangan dan hambatan. Berkaitan dengan hal tersebut, sangatlah penting membangun dan
mengembangkan sebuah kesadaran penuh semangat dan harapan, bahwa setiap orang ( Katolik)
mampu menjadi ”Garam dan Terang dunia” (Matius 5:13-16). Untuk itu, pluralitas dalam hidup
bersama, bukanlah hambatan atau halangan untuk mewujudkan dan mewartakan iman, akan
tetapi justru merupakan lahan untuk menaburkan benih atau buah iman. Tema ”Agama dan Iman
yang dihidupi dalam Pluralitas” mengandaikan bahwa setiap orang harus berjuang tanpa henti
untuk memperkuat imannya, supaya tidak mudah goyah, bahkan tumbang tatkala angin, badai
menerpanya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap hari orang-orang beriman diberi santapan sabda. Penanggalan liturgi menyajikan bahan bacaan
dari Sabda Allah yang telah disusun menurut misteri iman Kristiani. Dengan demikian, Sabda Allah
menjadi sumber hidup dan teladan beriman sebagaimana digambarkan dalam setiap permenungan yang
ada dalam Kitab Suci tersebut. Orang yang tidak pernah membaca, merenungkan dan mengamalkan
segala sesuatu yang ada dalam Kitab Suci nyaris mustahil bisa mengembangkan dan memelihara
imannya dengan baik. Kedua, hidup dalam pengharapan. Seorang Kristiani yang baik adalah dia yang
selalu memiliki pengharapan dalam hidupnya yang diselamatkan oleh Kristus sendiri.

Harapan tersebut tidak bisa dipahami sebagai tindakan menunggu dengan pasif karya keselamatan
Allah. Akan tetapi, merupakan suatu tugas dan pengabdian kepada Allah demi jaminan hidup di masa
yang akan datang. Dengan harapan yang ada padanya, orang Kristiani menyiapkan dirinya untuk menjadi
warga negara Allah di dalam persekutuan dengan Dia. Ketiga, iman hendaknya dinyatakan dalam
perbuatan kasih. Iman mengandaikan dan melahirkan cetusan cinta kasih. Iman memiliki disposisi untuk
melakukan perbuatan kasih, karena mengandung kerinduan akan persahabatan dengan Tuhan sendiri
yang adalah kasih. Maka iman juga merupakan awal bagi perbuatan kasih.
DAFTAR PUSTAKA

http://yoana-dian-fisip18.web.unair.ac.id/artikel_detail-234558-Agama%20Katolik
%20%20Rangkuman-AGAMA%20DAN%20IMAN%20DIHIDUPI%20DALAM
%20PLURALITAS.html

http://clottania.blogspot.com/2018/12/bab-3-agama-dan-iman-dihidupi-dalam.html?m=1

http://jordanmanalu.blogspot.com/2018/12/rangkuman-agama-bab-iii-agama-dan-iman.html?
m=1

https://www.kompasiana.com/ambrosiadesy/5c05227643322f099776a4e6/agama-dan-iman-
dihidupi-dalam-pluralitas

http://skk.feb.unair.ac.id/index.php/coming-soon/94-agama-dan-iman-yang-dihidupi-dalam-
pluralitas.html

Anda mungkin juga menyukai