Anda di halaman 1dari 10

STRUKTUR KATEKESE ABAD I-IV

Pengantar
Dalam pertemuan ini kita akan membahas struktur katekese abad I sampai dengan abad IV. Yang
dimaksud dengan struktur adalah suatu “cara organik di mana setiap bagiannya saling terkait satu
sama lainnya sedemikian sehingga membentuk keutuhan”1. Pembicaraan tentang struktur
katekese ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan memfokuskan diri pada cikal-
bakal katekese dalam Perjanjian Baru dan Gereja Para Bapa Apostolik. Bagian kedua
menyinggung tahap-tahap katekumenat. Dan bagian ketiga akan membicarakan unsur-unsur
dalam katekese. Rujukan utama yang digunakan untuk materi ini adalah bahan pengajaran romo
Jean Danielou, La cathecese aux premiers siecles. Sebelum masuk ke dalam bagian pertama,
baik untuk diperkenalkan secara sekilas apa yang dimaksud dengan katekese.

1. Katekese: Sekilas Pandang


Akar kata katekese adalah katechesis, yang artinya instruksi yang disampaikan secara lisan.
Menurut Danielou, katekese dicirikan oleh empat hal. Pertama, katekese adalah pengajaran
dasar sekaligus lengkap. Katekese disebut pengajaran dasar karena ia ingin mengantar orang
untuk masuk ke dalam inti iman Kristen tanpa memerincinya. Dalam hal ini, katekese dibedakan
dari homili yang mengandaikan pemahaman iman yang sudah lebih mendalam. Katekese disebut
pengajaran komplit karena ia tidak saja hendak mengantar orang masuk ke dalam inti ajaran
iman tetapi juga ke dalam cara hidup Kristen yang utuh, di mana moralitas, doa dan perayaan-
perayaan sakramen termasuk di dalamnya. Dalam hal ini, katekese dibedakan dari kerygma,
yaitu pewartaan awal tentang Yesus Kristus yang menggenapi nubuat para nabi. Kedua,
katekese selalu terkait dengan pembaptisan. Di satu sisi, ia menyiapkan orang untuk menerima
sakramen baptis. Di sisi lain, ia mengantar orang yang sudah dibaptis untuk lebih mengenal
misteri iman Kristen. Ketiga, katekese memiliki tiga dimensi, yaitu temporal, sosial dan
spiritual. Dimensi temporal katekese terkait dengan persiapan baptis yang membutuhkan waktu.
Dimensi sosial katekese terkait dengan komunitas yang mengantar dan menemani calon baptis
dan baptisan baru. Dimensi spiritual terkait dengan muatan katekese itu sendiri yang biasanya
terdiri dari katekese dogmatik (pengantar ke dalam ajaran iman Kristen), katekese moral
(pengantar ke dalam cara hidup Kristen), dan mistagogi (pengantar ke dalam hidup doa serta
perayaan sakramen-sakramen). Termasuk dalam dimensi spiritual ini adalah petualangan rohani
para calon baptis dan baptisan baru untuk hidup sepenuhnya bagi Allah dalam Gereja melawan
kebiasaan hidup lama dan godaan si Jahat. Ciri terakhir, sebagaimana akan kita lihat, katekese
bersifat stabil. Ia meneruskan secara setia sekaligus kreatif apa yang Kristus serahkan kepada
para Rasul, dan para Rasul kepada Gereja. Contoh paling nyata dari kestabilan ini adalah
rumusan Credo Para Rasul yang tidak lain adalah kristalisasi dari perwahyuan yang diterima
Gereja. Konteks perumusan Credo ini adalah menyiapkan para calon baptis untuk mengetahui

1
Jean Danielou, La Catechese aux premiers siecles, Fayard-Mame, Paris, 1968

1
inti iman yang akan mereka peluk dalam pembaptisan. Sekarang kita dapat mulai menyentuh
bagian pertama dari struktur katekese abad-abad pertama.

2. Cikal-bakal Katekese dalam Perjanjian Baru dan Gereja Para Bapa Apostolik

Dalam Kis. 2:41 dapat kita temukan perikop yang menyatakan bahwa pada hari Pentakosta, 3000
orang dibaptis ke dalam Gereja. Pertanyaannya: apakah mereka dibaptis tanpa persiapan terlebih
dahulu? Apakah campur tangan Roh Kudus menjadi alasan bahwa mereka dibaptis tanpa
persiapan? Bukankah Roh Kudus yang mendorong Filipus untuk membaptis seorang sida-sida
dari Etiopia dan Petrus untuk membaptis Kornelius? Jika kita baca lebih teliti, persiapan itu
sebenarnya sudah dijalani baik oleh sida-sida Etiopia maupun Kornelius sebelum mereka
masing-masing dibaptis. Sang sida-sida, sebelum dibaptis, sedang dalam perjalanan untuk berdoa
ke Yerusalem sambil membaca kitab suci; Kornelius sendiri adalah serdadu Roma yang saleh,
takut akan Allah, sering beramal dan tiada putusnya berdoa. Singkat kata, kita tidak dapat
berkata bahwa pembaptisan mereka berdua bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba tanpa
persiapan. Cara hidup mereka yang mengikuti iman Yahudi adalah sebuah perjalanan
katekumenat tersendiri. Dalam de Baptismo, Tertullianus menulis: Sang sida-sida tidak berdiam
diri. Bukan suatu kerinduan spontan yang mendorongnya untuk minta dibaptis, tetapi suatu
kerinduan yang sudah terungkap dalam niatnya untuk berdoa ke Bait Allah dan dalam
tindakannya membaca kitab suci. Kepada dialah sang Rasul (Filipus) diutus Allah2. Inilah
tahap pertama katekese, yaitu suatu tahap ‘jauh’ persiapan pembaptisan, yang dikaitkan
dengan keyahudian kedua belah pihak.

Tahap kedua katekese, yang menyiapkan langsung pada pembaptisan, memang lebih singkat.
Namun demikian, tahap ini sungguh memuat suatu pengajaran, yang tidak lain adalah pengajaran
para Rasul itu sendiri. Campur tangan Roh Kudus tidaklah cukup. Iman harus diwartakan.
Kepada sida-sida, Filipus bertanya,”Mengertikah engkau, apa yang sedang kaubaca?” Sida-sida
menjawab,”Bagaimana aku dapat mengerti jika tidak ada yang menjelaskan?” Kepada Petrus,
Kornelius berkata,”Inilah kami semua berkumpul di hadapan Allah untuk mendengarkan apa
yang telah Tuhan nyatakan kepadamu.” Kemudian, Filipus pun mewartakan Injil kepada sida-
sida; Petrus mengajarkan keselamatan dalam Kristus kepada Kornelius. Inilah objek
sesungguhnya katekese: kepada sida-sida dan Kornelius yang sudah mengenal iman Yahudi
berikut Kitab Suci dan para nabinya, Filipus dan Petrus mewartakan bahwa Yesus Kristus adalah
Dia yang menggenapi nubuat para nabi. Karena mengamini apa yang diwartakan masing-masing
oleh Filipus dan Petrus, sida-sida dan Kornelius pun dapat dibaptis.

Dalam tradisi paska Perjanjian Baru, orang tidak dapat dibaptis tanpa pihak yang dapat
menjamin otentisitas kehendak dari calon baptis. Inilah peran yang dijalankan oleh komunitas
Kristen yang diwakili oleh wali baptis. Tetapi, siapa yang menjamin sida-sida dan Kornelius

2
Jean Danielou, 40.

2
sekeluarga sehingga mereka dapat dibaptis? Roh Kudus sendiri yang menjamin mereka baik
sebelum, selama maupun sesudah pertobatan. Dalam Kis. 10:47 Petrus berkata,”Bolehkah orang
mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh
Kudus sama seperti kita?” Petrus mengenal penjamin adi-kodrati bagi pembaptisan Kornelius.
Tentu penjamin adi-kodrati ini tidak hendak menyangkal penjamin kodrati/manusiawi.

Kisah pertobatan Paulus menarik untuk disimak terkait persiapan langsung pembaptisan melalui
laku puasa: “Tiga hari lamanya ia tidak dapat melihat dan tiga hari lamanya ia tidak makan dan
minum” (Kis. 9:9). Laku puasa menjadi unsur penting bagi persiapan langsung pembaptisan.
Begitu pentingnya laku puasa ini sampai-sampai mempengaruhi struktur tahun liturgi
sebagaimana nampak dalam apa yang sekarang kita kenal sebagai masa pra-Paskah. Masa pra-
Paskah ini sejatinya adalah masa puasa sebagai persiapan langsung baptisan. Mengikuti tradisi
Yahudi, puasa mencerminkan pertempuran rohani: persiapan langsung pada baptisan adalah
periode pencobaan ketika si Jahat mencoba untuk terus berkuasa atas kehidupan si calon baptis
yang sedang luput dari genggamannya. Masa puasa menampakkan bahwa sikap tobat tidak
sekedar bersifat moral tetapi terutama merujuk pada karya keselamatan Kristus sendiri. Tulisan-
tulisan para Bapa Apostolik memperlihatkan pentingnya masa puasa ini sebagai persiapan
baptisan disamping pengajaran dan hidup doa. Dapat dikutip di sini, misalnya, apa yang tertulis
dalam Tulisan-tulisan Clementin: Untuk pembaptisan, lakukanlah demikian:… pelayan baptisan,
calon baptis dan pribadi-pribadi lainnya, jika mereka dapat, hendaklah berpuasa sebelum
baptisan. Setidaknya kepada calon baptis, perintahkanlah untk berpuasa satu atau dua hari
sebelumnya…3

Perjanjian Baru juga memberikan kepada kita dua tipe pengajaran katekese yang berbeda.
Terkait hal ini, Danielou merujuk pada Surat Ibrani: (5:12-14) Sebab sekalipun kamu, ditinjau
dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-
asas pokok dari pernyataan Allah dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras.
Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran,
sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa yang
karena mempunyai pancaindera terlatih untuk membedakan yang baik dari yang jahat… (6:1)
Sebab itu, marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih
kepada perkembangannya yang penuh. Janganlah kita meletakkan lagi dasar pertobatan dari
perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan dasar kepercayaan kepada Allah, yaitu ajaran tentang
pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan, kebangkitan orang-orang mati dan hukuman
kekal. Dari perikop ini, kita menemukan dua tipe pengajaran iman: yang pertama adalah
pengajaran iman dasar dan yang kedua pengajaran iman lanjutan. Pengajaran iman dasar terdiri
dari: menghindari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, iman akan Allah, baptisan, kebangkitan dan
penghakiman terakhir. Semuanya ini dapat ditemukan dalam iman Yahudi. Sementara itu,
pengajaran iman lanjutan berisi pewartaan tentang Kristus. Pengajaran iman yang berbeda ini

3
Jean Danielou, 42-43.

3
mengungkapkan dua tahap katekese yang berbeda dengan tiga sasaran: mereka yang tidak
percaya pada Allah, mereka yang sudah mengenal iman Yahudi dan mereka yang sudah percaya
pada Kristus. Selain mengungkapkan dua tipe pengajaran iman dan juga tahapan-tahapannya,
perikop di atas menampakkan dua kategori orang beriman: di satu sisi, anak-anak (nepioi, yaitu
anak-anak yang belum bisa berbicara) yaitu orang beriman yang menerima kebenaran-kebenaran
dasar dan di sisi lainnya, orang beriman dewasa. Mereka yang disebut anak-anak, kemungkinan
adalah para calon baptis dan juga mereka yang baru saja dibaptis, yang menerima katekese post-
pembaptisan, yaitu katekese sakramen-sakramen (mistagogi).

3. Tahap-tahap Katekumenat
Dokumen pertama yang merumuskan tahap-tahap katekumenat berasal dari abad III. Pada masa
itu, Gereja dipenuhi oleh beragam orang dari latar belakang yang berbeda. Katekumenat
memainkan peran penting dalam konteks menggereja seperti itu, sebagaimana nampak dalam
tulisan-tulisan Tertullianus, Origenes dan Hippolitus. Dapat dikatakan bahwa sejak awal abad III,
struktur persiapan untuk pembaptisan dengan unsur-unsur yang paling pentingnya, sudah mapan.
Sudah sejak awal abad III, dibedakan dua tahap persiapan baptisan. Tahap pertama adalah
persiapan jauh baptisan, yang disebut catechoumenoi dalam Gereja Timur atau audientes
dalam Gereja Barat. Tahap kedua adalah persiapan langsung baptisan, yang disebut
photizomenoi dalam Gereja Timur atau electi dalam Gereja Barat. Setelah dibaptis, orang-orang
yang baru saja menjadi Kristen ini masih mengikuti tahap ketiga, yang berlangsung lebih
singkat, yaitu selama seminggu sesudah Paskah. Inilah yang disebut tahap mistagogi di mana
dijelaskan makna sejati dari sakramen inisiasi yang baru saja mereka terima. Di luar ketiga tahap
ini, ada tahap yang harus dilalui oleh mereka yang sama sekali tidak mengenal iman Yahudi
maupun Kristen. Tahap inilah yang disebut accedentes dalam Gereja Barat atau rudes menurut
Agustinus. Sebelum memasuki setiap tahap, diadakan ujian atau seleksi terlebih dahulu.

Seleksi Pertama
Orang yang hendak dibaptis pertama-tama akan dibawa ke hadapan seorang ‘doktor’, yaitu
katekis yang bertanggung jawab untuk menguji dan menyeleksi para calon baptis atas nama
Gereja. Calon baptis tidak datang sendirian ke hadapan doctor. Ia diantar oleh pihak-pihak yang
memberi kesaksian tentang calon baptis selama ujian atau seleksi berlangsung. Kutipan dari de
Catecchizandis Rudibus, karya Agustinus dapat memberi gambaran proses itu: untuk lebih baik
lagi meyakinkan disposisi calon, sebuah sarana yang sangat berguna…. Adalah menyerahkan
katekumen dengan pendampingan untuk menegaskn disposisi batin dan juga motivasi yang
mendorongnya menjadi orang Kristen4. Kehadiran pendamping dan doktor masing-masing
menunjukkan dimensi komuniter dan eklesial: pendamping adalah wakil komunitas Kristen yang
mengantar sekaligus mendampingi calon baptis; doktor adalah wakil Gereja keseluruhan yang
punya kepentingan untuk menjernihkan motivasi dan disposisi batin si calon.

4
Jean Danielou, 46

4
Ujian pertama-tama terkait dengan motivasi yang menggerakkan calon untuk minta dibaptis.
Yang dicari adalah kepastian bahwa si calon sungguh-sungguh mencari iman. Kriteria
kesungguhan ini adalah kemampuan mendengarkan firman. Tugas pendamping atau wali
baptislah untuk memberi kesaksian tentang kesanggupan si calon untuk mendengarkan firman.
Baik jika kita dengarkan sekali lagi apa yang dikatakan Agustinus terkait ujian pertama ini:
Ketika seseorang ingin menjadi Kristen semata untuk menyenangkan mereka yang dapat
memberinya keuntungan atau untuk menghindari masalah karena kalua tidak menjadi Kristen ia
mengalami kerugian atau permusuhan, dalam kasus itu, orang-orang seperti ini tidak dapat
dibaptis. Iman bukanlah semacam konformisme eksterior, iman adalah sebuah keterikatan
interior5. Tetapi siapa yang dapat lolos dari ujian pertama jika ketulusan menjadi kriteria? Siapa
yang sungguh-sungguh tulus hatinya? Agustinus adalah seorang pedagog. Ia pun sadar bahwa
‘ketulusan’ adalah sebuah proses yang juga melibatkan belas kasih Allah: Kerapkali belas kasih
ilahi menjadikan katekumen alat di tanganNya: setelah berpura-pura ingin menjadi Kristen,
orang kita ini kemudian sungguh-sungguh ingin menjadi Kristen. Hanya Ketika ia sungguh-
sungguh menginginkannya, ia dapat memulai perjalanannya yang sejati6.

Setelah motivasinya diuji, sekarang giliran cara hidup si calon yang menjadi pokok seleksi.
Tujuannya adalah untuk menegaskan apakah cara hidup si calon sungguh-sungguh sesuai dengan
iman yang akan ia peluk. Menurut Tradisi Apostolik, beberapa profesi menghalangi seseorang
untuk dibaptis, yaitu profesi immoral (pemilik rumah bordil), profesi yang terkait dengan
kepercayaan dewa-dewi (pembuat patung untuk disembah, pemain teater yang selalu dikaitkan
dengan festival untuk menyembah para dewa, penjaga atau imam upacara bagi para dewa).

Jika lolos dari ujian pertama, si calon secara resmi dapat memulai perjalanan katekumenatnya.
Di Afrika, perjalanan katekumenat ini dimulai dengan sebuah upacara yang terdiri dari signatio
(pemberian tanda salib) di dahi, penumpangan tangan dan pemberian garam.

Lamanya Perjalanan Katekumenat


Terkait durasi katekumenat, Hippolitus menulis demikian, “katekumen dibimbing selama tiga
tahun”7. Lamanya perjalanan katekumenat ini dipengaruhi oleh konteks zamannya. Di satu sisi,
awal abad III masih diwarnai oleh penganiayaan. Untuk itu, kehendak si calon untuk dibaptis
sungguh-sungguh diuji agar nantinya kuat juga berhadapan dengan situasi sulit yang disebabkan
oleh iman yang baru dipeluk. Di samping itu, mereka yang sudah diterima menjadi katekumen
dianggap diterima juga sebagai anggota Gereja sebelum baptisan. Periode katekumenat dengan
demikian adalah proses semakin dekat dan masuk ke dalam Gereja. Itu sebabnya, para
katekumen sudah dapat berpartisipasi dalam Ekaristi walau sebatas liturgi sabda.

Pengajaran
5
Jean Danielou, 47
6
Jean Danielou, 47
7
Jean Danielou, 49

5
Isi perjalanan katekumenat adalah pengajaran yang dilakukan oleh doktor atau katekis.
Pengajaran dilakukan Ketika komunitas berkumpul pada Hari Tuhan. Untuk pengajaran, katekis
mengumpulkan para katekumen sebelum perayaan liturgi. Setelah pengajaran, para katekumen
dapat ambil bagian dalam perayaan liturgi bersama umat beriman lainnya. Setelah liturgi sabda,
para katekumen akan dituntun keluar karena mereka belum sepenuhnya menjadi anggota Gereja.
Menurut kesaksian Tradisi Apostolik, selesai pengajaran, para katekumen akan diajak berdoa.
Setelah berdoa, doktor atau katekis akan menumpangkan tangan di atas mereka sambil berdoa.

Nampak bahwa sudah sejak dalam perjalanan katekumenat, para katekumen tidak saja mendapat
pengajaran tetapi mengalami hidup doa dalam Gereja: pengajaran, doa, hidup liturgi. Semuanya
itu adalah tahap inisiasi ke dalam hidup Kristen seutuhnya. Meski demikian, tahap katekumenat
ini masih belum begitu resmi. Belum ada keputusan final dari pihak katekumen sendiri untuk
sungguh-sungguh meminta dibaptis. Perayaan Pentakosta adalah saat di mana seorang uskup
akan mendorong para katekumen untuk mengambil keputusan final ke arah baptisan supaya pada
masa pra-Paskah berikutnya mereka siap untuk maju ke tahap lebih lanjut. Kemungkinan besar,
sejak abad III, persiapan langsung ke arah baptisan bertepatan dengan masa pra-Paskah. Yang
pasti adalah, di abad IV, masa pra-Paskah adalah masa yang sepenuhnya didedikasikan untuk
tahap akhir bagi para katekumen sebelum pembaptisan.

Seleksi Kedua dan Penulisan Nama


Sebelum Minggu Pertama Pra-Paskah, katekumen yang ingin dibaptis memberikan nama mereka
kepada imam. Keesokan harinya, pada Minggu Pertama Pra-Paskah, diadakan upacara yang
sangat agung untuk seleksi kedua dan penulisan nama. Catatan Perjalanan Egeria memberikan
kesaksian: Dia yang memberikan namanya melakukan hal itu pada saat menjelang Pra-Paskah
dan seorang imam mencatat semua nama… Keesokan harinya, di awal Pra-Paskah, tahta uskup
diletakkan di Gereja besar… lalu orang membawa para calon satu persatu8. Inilah seleksi kedua
yang dibuat sebelum para calon menjalani persiapan dekat atau persiapan langsung baptisan.
Sekarang, ditanyakan tentang perilaku para katekumen selama perjalanan katekumenat: apakah
mereka menjalani kehidupan yang layak untuk menerima baptisan?
Tradisi Apostolik menulis demikian: Pada saat telah dipilih mereka yang dikhususkan untuk
menerima baptisan, orang menguji kehidupan mereka: apakah mereka menjalani kehidupan
yang saleh selama masa ketekumenat, apakah mereka menghormati para janda, mengunjungi
orang sakit, melakukan perbuatan-perbuatan baik? Jika orang-orang yang menemani mereka
memberi kesaksian bahwa para katekumen ini telah melakukan itu semua, hendaklah mereka
mendengarkan Injil9. Dalam abad keempat, seleksi untuk persiapan langsung baptisan begitu
penting sehingga uskup sendiri yang melakukannya. Uskuplah yang menentukan kelayakan para
calon untuk masuk menjadi anggota Gereja. Para calon menghadap uskup dengan ditemani wali
baptis masing-masing. Catatan Perjanalan Egeria memberi kesaksisan ini: Jika para calon
adalah pria, ia ditemani bapak baptis; jika perempuan, ibu baptis. Kepada masing-masing wali
8
Jean Danielou, 52.
9
Jean Danielou, 53.

6
baptis inilah uskup akan bertanya tentang para calon dengan berkata: apakah dia menjalani
kehidupan yang jujur? Apakah dia menghormati kedua orang tuanya? Apakah mereka menolak
kemabukan dan tipu-daya?... Para calon yang tidak dikenal oleh komunitas, akan lebih sulit
untuk sampai pada pembaptisan, kecuali jika ada wali baptis yang mengenal mereka 10.
Ditegaskan kembali pentingnya peran yang dimiliki para wali baptis sehingga ikut menentukan
dapat tidaknya calon sampai pada baptisan. Sesungguhnya. Komunitaslah yang dapat menilai
suatu pertobatan nyata dan menyeluruh dari seorang katekumen, terutama berkenaan dengan
ditinggalkannya kebiasaan hidup lama para calon. Diperlihatkan juga kerjasama kaum awam dan
hirarki dalam persiapan langsung untuk pembaptisan; inisiasi tanpa peran komunitas umat
beriman dianggap tidak bermakna.

Jika seleksi kedua ini berjalan dengan baik, uskup sendiri akan menulisakan dengan tangannya
nama calon ke dalam ‘buku Gereja’. Dengan demikian, si calon menjadi electus, yang dipilih,
atau dalam bahas Yunaninya, photizomenos, yang akan menerima pencerahan. Pencatatan ini
bukan sekedar tindak administratif. Pencatatan administratif sudah dilakukan oleh imam
menjelang Minggu Pertama Pra-Paskah. Penulisan nama calon baptis ke dalam ‘buku Gereja’
merupakan symbol penerimaan para calon menjadi warga Yerusalem Surgawi, sebagaimana
dijelaskan Gregorius dari Nyssa dalam karyanya Adversus procarastinantes: Berikanlah saya
nama kalian untuk ditulis dengan tinta. Tuhan yang akan memahatnya di atas loh abadi dengan
jariNya sendiri11. Hal inilah yang dimaksudkan juga oleh Theodorus dari Mopsuesta dalam
Homili Kateketik: Mulai dari sekarang, namamu tercatat di surga12. Upacara agung penulisan
nama ditutup dengan prokatekese, yaitu homili yang disampaikan uskup untuk menjelaskan
makna persiapan langsung baptisan yang terjadi bersamaan dengan masa Pra-Paskah. Biasanya,
prokatekese didominasi oleh tema kehidupan dan perkawinan surgawi dan disampaikan layaknya
sebuah puisi mistik. Salah satu contohnya adalah potongan prokatekese karya Sirilius dari
Yerusalem berikut ini: Kalian telah menerima wewangian sukacita, wahai orang-orang yang
bercahaya. Kalian telah memetik bebunga mistik untuk dijalin menjadi mahkota-mahkota
surgawi. Roh Kudus telah menghembuskan semerbak harum13. Prokatekese karya Yohanes
Krisostomos menampilkan suasana yang sama: Betapa kita berada dalam saat penuh sukacita
dan Bahagia rohani! Karena lihatlah, telah datang segala yang kita rindukan, segala yang kita
cintai, hari-hari perkawinan spiritual14.

4. Unsur-unsur dalam Katekese


Persiapan langsung atau dekat demi pembaptisan mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
Sejak abad ketiga, para katekumen untuk berkumpul setiap hari, kecuali di hari Sabtu. Dalam

10
Jean Danielou, 53.
11
Jean Danielou, 54.
12
Jean Danielou, 54.
13
Jean Danielou, 54.
14
Jean Danielou, 55.

7
setiap pertemuan, yang biasanya berlangsung selama kurang lebih tiga jam, disampaikan
pengajaran doctrinal, inisiasi moral dan spiritual dan beberapa ritual. Seluruh persiapan dekat
untuk baptisan yang bersamaan dengan masa Pra-Paskah, adalah suatu retret yang dikhususkan
untuk doa dan penitensi, untuk pengenalan akan misteri-misteri iman. Perbedaannya dengan
perjalanan katekumenat atau persiapan jauh untuk baptisan adalah sekarang ini, semuanya
dilakukan secara lebih teratur dan resmi. Itulah sebabnya mengapa enam atau delapan minggu
persiapan selama masa Pra-Paskah terasa sangat padat dan lengkap. Misalnya, dalam katekese
Sirilius dari Yerusale, terekam niat untuk menyampaikan seluruh ajaran iman yang sifat dasariah
namun lengkap, yang berakar pada sejarah keselamatan. Laku tobat diperdalam dengan doa dan
puasa. Aspek pertempuran rohani diwakili oleh penumpangan tangan yang dilakukan berkali-
kali. Penumpangan tangan ini merupakan upacara eksorsis yang menandai kekalahan Iblis secara
bertahap sampai nanti puncaknya terjadi manakala sang calon sepenuhnya bersekutu dengan
Kristus pada saat pembaptisan.

Unsur ritual: eksorsisme


Praktek eksorsisme mengambil peran penting dalam liturgi baptis kuno. Menurut Tradisi
Apostolik, upacara ini dilakukan setiap hari: Mulai dari hari Ketika para calon telah dipilih,
hendaknya mereka mengalami eksorsis setiap hari melalu penumpangan tangan ke atas
mereka15. Dalam abad keempat, upacara eksorsis menjadi unsur paling penting dalam pertemuan
hari Minggu khusus untuk para katekumen. Upacara eksorsis ini terdiri dari: pengucapan
rumusan permusahan kepada Si Jahat, exsufflatio (penghembusan) ke arah wajah, signatio
(peneraan tau-tanda salib) di dahi, telinga dan hidung. Cikal bakal ritual ini dapat ditemukan
dalam Gereja Perdana yaitu dalam seluruh teologi terkait dosa manusia pertama dan misteri
penyelamatan.

Secara garis besar, upacara pengusiran setan ini memiliki dua makna utama. Pertama,
eksorsisme berfungsi menarik secara bertahap si calon dari kuasa iblis dan menyerahkannya
kepada Kristus. Masa persiapan baptisan adalah masa pertempuran rohani sebagaimana
terungkap dalam kisah pencobaan Yesus yang mengawali liturgi Pra-Paskah. Kristus sendirilah
yang menarik para katekumen dari tangan pangeran kegelapan. St Siprianus membandingkan
para calon dengan orang-orang Yahudi yang lari menyebrangi Laut Merah, dari pasukan Mesir di
bawah pimpinan Firaun. Para Bapa Gereja seringkali mengaitkan relasi era tantara pembebasan
bangsa Israel dari Mesir, Kebangkitan Kristus dan Baptisan. Kedua, eksorsisme mengungkapkan
juga seluruh drama kehidupan manusia. Sebelum Kristus membebaskannya dari dosa dan maut,
kehidupan manusia masih berada dalam genggaman si Jahat. Kejahatan dalam arti
sesungguhnya, bukanlah dari Allah dan juga dari kehendak manusia semata. Ia berada di bawah
kuasa Allah sekaligus melampaui kapasitas manusia. Itu sebabnya, dengan kemampuannya
sendiri manusia tidak akan mampu menghadapi dan mengatasi kejahatan. Eksorsisme dengan

15
Jean Danielou, 56.

8
demikian berarti pembebasan dari kuasa jahat. Pembebasan ini terlaksana melalui Kristus,
terutama dalam sengsara, wafat dan kebangkitanNya.

Pengajaran Doktrinal
Unsur pengajaran mengandung dua hal: penjelasan atas Kitab Suci dan komentar atas Credo.
Dalam Gereja Barat, sebagaimana nampak dalam tulisan-tulisan St Ambrosius dan St Agustinus,
pengajaran biblis berlangsung selama masa Pra-Paskah. Dalam pengajaran biblis disampaikan
penjelasan atas sebuah kitab, pemaparan atas seluruh Kitab Suci, dan homili-homili terkait
perikop-perikop tertentu. Dalam beberapa kesempatan, disampaikan juga penjelasan tentang
Credo, yaitu pada saat traditio (penyerahan-penyampaian rumusan Credo untuk dihafalkan) dan
redditio (pengucapan kembali rumusan Credo persis sebelum baptisan). Dalam Gereja Timur,
selain disampaikan pengajaran dan homili atas Kitab Suci, dipaparkan pula Credo dalam
pertemuan-pertemuan tertentu. Pengajaran Kitab Suci maupun penjelasan Credo dapat terjadi
secara bersamaan, seperti terekam dalam katekese Sirilus dari Yerusalem.

Katekese persiapan dekat baptisan diberikan setiap hari selama masa Pra-Paskah, kecuali pada
hri Sabtu dan Minggu. Inilah makna sejati katekese, yaitu pengajaran misteri iman untuk
persiapan dekat baptisan, sebagaimana dimaksudkan penulis Catatan Perjanalan Egeria: Orang
mengajarkan mereka selama masa Pra-Paskah; inilah yang disebut katekese 16. Katekese, dengan
demikian, bertujuan memberikan dasar yang kokoh bagi kehidupan iman. St Sirilius dari
Yerusalem secara tegas membedakan katekese dari pengajaran biasa: Jangan berpikir hal ini
terkait pertemuan biasa. Bukan. Pertemuan dan pengajaran biasa memang baik yang juga wajib
dilakukan dan diterima. Akan tetapi, pertemuan dan pengajaran biasa itu dapat dilakukan pada
waktu-waktu tertentu: jika hari ini berhalangan, kita dapat melakukannya di lain waktu.
Sebaliknya, pengajaran-pengajaran yang dipaparkan secara bertahap untuk baptisan ke dalam
Perjanjian Baru, jika tidak dilakukan sekarang, kapan orang dapat menerimanya lagi?...
Katekese adalah suatu bangunan: jika kita tidak menggali cukup dalam bagi dasarnya, maka
sia-sialah segala pekerjaan kita17. Dengan demikan, masa untuk katekese adalah pendasaran
iman dan pemurnian jiwa. Itu sebabnya, masa katekese diawali dengan pengajaran Kitab Suci.
Selama minggu-minggu pertama, uskup sendiri akan mengomentari Kitab Suci dan menjelaskan
seluruh Sejarah Keselamatan mulai dari Penciptaan sampai Pentakosta. Kitab Suci pertama-tama
dijelaskan makna harafiahnya, baru kemudian makna rohaninya. Dalam pemaparan ini hendak
ditampakkan relasi antara peristiwa-peristiwa dalam Sejarah Keselamatan itu dengan hukum-
hukum rahmat dan moralitas Kristen. Minggu keenam Pra-Paskah, di Gereja Timur, adalah saat
katekese dogmatik, Ketika rumusan Credo dijelaskan, bagian demi bagian. Inilah moment yang
dalam tradisi Gereja Barat disebut traditio Symboli.
Penyerahan (traditio) Rumusan Credo (symbole)

16
Jean Danielou, 58.
17
Jean Danielou, 59.

9
Catatan Perjalanan Egeria menulis: Di akhir Minggu kelima pengajaran, para calon menerima
Symbole (rumusan Credo)18. Sambil menyampaikan rumusan ini secara lisan, uskup meminta
para calon untuk mengingatnya dan tidak menuliskannya. Pentingnya menghafal rumusan Credo
ditekankan oleh Sirilius dari Yerusalem: Untuk menghindari supaya jiwa tidak mati dalam
ketidaktahuan, kami mengajarkannya dalam baris-baris ini semua pengajaran iman. Hendaklah
kalian mengingatnya secara harafiah, kata per kata19. Kemudian, uskup menjabarkan seluruh
rumusan Credo. Traditio Symboli atau penyerahan Credo dapat dikatakan sebagai isi seluruh
pengajaran katekese. Dengan menyerahkan rumusan Credo, Gereja meneruskan iman kepada
anggota-anggotanya yang baru. Maka sesungguhnya, traditio Symboli adalah suatu ritual. Makna
kata Tradisi dapat ditemukan dalam tindakan ini. Demikian juga, makna kata katekese:
perwujudan nyata dan hidup penerusan lisan Gereja. Peran Credo adalah mengungkapkan secara
ringkas isi tradisi – asal-usulnya secara hakiki adalah kateketik. Meskipun rumusannya berbeda,
tetapi Credo senantiasa merupakan kesatuan dasariah dan lengkap dari kebenaran keselamatan.

Selama dua minggu setelah penyerahan rumusan Credo, dipaparkan makna rumusan itu
(explanatio Symboli). Uskup menjelaskannya baris demi bari. Pengajaran ini begitu padat dan
dapat berlangsung selama tiga jam, menurut Catatan Perjalanan Egeria: Uskup menjelaskan
ajaran Credo, seperti sebelumnya menjelaskan seluruh isi Kitab Suci, kalimat demi kalimat,
pertama-tama makna harafiahnya, kemudian makna rohaninya…. Semua pengajaran ini
dilakukan sejak jam pertama sampai jam ketiga karena katekese berlangsung selama tiga jam
ini20. Setelah dua minggu menerima pengajaran tentang Credo, masing-masing katekumen harus
menyampaikan rumusan itu secara lisan: inilah ritual redditio symboli. Ritual ini dilakukan pada
Minggu Palma yang mengawali Pekan Suci. Pada saat itu, ditemani oleh wali baptis masing-
masing, setiap katekumen mendaraskan Credo di luar kepala di hadapan uskup. Dengan
demikian, katekese dogmatic ditutup oleh ritual redditio Symboli. Walau demikian, katekese
paska-baptisan masih harus berlangsung, untuk menjelaskan misteri-misteri sakramen. Inilah
tahap katekese sacramental atau mistagogi.

18
Jean Danielou, 59.
19
Jean Danielou, 59.
20
Jean Danielou, 60.

10

Anda mungkin juga menyukai