I
PENGANTAR
PRAKATA
I. Sekolah spiritualitas adalah “sintesis historis” yang mengenal ber-
macam-macam bentuk.. Sekolah itu didefinisikan sebagai (1) aliran
ro-hani yang mengalir dari sebuah sumber inspirasi (2). Sekitar
sumber itu terbentuk sebuah lingkaran murid-murid yang (3) dengan
cara khu-sus terwujud dan bertempat dalam sebuah konteks sosio-
budaya yang konkret. (4) Kelompok murid itu membuka sebuah
perspektif khusus terhadap masa depan. (5) Generasi berikut
menyusun semuanya itu dalam sebuah keseluruhan yang mantap
dan utuh; (6) melaluinya se-jumlah orang dapat mengambil bagian
dan membatinkan pengalaman akan sumber itu; (7) Bila pengalaman
akan Sumber, relevansi untuk konteks sosio-budaya itu dan daya
untuk membuka masa depan itu sudah terblokir, perlu sebuah
reformasi atau refundasi.
II.
1, Pengalaman akan sumber itu merupakan sebuah pendekatan
dan perhatian khusus terhadao segi-segi dari misteri ilahi. Istilah
“penga-laman” berasal dari pengaruh fenomenologi tetapi
merupakan terjema-han dari *Erlebnis*. “Erlebnis” (> Leben) adalah
penghayatan (>hayat) yaitu akan tindakan iman. Pengalaman iman
menyangkut obyek iman (Allah, Putera Allah Yesus Kristus dan Roh
Kudus). Obyek, tujuan pendekatan dan atau perhatian dari akt iman
ada-lah segi obyektif dari iman; segi obyektif itu adalah misteri
adikodrati yang luput dari pengalaman. Tetapi penghayatan adalah
akt iman dilihat dari segi subyek iman. Jelas bahwa penghayatan itu
bukan kata terakhir karena penghayatan harus menjadi makin sesuai
dengan misteri. Kst. 16, 2
1
2., Lingkaran murid-murid pertama: “Kakak-kakak kita dalam
Kon-
gregasi” (Kst. 16). Pengalaman Sumber sendiri atau pengalam- an
iman
pendiri tidak cukup untuk membentuk sebuah sekolah spiritualitas.
Keduanya perlu, penghayatan pendiri dan formasi ro-hani dari murid-
muri pertama dan pembatinan makna dan nilai rohaninya perlu
untuk membentuk sebuah sekolah spiritualitas.
Kita akan lihat bahwa justru pada awalnya kongregasi P. Dehon
mengalmai suatu krisis, karena sebuah kelompok (a.l. Blancal) dari
kakak-kakak kita yang pertama tidak mengerti pendiri. P. Dehon tidak
lama berfungsi sebagai magister dan tugas itu dipercayakan kepada
Captier. P. Prevot, magister untuk bagian utara kongregasi adalah P.
Prevot. Tetapi ia sudah berumur 45 tahun pada waktu ia masuk. Baik
spiritualitas maupun praktik pribadi Prevot berbeda dengan P,
Dehon. Yang memainkan peranan besar adalah buku-buku meditasi P.
Dehon yang lama wajib dipakai oleh anggota SCJ.
2
4
[1] Dalam pergaulan sehari-hari dipakai berbagai istilah
seperti hidup beragama, hidup rohani, hidup batin, hidup
religius, hidup bakti, spiritualitas, Sekalipun bertumbang
tindih, makna-maknanya tidak sama artinya. Beberapa contoh
dapat menjelaskan perbedaannya.
Bagi seorang imam Romawi yang kuno seperti Cotta,
percaya tidaknya tidak menjadi soal, asal ia menjalankan
upacara-upacara keagamaan sesuai dengan aturan-aturan
resmi. Itulah agama tanpa hidup batin, hidup religius, hidup
rohani.
Buddha menjalankan hidup rohani yang intensif. Tetapi
praktik meditasi yang diajarnya berdasarkan pandangan yang
sama sekali lepas dari minat atau iman kepada adanya Nan
Suci yang transenden. Plotinus mengkui adanya Sang Esa.
Namun demikian, segala macam upacara keagamaan atau
bacaan ki-tab suci ditolaknya sebagai rintangan untuk kembali
kepada Sang Esa itu. Itulah hidup batin dan rohani tanpa hidup
beragama.
[2] Pada zaman kini pun ada orang yang dari waktu ke
waktu menjauhkan diri dari kesibukan kerja, dari keramaian
pasar serta mall, atau dari obrolan dangkal di tengah
kerumunan orang banyak. Mereka mencari kesunyian, ingin
bermeditasi, entah untuk berpusat pada diri atau tenaga
batinnya, atau untuk meluaskan kesadaran pribadi yang
sempit dengan menyatukan diri dengan energi alam semesta.
Itulah hidup batin, tetapi tanpa acuan kepada agama atau
iman apa pun. Di antara orang itu ada yang mengklaim
mempunyai spiritualitas.
3
umumnya mengandaikan bahwa sub-yeknya menghayati
sebuah hubungan pribadi dengan Yang Transenden melalui
suatu sistem keagamaan (religio). Hidup batin berarti bahwa
agama tidak dialami sebagai sesuatu sistem sosiologis yang
melulu lahiriah; melalui agamanya subyek mampu menyadari
diri dalam relasi dengan Yang Transenden itu. Hidup rohani
berarti bahwa hidup batin sudah cukup berkembang sehingga
subyek mampu dan berusaha memelihara relasinya dengan
Sang Suci itu (> colere/cultus). Jika Sang Suci itu bukan hanya
merupakan obyek melainkan subyek/Aku yang menyapa ma-
nusia sebagai engkau dan mewahyukan diriNya kepadanya
(agama Yahudi, Kristen, Islam), maka hidup religius, batin dan
rohani bersatu padu.
4
[5] Kata hidup rohani mulai dipakai lebih banyak sejak
1918. Istilah ini dimulai digunakan untuk mengganti istilah
hidup askese dan mistik. Alasannya, karena askese dan mistik
sering dihubungkan dengan latihan matiraga yang berat dan
gejala-gejala mistik yang luar biasa seperti kelihatan pada
orang kudus. Tetapi kesaksian hidup rohani itu mereka lebih
menakutkan orang, khususnya kaum awam, daripada menarik
mereka untuk mendalami imannya. St. Fransiskus de Sales
sudah mengarang sebuah bu- ku rohani yang dialamatkan baik
kepada biarawan-biarawati maupun ke- pada awam yang diberi
judul, Pengantar dalam Hidup Devot.
5
pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta Allah
atas nama Bunda Gereja.” (SS, 85). Sejak Konsili Vatikan II,
semua ordo, kongregasi dan umat diharapkan menghayati
spiritualitas liturkis itu. Spiritualitas liturkis itu adalah
spiritualitas dasariah yang menghidupi kharisma pastoral
mereka masing- masing (mis.: pola hidup rohani Dominikan,
Fransiskan, Dehonian) .
[9] Kata devosi mempunyai dua arti. Arti asli (yang berasal
dari kata Latin devovere) dijelaskan oleh St. Thomas Aquinas,
“mereka yang berjanji membaktikan diri kepada Allah, disebut
6
devot, yakni supaya mereka memperhambakan diri sescara
total kepadaNya.”1 Menurut (Pseudo-) Dionysius, katanya,
“kehendak untuk mengabdikan diri kepada Tuhan itu
disebabkan oleh cinta ka-sih”. Cinta kasih yang dimaksudkan di
sini bukan cintakasih manusia, melain-kan “cintakasih Ilahi
yang menarik pencinta jauh dari dirinya dan mendekat-kannya
kepada yang tercinta.” 2 Tomas menambah bahwa, “cintakasih
itu me-nimbulkan devosi sejauh cintakasih membuat kehendak
kita siap sedia mencin-tai sahabatnya, dan sebaliknya,
cintakasih itu juga dihidupi oleh devosi.” 3 Dari pihak kita,
pengabdian diri dan kesiap setiaan itu perlu dibangkitkan
dengan merenungkan kebaikan hati dan cintakasih Allah
karena kita baru mampu mencintainya itu jika kita
mengenalinya.
[10] Mungkin tidak ada istilah lebih cocok daripada arti asli
devosi itu untuk menjelaskan perhatian kepada Hati Kudus
Yesus. Namun demikian, dalam se-jarah selanjutnya, istilah
devosi kepada Hati Kudus Yesus mendapat konotasi baru, yakni
suatu praktik rohani yang terikat pada latihan-latihan rohani
dan doa-doa tertentu. Kemudian, kata devosi itu juga dipakai
untuk devosi kepada orang kudus, misalnya kepada St.
Antonius. Sebab itu perbedaan devosi kepada Hati Kudus
dengan devosi kepada orang kudus menjadi kabur. Itulah juga
menja-di salah satu alasan untuk memakai istilah spiritualitas
hati
1
Summa Theologiae, II-II, q. 82, art. 1
2
Ibid. II-II, q. 82, art. 1.
3
Ibid., art. 2, ad 2.
7
terlalu luas sedangkan kata devosi menjadi terlalu sempit.
Kiranya, istilah kebaktian kepada Hati Kudus Yesus lebih dekat
dengan arti asli devosi daripada kata devosi menurut arti
modernnya. Semua ciri khas dari arti asli itu juga terungkap
oleh istilah kebaktian::
Pertama, prioritas cintakasih Tuhan Yesus. Khususnya pada
zaman sekarang ini, perlu menekankan bahwa cintakasih
Tuhanlah yang menimbulkan baik cintakasih dalam hati kita
maupun kehendak untuk membalasnya.
Kedua, dalam balasan itu termasuk kehendak untuk
mengabdikan diri secara total kepada cintakasih Tuhan Yesus
dan melaluinya ke-pada Bapa Yesus Kristus dan Bapa kita.
Ketiga, kebaktian kepada Hati Kudus Yesus yang dihidupkan
oleh cintakasih Tuhan, menimbulkan semangat dan kesiap
sediaan untuk membalas cintakasih Ilahi dan bertindak dengan
cepat dan tepat. Ka rena devosi menurut arti modern terarah
kepada orang kudus, maka tidak cocok lagi. Ensiklik Haurietis
Aquas memakai kata kultus.4 Ensiklik itu berkata,
“Hal yang diperbincangkan di sini bukan salah satu bentuk devosi
biasa yang boleh diterima atau tidak oleh setiap orang sesuka
hatinya.” “Apakah yang lebih berkenan pada Allah dan dapat
diterimaNya daripada pelayanan yang menghormati cintakasih Ilahi
dan yang diberi oleh dan demi cintakasih. Sebab setiap pengabdian
yang diberikan dengan bebas adalah pemberian cintakasih;
cintakasih adalah pemberian yang utama, karena cintakasih
merupakan sumber segala pemberian yang diberi dengan cuma-
cuma.”5
SEJARAH
Pengantar
[13] Dengan menggambarkan garis-garis besar sejarah itu,
tidak mau diberi kesan seolah-olah dalam sejarah terjadilah
4
Bdk Ensiklik Haurietis Aquas, n. 108-109
5
Kutipan dari St. Tomas dari Aquino, Sum. Theol., I, q. 38, a. 2, dlm: Ibid. n. 109
8
sebuah perkembangan yang menuju bentuk kebaktian yang
ideal. Bila pengarang dan praktik kebaktian pada zaman
tertentu dilihat sebagai perintisnya, mau tidak mau diandaikan
bahwa sesudahnya ada puncak perkembangan kebaktian. Apa-
kah boleh dikatakan bahwa kebaktian kepada Hati Kudus Yesus
mencapai puncaknya dalam devosi Margareta Maria Alacoque
atau pada kurun wak-tu tahun 1850-1950 ? Tolok ukur apakah
diterapkan untuk menentukan bentuk ideal kebaktian itu dan
memandang bentuk-bentuk lain sebagai persiapan ?
9
MILLENIUM PERTAMA
10
sebagai pemandu yang menghantar umat beriman kepada
misteri-misteri besar keselamatan. Firman lahir dari Allah
Bapa, dan Roh Kudus datang dari Lambung Yesus yang
6
melahirkan Gereja dan manusia baru. Gereja dilihat sebagai
pengantin yang dipilih oleh Mempelainya, Yesus Kristus.
“Wanita” yang diper-cayakan Yesus kepada murid itu sebagai
ibu, adalah lambang keibuan Gereja. 7
Enam abad pertama dari millenium pertama adalah zaman
formatif ajaran tentang Yesus Kristus dan Allah Tritunggal. Baik
tafsir Kitab Suci maupun ikonografi menunjukkan Yesus Kristus
sesuai dengan aliran teologisnya. Di Ravenna (Italia Utara),
dalam mosaik di kubah Baptisterium Arian, Yesus dari Nasaret
berdiri dalam sungai Yordan, diangkat sebagai Anak Bapa dan
diurapi oleh Roh Kudus sebagai Kristus (Mesias). Pada mosaik
lain, di atas tahta tidak duduk sebuah figura manusiawi tetapi
lambang Gnosis. Di banyak gereja kristen-ortodoks, Yesus-
Kristus duduk di atas tahta dengan mulia dan memegang Kitab
Suci. Ia adalah Sabda Allah dan Guru yang, sesudah
kebangkitan, “menjelaskan apa yang tertulis tentang Dia
dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan
segala kita nabi-nabi.”
6
Seb. Tromp SJ, “De Nativitate Ecclesiae ex Corde Iesu in Cruce”, Gregorianum XIII (1932)
490-527
7
Roch Kereszty, "'Bride' and 'Mother" in the Super Cantica of St. Bernard: An Ecclesiology for
our time ?", dlm: Communio 20 (1993) 415-436
8
H. Rahner, “Flumina de ventre Christi”, dlm: Id. Symbole der Kirche, Otto Mühler Verlag,
Salzburg, 1964, 175-235.
11
keluar dari tubuh Yesus. Menurut tradisi Origenes, aliran itu
keluar dari orang yang percaya.
Tradisi Origenes
[16] Susunan teks
“Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu,
Yesus berdiri
dan berseru,
«Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan
minum. Barangsiapa yang percaya kepadaKu, seperti
dikatakan oleh Kitab Suci: dari dalam dalamnya (koilia) akan
mengalir aliran-aliran air hidup.»
“Yang dimaksudkanNya ialah Roh yang akan diterima oleh
mereka yang percaya kepadaNya.; sebab Roh itu belum
datang, karena Yesus belum dimuliakan” (Yoh 7: 37- 39).
12
dalamnya (orang beriman) akan mengalir aliran-aliran air
hidup.» Ia berkata, “Semoga setiap orang dari kalian menjadi
sumber air itu.. dari batinnya ia akan mengalirkan aliran-aliran
air.” Lalu ia berkata, “Barang-siapa percaya kepada Kristus, ia
mempunyai di dalam dirinya baik mata air maupun sungai-
sungainya.”9
Origenes menekankan bahwa dalam orang yang percaya
kepada Kristus, air itu makin naik sampai meluap ke luar
bendungan jiwa pribadi. Tahap pertama proses itu adalah
menggali kembali sumur (Kej 26: 18) yang tertutup dengan
kekotoran. Setelahnya orangnya makin haus untuk
mendengarkan Sabda Allah dan pengertian makin bertambah.
Orang yang menerima hidup ilahi itu ditantang untuk maju
terus menerus sampai ia sendiri menjadi guru misteri-misteri
Kitab Suci (mistagog)
Memang kemungkinan ini mengandaikan bahwa aliran air
mengalir dari batinnya Kristus. Dari 1Kor 10: 4, diketahui
bahwa batu karang yang benar (Bil 20: 8) ialah Kristus. “Tetapi
jika tidak dipukul, batu karang tidak memberi air; bila dipukul,
ia menghasilkan air. Kristus yang dipukul di salib secara aktif
menghasilkan sumber Perjanjian Baru… seandainya Ia tidak
dipukul dan dari lambungnya tidak keluarlah air dan darah,
maka kita semua menderita dahaga akan Sabda Tuhan.”
Dengan mengacu pada Yeh 2: 13, ia mengatakan bahwa
sumber air hidup, Kristus, sudah ditinggalkan oleh orang
Yahudi.” Tetapi bagi kita, Ia telah menjadi mata air dan aliran-
aliran air hidup yang mengalir dari padaNya.”
10
H. Rahner, Op. Cit., 188
11
H. Crouzel, Il Cuore secondo Origene, dlm: R. Faricy e E. Malatesta, Cuore del cristo: cuore
dell’uomo, ED, Andria, Napoli, hlm. 115
14
Tradisi Asia Kecil
[19] Susunan teks:
“Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu,
Yesus berdiri dan berseru,
«Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan
minum. Seperti dikatakan oleh Kitab Suci, barangsiapa percaya
kepadaKu, dari dalamNya (koilia) akan mengalir aliran-aliran
air hidup.»
Yang dimaksudkanNya ialah Roh yang akan diterima oleh
mereka yang percaya kepadaNya.; sebab Roh itu belum
datang, karena Yesus belum dimuliakan” (Yoh 7: 37- 39).
Kesimpulan
[20] Pertama, apa artinya kalau dikatakan bahwa orang
beriman menjadi sumber air hidup? Hanya pada Origenes
pertanyaan itu mendapat jawaban teologis yang mendalam.
Tetapi, jawaban itu tidak lepas dari ciri-ciri khas ajarannya
tentang gnosis. St. Ambrosius sebenarnya mengecewakan
karena pe-ran dan mediasi para pejabat gerejani mendapat
16
tekanan berat dalam perkembangan tradisi Latin. Perkataan
Tuhan menjadi janji bantuan rahmat yang per-lu bagi mereka
yang mengajar dan ingin mencinta sesama dengan memberi
nasehat.
Pertanyaan kedua ialah, “di mana hal itu dikatakan dalam
Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama ? Ternyata para ahli Kitab
Suci tidak sepakat. Jawaban Origenes biasanya ditolak
sedangkan pendapat Cyrilus dari Aleksandria masih dipakai
oleh sejumlah ahli Kitab Suci.
Tahap pertama
[20] Lain daripada Origenes, St.Yustinus Martir († 165)
menarik perhatian kepada ketubuhan Yesus. Dalam Dialog
dengan Trypho, ia menjawab seorang Yahu-di dengan berkata,
17
”Kami, orang Kristen, adalah Israel benar yang berasal dari
Kristus; karena kami dipahat dari hatiNya seperti dari sebuah
batu karang.” “Bagi kami merupakan kegembiraaan kalau kami
meninggal dunia demi nama batu karang mulia itu yang
memancarkan air hidup dalam hati mereka yang melalui Dia
mencinta Bapa dalam segala sesuatu, dan yang memuaskan
dahaga mereka yang ingin meminum air hidup itu.” 13
Maksud Yustinus bersifat apologetis. Sebab, Roh Kudus
yang mengilhami Perjanjian Lama, turun atas Yesus Kristus.
Dalam persatuan dengan Firman yang menjadi manusia itu,
orang-orang kristen menjadi ahli waris Roh Kudus. Janji dari
Perjanjian Lama diwujud-nyatakan dalam Perjanjian Baru,
Kristus dan dalam umat baru .
[21] Roh Kudus, kata St. Irenaeus, adalah air hidup yang
menurut Yesaya (43: 19-41) mengalir di padang balantara
sejak Kristus mencurahkan Roh, dan manusia menerimaNya
penuh kepercayaan. Meminum air itu sama dengan percaya.
Aliran-aliran yang mengalir dari dalam Kristus itu berupa dua
Perjanjian. Roh itu dijanji dalam Perjanjian Perdana tetapi jan-ji
itu sungguh diwujudnyatakan dalam Perjanjian Baru. Sejak
Firman menjadi daging, kita mem-punyai Roh Kudus dengan
cara baru. Roh itu dicurahkan di dalam diri kita secara baru…;
oleh karenanya, barangsiapa percaya kepada Allah dan
mengikuti SabdaNya, mengalami keselamatan yang berasal
dari padaNya.
Tetapi air Roh itu datang kepada umat beriman melalui
Gereja, kata-nya. Pertama karena pewahyuan dua Perjanjian
disimpan seutuhnya da-lam Gereja. Kedua, karena Roh Kudus
diberi kepada Gereja. Ia berkata, “Di mana ada Gereja di sana
pun ada Roh Allah, dan di mana ada Roh Kudus di sana ada
Gereja dan segala rahmat. Tetapi Roh adalah kebenar-an.
13
H. Rahner, dlm: Stierli, Cor Salvatoris, hlm. 57.
18
Karena itu, barangsiapa tidak mengambil bagian dalam Roh, ia
tidak disusui dan menerima kehidupan dari payudara ibu
Gereja, dan ia juga tidak melihat sumber air yang sangat sehat
yang berasal dari tubuh Kristus.” 14
St. Irenaeus melihat dua arti “tubuh Kristus” (dalam Yoh 7:
38) yang digabungkan, yakni Tubuh Kristus dan Tubuh Mistik
Kristus, sama seperti Perawan Maria dan Perawan Gereja
bersatu dalam tugas melahirkan tubuh Kristus. Sa-ma seperti
Yustinus, Irenaeus memperbandingkan “air (fisik) dari gunung
batu” (PL) dengan “air (rohani) dari tubuh (ketubuhan) Yesus
Kristus (PB).
14
Adv. Haer. III, 24, 1 (CS 211)
15
Khusunya Yohanes Penginjil
19
yang mengalir dari lambung tertikam Yesus yang mati,
melambangkan Roh dan Api (Yoh: 34 dan Yoh 1: 33; Mat 3: 11);
itulah “dua aliran air dari mata air yang memancar dan
mencuci bangsa-bangsa manusia menjadi bersih.”
Dalam kejadian itu Hippolytus melihat sebuah peristiwa
penuh rahasia yang oleh Yohanes diungkap dengan tekanan
begitu jelas, yakni bahwa tubuh Juruselamat yang mati,
walaupun mati tetapi juga justru karena daya kematian-Nya
mempunyai energi yang menghidupkan dan menghidupi umat
manusia. Dengan demikian, luka lambung Kristus adalah mata
air kehidupan dan air suci, katanya. 16
Sebuah teks anonim dari Afrika berkata, “ Taurat orang
Kristen adalah salib kudus Kristus Putera Allah yang hidup, dan
nabi juga berkata, “tauratMu ada di tengah tubuhku (in medio
ventris mei) . Setelah dipukul di sisi perutNya, dari sisi itu
mengalirlah campuran darah dan air.”
16
H. Rahner, Symbole der Kirche, 207-208
20
d. Karena itu, kata koilia yang oleh Origenes diartikan
secara rohani dan psikis saja, diterjemahkan oleh tradisi Asia
Kecil secara realistis dan ba-daniah. Dalam tradisi Asia kecil
Yoh 7: 38 dengan lebuh mudah dikaitkan dengan Yoh 19: 34
yang berbicara tentang lambung badaniah Kristus yang
tertikam.
e. Dalam tafsir tradisi Asia Kecil sudah menjadi jelas
maksud ayat, “Seperti dikatakan oleh Kitab Suci” (Yoh 7: 38):
Yer 2: 13; Yes 33:1 6, Yes 43: 19; Zakh 12: 1017
Tahap Kedua
[23] Tafsir tadi menjadi dasar untuk susunan kedua dari
teks 7: 38. Melalui susunan itu teks KS yang Latin kuno itu
tafsir masuk ke gereja Afrika Utara dan diteruskan oleh
Tertullianus dan Cyprianus.
Tertullianus (160-230) mengikuti ajaran Yustinus dan
Irenaeus. “Roh tinggal di atas Kristus. Sesuai dengan Yes 11: 1-
2 (“Roh akan ada pada-nya…”) Roh itu datang dan tinggal atas
Yesus Kristus, seperti dikatakan dalam Yoh 1: 32-32. Roh itu
tinggal tetap dan beristirahat di atasNya, yaitu dalam arti
bahwa Ia tidak akan meninggalkanNya seperti telah
menjauhkan diri dari bangsa Israel. Sejak itu Roh hanya diberi
Kristus kepada mereka yang percaya kepadaNya Kristus Yesus
Manusi mencurahkan Roh Bapa; dari Bapa Ia menerima tugas
untuk menurunkan Roh Kudus. Kristus ada-lah batu karang.
Dari batu karang pernah memancar air di padang gurun, dari
salibNya memancar pengampun-an Roh, yakni air baptis.
Tetapi air Roh itu baru datang ketiga ia ditikam, katanya.
Gagasan Tertullianus perlu dilihat dalam konteks sezamannya.
Ia ingin membela Gereja terhadap orang Yahudi.
17
H. Rahner, Op. Cit., 217-218
21
[24] Konteks St. Cyprianus (±200-258) berbeda.
Masalahnya ialah syahnya pembaptisan orang bidaah. Dengan
mengutip Irenaeus, ia menjawab bahwa hanya ada satu Gereja
dan satu Kristus. Gereja adalah Firdaus tempat empat sungai
Injil memancar. Apakah orang yang tidak ada dalam Gereja
dapat dibersihkan dengan mata air Gereja ?…Tuhan berseru,
barangsiapa haus, datang dan minum dari aliran-aliran air
hidup yang mengalir dari tubuhNya. Tubuh itu menunjuk baik
kepada “tubuh-Kristus maupun tubuh-Gereja. 18
18
H. Rahner, Op. Cit. 220
19
Ibid. 221
22
aliran-aliran hidup. Aliran-aliran pertama-tama kelihatan dalam
sengsara Tuhan; dari lambungNya yang tertikam oleh tombak
prajurit keluar darah dan air.” 20
Tahap ketiga
[26] Selama tahap ini, dua cara menyusun dan menafsir
teks itu di-sambung dan dicampuradukkan satu sama lain.
Rufinus (345-410) mengutip teks Origenes dan
menggabungkannya dengan Yoh 19: 34. Demikian juga
Caesarus dari Arles (469-542). Victorinus (ses. 362) me-makai
teks itu untuk membela ajaran Konsili Nisea. “Kristus-manusia
dikandung Maria dari Roh; dari Roh itu Kristus-manusia
menerima ke-kudusan dalam pembaptisan. Roh Kudus ada
dalam Kristus-Manusia; Roh Kudus diberi oleh Kristus-Manusia
kepada para Rasul, agar mereka membaptis orang dalam nama
Allah, Kristus dan Roh Kudus.” (226) …
Walaupun pengikut Origenes, Hieronimus juga
menghubungkan Yes: 21 dengan Yoh 19: 34. “Kristus adalah
batu karang yang dipukul dengan kayu salib dan dari padaNya
memancar air hidup. Bila Yesus harus dimuliakan lebih dahulu
menurut Yoh 7: 39, maka pemuliaan itu sama dengan kematian
di kayu salib”, kata Hieronimus. Salib adalah “pohon, yang
ditanam di tepi aliran air” (Mzm 1: 2) dan dari mata air itu
keluar segala aliran air.” (227). Hal semacam itu terdapat pada
Ambrosius, seorang yang menjadi lidah penyambung Origenes
di Italia Utara. 229
Kesimpulan
[29] Pemikiran dasar ialah: Orang Yahudi telah menolak air
hidup yang mengalir dari “mata air kehidupan” seperti sudah
dinubuatkan oleh Allah. Karena itu, mereka tidak dapat minum
dari air Roh yang sekarang tetap dan sepenuh-penuhnya
tinggal di atas Mesias (Yes 11: 2). Air Roh yang diberikan oleh
Mesias itu sama seperti air yang diberikan oleh Musa di padang
gurun dengan memukul gunung batu. (Yes 48: 21). Pandangan
itu dipakai untuk menjelaskan bahwa Kristus, Mesias, adalah
“seorang nabi seperti Musa” yang juga memberikan “manna
dari sorga dan air dari gu-nung batu.
21
H. Rahner, Op. Cit., 230
22
Ibid. 231
24
Pemikiran kedua ialah, air mesianis dibagikan dari Dia yang
lambung-Nya ditikam sehingga dengan demikian nubuat Zakh
12: 10 dipenuhi. Penginjil sendiri sudah yakin akan itu. Air
yang mengalir dari tubuh Yesus yang tersalib menjadi “tanda”.
Tanda itu secara simbolis dan untuk sementara memenuhi
nubuat yang dijanji oleh Yoh 7: 38 dan apa yang diwujudkan
oleh Mesias yang dimuliakan ketika ia “meluangkan Roh”.
23
Paedagogia, 1, 6
24
Adversus Judeaos, 13
25
[32] Mengenai Yoh 19: 38, St Agustinus menulis, «Ketika
prajurit-pra-jurit sampai kepada Yesus, mereka melihat bahwa
Ia telah mati, maka me-reka tidak mematahkan kakiNya. Tetapi
seorang dari antara prajurit itu membuka jantungNya (aperuit
cor) dengan tombak. Dan segera mengalirlah ke luar darah dan
air » Dengan sengaja tidak dikatakan oleh Penginjil bahwa «ia
memukul lambung atau melukainya» atau hal semacam itu,
tetapi bahwa «ia membukanya». Kata itu dipakai untuk
memperlihatkan bahwa dengan demikian dibukalah pintu
kehidupan, tempat sakramen-sa-kramen mengalir keluar,
sebab tanpa sakramen-sakramen itu tidak mung-kin masuk ke
dalam hidup yang sejati."25
Agustinus, yang tidak tahu bahasa Yunani, tergantung dari
sebuah teks Latin yang kuno. Ternyata penterjemahnya tidak
tahu perbedaan antara dua kata yang mirip, yakni elyxen (=
telah menusuk) dan eloixen (telah membuka). Barangkali
konteks (Zakh 13: 1) dari ayat Zakh 12: 10 yang dikutip oleh
Yoh 19: 37, juga dianggap memdukun terjemahan itu. Ayat 13:
1 itu berkata, “Pada waktu itu akan terbuka sebuah sumber
bagi keluarga Daud…”Tafsiran itu mungkin dipengaruhii oleh
perkataan Yesus kepada Tomas, “ulurkanlah tanganmu dan
cucukkan ke dalam lambungKu” (Yoh 20: 20).
St. Agustinus juga menulis, “Adam tidur supaya Hawa lahir.
Yesus mati supaya Gereja lahir. Ketika Adam tidur, Hawa
dibentuk dari sisinya. Ketika Yesus mati, Cor-Nya dibuka
dengan sebuah tombak agar dari padanya mengalir sakramen-
sakramen yang membentuk Gereja.”26 Gereja lahir dari cor
Yesus seperti Hawa diambil dari celah di sisi Adam.
Agustinus melanjutkan renungan tentang persatuan Kristus
dan Gereja itu dengan mengutip Kej, “Lalu berkatalah
25
Tractatus in Joannem, CCXX,2
26
Tractatus in Johanem, IX, 10
26
manusia itu, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Sebab itu, seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging.“(Kej 2: 23-24) Lalu Agustinus
bertanya, bagaimana ayat itu dapat diterapkan pada Kristus
dan Gereja. Ia mengutip Fil 2: 6-7 dan berkata, “Ia
meninggalkan BapaNya, karena, «walaupun dalam rupa Allah
Ia tidak menanggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan
diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia» Hal ini berarti bahwa Ia
meninggalkan Bapanya, bukan karena melepaskan diri dari
BapaNya, melainkan ka-rena Ia tidak tampak kepada orang
dalam rupa kesetaraan dengan Allah. Bagaimana Ia
meninggalkan ibunya ? Dengan meninggalkan sinagog bangsa
Yahudi, sebab menurut keturunannya Ia lahir dari padanya dan
bersatu dengan Gereja yang dikumpulkan dari semua
bangsa.”27
Kesimpulan.
[34] Kesimpulan implisit dari teks-teks Agustinus itu
mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, Agustinus menerjemahkan bermacam-macam
istilah Kitab Suci dengan satu kata saja, cor.
Kedua, penggeseran pusat perhatian dari Roh Kudus
(tafsiran pneu-matologis Origenes) kepada Yesus Kristus
(tafsiran Kristologis) dan Gereja (eklesiologis Barat) yang
sebelumnya sudah mulai sebagai reaksi terhadap Origenes,
sekarang menjadi lebih mantap dalam Agustinus. Mungkin
boleh dikatakan bahwa dalam teologi Barat ini aliran-aliran air,
gerakan Roh Kudus, berjalan melalui Gereja kepada Umat yang
menerima-Nya melalui sakramen-sakramen. Penggeseran itu
27
Tractatus in Yohannem X, 10
27
dapat disebut sebagai romanisasi teologi Gereja Timur. Apakah
dengan demikian gerakan aliran Roh Kudus diikat pada reksa
sakramental oleh pejabat-pejabat Gereja ?
Ketiga, dengan memakai kata membuka, kata cor dapat
menerima berbagai tafsir: pertama, arti mistik, cor Yesus
sebagai tempat perlindung-an; kedua, arti tempat untuk
masuk dan mengenal Yesus dari dalamnya, khususnya
hubungan kepada Bapa; akhirnya, sikap-sikap dan disposisi-
disposisi tehadap umat manusia.
28