Anda di halaman 1dari 28

SEJARAH KEBAKTIAN KEPADA

HATI KUDUS YESUS

I
PENGANTAR

PRAKATA
I. Sekolah spiritualitas adalah “sintesis historis” yang mengenal ber-
macam-macam bentuk.. Sekolah itu didefinisikan sebagai (1) aliran
ro-hani yang mengalir dari sebuah sumber inspirasi (2). Sekitar
sumber itu terbentuk sebuah lingkaran murid-murid yang (3) dengan
cara khu-sus terwujud dan bertempat dalam sebuah konteks sosio-
budaya yang konkret. (4) Kelompok murid itu membuka sebuah
perspektif khusus terhadap masa depan. (5) Generasi berikut
menyusun semuanya itu dalam sebuah keseluruhan yang mantap
dan utuh; (6) melaluinya se-jumlah orang dapat mengambil bagian
dan membatinkan pengalaman akan sumber itu; (7) Bila pengalaman
akan Sumber, relevansi untuk konteks sosio-budaya itu dan daya
untuk membuka masa depan itu sudah terblokir, perlu sebuah
reformasi atau refundasi.
II.
1, Pengalaman akan sumber itu merupakan sebuah pendekatan
dan perhatian khusus terhadao segi-segi dari misteri ilahi. Istilah
“penga-laman” berasal dari pengaruh fenomenologi tetapi
merupakan terjema-han dari *Erlebnis*. “Erlebnis” (> Leben) adalah
penghayatan (>hayat) yaitu akan tindakan iman. Pengalaman iman
menyangkut obyek iman (Allah, Putera Allah Yesus Kristus dan Roh
Kudus). Obyek, tujuan pendekatan dan atau perhatian dari akt iman
ada-lah segi obyektif dari iman; segi obyektif itu adalah misteri
adikodrati yang luput dari pengalaman. Tetapi penghayatan adalah
akt iman dilihat dari segi subyek iman. Jelas bahwa penghayatan itu
bukan kata terakhir karena penghayatan harus menjadi makin sesuai
dengan misteri. Kst. 16, 2

1
2., Lingkaran murid-murid pertama: “Kakak-kakak kita dalam
Kon-
gregasi” (Kst. 16). Pengalaman Sumber sendiri atau pengalam- an
iman
pendiri tidak cukup untuk membentuk sebuah sekolah spiritualitas.
Keduanya perlu, penghayatan pendiri dan formasi ro-hani dari murid-
muri pertama dan pembatinan makna dan nilai rohaninya perlu
untuk membentuk sebuah sekolah spiritualitas.
Kita akan lihat bahwa justru pada awalnya kongregasi P. Dehon
mengalmai suatu krisis, karena sebuah kelompok (a.l. Blancal) dari
kakak-kakak kita yang pertama tidak mengerti pendiri. P. Dehon tidak
lama berfungsi sebagai magister dan tugas itu dipercayakan kepada
Captier. P. Prevot, magister untuk bagian utara kongregasi adalah P.
Prevot. Tetapi ia sudah berumur 45 tahun pada waktu ia masuk. Baik
spiritualitas maupun praktik pribadi Prevot berbeda dengan P,
Dehon. Yang memainkan peranan besar adalah buku-buku meditasi P.
Dehon yang lama wajib dipakai oleh anggota SCJ.

3. Kontek sosio-budaya dan religius: Konteks sosio-budaya ti-


dak merupakan sesuatu yang sama sekali asing terhadap sebuah
sekolah spiritualitas. Konteks itu termasuk di dalamnya dan mem-
buatnya konkrit. Konteks itu bisa sangat terbatas, misalnya: kebu-
tuhan keuskupan Breda pada pertengahan abad ke-19, atau sang-at
luas, misalnya keadaan sosio-budaya pada abad ke-7 dan ke-18 di
Eropa pada umumnya atau khususnya di Perancis.
Namun demikian, keadaan sosio-budaya juga tidak cukup untuk
menjelaskan lahirnya sebuah spiritualitas sebagaimana dikehen-daki
oleh sosiologisme. Konteks itu juga lebih luas daripada sosio-budaya
saja. Misalnya, P. Dehon dikondisikan oleh dua aliran ro-hani: Sekolah
Perancis (Paris) dan aliran rohani dari Paray-le-Mo-nial dan La Salette.
Kata “victim” bisa dipakai di kota Mareseille, kata Dehon, tetapi di
Perancis Utara dianggap aneh.

2
4
[1] Dalam pergaulan sehari-hari dipakai berbagai istilah
seperti hidup beragama, hidup rohani, hidup batin, hidup
religius, hidup bakti, spiritualitas, Sekalipun bertumbang
tindih, makna-maknanya tidak sama artinya. Beberapa contoh
dapat menjelaskan perbedaannya.
Bagi seorang imam Romawi yang kuno seperti Cotta,
percaya tidaknya tidak menjadi soal, asal ia menjalankan
upacara-upacara keagamaan sesuai dengan aturan-aturan
resmi. Itulah agama tanpa hidup batin, hidup religius, hidup
rohani.
Buddha menjalankan hidup rohani yang intensif. Tetapi
praktik meditasi yang diajarnya berdasarkan pandangan yang
sama sekali lepas dari minat atau iman kepada adanya Nan
Suci yang transenden. Plotinus mengkui adanya Sang Esa.
Namun demikian, segala macam upacara keagamaan atau
bacaan ki-tab suci ditolaknya sebagai rintangan untuk kembali
kepada Sang Esa itu. Itulah hidup batin dan rohani tanpa hidup
beragama.

[2] Pada zaman kini pun ada orang yang dari waktu ke
waktu menjauhkan diri dari kesibukan kerja, dari keramaian
pasar serta mall, atau dari obrolan dangkal di tengah
kerumunan orang banyak. Mereka mencari kesunyian, ingin
bermeditasi, entah untuk berpusat pada diri atau tenaga
batinnya, atau untuk meluaskan kesadaran pribadi yang
sempit dengan menyatukan diri dengan energi alam semesta.
Itulah hidup batin, tetapi tanpa acuan kepada agama atau
iman apa pun. Di antara orang itu ada yang mengklaim
mempunyai spiritualitas.

[3] Melihat perbedaan-perbedaan arti tadi, maka sudah


saatnya menentukan arti kata-kata tadi. Hidup religius pada

3
umumnya mengandaikan bahwa sub-yeknya menghayati
sebuah hubungan pribadi dengan Yang Transenden melalui
suatu sistem keagamaan (religio). Hidup batin berarti bahwa
agama tidak dialami sebagai sesuatu sistem sosiologis yang
melulu lahiriah; melalui agamanya subyek mampu menyadari
diri dalam relasi dengan Yang Transenden itu. Hidup rohani
berarti bahwa hidup batin sudah cukup berkembang sehingga
subyek mampu dan berusaha memelihara relasinya dengan
Sang Suci itu (> colere/cultus). Jika Sang Suci itu bukan hanya
merupakan obyek melainkan subyek/Aku yang menyapa ma-
nusia sebagai engkau dan mewahyukan diriNya kepadanya
(agama Yahudi, Kristen, Islam), maka hidup religius, batin dan
rohani bersatu padu.

[4] Kekhasan hidup rohani-kristiani ialah bahwa hidup itu


berasal dari fakta bahwa Allah telah mewahyukan diri kepada
kita sebagai subyek; bahwa Ia mengambil inisiatif untuk
memperkenalkan diriNya dalam sabda serta perbuatan Kristus
Yesus sebagai Cinta, dan bahwa Ia membuat orang beriman
mengambil bagian dalam hidup ilahiNya.
Hidup rohani-kristiani itu dapat dirumuskan secara singkat
sebagai berikut: berbalik dan percaya kepada Allah. Iman itu
mempunyai tiga dimensi: dimensi intersubyektif: percaya
kepada Allah karena Ia pantas diberi kepercayaan tanpa syarat
(basic trust). Allah menyapa kita dan memperkenalkan diriNya
kepada kita dalam Yesus Kristus; dimensi kognitif-obyektif:
percaya bahwa Yesus benar-benar Sabda Allah dan Penyelamat
dunia; dimensi afektif-subyektif: memper-cayakan diri
kepadaNya.
Kata hidup bakti biasanya dipakai untuk menterjemahkan
vita consacrata, hi-dup mereka yang dipanggil mengikrarkan
kaul ketaatan kemiskinan dan kemurnian dan hidup dalam
komunitas.

4
[5] Kata hidup rohani mulai dipakai lebih banyak sejak
1918. Istilah ini dimulai digunakan untuk mengganti istilah
hidup askese dan mistik. Alasannya, karena askese dan mistik
sering dihubungkan dengan latihan matiraga yang berat dan
gejala-gejala mistik yang luar biasa seperti kelihatan pada
orang kudus. Tetapi kesaksian hidup rohani itu mereka lebih
menakutkan orang, khususnya kaum awam, daripada menarik
mereka untuk mendalami imannya. St. Fransiskus de Sales
sudah mengarang sebuah bu- ku rohani yang dialamatkan baik
kepada biarawan-biarawati maupun ke- pada awam yang diberi
judul, Pengantar dalam Hidup Devot.

[6] Kemudian muncullah istilah spiritualitas. Dalam


lingkungan gereja, kata spiritualitas menunjuk kepada pola
nilai-nilai rohani yang disusun sekitar salah satu nilai dasar. Bila
susunan nilai-nilai tertentu diwujudnyatakan dalam pola
perilaku, maka dapat dikatakan bahwa subyek menghayati
sebuah spiritualitas. Misalnya: spiritualitas ekaristis berarti:
ekaristi menjadi pusat hidup rohani. Segala sesuatu yang
dibuat oleh subyeknya terarah kepada ekaristi: hidup doa dan
kesaksian hidup dan karya kerasulan, hidup berkeluarga,
cintakasih kepa-da sesama dan amal bakti. Pola semua nilai-
nilai itu berpusat pada ekaristi, menghidupi semangat rohani
dan membuka sebuah jalan konkret untuk meng-ikuti jejak
Yesus Kristus. Spiritualitas liturkis digambarkan dalam
Konstitusi ten-tang Liturgi Suci (SS); misalnya, “Gereja tiada
putusnya memuji Tuhan dan me-mohonkan keselamatan
seluruh dunia bukan hanya dengan merayaan cara-cara lain
juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian.” (SS, 84).
“Maka dari itu semua orang yang mendoakan Ibadat Harian,
menuaikan tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan
tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan

5
pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta Allah
atas nama Bunda Gereja.” (SS, 85). Sejak Konsili Vatikan II,
semua ordo, kongregasi dan umat diharapkan menghayati
spiritualitas liturkis itu. Spiritualitas liturkis itu adalah
spiritualitas dasariah yang menghidupi kharisma pastoral
mereka masing- masing (mis.: pola hidup rohani Dominikan,
Fransiskan, Dehonian) .

[7] Dengan kultus kita mengakui harkat serta kemuliaan,


sesuai dengan tingkat instansi yang dimuliakan. Maka kultus
menunjuk kepada pihak obyektif dari relasi itu. Gereja katolik
membedakan tiga tingkat kultus sesuai tingkat obyek-nya.
Tingkat yang tertinggi disebut latria, yaitu pelayanan
penghormatan dan sembah sujud kepada Allah sendiri, kepada
Bapa, Putera dan Roh Kudus. Tingkat lebih rendah ialah
hiperdoulia, yakni devosi kepada Maria Bunda Yesus Kristus.
Tingkat terendah disebut doulia (pengabdian) atau devosi
kepada orang kudus, Sebenarnya, dalam dua tingkat terakhir
itu kita secara langsung menghormati Allah yang berkarya
dalam hidup orang-orang kudus.
[8] Liturgi adalah karya yang memuliakan Allah dan
menguduskan ma- nusia. Liturgi dirayakan oleh komunitas
gerejani melalui ilham Roh Kudus dan pelayanan imami. Tujuan
liturgi ialah supaya manusia memuliakan keunggulan Allah dan
memperhambakan diri kepada Allah. Kata ibadat le- bih
menekankan bahwa tindakan-tindakan liturgi itu secara resmi
ditentukan dan sering diwajibkan oleh wewenang religius;
misalnya: perayaan ekaristi pada hari Minggu atau Pesta besar.
Pelayanan ibadah adalah tugas imam.

[9] Kata devosi mempunyai dua arti. Arti asli (yang berasal
dari kata Latin devovere) dijelaskan oleh St. Thomas Aquinas,
“mereka yang berjanji membaktikan diri kepada Allah, disebut

6
devot, yakni supaya mereka memperhambakan diri sescara
total kepadaNya.”1 Menurut (Pseudo-) Dionysius, katanya,
“kehendak untuk mengabdikan diri kepada Tuhan itu
disebabkan oleh cinta ka-sih”. Cinta kasih yang dimaksudkan di
sini bukan cintakasih manusia, melain-kan “cintakasih Ilahi
yang menarik pencinta jauh dari dirinya dan mendekat-kannya
kepada yang tercinta.” 2 Tomas menambah bahwa, “cintakasih
itu me-nimbulkan devosi sejauh cintakasih membuat kehendak
kita siap sedia mencin-tai sahabatnya, dan sebaliknya,
cintakasih itu juga dihidupi oleh devosi.” 3 Dari pihak kita,
pengabdian diri dan kesiap setiaan itu perlu dibangkitkan
dengan merenungkan kebaikan hati dan cintakasih Allah
karena kita baru mampu mencintainya itu jika kita
mengenalinya.

[10] Mungkin tidak ada istilah lebih cocok daripada arti asli
devosi itu untuk menjelaskan perhatian kepada Hati Kudus
Yesus. Namun demikian, dalam se-jarah selanjutnya, istilah
devosi kepada Hati Kudus Yesus mendapat konotasi baru, yakni
suatu praktik rohani yang terikat pada latihan-latihan rohani
dan doa-doa tertentu. Kemudian, kata devosi itu juga dipakai
untuk devosi kepada orang kudus, misalnya kepada St.
Antonius. Sebab itu perbedaan devosi kepada Hati Kudus
dengan devosi kepada orang kudus menjadi kabur. Itulah juga
menja-di salah satu alasan untuk memakai istilah spiritualitas
hati

[11] Tetapi dalam bahasa Indonesia ada istilah yang lebih


cocok daripada sebutan Spiritualitas Hati ialah kebaktian/cinta
bakti kepada Hati. Kami berpendapat bahwa istilah spiritualitas

1
Summa Theologiae, II-II, q. 82, art. 1
2
Ibid. II-II, q. 82, art. 1.
3
Ibid., art. 2, ad 2.
7
terlalu luas sedangkan kata devosi menjadi terlalu sempit.
Kiranya, istilah kebaktian kepada Hati Kudus Yesus lebih dekat
dengan arti asli devosi daripada kata devosi menurut arti
modernnya. Semua ciri khas dari arti asli itu juga terungkap
oleh istilah kebaktian::
Pertama, prioritas cintakasih Tuhan Yesus. Khususnya pada
zaman sekarang ini, perlu menekankan bahwa cintakasih
Tuhanlah yang menimbulkan baik cintakasih dalam hati kita
maupun kehendak untuk membalasnya.
Kedua, dalam balasan itu termasuk kehendak untuk
mengabdikan diri secara total kepada cintakasih Tuhan Yesus
dan melaluinya ke-pada Bapa Yesus Kristus dan Bapa kita.
Ketiga, kebaktian kepada Hati Kudus Yesus yang dihidupkan
oleh cintakasih Tuhan, menimbulkan semangat dan kesiap
sediaan untuk membalas cintakasih Ilahi dan bertindak dengan
cepat dan tepat. Ka rena devosi menurut arti modern terarah
kepada orang kudus, maka tidak cocok lagi. Ensiklik Haurietis
Aquas memakai kata kultus.4 Ensiklik itu berkata,
“Hal yang diperbincangkan di sini bukan salah satu bentuk devosi
biasa yang boleh diterima atau tidak oleh setiap orang sesuka
hatinya.” “Apakah yang lebih berkenan pada Allah dan dapat
diterimaNya daripada pelayanan yang menghormati cintakasih Ilahi
dan yang diberi oleh dan demi cintakasih. Sebab setiap pengabdian
yang diberikan dengan bebas adalah pemberian cintakasih;
cintakasih adalah pemberian yang utama, karena cintakasih
merupakan sumber segala pemberian yang diberi dengan cuma-
cuma.”5

SEJARAH
Pengantar
[13] Dengan menggambarkan garis-garis besar sejarah itu,
tidak mau diberi kesan seolah-olah dalam sejarah terjadilah

4
Bdk Ensiklik Haurietis Aquas, n. 108-109
5
Kutipan dari St. Tomas dari Aquino, Sum. Theol., I, q. 38, a. 2, dlm: Ibid. n. 109
8
sebuah perkembangan yang menuju bentuk kebaktian yang
ideal. Bila pengarang dan praktik kebaktian pada zaman
tertentu dilihat sebagai perintisnya, mau tidak mau diandaikan
bahwa sesudahnya ada puncak perkembangan kebaktian. Apa-
kah boleh dikatakan bahwa kebaktian kepada Hati Kudus Yesus
mencapai puncaknya dalam devosi Margareta Maria Alacoque
atau pada kurun wak-tu tahun 1850-1950 ? Tolok ukur apakah
diterapkan untuk menentukan bentuk ideal kebaktian itu dan
memandang bentuk-bentuk lain sebagai persiapan ?

Setiap kurun waktu perlu dipandang dari dalamnya. Dengan


demikian disingkirkan pertanyaan seperti ini: kapan kebaktian
itu lahir? Secara umum dapat dikatakan bahwa selama sejarah
Gereja ada perhatian atau pendekatan tertentu kepada segi-
segi misteri Kristus. Informasi dapat dikumpulkan di bawah
teks-teks Kitab Suci yang biasanya dikutip berhubung dengan
pendekatan itu.
Tentu saja, hasil tafsir teks-teks Kitab Suci itu berbeda-
beda dari za-man ke zaman karena metode tafsir berbeda.
Metode tafsir yang diterapkan tidak lepas dari kebutuhan
rohani umat pada zaman itu. Banyak pengarang tentang
Kebaktian kepada Hati Kudus Yesus memilih, memotong dan
mengutip teks-teks dari zaman sebelumnya terlepas dari
konteks historis. Seperti akan dibuktikan, banyak teks tidak
bermaksud berbicara tentang kebaktian itu melainkan tema
lain yang tidak lepas dari teks-teks yang sama.
Para pengarang biasanya membedakan zaman Patristik,
aliran mistik pada Abad Pertengahan, perhatian khusus
kepada Sengsara Yesus, devosi kepada Hati Kudus Yesus,
perhatian kepada permasalahan sosial dan pembaharuan
Konsili Vatikan II.

9
MILLENIUM PERTAMA

[14] Selama millenium pertama itu, umat memandang


kepada Yesus di salib dalam terang kebangkitan. Perkataan
“Aku ditinggikan dari bumi” (Yoh 12: 32) mempunyai dua arti,
yakni diangkat ke atas salib serta mati dan bangkit serta naik
ke sorga. Selama millenium pertama arti kedua diutamakan.
Yesus Kristus telah bangkit dengan jaya dan duduk di sebelah
kanan Bapa. Ia menang atas maut dan berkuasa atas seluruh
ciptaan. Kematian Yesus dilihat bukan sebagai kemalangan
yang harus ditangisi dan dengan ikut menderita melainkan
sebagai peristiwa keselamatan yang pantas dirayakan dengan
suka cita. Peristiwa itu adalah karya agung yang dilaksanakan
oleh kebijaksanaan serta kuasa Allah dan merupakan
perwahyuan cintakasihNya. Yesus dari Nazaret adalah Mesias
dan Tuhan. Ia hidup dan menghidupkan. “Ia adalah Tuhan di
atas segala tuan dan Raja di atas segala raja.” (Wahyu 17: 14).
Umat beriman pada zaman itu tidak bisa melupakan bahwa
salib itu pernah tampak kepada Konstantinus, raja kristen yang
pertama, yang men-dengar suara dari sorga, “Dalam tanda ini
engkau akan menang.“ Berkat salib suci, umat beriman tidak
hanya diselamatkan dari dosa dan maut te-tapi mereka juga
diberi kebebasan politik. Dalam kubah basilika-basilika kuno,
Kristus dilukis sebagai Pancrator. Salib digambarkan kosong
atau sebagai tahta tempat Yesus Kristus duduk dengan mulia
dan menarik semua orang yang datang kepadaNya. (Yoh 12:
31) Dari kiri dan kanan datang domba-domba (dari bangsa
Yahudi dan tak Yahudi) untuk meminum dari Fons Vitae,
Sumber Hidup. Dalam katekombe Ia digambarkan sebagai
Gembala baik yang membawa pulang seekor domba di atas
bahuNya yang sesat.
Perhatian patristik itu berarah kepada Allah Tritunggal dan
kelahiran Gereja. Yohanes, murid yang dikasihiNya, dianggap

10
sebagai pemandu yang menghantar umat beriman kepada
misteri-misteri besar keselamatan. Firman lahir dari Allah
Bapa, dan Roh Kudus datang dari Lambung Yesus yang
6
melahirkan Gereja dan manusia baru. Gereja dilihat sebagai
pengantin yang dipilih oleh Mempelainya, Yesus Kristus.
“Wanita” yang diper-cayakan Yesus kepada murid itu sebagai
ibu, adalah lambang keibuan Gereja. 7
Enam abad pertama dari millenium pertama adalah zaman
formatif ajaran tentang Yesus Kristus dan Allah Tritunggal. Baik
tafsir Kitab Suci maupun ikonografi menunjukkan Yesus Kristus
sesuai dengan aliran teologisnya. Di Ravenna (Italia Utara),
dalam mosaik di kubah Baptisterium Arian, Yesus dari Nasaret
berdiri dalam sungai Yordan, diangkat sebagai Anak Bapa dan
diurapi oleh Roh Kudus sebagai Kristus (Mesias). Pada mosaik
lain, di atas tahta tidak duduk sebuah figura manusiawi tetapi
lambang Gnosis. Di banyak gereja kristen-ortodoks, Yesus-
Kristus duduk di atas tahta dengan mulia dan memegang Kitab
Suci. Ia adalah Sabda Allah dan Guru yang, sesudah
kebangkitan, “menjelaskan apa yang tertulis tentang Dia
dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan
segala kita nabi-nabi.”

Aliran Air HidupYoh (Yoh 7: 37-39)


[15] Ada dua cara menyusun teks Yoh ini. Yang satu berasal
dari tradisi Asia Kecil (Irenaeus, Hippolytus, Cyprianus, Ps.-
Cyprianus dan Ambrosius. Yang kedua disebut tradisi Origenes
(a.l. Hieronymus).8 Menurut tradisi Asia Kecil, aliran air itu

6
Seb. Tromp SJ, “De Nativitate Ecclesiae ex Corde Iesu in Cruce”, Gregorianum XIII (1932)
490-527
7
Roch Kereszty, "'Bride' and 'Mother" in the Super Cantica of St. Bernard: An Ecclesiology for
our time ?", dlm: Communio 20 (1993) 415-436
8
H. Rahner, “Flumina de ventre Christi”, dlm: Id. Symbole der Kirche, Otto Mühler Verlag,
Salzburg, 1964, 175-235.
11
keluar dari tubuh Yesus. Menurut tradisi Origenes, aliran itu
keluar dari orang yang percaya.

Tradisi Origenes
[16] Susunan teks
“Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu,
Yesus berdiri
dan berseru,
«Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan
minum. Barangsiapa yang percaya kepadaKu, seperti
dikatakan oleh Kitab Suci: dari dalam dalamnya (koilia) akan
mengalir aliran-aliran air hidup.»
“Yang dimaksudkanNya ialah Roh yang akan diterima oleh
mereka yang percaya kepadaNya.; sebab Roh itu belum
datang, karena Yesus belum dimuliakan” (Yoh 7: 37- 39).

Arti teks itu


[17] Pertanyaan pokok Origenes (354-430) ialah:
bagaimana hidup ilahi turun dari sumber keAllahan ke bawah?
Di dalam keTuhanan sendiri, sumber air hidup ilahi mengalir
menurut tiga aliran besar: Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Sekema ini dipengaruhi oleh pemikiran Neoplatonis: fons (mata
air), flumen (sungai) dan irrigatio (penyiraman). Hidup
tritunggal dianugerahkan kepada manusia dalam dan melalui
Logos yang menjadi daging. Maka gerakan aliran hidup itu
tidak berhenti di dalam Allah Tritunggal.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana hidup Ilahi itu
direproduksi da-lam jiwa manusia ? Hidup rohani-ilahi itu lahir
dari iman akan Firman yang menjadi daging dan dapat
berkembang mencapai puncaknya dalam pengenalan (gnosis)
kristiani akan Bapa. Tetapi penyiriman air/ hidup itu tidak
berhenti mengalir pada waktu menghidupi jiwa orang
perorangan; aliran hidup itu meluapi pinggirnya: «dari

12
dalamnya (orang beriman) akan mengalir aliran-aliran air
hidup.» Ia berkata, “Semoga setiap orang dari kalian menjadi
sumber air itu.. dari batinnya ia akan mengalirkan aliran-aliran
air.” Lalu ia berkata, “Barang-siapa percaya kepada Kristus, ia
mempunyai di dalam dirinya baik mata air maupun sungai-
sungainya.”9
Origenes menekankan bahwa dalam orang yang percaya
kepada Kristus, air itu makin naik sampai meluap ke luar
bendungan jiwa pribadi. Tahap pertama proses itu adalah
menggali kembali sumur (Kej 26: 18) yang tertutup dengan
kekotoran. Setelahnya orangnya makin haus untuk
mendengarkan Sabda Allah dan pengertian makin bertambah.
Orang yang menerima hidup ilahi itu ditantang untuk maju
terus menerus sampai ia sendiri menjadi guru misteri-misteri
Kitab Suci (mistagog)
Memang kemungkinan ini mengandaikan bahwa aliran air
mengalir dari batinnya Kristus. Dari 1Kor 10: 4, diketahui
bahwa batu karang yang benar (Bil 20: 8) ialah Kristus. “Tetapi
jika tidak dipukul, batu karang tidak memberi air; bila dipukul,
ia menghasilkan air. Kristus yang dipukul di salib secara aktif
menghasilkan sumber Perjanjian Baru… seandainya Ia tidak
dipukul dan dari lambungnya tidak keluarlah air dan darah,
maka kita semua menderita dahaga akan Sabda Tuhan.”
Dengan mengacu pada Yeh 2: 13, ia mengatakan bahwa
sumber air hidup, Kristus, sudah ditinggalkan oleh orang
Yahudi.” Tetapi bagi kita, Ia telah menjadi mata air dan aliran-
aliran air hidup yang mengalir dari padaNya.”

“Seperti dikatakan oleh Kitab Suci”


[18] Bagaimana Origenes menjelaskan kata «seperti
dikatakan oleh Kitab Suci» ? Ia menunjuk kepada Amsal 5:
15-16, “Minumlah dari air kulahmu sendiridan minumlah air
9
Comm. In Gen., Hom. 1,2; 11,3 (Aumann, 10)
13
dari sumurmu yang membual. Patutlah mata airmu meluap
keluar seperti batang-batang air ke lapangan-lapangan ?” Ia
menjelaskan, “Bila Sabda Allah menyembunyikan sesuatu yang
da- lam dari misteri, disebut kulah, tetapi disebut mata air
kalau mengalir kepada bangsa-bangsa dengan berlimpah-
limpah.” 10
Menurut aliran Antiokia, dengan perkataan“seperti
dikatakan oleh Kitab Suci» tidak dimaksudkan salah satu
teks, melainkan seluruh Kitab Suci (bdk Yes 58: 11 menurut
Cyrillus dari Aleksandria) .
Origenes cenderung merohanikan makna Kitab Suci dan
mengabaikan arti harafiah. Koilia yang bagi pengarang aliran
Asia Kecil bersifat bada- niah, bagi Origenes bersifat rohani;
dimensi yang paling luhur serta batin dan sama dengan
inteligensi (nous), sumber pemikiran serta perbuatan
bijaksana dan baik, salah dan jahat. Dalam dimensi rohani
itulah manusia, setelah dimurnikan, paling mirip dengan Sang
Pencipta dan paling peka terhadap karya Roh Kudus (pneuma)
dan Kitab Suci.11 Juga bagi Gregorius dari Nyssa sisi, tubuh,
lambung (kolia) adalah “kemampuan jiwa untuk menangkap
ajaran ilahi” seperti nous bagi Origenes serta Ambrosius dan
intellectus bagi St. Thomas dari Aquino. Semua kata itu
menunjuk kepada dimensi yang paling luhur budi insani,
puncak kemampuan budi (apex mentis) untuk berkontak
dengan Tuhan.
Origenes mempengaruhi Athanasius, Didymus, Cyrillus dari
Aleksandria, dan teologi Kappadokia. Dalam perkembangan itu
tafsir Origenes ma-kin dilepaskan dari dari sekema
Neoplatonis, dan memusatkan perhatian kepada Kristus dan
Injil sebagai mata air .

10
H. Rahner, Op. Cit., 188
11
H. Crouzel, Il Cuore secondo Origene, dlm: R. Faricy e E. Malatesta, Cuore del cristo: cuore
dell’uomo, ED, Andria, Napoli, hlm. 115
14
Tradisi Asia Kecil
[19] Susunan teks:
“Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu,
Yesus berdiri dan berseru,
«Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan
minum. Seperti dikatakan oleh Kitab Suci, barangsiapa percaya
kepadaKu, dari dalamNya (koilia) akan mengalir aliran-aliran
air hidup.»
Yang dimaksudkanNya ialah Roh yang akan diterima oleh
mereka yang percaya kepadaNya.; sebab Roh itu belum
datang, karena Yesus belum dimuliakan” (Yoh 7: 37- 39).

Tradisi Asia kecil tidak berbicara tentang pemberian Roh


Kudus saja tetapi mengenai karya Roh Kudus dan rahmat
dalam jiwa orang beriman. Misalnya: Theodorus dari Mopsuesta
berkata, “Dengan perkataan ini (Yoh 7: 38) Kristus mau
mengatakan bahwa barangsiapa percaya kepadaKu ia
dipenuhi dengan rahmat seperti dengan sebuah aliran yang
bukan hanya tidak mengering lagi tetapi juga menjadi mata
air yang mencukupi bagi orangnya sendiri dan juga berguna
bagi banyak orang lain. Demikian juga, setelah menerima Roh
Kudus, para rasul berguna bagi banyak orang lain. Tetapi kita
juga harus mengerti bahwa kata Roh Kudus sering tidak berarti
Pribadi Roh Kudus atau KodratNya tetapi kegiatan dan
rahmatNya. De-mikian juga dalam teks ini, Ia berbicara tentang
rahmat yang akan diterima oleh para Rasul. Hal itu belum
terjadi sampai saat itu, karena rahmat itu harus mulai berkarya
lebih dahulu dalam mereka dan baru kemudian berkembang.
Dan rahmat itu juga sering berkurang karena kejahatan orang
yang menerimanya.”12 Tradisi ini makin menekankan peran
para Rasul sebagai penyalur yang mengalirkan air Injil
khususnya Petrus, Paulus, Ste-phanus (Krisostomos).
12
H. Rahner, Op. Cit, 193
15
[18] Ambrosius menerima ajaran di atas ini dan
meneruskannya ke-pada sejumlah pengarang Latin. Ia
mengenal karya Origenes dan mengerti cara tafsirnya.
Ambrosius menjadi mata rantai antara pemikiran Aleksandria
dan Latin. Namun demikian, ajaran Origenes tentang
perkembangan hidup kristen dari iman yang menjadi gnosis,
makin disesuaikan dengan – dan masuk ke dalam ajaran dan
pengawasan dogmatis Gereja.
Tafsir Yoh 7: 38 tradisi Latin dirangkum H. Rahner sbb.
“Pertama, Aliran-aliran air dari dalam orang beriman” adalah
pasangnya pengetahuan tentang Kitab Suci Perjanjian Baru.“
Hal itu terjadi terutama dalam para Rasul, kemudian juga
dalam orang bijaksana yang dipanggil mengajar Kitab Suci,
khususnya para uskup seperti dikatakan dalam Mzm 93: 3,
“sungai-sungai mengangkat suara.” Pandangan itu diambil alih
oleh St Agustinus. Contohnya adalah St. Yohanes.
Kedua, “aliran-aliran dari dalam” adalah keutamaan-
keutamaan yang secara khusus berguna untuk mengalirkan
aliran-aliran itu kepada sesama manusia. St. Agustinus
mempersempitkan arti “dari dalam” itu menjadi pengertian
“hati” (conscientia cordis)” Ia bertanya, “Apa itu mata air dan
aliran air yang mengalir keluar dari batin manusia (de ventre
interioris ho-minis). Ia menjawab, “kehendak baik yang mau
memberi nasehat kepada sesama manusia.”

Kesimpulan
[20] Pertama, apa artinya kalau dikatakan bahwa orang
beriman menjadi sumber air hidup? Hanya pada Origenes
pertanyaan itu mendapat jawaban teologis yang mendalam.
Tetapi, jawaban itu tidak lepas dari ciri-ciri khas ajarannya
tentang gnosis. St. Ambrosius sebenarnya mengecewakan
karena pe-ran dan mediasi para pejabat gerejani mendapat

16
tekanan berat dalam perkembangan tradisi Latin. Perkataan
Tuhan menjadi janji bantuan rahmat yang per-lu bagi mereka
yang mengajar dan ingin mencinta sesama dengan memberi
nasehat.
Pertanyaan kedua ialah, “di mana hal itu dikatakan dalam
Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama ? Ternyata para ahli Kitab
Suci tidak sepakat. Jawaban Origenes biasanya ditolak
sedangkan pendapat Cyrilus dari Aleksandria masih dipakai
oleh sejumlah ahli Kitab Suci.

Tradisi Asia Kecil


[21] Menurut tradisi Asia kecil “aliran-aliran air hidup
mengalir dari tubuh Kristus sendiri. Origenes sudah mengakui
kaitan Yoh 7: 38 dengan Yoh 19: 36. Tetapi kaitan itu belum
menjadi alasan bagi Origenes untuk mengubah susunan teks
Yoh 7: 38.
H. Rahner membedakan tiga tahap dalam sejarah dan tafsir
teks ini. Pertama, susunan dan tafsir yang kedua ini muncul
dalam lingkungan yang secara historis mempunyai kontak
dengan sejarah teks Latin kuni dan teologi Yohanitis: Yohanes,
murid yang dikasihi Yesus yang, katanya, “telah kami raba
dengan tangan kami.” (1Yoh 1: 2) - Polycarpus – St. Justinus
yang mempengaruhi St. Irenaeus (140-202 M). Kedua, tradisi
kuno itu begitu kuat sehingga mampu mempengaruhi penulis-
penulis yang mendukung Origenes, khususnya Hieronimus dan
Ambrosius. Ketika, sekarang susunan teks Latin dan tafsir
kedua ini mendapat perhatian pahatian baru karena pen-
tingnya bagi ajaran tentang Gereja.

Tahap pertama
[20] Lain daripada Origenes, St.Yustinus Martir († 165)
menarik perhatian kepada ketubuhan Yesus. Dalam Dialog
dengan Trypho, ia menjawab seorang Yahu-di dengan berkata,

17
”Kami, orang Kristen, adalah Israel benar yang berasal dari
Kristus; karena kami dipahat dari hatiNya seperti dari sebuah
batu karang.” “Bagi kami merupakan kegembiraaan kalau kami
meninggal dunia demi nama batu karang mulia itu yang
memancarkan air hidup dalam hati mereka yang melalui Dia
mencinta Bapa dalam segala sesuatu, dan yang memuaskan
dahaga mereka yang ingin meminum air hidup itu.” 13
Maksud Yustinus bersifat apologetis. Sebab, Roh Kudus
yang mengilhami Perjanjian Lama, turun atas Yesus Kristus.
Dalam persatuan dengan Firman yang menjadi manusia itu,
orang-orang kristen menjadi ahli waris Roh Kudus. Janji dari
Perjanjian Lama diwujud-nyatakan dalam Perjanjian Baru,
Kristus dan dalam umat baru .

[21] Roh Kudus, kata St. Irenaeus, adalah air hidup yang
menurut Yesaya (43: 19-41) mengalir di padang balantara
sejak Kristus mencurahkan Roh, dan manusia menerimaNya
penuh kepercayaan. Meminum air itu sama dengan percaya.
Aliran-aliran yang mengalir dari dalam Kristus itu berupa dua
Perjanjian. Roh itu dijanji dalam Perjanjian Perdana tetapi jan-ji
itu sungguh diwujudnyatakan dalam Perjanjian Baru. Sejak
Firman menjadi daging, kita mem-punyai Roh Kudus dengan
cara baru. Roh itu dicurahkan di dalam diri kita secara baru…;
oleh karenanya, barangsiapa percaya kepada Allah dan
mengikuti SabdaNya, mengalami keselamatan yang berasal
dari padaNya.
Tetapi air Roh itu datang kepada umat beriman melalui
Gereja, kata-nya. Pertama karena pewahyuan dua Perjanjian
disimpan seutuhnya da-lam Gereja. Kedua, karena Roh Kudus
diberi kepada Gereja. Ia berkata, “Di mana ada Gereja di sana
pun ada Roh Allah, dan di mana ada Roh Kudus di sana ada
Gereja dan segala rahmat. Tetapi Roh adalah kebenar-an.
13
H. Rahner, dlm: Stierli, Cor Salvatoris, hlm. 57.
18
Karena itu, barangsiapa tidak mengambil bagian dalam Roh, ia
tidak disusui dan menerima kehidupan dari payudara ibu
Gereja, dan ia juga tidak melihat sumber air yang sangat sehat
yang berasal dari tubuh Kristus.” 14
St. Irenaeus melihat dua arti “tubuh Kristus” (dalam Yoh 7:
38) yang digabungkan, yakni Tubuh Kristus dan Tubuh Mistik
Kristus, sama seperti Perawan Maria dan Perawan Gereja
bersatu dalam tugas melahirkan tubuh Kristus. Sa-ma seperti
Yustinus, Irenaeus memperbandingkan “air (fisik) dari gunung
batu” (PL) dengan “air (rohani) dari tubuh (ketubuhan) Yesus
Kristus (PB).

[22] Bagi Hippolytus (170-230, dlm: Commentary on the


Book of Da-niel), Gereja adalah firdaus yang terkunci, tempat
sebuah mata air memancar. Dari padanya empat aliran air
menghasilkan air hidup, yaitu Taurat nabi dan rasul. 15 Mere-ka
meminum air hidup yang menghasilkan damai dalam
kehidupan kekal. Itulah ajaran benar dari mereka itu … , ajaran
yang mengalir dari Roh Kudus. Umat manusia dipuaskan
dengan air ajaran itu. Dengan demikian dibenarkan nubuat
Yesaya, “seluruh bumi penuh dengan pengenalan” akan Kristus
(“seperti air laut yang menutupi dasar-nya”; 11: 9). Aliran-
aliran air perjanjian Baru itu mengalir keluar dari Kristus Tuhan,
dari “dadaNya”. Dada Kristus tidak lain dari pada dua
Perjanjian. Minuman itu adalah “minuman hidup kekal” yang
mengalir dari para rasul dan melalui ajaran dan pembaptisan
menyuburkan Gereja. Bagaimana itu mungkin ? Dada Yesus itu
adalah tubuhnya, kemanusiaanNya. Dan “daging suci Kristus”
itu adalah batu karang rohani (1Kor 10: 4). Kristus adalah batu
karang yang benar. Dari batu karang /tubuh yang dipukul, dari
lambung yang dibuka itu memancar mata air. Air dan darah

14
Adv. Haer. III, 24, 1 (CS 211)
15
Khusunya Yohanes Penginjil
19
yang mengalir dari lambung tertikam Yesus yang mati,
melambangkan Roh dan Api (Yoh: 34 dan Yoh 1: 33; Mat 3: 11);
itulah “dua aliran air dari mata air yang memancar dan
mencuci bangsa-bangsa manusia menjadi bersih.”
Dalam kejadian itu Hippolytus melihat sebuah peristiwa
penuh rahasia yang oleh Yohanes diungkap dengan tekanan
begitu jelas, yakni bahwa tubuh Juruselamat yang mati,
walaupun mati tetapi juga justru karena daya kematian-Nya
mempunyai energi yang menghidupkan dan menghidupi umat
manusia. Dengan demikian, luka lambung Kristus adalah mata
air kehidupan dan air suci, katanya. 16
Sebuah teks anonim dari Afrika berkata, “ Taurat orang
Kristen adalah salib kudus Kristus Putera Allah yang hidup, dan
nabi juga berkata, “tauratMu ada di tengah tubuhku (in medio
ventris mei) . Setelah dipukul di sisi perutNya, dari sisi itu
mengalirlah campuran darah dan air.”

[23] H. Rahner memberi rangkuman ini mengenai tafsir


aliran Asia Kecil sebagai berikut:
a. Kristus bukan Logos, tetapi lebih Mesias, Allah-Manusia
b. Ia tidak ditampilkan sebagai pemberi air ajaran dan
Gnosis, tetapi sebagai Kristus yang nampak mulia dalam
ketubuhan-Nya, dan mencurah-kan Roh Kudus, air
mengandung segala anugerah Mesias.
c. Lebih daripada dalam tradisi Origenes, ditekankan
bahwa air itu meng-hidupkan dan menghidupi berkat darah,
yakni sesuai dengan 1Yoh 5: 6: “Inilah Dia yang telah datang
dengan air dan darah, yaitu Yesus Kristus bukan saja dari air,
tetapi dengan air dan dengan darah.” Dalam karya Origenes
tekanan kepada ketubuhan serta kemanusiaan Yesus Kristus
tidak begitu kuat.

16
H. Rahner, Symbole der Kirche, 207-208
20
d. Karena itu, kata koilia yang oleh Origenes diartikan
secara rohani dan psikis saja, diterjemahkan oleh tradisi Asia
Kecil secara realistis dan ba-daniah. Dalam tradisi Asia kecil
Yoh 7: 38 dengan lebuh mudah dikaitkan dengan Yoh 19: 34
yang berbicara tentang lambung badaniah Kristus yang
tertikam.
e. Dalam tafsir tradisi Asia Kecil sudah menjadi jelas
maksud ayat, “Seperti dikatakan oleh Kitab Suci” (Yoh 7: 38):
Yer 2: 13; Yes 33:1 6, Yes 43: 19; Zakh 12: 1017

Tahap Kedua
[23] Tafsir tadi menjadi dasar untuk susunan kedua dari
teks 7: 38. Melalui susunan itu teks KS yang Latin kuno itu
tafsir masuk ke gereja Afrika Utara dan diteruskan oleh
Tertullianus dan Cyprianus.
Tertullianus (160-230) mengikuti ajaran Yustinus dan
Irenaeus. “Roh tinggal di atas Kristus. Sesuai dengan Yes 11: 1-
2 (“Roh akan ada pada-nya…”) Roh itu datang dan tinggal atas
Yesus Kristus, seperti dikatakan dalam Yoh 1: 32-32. Roh itu
tinggal tetap dan beristirahat di atasNya, yaitu dalam arti
bahwa Ia tidak akan meninggalkanNya seperti telah
menjauhkan diri dari bangsa Israel. Sejak itu Roh hanya diberi
Kristus kepada mereka yang percaya kepadaNya Kristus Yesus
Manusi mencurahkan Roh Bapa; dari Bapa Ia menerima tugas
untuk menurunkan Roh Kudus. Kristus ada-lah batu karang.
Dari batu karang pernah memancar air di padang gurun, dari
salibNya memancar pengampun-an Roh, yakni air baptis.
Tetapi air Roh itu baru datang ketiga ia ditikam, katanya.
Gagasan Tertullianus perlu dilihat dalam konteks sezamannya.
Ia ingin membela Gereja terhadap orang Yahudi.

17
H. Rahner, Op. Cit., 217-218
21
[24] Konteks St. Cyprianus (±200-258) berbeda.
Masalahnya ialah syahnya pembaptisan orang bidaah. Dengan
mengutip Irenaeus, ia menjawab bahwa hanya ada satu Gereja
dan satu Kristus. Gereja adalah Firdaus tempat empat sungai
Injil memancar. Apakah orang yang tidak ada dalam Gereja
dapat dibersihkan dengan mata air Gereja ?…Tuhan berseru,
barangsiapa haus, datang dan minum dari aliran-aliran air
hidup yang mengalir dari tubuhNya. Tubuh itu menunjuk baik
kepada “tubuh-Kristus maupun tubuh-Gereja. 18

[25] Ada pun seorang penulis anonim di Afrika yang menulis


bahwa gunung Sion adalah tanda kebaruan ajaran kristen,
lawan gunung Sinai orang Yahudi; karena itu gunung Sion juga
lambang salib Kris-tus, lambang ajaran kristen. Dari salib di
gunung Sion akan keluar pengajaran/-taurat (Yes 2: 3), dan
Yesus yang mati di gunung Sion membawa taurat itu “di dalam
tubuhNya (Mzm 40: 9 TauratMu ada dalam dadaku; in medio
ventris mei (bhs KS Latin kuno; in medio cordis mei,
Vulgat).“Taurat orang kristen adalah salib suci dari Kristus
Putera Allah yang hidup, seperti dikatakan oleh nabi: tauratMu
ada dalam dadaku. Setelah dipukul sisinya, darah dan air yang
tercampur mengalir keluar, dan dari itu Ia mengadakan Gereja
kudus; kepadanya Ia menyerahkan taurat salibNya ketika
berkata, “barangsiapa haus ia datang dan barangsiapa haus
minum. Seperti ditulis, aliran-aliran air hidup mengalir dari
badanNya.” 19
Penulis anonim lain pada abad ketiga menulis mengenai
seorang yang tidak dibaptis dengan air tetapi mati sebagai
martir,“Karena dua sumber baptis Tuhan berasal dari satu
sumber yang sama agar barangsiapa yang haus datang dan
minum, seperti dikatakan kitab Suci: dari tubuhnya megalir

18
H. Rahner, Op. Cit. 220
19
Ibid. 221
22
aliran-aliran hidup. Aliran-aliran pertama-tama kelihatan dalam
sengsara Tuhan; dari lambungNya yang tertikam oleh tombak
prajurit keluar darah dan air.” 20

Tahap ketiga
[26] Selama tahap ini, dua cara menyusun dan menafsir
teks itu di-sambung dan dicampuradukkan satu sama lain.
Rufinus (345-410) mengutip teks Origenes dan
menggabungkannya dengan Yoh 19: 34. Demikian juga
Caesarus dari Arles (469-542). Victorinus (ses. 362) me-makai
teks itu untuk membela ajaran Konsili Nisea. “Kristus-manusia
dikandung Maria dari Roh; dari Roh itu Kristus-manusia
menerima ke-kudusan dalam pembaptisan. Roh Kudus ada
dalam Kristus-Manusia; Roh Kudus diberi oleh Kristus-Manusia
kepada para Rasul, agar mereka membaptis orang dalam nama
Allah, Kristus dan Roh Kudus.” (226) …
Walaupun pengikut Origenes, Hieronimus juga
menghubungkan Yes: 21 dengan Yoh 19: 34. “Kristus adalah
batu karang yang dipukul dengan kayu salib dan dari padaNya
memancar air hidup. Bila Yesus harus dimuliakan lebih dahulu
menurut Yoh 7: 39, maka pemuliaan itu sama dengan kematian
di kayu salib”, kata Hieronimus. Salib adalah “pohon, yang
ditanam di tepi aliran air” (Mzm 1: 2) dan dari mata air itu
keluar segala aliran air.” (227). Hal semacam itu terdapat pada
Ambrosius, seorang yang menjadi lidah penyambung Origenes
di Italia Utara. 229

[27] Yustinus, Irenaeus, Tertulianus, Origenes dan


Novatianus setuju dengan ajaran lama bahwa Roh Kudus telah
sepenuh-penuhnya turun ke atas Yesus dan tetap tinggal di
atasNya sesuai dengan Yesaya 11: 2, “Roh Tuhan akan ada
padaNya..”Ambrosius berbicara tentang “aliran yang paling
20
H. Rahner, Op. Cit, 222
23
besar”, Novatianus tentang “seluruh mata air”, dan Injil Ibrani
mengenai “mata seluruh Roh Kudus.” Ambrosius berkata,
“Sesudah sengsara Tuhan, sesuatu yang lain mesti terjadi
karena dari tubuh Tuhan sebuah aliran akan keluar ketika air
dan darah mengalir dari sisinya; dengan de-mikian Ia
menggembirakan jiwa orang semua zaman karena dengan
aliran itu Ia membersihkan seluruh dunia dari dosanya.” 21
Dalam sebuah madah, Ambrosius berkata, “Minumlah Kristus
karena Ia adalah batu yang meluapkan air; minumlah Kristus
karena Ialah mata air; minumlah Kristus karena Ialah aliran
yang memancarnya menggembirakan kota Allah; minumlah
Kristus karena Ialah perdamaian; minumlah Kristus karena dari
dalam tubuhnya mengalir aliran-aliran air hidup.” 22 (231)
[28] Sejak awalnya ajaran tentang 7: 38 dipakai oleh Bapa-
bapa Ge-reja untuk membela Gereja terhadap orang Yahudi.
Tujuan itu meng-arahkan mereka untuk mencari salah satu teks
dalam PL Misalnya, dalam Yer 2: 13 dan Yes 33: 16 dipakai
dalam Surat Barnabas dan oleh Yustinus; Irenaeus Yes 43: 19-
12; Cyprianus Yes 48: 21.

Kesimpulan
[29] Pemikiran dasar ialah: Orang Yahudi telah menolak air
hidup yang mengalir dari “mata air kehidupan” seperti sudah
dinubuatkan oleh Allah. Karena itu, mereka tidak dapat minum
dari air Roh yang sekarang tetap dan sepenuh-penuhnya
tinggal di atas Mesias (Yes 11: 2). Air Roh yang diberikan oleh
Mesias itu sama seperti air yang diberikan oleh Musa di padang
gurun dengan memukul gunung batu. (Yes 48: 21). Pandangan
itu dipakai untuk menjelaskan bahwa Kristus, Mesias, adalah
“seorang nabi seperti Musa” yang juga memberikan “manna
dari sorga dan air dari gu-nung batu.

21
H. Rahner, Op. Cit., 230
22
Ibid. 231
24
Pemikiran kedua ialah, air mesianis dibagikan dari Dia yang
lambung-Nya ditikam sehingga dengan demikian nubuat Zakh
12: 10 dipenuhi. Penginjil sendiri sudah yakin akan itu. Air
yang mengalir dari tubuh Yesus yang tersalib menjadi “tanda”.
Tanda itu secara simbolis dan untuk sementara memenuhi
nubuat yang dijanji oleh Yoh 7: 38 dan apa yang diwujudkan
oleh Mesias yang dimuliakan ketika ia “meluangkan Roh”.

Lahirnya Gereja dari Yesus di salib


[30] Pandangan tentang terjadinya Gereja di salib merujuk
pada ciptaan Hawa (Kej 2: 21-22) Ketika Adam tidur nyenyak,
Tuhan meng-ambil salah satu rusuk dari padanya. Dari rusuk
itu dibangungNya se-orang perempuan. Klemens dari
Aleksandria, “Dengan ketakutan da-gingnya Kristus melahirkan
Gereja dan dan menbungkusnya dengan kain-kain bedung
darahnya sendiri.”23 Pandangan itu disebarkan oleh Origenes di
Mesir, lalu diterima oleh Gregorius dari Nissa, dan juga dipakai
oleh St. Ambrosius di Milano.

[31] Yohanes Kristostomos (347-407) berkata, “Tombak


prajurit me-nikam lambung Kristus dan, lihatlah, dari
lambungNya yang terluka Kristus membangun Gereja sama
seperti dahulu kala Hawa, Ibu pertama, dibangun dari rusuk
Adam. Karena itu, kata S. Paulus, “kita ada dari da-gingnya dan
dari rusuknya.” Yang dimaksudkannya ialah lambung Kristus
yang terluka. Sebagaimana Allah mengambil sebuah rusuk dari
sisi Adam dan membentuk perempuan itu, demikian pula
Kristus memberikan air dan da-ging yang mengalir dari
lambungNya dan dari padaNya Ia membentuk Gereja… Di
sana ada Adam yang tidur nyenyak, di sini ada Kristus yang
tidur nyenyak dalam kematian.”24

23
Paedagogia, 1, 6
24
Adversus Judeaos, 13
25
[32] Mengenai Yoh 19: 38, St Agustinus menulis, «Ketika
prajurit-pra-jurit sampai kepada Yesus, mereka melihat bahwa
Ia telah mati, maka me-reka tidak mematahkan kakiNya. Tetapi
seorang dari antara prajurit itu membuka jantungNya (aperuit
cor) dengan tombak. Dan segera mengalirlah ke luar darah dan
air » Dengan sengaja tidak dikatakan oleh Penginjil bahwa «ia
memukul lambung atau melukainya» atau hal semacam itu,
tetapi bahwa «ia membukanya». Kata itu dipakai untuk
memperlihatkan bahwa dengan demikian dibukalah pintu
kehidupan, tempat sakramen-sa-kramen mengalir keluar,
sebab tanpa sakramen-sakramen itu tidak mung-kin masuk ke
dalam hidup yang sejati."25
Agustinus, yang tidak tahu bahasa Yunani, tergantung dari
sebuah teks Latin yang kuno. Ternyata penterjemahnya tidak
tahu perbedaan antara dua kata yang mirip, yakni elyxen (=
telah menusuk) dan eloixen (telah membuka). Barangkali
konteks (Zakh 13: 1) dari ayat Zakh 12: 10 yang dikutip oleh
Yoh 19: 37, juga dianggap memdukun terjemahan itu. Ayat 13:
1 itu berkata, “Pada waktu itu akan terbuka sebuah sumber
bagi keluarga Daud…”Tafsiran itu mungkin dipengaruhii oleh
perkataan Yesus kepada Tomas, “ulurkanlah tanganmu dan
cucukkan ke dalam lambungKu” (Yoh 20: 20).
St. Agustinus juga menulis, “Adam tidur supaya Hawa lahir.
Yesus mati supaya Gereja lahir. Ketika Adam tidur, Hawa
dibentuk dari sisinya. Ketika Yesus mati, Cor-Nya dibuka
dengan sebuah tombak agar dari padanya mengalir sakramen-
sakramen yang membentuk Gereja.”26 Gereja lahir dari cor
Yesus seperti Hawa diambil dari celah di sisi Adam.
Agustinus melanjutkan renungan tentang persatuan Kristus
dan Gereja itu dengan mengutip Kej, “Lalu berkatalah

25
Tractatus in Joannem, CCXX,2
26
Tractatus in Johanem, IX, 10
26
manusia itu, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Sebab itu, seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging.“(Kej 2: 23-24) Lalu Agustinus
bertanya, bagaimana ayat itu dapat diterapkan pada Kristus
dan Gereja. Ia mengutip Fil 2: 6-7 dan berkata, “Ia
meninggalkan BapaNya, karena, «walaupun dalam rupa Allah
Ia tidak menanggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan
diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia» Hal ini berarti bahwa Ia
meninggalkan Bapanya, bukan karena melepaskan diri dari
BapaNya, melainkan ka-rena Ia tidak tampak kepada orang
dalam rupa kesetaraan dengan Allah. Bagaimana Ia
meninggalkan ibunya ? Dengan meninggalkan sinagog bangsa
Yahudi, sebab menurut keturunannya Ia lahir dari padanya dan
bersatu dengan Gereja yang dikumpulkan dari semua
bangsa.”27

Kesimpulan.
[34] Kesimpulan implisit dari teks-teks Agustinus itu
mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, Agustinus menerjemahkan bermacam-macam
istilah Kitab Suci dengan satu kata saja, cor.
Kedua, penggeseran pusat perhatian dari Roh Kudus
(tafsiran pneu-matologis Origenes) kepada Yesus Kristus
(tafsiran Kristologis) dan Gereja (eklesiologis Barat) yang
sebelumnya sudah mulai sebagai reaksi terhadap Origenes,
sekarang menjadi lebih mantap dalam Agustinus. Mungkin
boleh dikatakan bahwa dalam teologi Barat ini aliran-aliran air,
gerakan Roh Kudus, berjalan melalui Gereja kepada Umat yang
menerima-Nya melalui sakramen-sakramen. Penggeseran itu
27
Tractatus in Yohannem X, 10
27
dapat disebut sebagai romanisasi teologi Gereja Timur. Apakah
dengan demikian gerakan aliran Roh Kudus diikat pada reksa
sakramental oleh pejabat-pejabat Gereja ?
Ketiga, dengan memakai kata membuka, kata cor dapat
menerima berbagai tafsir: pertama, arti mistik, cor Yesus
sebagai tempat perlindung-an; kedua, arti tempat untuk
masuk dan mengenal Yesus dari dalamnya, khususnya
hubungan kepada Bapa; akhirnya, sikap-sikap dan disposisi-
disposisi tehadap umat manusia.

[35] Pandangan itu meluas ke berbagai daerah lain,


misalnya, daerah Rhein di Jerman (Albertus Agung, 1200-1280)
dan Suster-suster Benediktin., mis. Lutgarda dari Trond (†
1246), Mechtilda dari Magdeburg (1212-1282), Mechtilda dari
Hackeborn (1241-1298) dan Gertrudis dari Helfta (1256-
1302/3), Katharina dari Siena (1347[?1333]-1380)

28

Anda mungkin juga menyukai