Anda di halaman 1dari 11

1

SELAYANG PANDANG TENTANG ENSIKLIK “LAUDATO SI” 1


RD. Skolastikus Agus Wibowo

I. PENGANTAR
Pada Hari Raya Pentakosta, 24 Mei 2015, Paus Fransiskus menandatangani Ensiklik Laudato
Si dan menerbitkannya di Vatikan tanggal 18 Juni 2015. Ensiklik LAUDATO SI - ON CARE FOR OUR
COMMON HOME (TERPUJILAH ENGKAU [TUHAN]: MEMELIHARA RUMAH KITA BERSAMA)
terdiri dari 6 bab yang terbagi dalam 246 paragraf, berjumlah 190 halaman, dan panjangnya
hampir 42.000 kata. Nama LAUDATO SI diambil dari seruan nyanyian Santo Fransiskus dari Assisi
(1181-1226) yang berbunyi: “LAUDATO SI, ‘mi’ Signore”, - “Terpujilah Engkau,Tuhanku” dalam
“Kidung Saudara Matahari (Gita Sang Surya)”. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami,
Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan,
beserta bunga warna-warni dan rerumputan” (LS #1). Melalui penghayatan Santo Fransiskus dari
Assisi, Paus Fransiskus mengingatkan kita untuk memandang bumi ini sebagai “saudari, rumah
kita bersama”. Kita harus berbagi kehidupan dan memuji keindahan ibu bumi yang lengannya
terbuka lebar untuk memeluk kita semua (LS #1).
Namun demikian, Saudari kita saat ini sedang menjerit karena segala kerusakan yang
ditimpakan kepadanya akibat perilaku manusia. Bumi pertiwi telah diperlakukan secara semena-
mena, dieksploitir dan diporak-porandakan. Semuanya itu disebabkan oleh kerakusan, arogansi
dan rendahnya rasa menghormati manusia terhadap saudarinya, ibu bumi ini. Hendaklah kita
jangan lupa bahwa kita berasal dari tanah; badan jasmani kita dibentuk dari elemen-elemen
bumi, kita menghirup udara bumi dan menikmati kehidupan dan kesegaran dari air yang dialirkan
oleh ibu bumi ini (LS #2).
Seluruh pesan dari Ensiklik Laudato Si ditujukan kepada setiap orang yang hidup di planet
bumi. Maka, Paus Fransiskus menempatkan tujuan dari dokumen ini, demikian: “Dalam Ensiklik
ini, saya ingin berdialog dengan semua orang tentang rumah kita bersama” (LS #3). Dialog yang
dimaksud adalah seperti tertulis di Ensiklik ini, demikian: “Saya mengundang dengan mendesak
agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita. Kita
memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita
alami, dan akar manusianya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua ” (LS #14).
Dialog itulah yang menjadi inti dari dokumen, namun Paus Fransiskus juga sangat
menekankan adanya panggilan perobatan bagi seluruh Gereja, sebagai berikut:
“Krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam. Tetapi
kita juga harus mengakui bahwa beberapa orang Kristen, yang berkomitmen dan
berdoa, cenderung meremehkan ungkapan kepedulian terhadap lingkungan, dengan
alasan realisme dan pragmatisme. Orang lain tinggal pasif; mereka memilih untuk
tidak mengubah kebiasaan mereka dan dengan demikian menjadi tidak konsisten.
Jadi, apa yang mereka semua butuhkan adalah pertobatan ekologis, yang berarti
membiarkan seluruh buah dari pertemuan mereka dengan Yesus Kristus berkembang
dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka. Menghayati panggilan
untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh; dan
bukan sebuah opsi atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani (LS #217)”.

1
Ensiklik artinya surat Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katolik dunia, yang berisi ajaran Sri Paus
mengenai iman dan kesusilaan, yang ditujukan kepada para Uskup Gereja Katolik dan semua umat beriman.
2

II. “RAHIM” ENSIKLIK LAUDATO SI


Secara garis besar, struktur dan format dari dokumen ini sangatlah jelas dan logis. Ensiklik
ini terdiri atas 6 bab. Berikut ini adalah susunan dari Ensiklik Laudato Si:
PENGANTAR: (LS #1-16)
BAB I : APA YANG TERJADI DENGAN RUMAH KITA BERSAMA (LS # 17- 61)
1. Polusi dan Perubahan Iklim (LS #20-26)
2. Masalah Air (LS #27-31)
3. Hilangnya Keanekaragaman Hayati (LS #32-42)
4. Penurunan Kualitas Hidup Manusia dan Kemerosotan Sosial (LS #43-47)
5. Ketimpamgan Global (LS #48-52)
6. Tanggapan-tanggapan yang Lemah (LS #53-59)
7. Keragaman Pendapat (LS# 60-61)
BAB II: INJIL PENCIPTAAN  (LS #62-100)
1. Cahaya yang Ditawarkan Iman (LS #63-64)
2. Hikmat Cerita-cerita Alkitab (LS #65-75)
3. Misteri Alam Semesta (LS #76-83)
4. Pesan Setiap Makhluk dalam Harmoni Seluruh Ciptaan (LS #84-88)
5. Persekutuan Universal (LS #89-92)
6. Tujuan Umum Harta Benda (LS #93-95)
7. Tatapan Yesus (LS #96-100)
BAB III: AKAR MANUSIAWI KRISIS EKOLOGIS (LS #101-136)
1. Teknologi: Kreativitas dan Kekuasaan (LS #102-105)
2. Globalisasi Paradigma Teknokratis (LS #106-114)
3. Krisis dan Dampak Antroposentrisme Modern (LS #115-136))
BAB IV: EKOLOGI INTEGRAL (LS #137-162)
1. Ekologi Lingkungan, Ekonomi dan Sosial (LS #138-142)
2. Ekologi Budaya (LS #143-146)
3. Ekologi Hidup Sehari-hari (LS #147-155)
4. Prinsip Kesejahteraan Umum (LS #156-158)
5. Keadilan Antar Generasi (LS #159-162)
BAB V: BEBERAPA PEDOMAN ORIENTASI DAN AKSI (LS #163-201)
1. Dialog tentang Lingkungan Hidup dalam Politik Internasional (LS #164-175)
2. Dialog untuk Kebijakan Baru Nasional dan Lokal (LS #176-181)
3. Dialog dan Transparansi dalam Pengambilan Keputusan (LS #182-188)
4. Politik dan Ekonomi dalam Dialog untuk Pemenuhan Manusia (LS #189-198)
5. Agama-agama dalam Dialog dengan Sains (LS #199-201)
BAB VI: PENDIDIKAN DAN SPIRITUALITAS EKOLOGIS (LS #202-246)
1. Menuju Gaya Hidup yang Baru (LS #203-208)
2. Pendidikan untuk Perjanjian Antara Manusia dan Lingkungan Hidup (LS #209-215)
3. Pertobatan Ekologis (LS #216-221)
4. Kegembiraan dan Damai (LS #222-227)
5. Cinta dalam Ranah Sipil dan Politik (LS #228-232)
6. Tanda-tanda Sakramental dan Istirahat yang Dirayakan (LS #233-237)
7. Allah Tritunggal dan Hubungan Antara Makhluk (LS #238-240)
8. Ratu Seluruh Dunia Ciptaan (LS #241-242)
9. Melampaui Matahari (LS #243-246)
DOA UNTUK BUMI KITA
DOA UMAT KRISTIANI BERSAMA SEMUA MAKHLUK
3

III. MEMBACA TUJUAN DAN MAKSUD ENSIKLIK SECARA CEPAT


1. BAB SATU:   APA YANG TERJADI DENGAN RUMAH KITA BERSAMA (LS # 17- 61)
Pada bab satu Ensiklik ini, Paus Fransiskus mengajak kita untuk mengkaji secara cermat
aneka masalah yang terjadi di bumi sebagai rumah bersama seluruh manusia, seperti: (1) polusi
dan perubahan iklim akibat pembuangan limbah industri dan rumah tangga yang berlebihan
tanpa upaya untuk mengurangi, mendaur-ulang dan memakai kembali barang-barang keperluan
sehari-hari; (2) masalah air minum segar dan aman yang menjadi hak dasariah dan universal
setiap orang untuk kelangsungan hidupnya; (3) hilang dan punahnya keanekaraganman hayati
yang dapat mempengaruhi ekosistem dan krisisnya geosistem; (4) penurunan kualitas hidup
manusia dan kemerosotan sosial akibat pesatnya perkembangan dunia virtual dan digital yang
menghalangi setiap orang untuk hidup lebih bijaksana; (5) adanya ketimpangan global,
ketidakseimbangan yang semakin memperburuk nasib dan penderitaan kaum miskin; (6) respon
yang lemah dari setiap orang yang masih mementingkan dan membenarkan diri atas gaya hidup,
produksi dan konsumsi.
Dalam konteks itu, Paus Fransiskus menegaskan bahwa perbaikan masalah lingkungan
tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosial dan kemanusiaan. Bersama aneka ragam pendapat
para ilmuwan, Gereja terus mendorong setiap pribadi untuk menemukan jalan keluar dan
melakukan tindakan untuk memecahkan pelbagai masalah ekologis, sembari menetapkan arah
yang tepat agar aktivitas manusia tidak mengecewakan harapan Allah.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab satu Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Refleksi teologis dan filosofis tentang situasi umat manusia dan dunia dapat terasa
melelahkan dan abstrak, jika tidak muncul dari konfrontasi dengan konteks saat ini,
yang sarat akan hal-hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Jadi,
sebelum mempertimbangkan bagaimana iman membawa dorongan dan tuntutan
baru berkaitan dengan dunia kita bersama, saya usulkan berhenti sebentar untuk
mempertimbangkan apa yang sedang terjadi dengan rumah kita bersama” (LS #17).

Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab satu Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Tetapi, kalau kita amati dunia, terlihat bahwa tingkat intervensi manusia, sering
dalam konteks kepentingan bisnis dan konsumerisme, sebenarnya membuat bumi kita
kurang kaya dan indah, semakin terbatas dan kehilangan warna, sementara
kemajuan teknologi dan barang-barang konsumsi terus berkembang tanpa batas.
Kita tampaknya berpikir bahwa kita dapat menggantikan keindahan yang tak
tergantikan dengan sesuatu yang kita buat sendiri” (LS #34).

2. BAB KEDUA: INJIL PENCIPTAAN  (LS #62-100)


Pada bab dua, Paus Fransiskus menawarkan jalan pembebasan yang diterangi cahaya iman
untuk melindungi alam dan saudar-saudara yang paling rentan dari kompleksitas krisis ekologis
dan penyebabnya. Paus Fransiskus merefleksikan pesan dari cerita-cerita Alkitabiah yang
menunjukkan hubungan antara manusia dan lingkungan sebagai bagian yang tak terpisah dari
kodrat penciptaan manusia. Sebagai contoh, Paus Fransiskus menawarkan gagasan biblis dari
Kitab Kejadian yang mengatakan: “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat
baik” (Kejadian 1:31). Lantas, Paus Fransiskus mengingatkan adanya kesalahpahaman dalam
menafsirkan mandat yang diberikan Allah kepada manusia untuk “menaklukkan” bumi (lihat
4

Kejadian 1:28), untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kejadian 2:15). Dalam hal ini Paus
Fransiskus ingin menegaskan kembali panggilan hidup manusia untuk mengusahakan dan
merawat bumi sebagai habitat hidupnya, bukan mengklaim dirinya sebagai penguasa absolut
atas bumi. Jika tidak demikian, manusia akan selalu condong untuk memaksakan aturan dan
kepentingannya sendiri pada realitas.
Dalam refleksinya, Paus Fransiskus menyadarkan bahwa tujuan akhir perjalanan alam
semesta bukanlah manusia, tetapi pada Allah, Sang Pencipta. Semua makhluk ciptaan bergerak
bersama manusia menuju titik akhir yang sama, yaitu Allah, dalam kepenuhan transenden Kristus
yang bangkit merangkul dan menerangi segala sesuatu. Melalui kepenuhan Kristus, manusia
dipanggil untuk mengantar semua makhluk kembali kepada Pencipta mereka. Dalam pemahaman
Kristiani tentang realitas, peruntukan seluruh ciptaan berjalan melalui misteri Kristus yang hadir
sejak awal mula penciptaan (Kolose 1: 16). Refleksi teologis ini akan menjadi dasar untuk melihat
akar permasalahan dan mencari solusinya.
Yang menarik pada bab dua ini, Paus Fransiskus juga menggambarkan harmoni alam
semesta dengan mencantumkan syair Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Asisi (LS #87):

“Terpujilah Engkau, Tuhanku,


bersama semua makhluk-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari;
dia terang siang hari, melalui dia kami Kauberi terang.
Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang cemerlang;
tentang Engkau, Yang Mahaluhur, dia menjadi tanda lambang.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari bulan dan bintang-bintang,
di cakrawala Kaupasang mereka, gemerlapan, megah dan indah.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin,
dan karena udara dan kabut, langit yang cerah dan segala cuaca,
dengannya Engkau menopang hidup makhluk ciptaan-Mu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air;
dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api,
dengannya Engkau menerangi malam;
dia indah dan cerah ceria, kuat dan perkasa”.

Tujuan yang mau dikatakan dalam bab dua Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Mengapa dalam dokumen yang ditujukan kepada semua orang yang berkehendak
baik, dimuat suatu bab yang mengacu pada keyakinan iman? Saya sadar bahwa
dalam bidang politik dan filsafat, ada yang tegas menolak gagasan tentang Pencipta
atau menganggapnya tidak relevan lalu mengesampingkan—sebagai sesuatu yang
irasional—kekayaan yang dapat disumbangkan oleh agama-agama kepada suatu
ekologi integral dan kepada pengembangan penuh kemanusiaan. Orang lain melihat
agama sebagai subkultur yang hanya perlu ditoleransi. Namun, ilmu pengetahuan
dan agama yang menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami kenyataan
dapat masuk ke dalam dialog yang intens dan bermanfaat bagi keduanya” (LS #62).
5

Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab dua Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Kita bukan Allah. Bumi sudah ada sebelum kita dan telah diberikan kepada kita…
Meskipun benar bahwa kadang-kadang kita orang Kristen telah salah menafsirkan
kitab suci, saat ini kita harus tegas menolak gagasan bahwa penciptaan kita menurut
gambar Allah dan misi untuk menaklukkan bumi, membenarkan dominasi mutlak atas
makhluk lainnya. Teks Alkitab harus dibaca dalam konteksnya, dengan hermeneutika
yang tepat, dan konteks itu mengundang kita untuk “mengusahakan dan
memelihara” taman dunia (lihat Kejadian 2:15). Sementara “mengusahakan” berarti
menggarap, membajak, atau mengerjakan, “memelihara” berarti melindungi,
menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab
timbal balik antara manusia dan alam. Setiap komunitas dapat mengambil apa yang
mereka butuhkan dari harta bumi untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki
kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin keberlangsungan kesuburannya
untuk generasi-generasi mendatang” (LS #67).

3. BAB TIGA: AKAR MANUSIAWI KRISIS EKOLOGIS (LS #101-136)


Pada bab tiga, Paus Fransiskus menyoroti gejala-gejala krisis ekologi yang disebabkan
beberapa faktor, yaitu: (a) Penyalahgunaan atas ilmu pengetahuan dan kekuatan teknologi
yang cenderung mengundang terjadinya kedangkalan pemikiran, keegoisan dan kekerasan.
Kemajuan besar teknologi justru membuat manusia modern tidak mampu menggunakan
kekuasaannya dengan baik. Mereka telah mengabaikan tujuan dari ilmu pengetahuan dan
kekuatan teknologi, sehinga aspek pengembangan manusia menyangkut tangggung jawab sosial,
nilai-nilai dan hati nurani diabaikan, bahkan di ambang kehancuran.
(b) Cara manusia mengadopsi teknologi dan perkembangannya dengan paradigma yang
bersifat teknokratik dan reduksionis. Manusia modern menerapkan paradigma teknokratik
tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya aneka
krisis ekologis. Karena paradigma ini berakar pada asumsi bahwa bumi memiliki sumber daya
yang tak terbatas dan bisa dieksploitasi terus-menerus tanpa batas. Asumsi ini sangatlah keliru
dan bersifat reduksionis. Maka, yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam tanpa batas.
Aktivitas industrialis yang tinggi dan gaya hidup yang boros energi dan meningkatnya emisi
karbon justru berakibat pada pemanasan global dan perubahan iklim, kerusakan lingkungan,
krisis energi dan sumber daya alam, bahkan kecemasan yang timbul karena adanya ancaman atas
nilai-nilai yang menjamin kelangsungan hidup bersama.
Dalam konteks kedua faktor di atas, Paus Fransiskus mengajak kita untuk menggunakan
cara pandang yang berbeda, cara berpikir, kebijakan, program pendidikan, gaya hidup dan
spiritualitas yang membangun daya tahan terhadap serangan paradigma teknokratis. Jika tidak,
inisiatif-inisiatif ekologis yang terbaik pun akhirnya dapat terjebak dalam pola pikir global yang
sama. Perlu ada revolusi budaya ekologis atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
tidak netral dengan membangun sikap dan cara pandang baru yang memulihkan kembali nilai-
nilai dan tujuan-tujuan agung yang sempat hancur akibat perilaku manusia yang menganggap
dirinya besar dan tanpa adanya kendali.
(c) Munculnya paham dan semangat antroposentrisme modern yang “tidak lagi
merasakan alam sebagai norma yang berlaku, atau sebagai tempat berlindung yang hidup”.
Paham antroposentrisme yang menyimpang ini melahirkan gaya hidup yang menyimpang,
bahkan mendorong seseorang jatuh pada bahaya relativisme praktis yang memandang alam
6

ciptaan dan lingkungan manusia tanpa prasyarat, sebagai objek, sebagai ruang dan bahan untuk
dikerjakan. Dalam konteks ini, Paus Fransiskus mengajak kita untuk memperbaiki hubungan
manusia dengan lingkungannya. Langkah pertama yang diambil adalah memperbaiki hubungan
antar manusia saat ini, termasuk generasi mendatang yang akan menjalani kehidupan di bumi
yang sama. Paling tidak, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus tetap dipandang
sebagai karunia yang diberikan oleh Allah untuk menolong dan melayani orang lain. Manfaat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan tetap “menunjukkan kemuliaan panggilan
manusia untuk berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam tindakan kreatif Allah di dalam
dunia”.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab tiga Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Akan tidak berguna untuk menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa
mengakui akarnya dalam manusia. Terdapat suatu cara memahami hidup dan
aktivitas manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia hingga
merugikannya. Mengapa kita tidak berhenti sejenak untuk memikirkannya? Dalam
refleksi ini, saya mengusulkan agar kita fokus pada paradigma teknokratis yang
dominan serta tempat manusia dan aktivitasnya di dunia”(LS #101).

Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab tiga Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Dapat dikatakan bahwa akar banyaknya masalah dunia saat ini terutama
kecenderungan, yang tidak selalu disadari, untuk menjadikan metode dan tujuan
ilmu-ilmu teknik sebagai paradigma pemahaman yang dipaksakan bagi kehidupan
individu dan cara kerja masyarakat. Efek dari penerapan paradigma itu pada seluruh
realitas, manusia dan masyarakat, menjadi nyata dalam degradasi lingkungan, tetapi
itu hanya satu tanda dari reduksionisme yang mempengaruhi kehidupan manusia dan
masyarakat dalam semua dimensinya. Perlu diakui bahwa produk-produk teknologi
tidak netral karena mereka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya
membentuk gaya hidup, dan mengarahkan peluang-peluang dalam masyarakat ke
arah kepentingan kelompok-kelompok berkuasa tertentu” (LS #107).

4. BAB EMPAT: EKOLOGI INTEGRAL (LS #137-162)


Pada bab empat, Paus Fransiskus membahas soal ekologi integral, yaitu mencakup:
(a) Ekologi lingkungan, ekonomi dan sosial. Dalam ranah ini, manusia modern perlu mempelajari
cara kerja masyarakat, ekonominya, perilakunya dan cara mereka memahami lingkungan
sosialnya. Perlu ada solusi yang komprehensif dengan perhitungan yang tepat dalam
menggambarkan interaksi antara sistem alam (ekosistem) dan sistem sosial. Solusi itu dapat
dikatakan komprehensif, jika dijalankan dengan tujuan memerangi kemiskinan, memulihkan
martabat orang yang dikucilkan dan sekaligus melestarikan alam. (b) Ekologi budaya. Dalam
ranah ini, manusia modern diajak untuk melestarikan kekayaan budaya umat manusia secara
luas. Maka, perlu adanya perhatian kepada budaya lokal, ketika ingin mempelajari isu-isu yang
berkaitan dengan lingkungan, sekaligus mendukung dialog antara bahasa ilmiah-teknis dan
bahasa rakyat. Budaya ini bukan hanya dalam arti warisan/tradisi masa lalu, melainkan soal hidup
kelompok masyarakat yang dinamis dan partisipatif dalam menjaga dan melestarikan adat dan
tradisi budaya mereka. Mereka bukanlah suatu minoritas di tengah yang lain, melainkan mitra
dialog utama, terutama ketika ada pengembangan proyek-proyek besar yang mempengaruhi
7

wilayah mereka. (c) Ekologi hidup sehari-hari. Dalam ranah ini, yang tinggal di daerah perkotaan
diajak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berantakan, kacau, kelihatan
tercemar dan bising. Cara berpikir positif akan mencerahkan kehidupan manusia, misalnya:
membangun hidup bertetangga yang ramah, menciptakan komunitas yang di dalamnya setiap
orang merasa diikutsertakan dalam kebersamaan dan saling memiliki. Dengan cara ini, setiap
tempat bukan menjadi neraka, melainkan berubah menjadi tempat kehidupan yang bermartabat.
Selain itu, Paus Fransiskus juga mengajak kita bagaimana ekologi integral itu juga
mengedepankan prinsip kesejahteraan umum dan keadilan antar-generasi. Oleh karena itu, perlu
adanya pendekatan komprehensif dalam rangka mengatasi krisis ekologi yang melahirkan aneka
persoalan kemiskinan, krisis ekonomi, krisis kemanusian dan krisis lingkungan hidup, bukan
dengan penyelesaian parsial yang tidak menyentuh akar permasalahan. Dalam konteks ini, Paus
Fransiskus mengajak manusia modern untuk memperbaiki kualitas dan cara hidup mereka, baik
di daerah perkotaan maupun di pedesaan dengan mengedepankan prinsip kebaikan bersama
(common good) dan solidaritas yang adil antar-generasi sebagai kewajiban moral yang mendesak.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab empat Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“…. masalah-masalah masa kini membutuhkan suatu visi yang memperhitungkan
semua aspek dari krisis global, saya mengusulkan bahwa kita sekarang
mempertimbangkan pelbagai komponen dari suatu ekologi integral, yang jelas
mempunyai dimensi manusiawi dan sosial” (LS #137).

Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab empat Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“… sekarang sangat dibutuhkan humanisme yang dari dirinya mampu menyatukan
berbagai bidang pengetahuan, termasuk ekonomi, demi suatu pendekatan yang lebih
integral dan lebih terintegrasi. Sekarang ini kajian masalah lingkungan tidak dapat
dilepaskan dari kajian konteks manusia, keluarga, pekerjaan, perkotaan, dan
hubungan setiap orang dengan dirinya sendiri yang menghasilkan cara tertentu untuk
berhubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan” (LS #141).

5. BAB LIMA: BEBERAPA PEDOMAN ORIENTASI DAN AKSI (LS #163-201)


Pada bab lima, Paus Fransiskus menekankan perlunya dialog semua golongan untuk
menyelesaikan krisis ekologi ini secara bersama-sama, seperti: (a) Dialog lingkungan dalam politik
internasional yang melahirkan konsensus global untuk menghadapi krisis ekologis yang tidak
dapat diatasi secara sendirian. Dengan demikian, perlu adanya perjanjian-perjanjian internasional
yang dapat ditegakkan, karena pemerintah-pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan
intervensi secara efektif. Antarnegara harus menjaga kedaulatannya masing-masing, sekaligus
membangun jalur-jalur kesepakatan untuk mencegah bencana lokal yang berpotensi menimpa
semua orang. Maka, perlu adanya peraturan global untuk memaksakan kewajiban dan mencegah
tindakan yang tidak dapat diterima, misalnya: ketika beberapa negara yang kuat memindahkan
limbah dan industri yang sangat mencemari ke negara-negara lain. Dalam hal ini, diplomasi
memiliki peran penting untuk mengembangkan strategi internasional yang dapat mengantisipasi
masalah-masalah lebih serius yang akan merugikan kita semua. (b) Dialog yang menyadarkan
tugas dan kewajiban setiap negara, terutama dalam membuat kebijakan nasional maupun lokal,
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Bersama dengan banyak pihak di
dalam tatanan sosial-masyarakat, negara perlu mengadakan pemantauan atas perilaku setiap
8

individu atau kelompok tertentu yang akan berkontribusi pada terjadinya kerusakan lingkungan.
(c) Dialog yang jujur dan transparan atas norma apa yang diizinkan atau tidak oleh undang-
undang. Maka, keputusan dalam dialog yang berkaitan lingkungan hidup tidak boleh merugikan
kesejahteraan umum, apalagi memihak pada ideologi atau kepentingan tertentu. (d) Dialog yang
mengabdi kehidupan manusia dengan menghentikan tindakan-tindakan ekspoitatif terhadap
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam secara ekonomis dan politis. Di sini, Paus
Fransiskus mengingat kembali ajakan Paus Benediktus XVI yang menegaskan: “Masyarakat
berteknologi maju harus bersedia memilih gaya hidup yang lebih ugahari, sekaligus mengurangi
penggunaan energi dan meningkatkan efisiensinya”. Politik dan ekonomi bukan digunakan untuk
mempersalahkan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, sehingga perilaku yang terobsesi dengan
keuntungan ekonomi dan peningkatan kekuatan politis tampak lebih dominan. Sebaliknya, perlu
adanya jaminan politis dan ekonomis untuk menjaga dan melestarikan aneka ragam hayati dan
sumber daya alam. (e) Dialog terbuka, jujur, tulus dan saling menghormati antara ilmu
pengetahuan dan ideologi agama-agama dengan maksud untuk melindungi alam ciptaan,
membela orang miskin dan membangun jaringan persaudaraan sejati antar umat manusia.
Paus Fransiskus menekan pentingnya dialog kehidupan yang melahirkan perspektif global
dan rencana bersama yang mengedepankan prinsip subsidiaritas, solidaritas dan kesejahteraan
umum. Konsesus global harus memuat isu-isu dan strategi perlindungan untuk menjaga dan
melestarikan keragaman hayati, memerangi kemiskinan, mengurangi polusi dan limbah industri
dan mewujudkan pembangunan sosial yang humanis dan ramah lingkungan. Paus menekankan
perlunya dialog terbuka baik itu antara politisi dan ekonom ataupun antara sains dan agama
untuk mewujudkan tercapainya sebuah solusi komprehensif dari krisis ekologi.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab lima Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Saya telah mencoba mengkaji situasi umat manusia saat ini dengan mengamati baik
celah-celah di planet yang kita diami, maupun penyebab-penyebab manusiawi yang
terdalam dari kerusakan lingkungan itu. Meskipun pengamatan terhadap realitas itu
sendiri sudah menunjukkan perlunya perubahan arah, dan menyarankan tindakan-
tindakan tertentu, sekarang kita akan mencoba untuk menggariskan beberapa jalur
utama dialog yang dapat membantu kita untuk keluar dari spiral penghancuran diri
yang menenggelamkan kita” (LS #163).

Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab empat Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Saling ketergantungan memaksa kita untuk berpikir tentang dunia yang tunggal,
sebuah proyek bersama. Namun, kecerdasan yang telah membawa pengembangan
teknologi yang mengesankan, gagal menemukan aneka bentuk aturan internasional
yang efektif untuk menangani masalah-masalah serius lingkungan dan masyarakat.
Mutlak diperlukan sebuah konsensus global untuk menghadapi masalah- masalah
yang lebih dalam, yang tidak dapat diatasi dengan tindakan sepihak setiap negara
sendirian. Konsensus seperti itu akan membantu, misalnya, untuk merancang suatu
program pertanian yang berkelanjutan dan beragam, untuk mengembangkan bentuk-
bentuk energi yang terbarukan dan kurang mencemarkan lingkungan, untuk
mendorong penggunaan energi yang lebih efisien dan manajemen sumber daya
hutan dan laut yang lebih memadai, untuk menjamin akses ke air minum untuk
semua” (LS #164).
9

6. BAB ENAM: PENDIDIKAN DAN SPIRITUALITAS EKOLOGIS (LS #202-246)


Pada bab enam atau terakhir, Paus Fransiskus menekankan bahwa dari semua hal yang
harus dilakukan untuk mengatasi krisis ekologis yang berkepanjangan, pertama-tama manusia
modern haruslah melakukan perubahan pada dirinya sendiri, baik itu dalam sikap, perilaku, gaya
hidup, pola pikir maupun relasinya dengan alam ciptaan dan lingkungannya. Manusia modern
harus menyadari pentingnya pendidikan ekologis sebagai ikatan perjanjian antara manusia
dengan lingkungan hidup. Perjanjian ini yang memungkinkan manusia modern sejak awal untuk
mengembangkan sikap, perilaku, gaya hidup dan pola pikir untuk menghormati, mencintai,
menjaga, merawat dan melestarikan alam ciptaan. Rasa kepemilikan bersama atas bumi dan
lingkungan hidup memuat tugas, kewajiban dan tanggung jawab manusia zaman ini atas generasi
mendatang yang akan menempati bumi yang sama dalam kondisi lingkungan hidup yang lebih
baik dari sekarang ini. Paus Fransiskus menekan bahwa perubahan pada diri manusia ini sebagai
panggilan rohani yang akan dijalaninya dalam kehidupan di muka bumi. Panggilan rohani ini yang
mendorong sikap, perilaku, gaya hidup dan pola pikir manusia modern kepada semangat
pertobatan ekologis. Paus Fransiskus menekankan bahwa pertobatan ekologis ini mendorong
setiap manusia untuk menghayati pangggilannya menjaga dan melindungi karya ciptaan Allah
dengan murah hati dan penuh kelembutan. Pertobatan ekologis menyiratkan adanya kebutuhan
manusia secara komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup yang sangat
kompleks, sehingga bumi atau rumah kita bersama ini keluar krisis ekologi.
Paus Fransiskus menunjukkan bahwa puncak dan kepenuhan dari pertobatan ekologis
adalah kesatuan makhluk ciptaan dan jagad raya ini dengan Kristus yang menjadikan segala
sesuatu baru (Wahyu, 21: 5). Paus menegaskan bahwa kesatuan antara Kristus dan makhluk
ciptaan akan menjadi menjadi penuh jika dirayakan dalam Ekaristi. Dalam Ekaristi yang dirayakan,
Kristus menjelma dan hadir untuk menyatukan langit dan bumi, merangkul dan meresapi seluruh
ciptaan, memulihkan hubungan seluruh ciptaan dengan Penciptannya. Oleh karena itu, Ekaristi
adalah sumber terang dan motivasi bagi kepedulian kita terhadap lingkungan, dan mengajak kita
untuk menjadi penjaga seluruh ciptaan.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab enam Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi terutama umat manusia harus
berubah. Yang dibutuhkan ialah kesadaran pada asal kita bersama, pada rasa saling
memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi dengan semua makhluk.
Kesadaran mendasar ini dapat memungkinkan pengembangan keyakinan, sikap dan
bentuk kehidupan yang baru. Jadi, kita berhadapan dengan suatu tantangan budaya,
spiritual dan pendidikan yang besar, yang akan membutuhkan proses pembaruan
yang panjang” (LS #202).

Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab enam Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Ketika mengingat teladan Santo Fransiskus dari Assisi, kita menjadi sadar bahwa
hubungan yang sehat dengan penciptaan merupakan salah satu dimensi dari
pertobatan manusia yang utuh. Ini berarti pula mengakui kesalahan kita, segala
dosa, kejahatan atau kelalaian kita, dan bertobat dengan sepenuh hati, berubah dari
dalam lubuk hati” (LS #218)
10

IV. PERTOBATAN EKOLOSIS DI RUMAH KITA BERSAMA: KEUSKUPAN SURABAYA


Ensiklik Laudato Si menggugah perhatian banyak orang untuk menyadari krisis ekologi yang
terjadi pada rumah kita bersama. Krisis ekologi yang terjadi saat ini memanggil kita untuk ikut
ambil bagian dalam menjalankan solusi komprehensif yang ditunjukkan dalam Ensiklik ini sesuai
dengan kondisi lingkungan kita masing-masing, bukan malah menjadi bagian dari masalah.
Seruan “pertobatan ekologis” Paus Fransiskus melalui ensiklik ini tentu merupakan energi baru
bagi kita semua penghuni BUMI KEUSKUPAN SURABAYA.
Di Gereja Katolik Keuskupan Surabaya telah muncul gerakan eko-pastoral yang tersebar di
berbagai Paroki sesuai dengan kekhasannya masing-masing. Sekalipun banyak orang
beranggapan bahwa gerakan eko-pastoral ini tidak populer, mereka tetap terlibat dan
mengusahakannya secara nyata bersama masyarakat di sekitar mereka dengan tujuan mulia,
yakni: kelestarian alam dan keutuhan ciptaan. Gerakan eko-pastoral itu muncul karena inisiatif
pribadi para pelaku, penggiat, pemerhati dan pencinta lingkungan hidup. Jika ada gerakan yang
dimotori oleh para imam diosesan/tarekat religius, para biarawan-biarawati dan para umat yang
kompeten di bidang ekologi, maka pertama-tama karena karya pastoral ekologi itu hanya
berbasis kharisma pribadi para pelaku, penggiat, pemerhati dan pencinta ekologi yang hidup dan
berkarya di wilayah Keuskupan Surabaya.
Mengapa demikian? Jika melihat kembali dan merenungkan perjalanan Keuskupan
Surabaya dalam kurun waktu 6 tahun terakhir ini sejak diberlakukannya ARDAS Keuskupan, maka
kita akan sangat kesulitan menemukan jejak-jejak pastoral ekologis yang pernah dikerjakan oleh
Gereja Keuskupan Surabaya. Dalam ARDAS Keuskupan sendiri tampaknya belum tercantum karya
pastoral yang mengarah pada kepedulian dan partisipasi dalam memperbaiki, menjaga dan
melestarikan keutuhan ciptaan. Sebaliknya, yang kita temui adalah kenyataan bahwa Keuskupan
masih merampungkan urusan-urusan internal, yakni: seputar penataan pastoral, organisasi dan
liturgi. Bisa jadi, lingkungan hidup dilihat, dibahas dan diperhatikan sebatas ada peristiwa
bencana alam atau kasus kejahatan ekologis seperti di Porong, Jawa Timur akibat perilaku
manusia, seperti Lumpur Lapindo. Jika tidak ada peristiwa bencana alam atau kasus ekologis
lainnya, maka diandaikan tidak ada masalah ekologi. Dengan kata lain, Keuskupan masih kurang
memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada lingkungan hidup.
Menanggapi seruan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si, Gereja Katolik Keuskupan
Surabaya perlu menegaskan sikap pastoral atau keberpihakan yang nyata kepada persoalan-
persoalan ekologis, baik itu di tingkat Paroki, Kevikepan maupun Keuskupan. Keuskupan Surabaya
perlu menumbuh-kembangkan sikap pastoral yang berbasis dan berwawasan lingkungan hidup
kepada seluruh umat. Paling tidak, gerakan eko-pastoral di Keuskupan Surabaya harus menjadi
“habitus baru” yang ditanamkan dalam ARDAS Keuskupan.
Konsekuensinya, Keukupan Surabaya harus mampu menyusun reksa pastoralnya yang
meliputi tahapan sebagai berikut: (a) Edukasi. Tahapan yang berisi katekese lingkungan hidup dan
aneka macam animasi yang berisi tentang gerakan penyadaran akan masalah-masalah ekologi.
(b) Advokasi. Tahapan yang memuat adanya pemberdayaan perangkat pastoral yang berkenaan
langsung dengan masalah lingkungan hidup. Dalam konteks ini, bidang pastoral ekologi menjadi
bagian karya pelayanan di Keuskupan, bahkan menjadi habitus baru. Advokasi juga menemukan
bentuknya sampai pada pembelaan hak-hak rakyat untuk mengelola sumber daya alam
sebagaimana mestinya dengan mengedepankan prinsip keadilan dan cinta kasih.
11

(c) Negosiasi. Tahapan ini menyangkut bagaimana Keuskupan mampu menjalin relasi dengan
pemerintah sebagai pemangku kebijakan publik, terkait dengan masalah-masalah lingkungan
hidup berdasarkan norma hukum yang berlaku. Kemitraan dengan pemerintah menjadi pondasi
yang kuat untuk karya pastoral ekologi yang berguna bagi masyarakat luas.
(d) Kampanye Ekologi. Tahapan konkret dalam mempromosikan gerakan eko-pastoral agar bisa
dirasakan manfaatnya bagi semua orang. Kampanye ekologi harus memiliki arah dasar yang jelas
dan konsistensi pada pelaksanaanya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menyelenggarakan kampanye ekologi ini:
i. kesetiaan bergerak secara konkret di daerah-daerah yang mengalami kerusakan
lingkungan dengan cara, seperti: gerakan penghijauan (konsevasi hutan), perawatan
flora dan fauna (satwa langka), pelestarian sumber air, udara dan tanah, bahkan tidak
menutup kemungkinan pengadaan kebun bibit rakyat dan rumah benih segala macam
tanaman pertanian, perkebunan atau kehutanan.
ii. pemetaan pastoral ekologis, membaca peluang pengembangan ekologis di masing-
masing daerah dengan memperhatikan kekhasan ekologis setempat.
iii. pemberdayaan para aktivis lingkungan hidup yang mengarah kepada usaha-usaha
preventif dan antisipatif atas kerusakan lingkungan, seperti: pemberdayaan para petani
melalui sistem pertanian organik; pengadaan lumbung pangan di daerah-daerah rawan
pangan; pemberdayaan para peternak, hingga mampu mengolah kotoran ternak
menjadi pupuk organik, dll.
iv. Eko-pastoral sebagai dialog. Gerakan eko-pastoral memiliki peluang untuk membangun
dialog karya dengan umat beragama lain. Kemitraan dengan umat beragama lain akan
menambah “kesemarakan”, sekaligus kekuatan untuk bersama-sama menjaga,
memelihara dan melestarikan keutuhan ciptaan.
v. Manajemen eko-pastoral. Yang dimaksud di sini adalah soal organisasi pastoral dalam
kaitannya dengan pelaksanaannya di tingkat paroki-paroki. Hal ini juga harus dipikirkan
ketika kampanye ekologi dijalankan di wilayah Keuskupan.

Pastoran Klepu, 30 Oktober 2016

guswo, pr.

Anda mungkin juga menyukai