I. PENGANTAR
Pada Hari Raya Pentakosta, 24 Mei 2015, Paus Fransiskus menandatangani Ensiklik Laudato
Si dan menerbitkannya di Vatikan tanggal 18 Juni 2015. Ensiklik LAUDATO SI - ON CARE FOR OUR
COMMON HOME (TERPUJILAH ENGKAU [TUHAN]: MEMELIHARA RUMAH KITA BERSAMA)
terdiri dari 6 bab yang terbagi dalam 246 paragraf, berjumlah 190 halaman, dan panjangnya
hampir 42.000 kata. Nama LAUDATO SI diambil dari seruan nyanyian Santo Fransiskus dari Assisi
(1181-1226) yang berbunyi: “LAUDATO SI, ‘mi’ Signore”, - “Terpujilah Engkau,Tuhanku” dalam
“Kidung Saudara Matahari (Gita Sang Surya)”. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami,
Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan,
beserta bunga warna-warni dan rerumputan” (LS #1). Melalui penghayatan Santo Fransiskus dari
Assisi, Paus Fransiskus mengingatkan kita untuk memandang bumi ini sebagai “saudari, rumah
kita bersama”. Kita harus berbagi kehidupan dan memuji keindahan ibu bumi yang lengannya
terbuka lebar untuk memeluk kita semua (LS #1).
Namun demikian, Saudari kita saat ini sedang menjerit karena segala kerusakan yang
ditimpakan kepadanya akibat perilaku manusia. Bumi pertiwi telah diperlakukan secara semena-
mena, dieksploitir dan diporak-porandakan. Semuanya itu disebabkan oleh kerakusan, arogansi
dan rendahnya rasa menghormati manusia terhadap saudarinya, ibu bumi ini. Hendaklah kita
jangan lupa bahwa kita berasal dari tanah; badan jasmani kita dibentuk dari elemen-elemen
bumi, kita menghirup udara bumi dan menikmati kehidupan dan kesegaran dari air yang dialirkan
oleh ibu bumi ini (LS #2).
Seluruh pesan dari Ensiklik Laudato Si ditujukan kepada setiap orang yang hidup di planet
bumi. Maka, Paus Fransiskus menempatkan tujuan dari dokumen ini, demikian: “Dalam Ensiklik
ini, saya ingin berdialog dengan semua orang tentang rumah kita bersama” (LS #3). Dialog yang
dimaksud adalah seperti tertulis di Ensiklik ini, demikian: “Saya mengundang dengan mendesak
agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita. Kita
memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita
alami, dan akar manusianya, menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua ” (LS #14).
Dialog itulah yang menjadi inti dari dokumen, namun Paus Fransiskus juga sangat
menekankan adanya panggilan perobatan bagi seluruh Gereja, sebagai berikut:
“Krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam. Tetapi
kita juga harus mengakui bahwa beberapa orang Kristen, yang berkomitmen dan
berdoa, cenderung meremehkan ungkapan kepedulian terhadap lingkungan, dengan
alasan realisme dan pragmatisme. Orang lain tinggal pasif; mereka memilih untuk
tidak mengubah kebiasaan mereka dan dengan demikian menjadi tidak konsisten.
Jadi, apa yang mereka semua butuhkan adalah pertobatan ekologis, yang berarti
membiarkan seluruh buah dari pertemuan mereka dengan Yesus Kristus berkembang
dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka. Menghayati panggilan
untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh; dan
bukan sebuah opsi atau aspek sekunder dalam pengalaman kristiani (LS #217)”.
1
Ensiklik artinya surat Paus sebagai Uskup Roma dan pemimpin Gereja Katolik dunia, yang berisi ajaran Sri Paus
mengenai iman dan kesusilaan, yang ditujukan kepada para Uskup Gereja Katolik dan semua umat beriman.
2
Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab satu Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Tetapi, kalau kita amati dunia, terlihat bahwa tingkat intervensi manusia, sering
dalam konteks kepentingan bisnis dan konsumerisme, sebenarnya membuat bumi kita
kurang kaya dan indah, semakin terbatas dan kehilangan warna, sementara
kemajuan teknologi dan barang-barang konsumsi terus berkembang tanpa batas.
Kita tampaknya berpikir bahwa kita dapat menggantikan keindahan yang tak
tergantikan dengan sesuatu yang kita buat sendiri” (LS #34).
Kejadian 1:28), untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kejadian 2:15). Dalam hal ini Paus
Fransiskus ingin menegaskan kembali panggilan hidup manusia untuk mengusahakan dan
merawat bumi sebagai habitat hidupnya, bukan mengklaim dirinya sebagai penguasa absolut
atas bumi. Jika tidak demikian, manusia akan selalu condong untuk memaksakan aturan dan
kepentingannya sendiri pada realitas.
Dalam refleksinya, Paus Fransiskus menyadarkan bahwa tujuan akhir perjalanan alam
semesta bukanlah manusia, tetapi pada Allah, Sang Pencipta. Semua makhluk ciptaan bergerak
bersama manusia menuju titik akhir yang sama, yaitu Allah, dalam kepenuhan transenden Kristus
yang bangkit merangkul dan menerangi segala sesuatu. Melalui kepenuhan Kristus, manusia
dipanggil untuk mengantar semua makhluk kembali kepada Pencipta mereka. Dalam pemahaman
Kristiani tentang realitas, peruntukan seluruh ciptaan berjalan melalui misteri Kristus yang hadir
sejak awal mula penciptaan (Kolose 1: 16). Refleksi teologis ini akan menjadi dasar untuk melihat
akar permasalahan dan mencari solusinya.
Yang menarik pada bab dua ini, Paus Fransiskus juga menggambarkan harmoni alam
semesta dengan mencantumkan syair Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Asisi (LS #87):
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab dua Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Mengapa dalam dokumen yang ditujukan kepada semua orang yang berkehendak
baik, dimuat suatu bab yang mengacu pada keyakinan iman? Saya sadar bahwa
dalam bidang politik dan filsafat, ada yang tegas menolak gagasan tentang Pencipta
atau menganggapnya tidak relevan lalu mengesampingkan—sebagai sesuatu yang
irasional—kekayaan yang dapat disumbangkan oleh agama-agama kepada suatu
ekologi integral dan kepada pengembangan penuh kemanusiaan. Orang lain melihat
agama sebagai subkultur yang hanya perlu ditoleransi. Namun, ilmu pengetahuan
dan agama yang menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami kenyataan
dapat masuk ke dalam dialog yang intens dan bermanfaat bagi keduanya” (LS #62).
5
Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab dua Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Kita bukan Allah. Bumi sudah ada sebelum kita dan telah diberikan kepada kita…
Meskipun benar bahwa kadang-kadang kita orang Kristen telah salah menafsirkan
kitab suci, saat ini kita harus tegas menolak gagasan bahwa penciptaan kita menurut
gambar Allah dan misi untuk menaklukkan bumi, membenarkan dominasi mutlak atas
makhluk lainnya. Teks Alkitab harus dibaca dalam konteksnya, dengan hermeneutika
yang tepat, dan konteks itu mengundang kita untuk “mengusahakan dan
memelihara” taman dunia (lihat Kejadian 2:15). Sementara “mengusahakan” berarti
menggarap, membajak, atau mengerjakan, “memelihara” berarti melindungi,
menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab
timbal balik antara manusia dan alam. Setiap komunitas dapat mengambil apa yang
mereka butuhkan dari harta bumi untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki
kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin keberlangsungan kesuburannya
untuk generasi-generasi mendatang” (LS #67).
ciptaan dan lingkungan manusia tanpa prasyarat, sebagai objek, sebagai ruang dan bahan untuk
dikerjakan. Dalam konteks ini, Paus Fransiskus mengajak kita untuk memperbaiki hubungan
manusia dengan lingkungannya. Langkah pertama yang diambil adalah memperbaiki hubungan
antar manusia saat ini, termasuk generasi mendatang yang akan menjalani kehidupan di bumi
yang sama. Paling tidak, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus tetap dipandang
sebagai karunia yang diberikan oleh Allah untuk menolong dan melayani orang lain. Manfaat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan tetap “menunjukkan kemuliaan panggilan
manusia untuk berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam tindakan kreatif Allah di dalam
dunia”.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab tiga Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Akan tidak berguna untuk menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa
mengakui akarnya dalam manusia. Terdapat suatu cara memahami hidup dan
aktivitas manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia hingga
merugikannya. Mengapa kita tidak berhenti sejenak untuk memikirkannya? Dalam
refleksi ini, saya mengusulkan agar kita fokus pada paradigma teknokratis yang
dominan serta tempat manusia dan aktivitasnya di dunia”(LS #101).
Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab tiga Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Dapat dikatakan bahwa akar banyaknya masalah dunia saat ini terutama
kecenderungan, yang tidak selalu disadari, untuk menjadikan metode dan tujuan
ilmu-ilmu teknik sebagai paradigma pemahaman yang dipaksakan bagi kehidupan
individu dan cara kerja masyarakat. Efek dari penerapan paradigma itu pada seluruh
realitas, manusia dan masyarakat, menjadi nyata dalam degradasi lingkungan, tetapi
itu hanya satu tanda dari reduksionisme yang mempengaruhi kehidupan manusia dan
masyarakat dalam semua dimensinya. Perlu diakui bahwa produk-produk teknologi
tidak netral karena mereka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya
membentuk gaya hidup, dan mengarahkan peluang-peluang dalam masyarakat ke
arah kepentingan kelompok-kelompok berkuasa tertentu” (LS #107).
wilayah mereka. (c) Ekologi hidup sehari-hari. Dalam ranah ini, yang tinggal di daerah perkotaan
diajak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berantakan, kacau, kelihatan
tercemar dan bising. Cara berpikir positif akan mencerahkan kehidupan manusia, misalnya:
membangun hidup bertetangga yang ramah, menciptakan komunitas yang di dalamnya setiap
orang merasa diikutsertakan dalam kebersamaan dan saling memiliki. Dengan cara ini, setiap
tempat bukan menjadi neraka, melainkan berubah menjadi tempat kehidupan yang bermartabat.
Selain itu, Paus Fransiskus juga mengajak kita bagaimana ekologi integral itu juga
mengedepankan prinsip kesejahteraan umum dan keadilan antar-generasi. Oleh karena itu, perlu
adanya pendekatan komprehensif dalam rangka mengatasi krisis ekologi yang melahirkan aneka
persoalan kemiskinan, krisis ekonomi, krisis kemanusian dan krisis lingkungan hidup, bukan
dengan penyelesaian parsial yang tidak menyentuh akar permasalahan. Dalam konteks ini, Paus
Fransiskus mengajak manusia modern untuk memperbaiki kualitas dan cara hidup mereka, baik
di daerah perkotaan maupun di pedesaan dengan mengedepankan prinsip kebaikan bersama
(common good) dan solidaritas yang adil antar-generasi sebagai kewajiban moral yang mendesak.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab empat Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“…. masalah-masalah masa kini membutuhkan suatu visi yang memperhitungkan
semua aspek dari krisis global, saya mengusulkan bahwa kita sekarang
mempertimbangkan pelbagai komponen dari suatu ekologi integral, yang jelas
mempunyai dimensi manusiawi dan sosial” (LS #137).
Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab empat Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“… sekarang sangat dibutuhkan humanisme yang dari dirinya mampu menyatukan
berbagai bidang pengetahuan, termasuk ekonomi, demi suatu pendekatan yang lebih
integral dan lebih terintegrasi. Sekarang ini kajian masalah lingkungan tidak dapat
dilepaskan dari kajian konteks manusia, keluarga, pekerjaan, perkotaan, dan
hubungan setiap orang dengan dirinya sendiri yang menghasilkan cara tertentu untuk
berhubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan” (LS #141).
individu atau kelompok tertentu yang akan berkontribusi pada terjadinya kerusakan lingkungan.
(c) Dialog yang jujur dan transparan atas norma apa yang diizinkan atau tidak oleh undang-
undang. Maka, keputusan dalam dialog yang berkaitan lingkungan hidup tidak boleh merugikan
kesejahteraan umum, apalagi memihak pada ideologi atau kepentingan tertentu. (d) Dialog yang
mengabdi kehidupan manusia dengan menghentikan tindakan-tindakan ekspoitatif terhadap
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam secara ekonomis dan politis. Di sini, Paus
Fransiskus mengingat kembali ajakan Paus Benediktus XVI yang menegaskan: “Masyarakat
berteknologi maju harus bersedia memilih gaya hidup yang lebih ugahari, sekaligus mengurangi
penggunaan energi dan meningkatkan efisiensinya”. Politik dan ekonomi bukan digunakan untuk
mempersalahkan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, sehingga perilaku yang terobsesi dengan
keuntungan ekonomi dan peningkatan kekuatan politis tampak lebih dominan. Sebaliknya, perlu
adanya jaminan politis dan ekonomis untuk menjaga dan melestarikan aneka ragam hayati dan
sumber daya alam. (e) Dialog terbuka, jujur, tulus dan saling menghormati antara ilmu
pengetahuan dan ideologi agama-agama dengan maksud untuk melindungi alam ciptaan,
membela orang miskin dan membangun jaringan persaudaraan sejati antar umat manusia.
Paus Fransiskus menekan pentingnya dialog kehidupan yang melahirkan perspektif global
dan rencana bersama yang mengedepankan prinsip subsidiaritas, solidaritas dan kesejahteraan
umum. Konsesus global harus memuat isu-isu dan strategi perlindungan untuk menjaga dan
melestarikan keragaman hayati, memerangi kemiskinan, mengurangi polusi dan limbah industri
dan mewujudkan pembangunan sosial yang humanis dan ramah lingkungan. Paus menekankan
perlunya dialog terbuka baik itu antara politisi dan ekonom ataupun antara sains dan agama
untuk mewujudkan tercapainya sebuah solusi komprehensif dari krisis ekologi.
Tujuan yang mau dikatakan dalam bab lima Ensiklik ini ada pada paragraf pertama, yang
mengatakan demikian:
“Saya telah mencoba mengkaji situasi umat manusia saat ini dengan mengamati baik
celah-celah di planet yang kita diami, maupun penyebab-penyebab manusiawi yang
terdalam dari kerusakan lingkungan itu. Meskipun pengamatan terhadap realitas itu
sendiri sudah menunjukkan perlunya perubahan arah, dan menyarankan tindakan-
tindakan tertentu, sekarang kita akan mencoba untuk menggariskan beberapa jalur
utama dialog yang dapat membantu kita untuk keluar dari spiral penghancuran diri
yang menenggelamkan kita” (LS #163).
Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab empat Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Saling ketergantungan memaksa kita untuk berpikir tentang dunia yang tunggal,
sebuah proyek bersama. Namun, kecerdasan yang telah membawa pengembangan
teknologi yang mengesankan, gagal menemukan aneka bentuk aturan internasional
yang efektif untuk menangani masalah-masalah serius lingkungan dan masyarakat.
Mutlak diperlukan sebuah konsensus global untuk menghadapi masalah- masalah
yang lebih dalam, yang tidak dapat diatasi dengan tindakan sepihak setiap negara
sendirian. Konsensus seperti itu akan membantu, misalnya, untuk merancang suatu
program pertanian yang berkelanjutan dan beragam, untuk mengembangkan bentuk-
bentuk energi yang terbarukan dan kurang mencemarkan lingkungan, untuk
mendorong penggunaan energi yang lebih efisien dan manajemen sumber daya
hutan dan laut yang lebih memadai, untuk menjamin akses ke air minum untuk
semua” (LS #164).
9
Kemudian, pesan yang akan disampaikan dalam bab enam Ensiklik ini, adalah sebagai berikut:
“Ketika mengingat teladan Santo Fransiskus dari Assisi, kita menjadi sadar bahwa
hubungan yang sehat dengan penciptaan merupakan salah satu dimensi dari
pertobatan manusia yang utuh. Ini berarti pula mengakui kesalahan kita, segala
dosa, kejahatan atau kelalaian kita, dan bertobat dengan sepenuh hati, berubah dari
dalam lubuk hati” (LS #218)
10
(c) Negosiasi. Tahapan ini menyangkut bagaimana Keuskupan mampu menjalin relasi dengan
pemerintah sebagai pemangku kebijakan publik, terkait dengan masalah-masalah lingkungan
hidup berdasarkan norma hukum yang berlaku. Kemitraan dengan pemerintah menjadi pondasi
yang kuat untuk karya pastoral ekologi yang berguna bagi masyarakat luas.
(d) Kampanye Ekologi. Tahapan konkret dalam mempromosikan gerakan eko-pastoral agar bisa
dirasakan manfaatnya bagi semua orang. Kampanye ekologi harus memiliki arah dasar yang jelas
dan konsistensi pada pelaksanaanya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menyelenggarakan kampanye ekologi ini:
i. kesetiaan bergerak secara konkret di daerah-daerah yang mengalami kerusakan
lingkungan dengan cara, seperti: gerakan penghijauan (konsevasi hutan), perawatan
flora dan fauna (satwa langka), pelestarian sumber air, udara dan tanah, bahkan tidak
menutup kemungkinan pengadaan kebun bibit rakyat dan rumah benih segala macam
tanaman pertanian, perkebunan atau kehutanan.
ii. pemetaan pastoral ekologis, membaca peluang pengembangan ekologis di masing-
masing daerah dengan memperhatikan kekhasan ekologis setempat.
iii. pemberdayaan para aktivis lingkungan hidup yang mengarah kepada usaha-usaha
preventif dan antisipatif atas kerusakan lingkungan, seperti: pemberdayaan para petani
melalui sistem pertanian organik; pengadaan lumbung pangan di daerah-daerah rawan
pangan; pemberdayaan para peternak, hingga mampu mengolah kotoran ternak
menjadi pupuk organik, dll.
iv. Eko-pastoral sebagai dialog. Gerakan eko-pastoral memiliki peluang untuk membangun
dialog karya dengan umat beragama lain. Kemitraan dengan umat beragama lain akan
menambah “kesemarakan”, sekaligus kekuatan untuk bersama-sama menjaga,
memelihara dan melestarikan keutuhan ciptaan.
v. Manajemen eko-pastoral. Yang dimaksud di sini adalah soal organisasi pastoral dalam
kaitannya dengan pelaksanaannya di tingkat paroki-paroki. Hal ini juga harus dipikirkan
ketika kampanye ekologi dijalankan di wilayah Keuskupan.
guswo, pr.