Anda di halaman 1dari 3

Menjawab pertanyaan tentang Ciri-Ciri Gereja Transformatif atau Berdaya Ubah

Jawaban ini bersumber dari materi yang ditulis oleh Rm. Madya Utama SJ dan beberapa sumber
lainnya.
Untuk memudahkan, saya coba memakai bahasa yang lebih simpel dan mengganti istilah Gereja
dengan Lingkungan/Umat agar mudah diterapkan.
Ciri-Ciri Lingkungan/Umat Transformatif atau Berdaya Ubah :
1. Lingkungan/Umat mau terlibat secara sosial. Artinya tidak hanya sekedar menjalankan atau
terlibat dalam kegiatan di RT/RW setempat namun mau mengambil peran lebih sebagai
motor perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk itu, umat katolik mau dan iklas
melakukan analisa sosial. Yaitu mencari dan merenungkan apa yang sesungguhnya
dibutuhkan oleh warga sekitar dan hal itu harus diwujudkan bersama.
Contohnya : RT/RW-nya mengalami krisis air bersih maka orang katolik berupaya mengajak
warga membuat sumur resapan/biopori agar saat musim kemarau tidak kesulitan air
bersih.
Contoh lain : apabila banyak warga yang status tanah atau rumahnya belum jelas. Maka
bisa mengupayakan pengajuan pronas sertifikasi tanah kepada pemerintah daerah melalui
kelurahan dan kecamatan.
2. Memahami dan menyadari kembali makna sakramen permandian/baptis secara utuh
dengan menekankan aspek pengutusan atau perutusan terlibat dalam kegiatan atau karya
Gereja.
Jadi jangan salah kaprah, kalo belum ikut KEP atau sekolah iman lainnya lantas merasa
belum saatnya diutus atau terlibat dalam hidup menggereja dan bermasyarakat.
Sejak dibaptis orang katolik wajib hukumnya terlibat di tengah gereja dan masyarakat.
3. Lingkungan/Umat betul-betul memahami dan menghayati makna sesungguhnya tentang
perayaan Ekaristi dan praktek-praktek devosial.
Selama ini, banyak umat yang sekedar mengikuti Ekaristi, lebih berfokus pada tata laksana
dan tata gerak Ekaristi. Tetapi makna yang sesungguhnya tidak pernah dihayati.
Padahal dalam Ekaristi memuat 3 hal penting :
- Membangun persaudaraan. Artinya kita diajak untuk saling mengenal antar umat
Allah. Tidak hanya saling mengenal namun juga saling membantu, berbagi dan
saling mendoakan satu sama lain. Contoh sederhananya saat Salam Damai, tidak
sekedar salaman dengan orang terdekat di bangku kita namun menjabat tangannya
dengan mantap, memandang wajahnya dan mengucapkan salam damai dengan
penuh hikmat.
- Dalam Ekaristi, kita diajak untuk betul-betul mensyukuri karya dan anugrah Allah,
memohon ampun atas segala dosa, merenungkan hidup kita dan memperbarui
komitmen hidup beriman serta dengan penuh hikmat menerima tubuh Kristus
betul-betul sebagai Kristus itu sendiri sehingga kita menjadi pribadi yang siap diutus.
- Wujud perutusan dari Ekaristi adalah mau dan rela menjadi promotor perdamaian,
solidaritas dan mau mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi masyarakat sekitar kita khususnya kemiskinan.
Ini sebabnya mengapa Ekaristi disebut sebagai sumber dan puncak iman kristiani. Jadi
tidak hanya sebatas sebagai kegiatan ritual keagamaan belaka.
Begitu pula dalam praktek-praktek devosional yang diadakan baik di Gereja atau di
lingkungan. Banyak orang katolik yang sebenarnya tidak tahu tujuan dan maksud devosi
tersebut. Yang penting asal ikut demi mewujudkan kesalehan hidup personal. Terlihat rajin
berdoa dan sebagainya. Tetapi tidak tahu mengapa harus mendoakan doa devosi tersebut.
Di Paroki kita belum lama salah satu tokoh kegiatan devosi bercerita kepada saya banyak
anggotanya yang sebenarnya tidak paham mengapa harus mendoakan doa tersebut.
4. Lingkungan/Umat katolik tidak alergi dan mau secara proaktif terlibat dalam pendidikan
iman atau katekese hidup menggereja. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah sering
kali bahasa katekese yang disusun oleh Gereja harus diakui kurang
membumi/menggunakan bahasa yang lebih sederhana. Tetapi bukan berarti lantas tidak
mau secara proaktif mendalami katekese tersebut.
Harus diakui juga baik di level keuskupan maupun paroki, kegiatan liturgis dan devosional
memang lebih banyak peminatnya dibandingkan jika diadakan seminar atau diskusi ajaran
iman. Di level lingkungan, pertemuan APP, BKSN hampir dipastikan lebih sepi peminatnya
dibandingkan dengan ibadat Rosario.
Sampai saat ini memang belum ditemukan resep yang cespleng berkaitan dengan masalah
ini. Namun, saya mengusulkan paroki atau lingkungan mulai mengadakan pendidikan atau
pendalaman iman yang berakar dari pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal iman umat.
Misalnya : di keuskupan Bandung belum lama diadakan seminar tentang “Cara Berpacaran
secara Katolik”, “Realitas Dunia Lain menurut Gereja”, dsb.
Di gereja kita saya mengawali dengan nobar film-film bernafaskan ajaran Gereja.
Mungkin dengan cara-cara baru, makin banyak umat yang mau terlibat.
5. Memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang dapat menjadi pelaku
daya ubah/transformatif di lingkungan yaitu : orang dewasa, keluarga dan kelompok basis
misalnya : ibu-ibu paguyuban lingkungan, arisan bapak-bapak, kelompok pendalaman
iman, dsb.
Sering kali lingkungan/orang katolik mudah berpuas diri dan terjebak pada rutinitas yang
dijalani. Contohnya sing penting ana APP, BKSN, BKL, petemuan rutin, pertemuan ADVEN.
Sing penting tugas koor, tatib dan sebagainya.
Saya mengambil contoh tentang tugas koor. Banyak lingkungan selalu mengeluh yang mau
ikut tugas sedikit. Banyak umat merasa tidak bisa bernyanyi dan banyak alasan lainnya.
Di sini nampak adanya pemahaman yang keliru tentang tugas koor. Pertama, koor adalah
paduan suara. Artinya yang utama adalah memadukan suara. Jadi tidak penting suara
masing-masing anggotanya bagus atau tidak. Yang penting dipadukan. Kita bisa
menyaksikan orang-orang yang menyanyikan lagu Indonesia Raya saat pertandingan sepak
bola di Stadion. Pasti suaranya menggelegar dan menusuk kalbu kita. Mengapa? Padahal
saya yakin suara suporter tidak sebaik suara seorang penyanyi. Dengan memadukan suara,
maka suara yang dihasilkan pasti lebih bagus dan lantang. Tidak ada suara yang lebih
dominan.
Kedua, melalui tugas koor kita diajak melayani Tuhan dan umat-Nya dalam Ekaristi. Jadi ini
adalah pelayanan. Bukan soal bagus tidaknya koor tersebut tetapi sejauh mana kesediaan
kita mau melayani Allah dan umat Allah.
Ketiga, sering kita terjebak pada paradigma bahwa koor harus SATB. Padahal banyak koor
dengan berbagai jenis suara (SATB) menyanyikan lagu tanpa penghayatan dan paham isi
lagu tersebut karena lebih berfokus pada not dan suara lagu tersebut. Tanpa harus SATB,
asal lagu tersebut dinyanyikan dengan penuh penghayatan, saya jamin suara yang
dihasilkan akan jauh lebih baik. Karena itu, saya lebih sering mendorong anggota koor
untuk memahami dan merefleksikan terlebih dahulu lagu-lagu yang akan dinyanyikan
daripada terburu-buru berbanyi dengan berbagai jenis suara (SATB).
6. Secara proaktif lingkungan/umat katolik mengembangkan solidaritas sosial. Tanda yang
paling gampang adalah apakah di lingkungan ada PSE lingkungan, ada karya sosial
lingkungan yang rutin diadakan? Paroki dan kevikepan memiliki program PSE. Apakah
lingkungan proaktif memanfaatkan program2 PSE untuk membebaskan orang miskin dari
belenggu kemiskinan mereka? Contoh lain apakah di lingkungan rutin diadakan kolekte
khusus untuk dana pendidikan, dana orang miskin dkk. bentuk pengumpulan kolekte tidak
sebatas dalam bentuk mata uang, bisa memanfaatkan barang bekas/rongsok, bisa juga
jualan barang atau jasa.
7. Lingkungan/umat katolik memiliki dan menghidupi spiritualitas inkarnatoris.
Sederhananya adalah umat katolik mau terjun dalam permasalahan sosial, politik,
ekonomi, pendidikan dan budaya demi terciptanya kesejahteraan umum.
8. Lingkungan/umat katolik peka dan tidak alergi terhadap data lingkungan. Selalu
memperhatikan data lingkungan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun agenda
atau kegiatan lingkungan.
Contohnya di lingkungan ada 3 orang manula yang selalu menerima kunjungan komuni
suci. Maka umat lingkungan berinisiatif secara rutin dan bergantian menemani prodiakon
memberikan komuni suci tersebut sebagai bentuk kunjungan dan sapaan umat.
9. Lingkungan/umat katolik tidak bermental minoritas yang selalu pasrah dan pasif karena
jumlah umat yang sedikit. Saya mengutip kata-kata bung Karno, “berikan aku 10 pemuda,
maka akan kugonjang dunia.” Slogan ini menyadarkan kita untuk tidak gentar dan merasa
tidak ada orang apabila jumlah umat di lingkungan kita sedikit. Daya ubah/transformasi
tidak menggantungkan pada jumlah umat tetapi kehendak dan tekad kuat dari umat yang
ada untuk membangun perubahan.
Selama ini kita gampang mengeluh jika umat yang hadir sedikit dan sebagainya sehingga
kegiatan diadakan seadanya dan tanpa persiapan yang baik. Akhirnya malah nglokro,
lemah tak berdaya.
Padahal jika, merujuk pada Injil Matius 18 : 19 – 20 Aku berkata kepadamu: Jika dua orang
dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan
dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul
dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."
Sering kali kita lupa, walaupun sedikit umat yang terlibat atau hadir, Tuhan kita Yesus
Kristus turut hadir dalam pertemuan atau kegiatan tersebut. Kita lupa bahwa DIA selalu
beserta kita.
Semoga tulisan singkat ini dapat membantu dalam pertemuan adven di lingkungan.
Matur nuwun lan berkah dalem.

Rokhadi Ariawan, St.

Anda mungkin juga menyukai