Anda di halaman 1dari 6

Bacaan Wajib:

Chupungco, Anscar J.. (ed). Handbook for Liturgical Studies: Introduction to the Liturgy (I, 1997); Fundamental
Liturgy (II, 1998); Liturgical Time and Space (V, 2000). Collegeville, MN: The Liturgical Press.
Da Cunha, Bosco. Merayakan Karya Keselamatan dalam Kerangka Tahun Liturgi. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1992 (dicetak ulang oleh Penerbit Obor, Jakarta).
Foley, Edward. From Age to Age: How Christians Have Celebrated the Eucharist. Revised and Expanded Edition.
Chicago: Liturgy Training Publications, 2008. 
Takhta Suci Vatikan. “Bagian Dua: Perayaan Misteri Kristen” dalam Katekismus Gereja Katolik. Propinsi
Gerejani Ende, 1995, hlm. 303-451.

Bacaan Anjuran:

Chupungco, Anscar J.. What, Then, Is Liturgy? Musings and Memoir. Collegeville, MN: The Liturgical Press,
2010.
Wainwright, Geoffrey and Westerfield Tucker, Karen B. (ed). The Oxford History of Christian Worship. Oxford: 
Oxford University Press, 2006.
Reid OSB, Alcuin. The Organic Development of the Liturgy. Hants: Saint Michael’s Abbey Press, 2004.
Torevell, David. Losing the Sacred: Ritual, Modernity, and Liturgical Reform. Edinburg: T&T Clark, 2000.

SEKELUMIT TENTANG LITURGI


1. Definisi liturgi 
Secara etimologis asal kata “liturgi” adalah dari bahasa Yunani leitourgia, paduan kata-kata leit (dari
leios-laos = bangsa/rakyat) berarti “publik/umum”, dan ergon (dari ergatsomai = bekerja) berarti
“karya”. Maka, bisa diartikan sebagai “karya untuk publik” atau “karya publik”. Kata leitourgein (kata
kerja) sendiri berarti “melaksanakan tugas-tugas umum dalam kota/negara”. Dalam bahasa Latin,
leitourgia diartikan sebagai opus plebis/populi (karya rakyat/umat). Lama kelamaan diterjemahkan
dengan opus Dei, maknanya: karya Allah yang menebus manusia, dan karya manusia yang memuliakan
Allah.
2. Penggunaan dan maknanya
a. Sipil: Dalam kultur Yunani klasik, liturgi adalah pelayanan publik atau darma bakti rakyat (bdk.
kerja bakti) kepada bangsa sebagai suatu kesatuan sosial-politik. Dua bidang utama: perpajakan
dan kultus dewa-dewi. Bagian dari ciri demokrasi ala Yunani. Kini, untuk menunjukkan
“pelayanan kerja wajib” atau “pelayanan umum”.
b. Kultus-religius: Digunakannya tak sebanyak dalam kalangan sipil. Arti teknis dari “kegiatan
publik”. Liturgi adalah ritus religius yang bersifat publik (1) sebagai kewajiban: upacara di kuil
untuk dewa-dewi; (2) sebagai pelayanan umum sukarela. “Publik” sebagai arti teknis pertama
hilang dan muncul arti teknis kedua: “pelayanan kultik kepada Allah yang diwajibkan”.
c. Kitab Suci: [1] Dalam Septuaginta (LXX, Perjanjian Lama berbahasa Yunani) “liturgi” dipakai 170
kali dengan berbagai bentukan kata (leitourgia-leitourgein-leitourgeima-leitourgeisimos-
leitourgikos-leitourgos). Ini terjemahan dari bahasa Ibrani sherèt (pelayanan dalam keluarga)
atau ‘abhàd-‘abhodàh (pelayanan umum/budak/pekerjaan). Untuk menggambarkan kultus
pemujaan kaum Levi diterjemahkan dengan leitourgein-leitourgia. Untuk yang dilakukan oleh
umat dengan latreuien-latreia, douleuein-douleia. Dalam LXX “liturgi” dipakai sebagai istilah
teknis untuk menunjukkan “kultus imami”, upacara/ritus tertentu yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh kelompok para imam (Levi), suatu lembaga ilahi. [2] Dalam Perjanjian Baru
kata-kata leitourgein (kata kerja) - leitourgia (kata benda-hal) - leitourgos (kata benda-orang)
muncul 15 kali. 
d. Tradisi kristen: Para penulis kristen perdana  mempertahankan makna kultik liturgi. Didache 15,1
menegaskan bahwa para uskup dan diakon juga mempraktikkan leitourgia para nabi. Tradisi
Apostolik menyebut 10 kali bahwa tahbisan klerus adalah propter liturgiam. Bagi Gereja Timur
liturgi adalah ritus-ritus suci pada umumnya, dan perayaan ekaristi pada khususnya (liturgi St.
Yohanes Krisostomus, St. Basilius, St. Yakobus, St. Markus, dsb). Gereja Latin (Barat)
menggunakan istilah officia divina, opus divinum, sacri/ecclesiae ritus. Kata Latin liturgia dalam
konteks Misa baru muncul pada abad XVI.  
3. Liturgi dalam Dokumen-dokumen Gereja 
a. Ensiklik Paus Pius XII Mediator Dei   (20 Nov. 1947) mendefinisikan liturgi sebagai ibadat umum
kepada Bapa yang dipimpin oleh Kristus sebagai kepala Gereja. Liturgi bukanlah kulit luar ibadat
ilahi. Juga, bukan kumpulan aturan dan petunjuk wajib dari hirarki Gereja. Liturgi adalah ibadat
umum Tubuh Mistik Kristus dalam persatuan antara kepala dan anggotanya (25). 
b. Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi tentang liturgi  Sacrosanctum Concilium (4 Des. 1963),
menegaskan lagi: liturgi adalah pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, di situ pengudusan
manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yahg khas bagi
masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus
Kristus, yakni Kepala beserta para anggotanya. Oleh karena itu, setiap perayaan liturgis, sebagai
karya Kristus Sang Imam serta tindakan Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa.
Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta
dalam tingkatan yang sama (7)

4. Liturgi dalam Katekismus Gereja Katolik (1993)


Liturgi dan sakramen dipaparkan pada “Bagian II: Perayaan Misteri Kristen” dalam buku Katekismus
Gereja Katolik. Pada hakikatnya pemaparan tentang liturgi dan sakramen itu dijiwai semangat dan
ajaran Konsili Vatikan II, khususnya yang sudah dituangkan dalam Sacrosanctum Concilium. Pengantar
Bagian II menjelaskan makna umum liturgi itu sendiri: [1066] Mengapa liturgi?; [1068] Apa arti kata
“liturgi”?; [1071] Liturgi sebagai sumber kehidupan; [1073] Doa dan liturgi; [1074] Katekese dan liturgi.
Pada Seksi 1 (“Tata Keselamatan Sakramental”) dijelaskan “pemberian sakramental” (Bab 1) juga
tentang kodrat dan ciri-ciri hakiki perayaan liturgis (Bab 2).
Dalam Bab I dibahas liturgi sebagai karya Tritunggal Mahakudus dan misteri Paska dalam sakramen-
sakramen Gereja. Bapa adalah asal dan tujuan liturgi. Di dalam liturgi Ia dipuja dan disembah sebagai
asal mula segala berkat ciptaan dan keselamatan. Dengan liturgi Ia memberkati kita dalam Putera-Nya,
supaya memberikan kepada kita Roh untuk menjadi anak-anak angkat-Nya. Misteri keselamatan Kristus
menjadi nyata dalam liturgi berkat kekuatan Roh Kudus. Maka, perbuatan Kristus di dalamnya bersifat
sakramental. Roh Kudus mempersiapkan kita untuk bertemu dengan Kristus. Dalam liturgi itu kita
mengenangkan dan menyaksikan Kristus dalam iman. Roh Kudus itu menghadirkan karya keselamatan
Kristus supaya mengubah dan menghasilkan  buah persekutuan dalam Gereja [1110-1112]. Seluruh
kehidupan liturgi Gereja berkisar di sekeliling kurban Ekaristi dan Sakamen-sakramen yang ditetapkan
oleh Yesus Kristus sendiri [1113-1114]. Sakramen-sakramen itu dimaksudkan untuk menguduskan
manusia, membangun Tubuh Mistik Kristus, dan untuk mempersembahkan ibadat kepada Allah. Sebagai
tanda, sakramen dimaksudkan untuk mendidik. Selain harus mengandaikan iman, sakramen juga
memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan tindakan [1123, SC 59]. Ritus
yang tampak dalam perayaan sakramental menyatakan dan menghasilkan rahmat [1131]. 
Bab II bicara soal katekese dasar liturgi sakramen-sakramen (“Perayaan Sakramental Misteri Paska”).
Liturgi dirayakan oleh siapa, bagaimana, kapan, dan di mana? Ini pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
mau dijawab. Sebagai suatu “kegiatan” dari “Kristus paripurna” (Christus totus) liturgi kita adalah bentuk
partisipasi dalam liturgi surgawi. Liturgi surgawi adalah liturgi para kudus, suatu persekutuan dan pesta
yang sempurna [1136]. Liturgi kita atau perayaan misteri keselamatan dalam sakramen-sakramen
dimungkinkan oleh Roh Kudus untuk ambil bagian dalam liturgi surgawi. Yang merayakan liturgi
sakramen-sakramen adalah jemaat, Tubuh yang bersatu dengan Kristus, Sang Kepala. Mereka adalah
orang-orang yang dibaptis. Liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan bersama dari
Gereja sebagai kesatuan, yakni umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup [1140]. 
Liturgi itu dirayakan dengan menggunakan tanda dan simbol, entah dari Kitab Suci maupun dari
dunia pengalaman manusia sehari-hari. Yesus sendiri menggunakan dan menjelaskan arti tanda/simbol
itu. Sejak Pentakosta, Roh Kudus menguduskan dunia melalui tanda-tanda sakramental Gereja-Nya,
yang melambangkan dan melaksanakan keselamatan yang diperoleh Kristus. Tanda-tanda itu
menggambarkan lebih dahulu kemuliaan surga dan dalam arti tertentu mengantisipasinya [1145-1152].
Liturgi adalah suatu pertemuan anak-anak Allah dengan Bapanya. Maka, ada unsur dialog, yang
mendapat perwujudannya dalam perkataan dan perbuatan. Sebagai pengajaran dan tanda, serta
perwujudan dari yang diartikan, perkataan dan perbuatan tak dapat dipisahkan [1153-1155]. Musik
merupakan salah satu unsur tradisi liturgi kita. Musik akan semakin baik memenuhi fungsinya sebagai
tanda sejauh erat dihubungkan dengan kegiatan  liturginya. Maka, perlu diperhatikan: keindahan
ungkapan doa, keikutsertaan jemaat yang serasi pada waktu yang sudah ditentukan, dan sifat perayaan
yang semarak. Musik pun akan melayani tujuan perkataan dan perbuatan liturgis, yakni: pemuliaan Allah
dan pengudusan umat beriman [1156-1158]. Selain keindahan auditif lewat musik, liturgi juga
memerlukan keindahan visual yang tampil dalam gambar-patung kudus dan tata artistik lainnya [1159-
1162]. 
Semua itu dimaksudkan untuk menuntun kita sampai pada Sang Keindahan Sejati. Liturgi mengisi
hari-hari atau saat-saat hidup kita. Maka, ada yang disebut masa liturgi, hari Tuhan, tahun liturgi,
peringatan orang kudus dalam tahun liturgi, dan ibadat harian [1163-1178]. Kegiatan umat beriman ini
dilaksanakan dalam lingkup spasial tertentu. Kebersamaan umat beriman sudah merupakan tanda
kehadiran Kristus. Keberadaan dalam suatu tempat sungguh membantu terwujudnya kegiatan liturgi,
sekaligus mencitrakan siapa yang merayakannya. Maka, gereja (gedung/ruang) sebaiknya adalah citra
visual dari Gereja (umat) [1179-1186]. 
Seksi II Bagian II berbicara tentang ketujuh Sakramen Gereja. Berturut-turut dibahas (I) Sakramen-
sakramen Inisiasi Kristen: Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi [1212-1419]; (II) Sakramen-sakramen
Penyembuhan: Tobat dan Perdamaian; Pengurapan Orang Sakit [1420-1532]; (III) Sakramen-sakramen
Pelayanan untuk Persekutuan: Tahbisan, Perkawinan [1533-1666]. Ada juga penjelasan tentang (IV)
Perayaan Liturgi yang Lain: Sakramentali [1667-1679] dan Pemakaman Kristen [1680-1690].
Sakramentali adalah tanda-tanda khusus yang diadakan oleh Gereja, yang ditentukan untuk
mempersiapkan manusia supaya menerima buah-buah Sakramen dan supaya menguduskan berbagai
keadaan hidup. Misalnya, pemberkatan-pemberkatan, yang merupakan pujian kepada Allah dan
permohonan Gereja untuk manusia. 
Selain liturgi sakramental dan sakramentali, umat juga hidup dengan beraneka ragam bentuk
kesalehan populer dan religiositas rakyat yang berakar dalam berbagai kebudayaan. Gereja berusaha
menjelaskan kesalehan praktik-praktik itu melalui terang iman. Perayaan pemakaman kristen mengantar
umat kepada persatuan dengan Kristus dalam kebangkitan-Nya. Perayaan itu sendiri tidak memberi
Sakramen ataupun sakramentali kepada orang yang mati, karena ia berada di luar tata rahmat
sakramental. Namun perayaannya masih termasuk liturgi [1684].  

5. Rumpun-rumpun liturgi
a. Rumpun liturgi Timur
Rumpun liturgi Timur tumbuh dari liturgi-liturgi yang berkembang dan menjadi standar baik di kota-
kota besar maupun pusat-pusat administrasi jurisdiksi gerejawi dalam wilayah kekaisaran Romawi atau
di Gereja-gereja pertama yang didirikan di luar kekaisaran. Konsili Nisea (325) sudah mengakui status
Gereja-gereja Timur, seperti Aleksandria, Antiokia, Aelia. Konsili Konstantinopel (381) menganugerahkan
primat Gereja Timur pada Konstantinopel, ibukota kekaisaran yang baru, dengan Konstantinus sebagai
kaisarnya (11 Mei 330). Pada pertengahan-abad kelima pusat-pusat Gereja dan liturgi berada di
kekaisaran Romawi Timur, yakni di Aleksandria, Antiokia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Hingga saat ini
masih hidup beberapa ritus (liturgi) dari Gereja Timur. Rumpun Aleksandria mencakup ritus Koptik
(Mesir) dan Etiopia. Rumpun Antiokia atau Siria Barat meliputi ritus Siro-Antiokia dan Maronit (Siria),
serta Malankara (India). Rumpun Persia atau Siro-Timur meliputi ritus Asiria atau Kaldea, dan Malabar
(India). Beberapa rumpun lain adalah Bizantin dan Armenia.
b. Rumpun liturgi Barat
Rumpun liturgi Barat meliputi ritus Roma, Afrika, Ambrosian, Hispanik, Galikan, dan Keltik. Namun
yang masih langgeng hingga saat ini adalah ritus Roma dan Ambrosian. Ritus Roma dianut oleh banyak
umat katolik di Eropa Barat, Afrika, Amerika, Asia, Australia. Ritus Ambrosian sendiri hanya terawat di
Keuskupan Agung Milan, Italia. Sebenarnya ritus Hispanik (Visigotik, Mozarabik) pun masih bisa kita lihat
di Kapel Corpus Christi di Toledo, Spanyol. Di samping semua itu ternyata pernah ada beberapa ritus di
Gereja Barat yang tidak memiliki struktur penuh dan miskin dokumentasinya, misalnya liturgi Aquileia di
Italia. 
6. Liturgiologi
Ilmu tentang liturgi atau liturgiologi (scientia liturgica, liturgiology, liturgical studies) adalah salah satu
ilmu pengetahuan yang juga mensyaratkan iman. Sebelum dijadikan objek studi (teori), liturgi adalah
suatu ungkapan hidup (praktik). Ilmu ini mempelajari liturgi, untuk membedakan liturgi sebagai
ritus/upacara/perayaan itu sendiri. Objek pembahasannya adalah ritus, teks, simbol, tindakan dan
segala sesuatu yang dipakai dalam kegiatan liturgis. Tujuannya untuk memberikan pemahaman
mendalam dan sistematik tentang liturgi. Liturgiologi juga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain:
arkeologi, teologi, antropologi, psikologi, sosiologi, semiologi, linguistik, arsitektur, estetika,
fenomenologi, etnologi, sejarah, hukum Gereja, dll. Yang terutama adalah sejarah dan teologi.
Metodenya adalah penelitian historis dan perbandingan ritus-ritus yang pernah ada sepanjang sejarah
liturgi Gereja. Segala harta liturgi ditelaah supaya dapat dipahami dan dihayati oleh segenap kaum
beriman (tujuan pastoral). Maka, pemahaman akan liturgi pertama-tama diperoleh melalui mengalami
liturgi dalam iman, lalu dibantu dengan pengetahuan ilmiahnya. Orang yang ahli di bidang ini biasa
disebut “liturgis” (liturgista, liturgist). Secara puitis bisa mengimbangi istilah “liturgos” (liturgo), sebutan
untuk semua pelaku kegiatan liturgis. 
Sumber-sumber untuk studi liturgi ini meliputi:
a. Dari jaman para Rasul: Kitab Suci PB, tapi bukan uraian sistematik, cuma informasi bahwa ibadat
kristiani awal berbeda dengan kultus Yahudi dan Yunani. Ada informasi tentang unsur-unsur
perayaan ekaristi, penerimaan sakramen-sakramen, pemberkatan, penumpangan tangan, dsb.
b. Tulisan para Bapa Gereja: Abad I: Didache (petunjuk perayaan ekaristi, pembaptisan, hari-hari
puasa, dsb), surat-surat dari Clemens I, Ignasius, Pastor Hermas, surat kepada Diognetus; Abad
II: Apologia (uraian misa) dari Yustinus Martir; Abad III: Traditio Apostolica (ritus di Roma:
upacara baptis dan Canon Missa) dari Hippolitus; tentang kebiasaan-kebiasaan   di Gereja Afrika
dari Tertulianus, Siprianus, Origenes; Abad III-IV: Didascalia Apostolorum, Constitutio Apostolica,
Peregrinatio Aetheriae; Abad V: tulisan-tulisan kateketik De Sacramentis, De Mysteriis dari
Ambrosius, De Catechizandis Rudibus, De Symbolo dari Agustinus dan beberapa tulisan lain dari
Sirilus dari Yerusalem. Pada masa-masa inilah “pelajaran” liturgi diberikan dalam homili, atau
penjelasan mistagogis tentang sakramen inisiasi selama peka Paska. 
c. Buku-buku liturgis (libri liturgici) yang mulai muncul sekitar abad VI-VII: Ordo Missae (Papalis,
Gothicum, Francorum, Bobbio), Sacramentarium (Verona, Gelasianum, Gregorianum,
Gallicanum), Libelli, Ordines Romani, dsb. Buku-buku ini dipakai dalam perayaan liturgi, yang
selain menyajikan teks-teks doa juga memberi petunjuk aksi dan simbol-simbol yang digunakan
dalam perayaan. Buku-buku ini ditujukan terutama untuk para petugas liturgis. Pada Abad
Pertengahan ada lebih dari seratus judul buku liturgis muncul dalam bentuk manuskrip.
Kategorisasinya: Sacramentarium, Lectionarium, Anthiphonarium, Graduale, Antiphonale,
Responsale, Psalterium, Hymnarium, Ordines, Pontificale, Martyriologium, Liber Manualis, dll.
Dalam masa ini masih belum ada keseragaman berliturgi.          Sejak Konsili Trente (XVI), untuk
menjaga kesatuan umat katolik maka diterbitkan editiones typicae yang ad litteram diwajibkan
untuk seluruh Gereja, ditetapkan oleh Kongregasi Ritus Suci. Inilah fiksasi yang menyebabkan
liturgi kehilangan kontak dengan perkembangan-perkembangan dalam teologi dan eksegese.
Pada abad XX muncul dokumen-dokumen Konsili dan pasca-Vatikan II, buku-buku
liturgis/direvisi yang dimandatkan oleh Konsili atau sebagai pelaksanaan Konstitusi
Sacrosanctum Concilium, buku-buku ilmiah tentang liturgi dari para pakar, dan majalah-majalah
liturgi yang bermunculan dalam berbagai bahasa di berbagai negara. 

YANG LITURGIS DAN YANG TIDAK LITURGIS


Tolok ukur untuk menilai perayaan yang “liturgis atau kurang/tidak liturgis”. Formulanya begini: “Liturgi
adalah suatu tindakan bersama yang suci, simbolis, dan resmi.” Kelima unsur atau ciri (tindakan,
bersama, suci, simbolis, resmi) itu saling melengkapi dan membangun satu pemahaman tentang
“perayaan liturgi”. Apa saja isi dari setiap unsur atau kata itu?
a. Tindakan (dimensi antropologis): Kita adalah manusia pilihan Allah, pengikut Kristus. Dalam
merayakan liturgi, kita sebagai manusia selalu melibatkan unsur ketubuhan, termasuk
kemampuan inderawi yang berfungsi baik dan harus dioptimalkan. Liturgi bukan hanya
berkepentingan dengan aspek kerohanian dan kejiwaan, justru aspek ragawi amat penting dan
perlu dipadukan dengan kedua aspek lainnya. Kita telah menerima segala kemampuan
manusiawi dalam diri kita dari Allah, maka semua aspek dalam diri itu kita “giatkan” untuk
memuliakan Allah pula. Partisipasi hanya mungkin bila kita mengaktifkan seluruh aspek
kemanusiaan kita itu  (participatio actuosa). Dalam liturgi, kita harus bertindak, berkegiatan
(Yunani: ourgia,  ergon, ergatsomai). Sesuai dengan perintah Yesus sendiri: “Lakukanlah…”  
b. Bersama (dimensi eklesiologis): Liturgi bukan kegiatan individual, melainkan komunal; adalah
karya umat secara bersama (opus plebis, opus publicum). Umat beriman (Gereja) berkumpul
untuk menghadirkan Kristus, dan menjadi satu dalam tubuh Kristus.  Dalam kebersamaan itu
umat beriman atau Gereja merupakan tubuh dan Kristus adalah kepalanya (Tubuh Mistik
Kristus). Kebersamaan itu membangun kebersatuan. Kebersamaan dan kebersatuan tidak
hanya dengan umat pada ruang di sini dan masa kini (hic et nunc), tapi juga dengan Gereja
masa lampau dan masa mendatang. Liturgi dirayakan berdasarkan tradisi apostolis yang
menjadi pijakan bagi tradisi liturgis Gereja dari masa ke masa. 

c. Suci (dimensi teologis): Liturgi bukan sekedar tindakan bersama yang manusiawi, namun juga
sekaligus telah menjadi peristiwa ilahi, yang duniawi bertemu dengan yang surgawi. Tujuan
berliturgi adalah untuk memuliakan Allah (glorifikasi) dan menguduskan manusia (santifikasi).
Karena menjalin relasi dan komunikasi dengan Yang Ilahi, maka liturgi menjadi peristiwa yang
suci. Liturgi itu suci, karena Allah sendiri hadir melalui pengenangan misteri Paskah
(anamnesis).

d. Simbolis (dimensi estetis): Peristiwa ilahi dan suci itu dirasakan berkat upaya manusia juga. Dari
dunia lahiriah diciptakanlah tanda-tanda dan lambang-lambang (sakramen), maka liturgi
menjadi peristiwa simbolis. Tanda dan simbol itu diwujudkan dengan memanfaatkan kekayaan
pengalaman dan kreativitas manusia dalam dunia atau lingkungannya (ekspresi artistik dan
kultural). Maka ada simbol yang bersifat material (air, roti, anggur, dsb), tekstual (doa,
nyanyian), dan personal (pelayan, umat). Setiap unsur simbolis itu diperlakukan masing-masing
dengan cara khasnya. Keterpaduan aneka unsur simbolis hendaknya ditampilkan dengan
mengutamakan nilai estetisnya, daripada sekedar nilai fungsionalnya. Ekspresi simbolis dan
artistik itu perlu diberi bobot dengan semangat “kesederhanaan nan luhur” (noble simplicity)
yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II. 

e. Resmi (dimensi yuridis): Liturgi adalah doa resmi Gereja. Umat beriman wajib merayakan liturgi,
khususnya Perayaan Ekaristi. Inilah yang membedakan liturgi dengan kegiatan ritual-spiritual
lainnya (devosi, kesalehan umat, ulah kesalehan). Sebagai doa resmi, maka Gereja mengaturnya
agar keempat unsur di atas terjamin atau dapat dilaksanakan secara benar, baik, dan indah.
Penerbitan buku-buku liturgis resmi oleh Takhta Apostolik (editio typica) hendak menjaga
kesatuan dan keutuhan Gereja (unitas – universalitas), juga mengupayakan keterpaduan antara
apa yang diimani dengan apa yang didoakan, dan bagaimana liturgi bisa memperkaya
penghayatan iman (lex credendi – lex orandi). 

Anda mungkin juga menyukai