Chupungco, Anscar J.. (ed). Handbook for Liturgical Studies: Introduction to the Liturgy (I, 1997); Fundamental
Liturgy (II, 1998); Liturgical Time and Space (V, 2000). Collegeville, MN: The Liturgical Press.
Da Cunha, Bosco. Merayakan Karya Keselamatan dalam Kerangka Tahun Liturgi. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1992 (dicetak ulang oleh Penerbit Obor, Jakarta).
Foley, Edward. From Age to Age: How Christians Have Celebrated the Eucharist. Revised and Expanded Edition.
Chicago: Liturgy Training Publications, 2008.
Takhta Suci Vatikan. “Bagian Dua: Perayaan Misteri Kristen” dalam Katekismus Gereja Katolik. Propinsi
Gerejani Ende, 1995, hlm. 303-451.
Bacaan Anjuran:
Chupungco, Anscar J.. What, Then, Is Liturgy? Musings and Memoir. Collegeville, MN: The Liturgical Press,
2010.
Wainwright, Geoffrey and Westerfield Tucker, Karen B. (ed). The Oxford History of Christian Worship. Oxford:
Oxford University Press, 2006.
Reid OSB, Alcuin. The Organic Development of the Liturgy. Hants: Saint Michael’s Abbey Press, 2004.
Torevell, David. Losing the Sacred: Ritual, Modernity, and Liturgical Reform. Edinburg: T&T Clark, 2000.
5. Rumpun-rumpun liturgi
a. Rumpun liturgi Timur
Rumpun liturgi Timur tumbuh dari liturgi-liturgi yang berkembang dan menjadi standar baik di kota-
kota besar maupun pusat-pusat administrasi jurisdiksi gerejawi dalam wilayah kekaisaran Romawi atau
di Gereja-gereja pertama yang didirikan di luar kekaisaran. Konsili Nisea (325) sudah mengakui status
Gereja-gereja Timur, seperti Aleksandria, Antiokia, Aelia. Konsili Konstantinopel (381) menganugerahkan
primat Gereja Timur pada Konstantinopel, ibukota kekaisaran yang baru, dengan Konstantinus sebagai
kaisarnya (11 Mei 330). Pada pertengahan-abad kelima pusat-pusat Gereja dan liturgi berada di
kekaisaran Romawi Timur, yakni di Aleksandria, Antiokia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Hingga saat ini
masih hidup beberapa ritus (liturgi) dari Gereja Timur. Rumpun Aleksandria mencakup ritus Koptik
(Mesir) dan Etiopia. Rumpun Antiokia atau Siria Barat meliputi ritus Siro-Antiokia dan Maronit (Siria),
serta Malankara (India). Rumpun Persia atau Siro-Timur meliputi ritus Asiria atau Kaldea, dan Malabar
(India). Beberapa rumpun lain adalah Bizantin dan Armenia.
b. Rumpun liturgi Barat
Rumpun liturgi Barat meliputi ritus Roma, Afrika, Ambrosian, Hispanik, Galikan, dan Keltik. Namun
yang masih langgeng hingga saat ini adalah ritus Roma dan Ambrosian. Ritus Roma dianut oleh banyak
umat katolik di Eropa Barat, Afrika, Amerika, Asia, Australia. Ritus Ambrosian sendiri hanya terawat di
Keuskupan Agung Milan, Italia. Sebenarnya ritus Hispanik (Visigotik, Mozarabik) pun masih bisa kita lihat
di Kapel Corpus Christi di Toledo, Spanyol. Di samping semua itu ternyata pernah ada beberapa ritus di
Gereja Barat yang tidak memiliki struktur penuh dan miskin dokumentasinya, misalnya liturgi Aquileia di
Italia.
6. Liturgiologi
Ilmu tentang liturgi atau liturgiologi (scientia liturgica, liturgiology, liturgical studies) adalah salah satu
ilmu pengetahuan yang juga mensyaratkan iman. Sebelum dijadikan objek studi (teori), liturgi adalah
suatu ungkapan hidup (praktik). Ilmu ini mempelajari liturgi, untuk membedakan liturgi sebagai
ritus/upacara/perayaan itu sendiri. Objek pembahasannya adalah ritus, teks, simbol, tindakan dan
segala sesuatu yang dipakai dalam kegiatan liturgis. Tujuannya untuk memberikan pemahaman
mendalam dan sistematik tentang liturgi. Liturgiologi juga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain:
arkeologi, teologi, antropologi, psikologi, sosiologi, semiologi, linguistik, arsitektur, estetika,
fenomenologi, etnologi, sejarah, hukum Gereja, dll. Yang terutama adalah sejarah dan teologi.
Metodenya adalah penelitian historis dan perbandingan ritus-ritus yang pernah ada sepanjang sejarah
liturgi Gereja. Segala harta liturgi ditelaah supaya dapat dipahami dan dihayati oleh segenap kaum
beriman (tujuan pastoral). Maka, pemahaman akan liturgi pertama-tama diperoleh melalui mengalami
liturgi dalam iman, lalu dibantu dengan pengetahuan ilmiahnya. Orang yang ahli di bidang ini biasa
disebut “liturgis” (liturgista, liturgist). Secara puitis bisa mengimbangi istilah “liturgos” (liturgo), sebutan
untuk semua pelaku kegiatan liturgis.
Sumber-sumber untuk studi liturgi ini meliputi:
a. Dari jaman para Rasul: Kitab Suci PB, tapi bukan uraian sistematik, cuma informasi bahwa ibadat
kristiani awal berbeda dengan kultus Yahudi dan Yunani. Ada informasi tentang unsur-unsur
perayaan ekaristi, penerimaan sakramen-sakramen, pemberkatan, penumpangan tangan, dsb.
b. Tulisan para Bapa Gereja: Abad I: Didache (petunjuk perayaan ekaristi, pembaptisan, hari-hari
puasa, dsb), surat-surat dari Clemens I, Ignasius, Pastor Hermas, surat kepada Diognetus; Abad
II: Apologia (uraian misa) dari Yustinus Martir; Abad III: Traditio Apostolica (ritus di Roma:
upacara baptis dan Canon Missa) dari Hippolitus; tentang kebiasaan-kebiasaan di Gereja Afrika
dari Tertulianus, Siprianus, Origenes; Abad III-IV: Didascalia Apostolorum, Constitutio Apostolica,
Peregrinatio Aetheriae; Abad V: tulisan-tulisan kateketik De Sacramentis, De Mysteriis dari
Ambrosius, De Catechizandis Rudibus, De Symbolo dari Agustinus dan beberapa tulisan lain dari
Sirilus dari Yerusalem. Pada masa-masa inilah “pelajaran” liturgi diberikan dalam homili, atau
penjelasan mistagogis tentang sakramen inisiasi selama peka Paska.
c. Buku-buku liturgis (libri liturgici) yang mulai muncul sekitar abad VI-VII: Ordo Missae (Papalis,
Gothicum, Francorum, Bobbio), Sacramentarium (Verona, Gelasianum, Gregorianum,
Gallicanum), Libelli, Ordines Romani, dsb. Buku-buku ini dipakai dalam perayaan liturgi, yang
selain menyajikan teks-teks doa juga memberi petunjuk aksi dan simbol-simbol yang digunakan
dalam perayaan. Buku-buku ini ditujukan terutama untuk para petugas liturgis. Pada Abad
Pertengahan ada lebih dari seratus judul buku liturgis muncul dalam bentuk manuskrip.
Kategorisasinya: Sacramentarium, Lectionarium, Anthiphonarium, Graduale, Antiphonale,
Responsale, Psalterium, Hymnarium, Ordines, Pontificale, Martyriologium, Liber Manualis, dll.
Dalam masa ini masih belum ada keseragaman berliturgi. Sejak Konsili Trente (XVI), untuk
menjaga kesatuan umat katolik maka diterbitkan editiones typicae yang ad litteram diwajibkan
untuk seluruh Gereja, ditetapkan oleh Kongregasi Ritus Suci. Inilah fiksasi yang menyebabkan
liturgi kehilangan kontak dengan perkembangan-perkembangan dalam teologi dan eksegese.
Pada abad XX muncul dokumen-dokumen Konsili dan pasca-Vatikan II, buku-buku
liturgis/direvisi yang dimandatkan oleh Konsili atau sebagai pelaksanaan Konstitusi
Sacrosanctum Concilium, buku-buku ilmiah tentang liturgi dari para pakar, dan majalah-majalah
liturgi yang bermunculan dalam berbagai bahasa di berbagai negara.
c. Suci (dimensi teologis): Liturgi bukan sekedar tindakan bersama yang manusiawi, namun juga
sekaligus telah menjadi peristiwa ilahi, yang duniawi bertemu dengan yang surgawi. Tujuan
berliturgi adalah untuk memuliakan Allah (glorifikasi) dan menguduskan manusia (santifikasi).
Karena menjalin relasi dan komunikasi dengan Yang Ilahi, maka liturgi menjadi peristiwa yang
suci. Liturgi itu suci, karena Allah sendiri hadir melalui pengenangan misteri Paskah
(anamnesis).
d. Simbolis (dimensi estetis): Peristiwa ilahi dan suci itu dirasakan berkat upaya manusia juga. Dari
dunia lahiriah diciptakanlah tanda-tanda dan lambang-lambang (sakramen), maka liturgi
menjadi peristiwa simbolis. Tanda dan simbol itu diwujudkan dengan memanfaatkan kekayaan
pengalaman dan kreativitas manusia dalam dunia atau lingkungannya (ekspresi artistik dan
kultural). Maka ada simbol yang bersifat material (air, roti, anggur, dsb), tekstual (doa,
nyanyian), dan personal (pelayan, umat). Setiap unsur simbolis itu diperlakukan masing-masing
dengan cara khasnya. Keterpaduan aneka unsur simbolis hendaknya ditampilkan dengan
mengutamakan nilai estetisnya, daripada sekedar nilai fungsionalnya. Ekspresi simbolis dan
artistik itu perlu diberi bobot dengan semangat “kesederhanaan nan luhur” (noble simplicity)
yang ditekankan oleh Konsili Vatikan II.
e. Resmi (dimensi yuridis): Liturgi adalah doa resmi Gereja. Umat beriman wajib merayakan liturgi,
khususnya Perayaan Ekaristi. Inilah yang membedakan liturgi dengan kegiatan ritual-spiritual
lainnya (devosi, kesalehan umat, ulah kesalehan). Sebagai doa resmi, maka Gereja mengaturnya
agar keempat unsur di atas terjamin atau dapat dilaksanakan secara benar, baik, dan indah.
Penerbitan buku-buku liturgis resmi oleh Takhta Apostolik (editio typica) hendak menjaga
kesatuan dan keutuhan Gereja (unitas – universalitas), juga mengupayakan keterpaduan antara
apa yang diimani dengan apa yang didoakan, dan bagaimana liturgi bisa memperkaya
penghayatan iman (lex credendi – lex orandi).