Anda di halaman 1dari 10

Dapur Gereja

Unsur-Unsur Utama dalam Metode Berteologi

Kalau kita dengar kata "teologi" biasanya kita memikirkan sejumlah pernyataan yang
mengungkapkan suatu pendirian atau ajaran tentang Allah, Kristus, atau gereja. Yang
ditekankan adalah kata benda, sebuah produk yang sudah jadi, bahkan sudah dicetak
dan dijilid.

Proses apa yang menghasilkan produk itu agak lebih kabur. Paling-paling kita
membayangkan seorang yang disebut “teolog” duduk di meja, baca Alkitab, dan
menulis. Apa yang terjadi dalam kepalanya, hanya dia yang tahu. Hasil refleksinya
yang ditulis, tapi langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil itu sering tetap
tersembunyi. Ibarat orang yang makan di restoran, kita menerima dan (mudah-
mudahan) menikmati hidangannya, tapi hanya juru masak yang tahu resep.

Lain soal kalau kita mau masuk dapur teologi untuk masak sendiri. Mau mulai dari
mana? Mengolah bahan dasar yang mana, dan alat-alat dapur yang mana harus kita
pakai? Belum lagi soal bumbu-bumbu. Hal ini yang menjadi tujuan dari tulisan ini:
perlengkapan apa yang selayaknya ada dalam sebuah dapur teologi, dan bagaimana
kita memasak? Dan pada akhirnya, siapa yang akan menikmati hidangan kita?

Perlu diakui bahwa di antara para teolog ada banyak variasi, sama seperti di antara kita
yang menikmati hasilnya ada banyak selera. Apalagi karena pada paruhan kedua abad
ke20 telah muncul seribu jenis teologi: teologi krisis, teologi “kematian Tuhan”, teologi
proses, teologi pembebasan, teologi politik, teologi feminis, teologi hitam, teologi
Minjung, dsb. Tapi ada sejumlah aspek yang agak tetap dalam semua upaya berteologi.
Kalau tidak, kata "teologi" itu sendiri menjadi tak berarti dan tidak bisa dibedakan dari
filsafat atau sosiologi, misalnya.

Kita mulai dengan membongkar istilah: “metode berteologi.” Kata “teologi” kita sudah
kenal sebagai suatu pembicaraan atau pembahasan yang sistematis ( logos) tentang
yang ilahi (theos). Sedangkan “metode” berasal dari bahasa Yunani juga: met(a)-
hodos. Hodos berarti berjalan, khususnya perjalanan yang mempunyai suatu tujuan
tertentu, bukan hanya “jalan-jalan.” Meta berarti “setelah” atau “melampaui” dan
sering dipakai sebagai awalan untuk menandai bahwa kata yang diawali perlu difahami
sebagai khiasan (secara meta-foris). Jadi metode pada dasarnya berarti langkah-
langkah yang perlu ditempuh untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Dengan
demikian, “metode berteologi” berarti langkah-langkah yang terarah untuk mencapai
pemahaman yang sistematis tentang Tuhan.

Namun justru pada titik start ini muncul sebuah masalah: sama seperti bukan semua
juru masak mau pakai resep, bukan semua teolog setuju kalau ada metode apapun
dalam tangan manusia untuk mencapai pemahaman yang benar tentang Tuhan.
Origenes (185-254) tercatat sebagai penulis Kristen yang pertama memakai kata
“teologi”, yang mungkin dipinjam dari Plato. Plato memberi nama teologi pada
pembahasan mitos-mitos yang melandasi agama suku Yunani. Origenes sebagai orang
Kristen tentu memberi definisi yang lain: teologi adalah suatu “karunia penghayatan
akan keberadaan Tuhan.” Kata “karunia” di sini perlu diperhatikan. Origenes (dan
banyak teolog yang menyusul) memahami bahwa manusia yang fana tidak sanggup
untuk menggapai Allah yang kekal, kecuali Allah sendiri menghampiri manusia dan
memberi diri untuk dikenal (memberi = charis = karunia). Menurut pengakuan orang
Kristen, itulah yang Allah lakukan dalam diri Yesus Kristus. Kita mengenal Allah karena
Kristus menampakkan dan memperkenalkanNya pada kita. (Dalam hubungan dengan
itu, Origenes melengkapi theologia dengan oikonomia, yang diartikan sebagai
pengetahuan akan rencana Tuhan untuk keselamatan dalam Yesus Kristus.) Dalam
pemahaman Origenes, teologi merupakan sejenis hikmat ( sapientia) yang diperoleh
sebagai buah iman dan bukan sejumlah ajaran tertulis sebagai hasil penerapan sebuah
metode menurut akal budi manusia.

Tidak sampai hampir seribu tahun kemudian baru teologi dirumuskan sebagai sebuah
ilmu (scientia), terutama oleh Petrus Abelardus (1079-1142) dalam hubungan dengan
perkembangan universitas-universitas yang pertama di Eropa. Abelardus menerapkan
berbagai disiplin ilmu, termasuk logika, filologi, dan historika, pada penafsiran Alkitab
dan pembahasan ajaran gereja—hal yang membawa dia pada kesimpulan bahwa ada
banyak kontradiksi dalam tradisi Kristen. Tugas seorang teolog menurut Abelardus
adalah untuk meluruskan kontradiksi-kontradiksi tersebut. Walaupun dia sangat populer
sebagai guru, bukunya yang berjudul Theologia dinyatakan mengandung ajaran yang
sesat dan dibakar oleh gereja. Rupanya gereja lebih suka mendiamkan kontradiksinya.

Kami sengaja mengangkat kedua tokoh historis ini karena mereka mewakili dua kutub
dalam lingkaran teologi, di mana senantiasa ada gerakan tarik-menarik di antara yang
satu dengan yang lain. Dari satu segi, teologi lahir dari iman yang diyakini sebagai
anugerah Allah, bukan prestasi manusia (Origenes). Dalam kata lain, teologi
merupakan sebuah pengakuan atau kesaksian akan apa yang Allah telah lakukan bagi
kita. Oleh karena Allah melampaui jangkauan manusia, maka Allah tidak mungkin
dijadikan obyek pembahasan dari sebuah ilmu pengetahuan, termasuk teologi. Teologi
hanya dapat meneruskan apa yang Allah telah nyatakan kepadanya. Dalam perspektif
ini, menemukan sebuah metode berteologi hampir mustahil; sejauh teologi terbatas
pada tanggapan iman pada prakarsa Allah, maka Allah saja yang memiliki metode juga.
Paling-paling manusia memakai metode secara negatif, yaitu untuk menyingkirkan
semua pikiran manusia supaya hikmat yang dari Allah saja yang tertinggal.
(Pendekatan ini dirintis oleh Meister Eckhardt pada abad pertengahan, dan ada
gemanya dalam pendekatan Karl Barth.)

Dari segi lain, teologi merupakan upaya manusia untuk memahami keyakinan iman
“dengan segenap akal budi” (Abelardus). Bagi orang percaya, kemampuan intelektual
manusia adalah pemberian Allah juga, supaya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
untuk memuliakan Tuhan dan memelihara dunia ciptaanNya. Tanpa dikendalikan oleh
ratio manusia, maka iman sulit dibedakan dari superstisi atau penghayalan manusia
sendiri. Dan kalau iman tidak diuji secara kritis, ia dapat membawa manusia pada
fanatisme, penindasan terhadap orang yang berlainan keyakinan, bahkan pada
terorisme dalam nama Tuhan. Walaupun tidak ada metode berteologi yang dapat
menjadikan iman sebagai suatu pengetahuan yang pasti—hal yang harus dinantikan di
seberang maut (I Kor 13)—namun teologi dapat menjernihkan iman kita,
mengungkapkannya secara konsekwen dan konsisten, dan menguji kecocokannya
dengan realitas yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya bukanlah
kepastian ilmiah, melainkan suatu keyakinan yang kokoh.

Lebih dari itu, dapat diajukan argumentasi bahwa iman justru mutlak diperlukan kalau
manusia mau mencapai pemahaman yang benar tentang dirinya dan dunia sekitarnya.
Walaupun keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, tidak juga dapat
dibuktikan bahwa Allah tidak ada. Kalau seseorang mengembangkan ilmunya atas
asumsi bahwa tidak ada Allah, sedangkan Allah ada, maka ia akan keliru. Hal ini
membawa pemikir seperti Anselmus dan Agustinus pada kesimpulan, credo ut
intelligam—“Aku percaya supaya aku bisa mengerti” dan bukan “Aku mengerti baru aku
percaya.” Iman adalah titik berangkat dari pengetahuan manusia tentang Allah, bahkan
tentang dirinya sendiri, dan bukan kesimpulan yang ditarik secara rasional berdasarkan
bukti-bukti yang pasti.

2
Dengan demikian, teologi senantiasa bergerak di antara hikmat dan ilmu, di antara
keyakinan dan pengetahuan, dan di antara pencarian manusia akan Allah dan pencarian
Allah akan manusia. Dalam pergerakan ini, terdapat unsur-unsur yang agak tetap
dalam upaya berteologi sebagai berikut.

Unsur Pertama: Komitmen

Teologi bergerak di antara dua kutub tersebut di atas—pengakuan dan kesaksian di


satu ujung, dan tinjauan yang kritis-rasional terhadap pokok-pokok kepercayaan pada
ujung yang lain. Kalau mau dicarikan benang yang mengikat kedua kutub tersebut,
mungkin dapat dikatakan bahwa teologi senantiasa bertolak dari suatu keyakinan,
suatu komitmen iman. Bisa saja ada orang percaya yang tidak berteologi (walaupun
sulit selama dia masih berakal budi); bisa ada ilmuan yang belajar agama-agama tanpa
menjadi percaya; tapi tidak mungkin ada teolog tanpa iman.

Kalau kita meletakkan komitmen sebagai unsur yang pertama dalam sebuah metode
berteologi, kita harus sekaligus akui bahwa ada seribu macam komitmen. Semua orang
yang beragama memiliki komitmen pada agama yang dianutnya. Dan di dalam masing-
masing agama, komitmen iman pada Allah bertalian dengan tradisi-tradisi, aliran-aliran,
gereja dan denominasi tertentu. Bisa saja ada pendeta yang berkomitmen pada gereja
sebagai lembaga “milik Tuhan”, tapi memusuhi semua gereja lain yang “tidak seasas”.
Bisa juga ada warga gereja yang memiliki komitmen pada “gerakan Roh” yang dialami
dalam kelompok doa, dan tidak merasakan suatu komitmen pada gereja sebagai
lembaga atau pada sesama warga yang “tidak memiliki Roh Kudus”. Ada juga orang
yang ultra-nasionalis yang mengutamakan komitmen pada negara di atas komitmen
pada agama yang dianutnya. Ada pula orang yang mempunyai komitmen pada
kelompok masyarakat tertentu dan mengukur semua hal, termasuk ajaran agama,
berdasarkan dampaknya terhadap kelompok tersebut. Para teolog pembebasan,
misalnya, mengutamakan orang-orang yang miskin dan tertindas, dan menerapkan
prinsip kritis terhadap agama: Apakah ajaran dan pelayanan agama ini bersifat
membebaskan atau menindas? Kalau menindas kaum miskin, harus ditolak. Demikian
juga komitmen kaum feminis: Biar Alkitab omong lain, kalau suatu ajaran menindas
perempuan, ajaran tersebut harus dinyatakan keliru. Menurut mereka Rasul Paulus
salah, misalnya, ketika ia menyuruh para isteri tunduk pada suaminya.

Kembali kepada dua “kutub” yang digambarkan di atas, dalam gerakan teologi yang
menyatakan komitmennya secara terbuka, biasanya terdapat dua unsur itu. Melalui “via
negativa” pengaruh-pengaruh dari prasangka manusia disingkirkan, dan ditawarkan
sebuah rumusan positif sebagai koreksi. Teologi feminis berupaya menyingkirkan
prasangka patriarkal untuk mengembalikan pergumulan dan penghayatan iman kaum
perempuan pada posisi yang setara dengan perspektif laki-laki. Demikian pula teologi
kontekstual/pasca-kolonial menyingkirkan prasangka kolonial dan menempatkan
perspektif pribumi setara dengan perspektif “gereja induk”.

Kita belum bisa mengatakan bahwa komitmen tertentu “benar” atau komitmen yang
lain “salah”. Cukup untuk sementara kalau kita menyadari bahwa semua orang yang
berteologi bertolak dari sejumlah komitmen yang mendasar, yang merupakan bagian
dari imannya. Komitmen-komitmen kita bisa diuji, dijernihkan, diperluas, atau dirobah
dalam proses berteologi, tapi berteologi tanpa komitmen adalah mustahil. Menurut
Kierkegaard, hal itu seperti menjahit tanpa mengikat benang: jarum boleh tusuk-tusuk
kain, tapi nanti semuanya terlepas kembali.

Dalam suatu upaya berteologi bersama, dapat dianjurkan supaya kita berdiskusi

3
bersama tentang komitmen masing-masing supaya menjernihkan dalam hal mana kita
memiliki komitmen bersama dan dalam hal mana kita bervariasi. Justru adanya
keanekaragaman komitmen akan memperkaya upaya teologi kita dengan
memperbanyak perspektif. Sebaliknya, kalau kita mau “obyektif” saja, maka komitmen
yang tersembunyi dapat menjadi batu sandungan.

Unsur Kedua: Kebutuhan

Teolog terkenal dari Jerman bernama Paul Tillich pernah mengatakan bahwa hanya hal-
hal yang merupakan soal hidup-mati yang dapat dikatakan masalah teologi.
Maksudnya bahwa teologi yang sejati tidak terlepas dari sebuah kebutuhan yang sangat
terasa dan mendesak. Mungkin kita semua kenal orang yang tidak terlalu ingat Tuhan
dalam kehidupan sehari-hari, tapi begitu ia berhadapan dengan sebuah krisis
(kecelakaan, penyakit, atau malapetaka yang lain) baru ia mulai berdoa, membaca
Alkitab, dan bertanya-tanya soal teologis. Demikian juga orang bisa merasa puas
dengan ajaran yang selama ini ia pegang dari pengalaman bergereja, tapi begitu ajaran
itu menjadi nyata dalam kehidupannya sendiri baru ia mulai meragukannya. Misalnya,
ada orang yang merasa jijik terhadap orang homosexual dan tanpa berpikir panjang
menganggap mereka semua otomatis binasa—sampai saat ia diberitahu bahwa anak
kesayangannya sendiri adalah orang homosexual. Dengan tiba-tiba muncul sebuah
pertanyaan teologis yang baru baginya: mungkinkah orang homosexual selamat?
Jawabannya bukan iseng-iseng, karena menyangkut nasib orang yang dikasihi.

Para teolog profesional di sekolah-sekolah teologi mungkin memiliki waktu untuk


menggumuli setiap masalah teologis secara sistematis. Tapi bagi kita yang lain,
termasuk pendeta dan warga jemaat, pada umumnya kita baru berteologi kalau ada
kebutuhan yang perlu kita tanggapi—sama seperti orang baru masak kalau ada yang
lapar. Sebuah usaha berteologi hendaknya jelas berhubungan dengan sebuah
kebutuhan yang terasa dalam jemaat, dan salah satu tolok ukur tentang keberhasilan
teologi kita adalah kalau kita menjawab kebutuhan tersebut.

Unsur Ketiga: Sumber-Sumber

Iman hampir selalu berkembang dalam sebuah komunitas beragama yang memiliki
sejarah dan tradisi-tradisi tersendiri. Ada yang berdasarkan tradisi lisan, ada pula yang
memiliki kitab-kitab suci. Baik komunitas orang percaya kontemporer maupun
tradisi yang dianutnya merupakan sumber utama bagi content (isi) dari apa yang
dipercayai.

Sebagai contoh yang dekat pada kita di Indonesia bagian Timur, agama-agama suku
bersumber pada dua pokok utama: kuasa-kuasa alam semesta dan penghormatan
terhadap arwah nenek moyang. Dua sumber ini diantarai oleh serangkaian ritus-ritus
dan tuturan tradisi lisan. Walaupun bentuk ritus dan isi dari tuturan sangat bervariasi di
antara suku-suku pribumi, namun pola dasar ini hampir sama.

Untuk iman Kristen, khususnya Kristen Protestan, ada satu sumber yang sangat
dominan, yaitu Alkitab. Sola Scriptura menjadi semboyan kita, dan hampir segala hal
dalam gereja-gereja Protestan dibenarkan oleh sebuah landasan Alkitabiah. Namun
semboyan ini hampir menyembunyikan kenyataan bahwa dalam praktek, kita memiliki
banyak sumber yang lain. Alkitab itu sendiri mulai dari tradisi lisan baru dibakukan
sebagai kitab suci. Dan gereja purba-lah yang memilih kitab mana yang dianggap
kanonik, mana yang tidak. Selain itu, bukan seluruh Alkitab berperan sama. Setiap
tradisi penafsiran akan memberi tempat yang lebih besar pada kitab-kitab dan ayat-
ayat tertentu, dan hampir mengabaikan yang lain. Pada umumnya, Injil Markus jauh

4
lebih dominan dari Kitab Habakuk; surat-surat Paulus lebih membentuk etika seksual
orang Protestan daripada puisi cinta Salomo dalam Kidung Agung; kelompok doa lebih
berpaling kepada Injil Yohanes, sedangkan para teolog pembebasan lebih suka Lukas.

Tradisi-tradisi penafsiran ini lahir bukan dari Alkitab sendiri, melainkan dari pergumulan
gereja dalam sejarahnya, sehingga sejarah gereja menjadi salah satu sumber juga.
Hal-hal yang sudah merupakan bagian yang tak terpisah dari identitas gereja Protestan
justru tidak ada secara langsung dalam Alkitab: sebut saja jabatan pendeta, nikah
masehi, pengakuan iman rasuli, bahkan semboyan sola scriptura itu sendiri.

Selain pelembagaan sejumlah perkembangan dari pergumulan gereja sepanjang masa,


ada juga tokoh-tokoh gereja yang merumuskan pemahaman iman dalam karya-karya
teologis yang sangat menentukan bagi ajaran gereja: sebut saja Agustinus, Luther,
Calvin, Barth dan Tillich. Secara kolektif, mereka menyumbangkan suatu korpus
dogmatika yang menjadi sumber dan referensi bagi upaya-upaya teologi selanjutnya.

Sama seperti kita menjadi ahli waris dari riwayat umat Allah pada zaman Alkitab, dan
dari pergumulan orang percaya selanjutnya dalam sejarah gereja dan dogmatika,
demikian juga pengalaman iman dan praksis pelayanan dari gereja masa kini
dalam berbagai konteks di seluruh dunia menjadi sumber refleksi teologis bagi kita.
Apakah perjuangan untuk demokrasi di Indonesia akan memperbaharui teologi politik
kita? Apakah upaya pemberantasan korupsi akan memperdalam konsep kita tentang
dosa? Apakah upaya kaum perempuan untuk membersihkan gereja dari pengaruh
patriarki dan feodalisme akan berdampak pada eklesiologi kita? Apakah pendampingan
kita bersama para korban kerusuhan yang bernuansa agama seperti di Poso akan
membawa kita pada sebuah pemahaman yang baru tentang oikumene? Semua
pergumulan pelayanan ini berpotensi untuk menjadi sumber teologi yang baru, yang
tidak tercantum dalam Alkitab dan tidak terlintas dalam pikiran Calvin atau Luther.

Secara teoretis, semua sumber yang di atas tersedia bagi upaya teologi kita. Namun
dalam praktek, ada sumber-sumber tertentu yang lebih berperan berdasarkan konteks
kita, latar belakang pendidikan, mobilitas dan sumber daya lokal. Ada baiknya kalau
kita mulai proses refleksi teologis kita dengan sebuah inventaris dari sumber-sumber
mana yang akan kita manfaatkan. Sebagai alat bantu, kami menawarkan tabel yang
berikut:

Sumber-sumber
Praksis gereja
Alkitab Sejarah Gereja Dogmatika
masa kini
Aspek yang
kita mengenal
dan andalkan
selama ini:

Aspek yang
mungkin perlu
digali lebih
jauh:

5
Unsur Keempat: Kriteria

Kembali kepada kiasan tentang dapur pada bagian pengantar: sumber-sumber ibarat
bahan baku yang mau dimasak—beras, daging, sayur, dsb. Hidangan mana yang
dimasak dari bahan baku itu ditentukan oleh sejumlah kriteria: selera—apakah enak
atau kurang, sehat dan bergizi, dalam kwantitas yang cukup supaya semua tamu bisa
dikenyangkan, ketepatan pada acara makan—misalnya, biar kita suka ubi goreng,
mungkin ubi goreng kurang tepat sebagai makanan pokok pada sebuah pesta nikah.

Dalam upaya berteologi kita juga berhadapan dengan masalah kriteria, tentu yang agak
lebih rumit daripada soal makan. Calvin, misalnya, ketika ia angkat semboyan sola
scriptura, melihat Alkitab bukan hanya sebagai sumber utama dalam berteologi tapi
juga sebagai kriteria, patokan, atau amanat untuk apa yang dilakukan atau diajarkan
oleh gereja. Perlu diingat juga bahwa sola scriptura diangkat dalam konteks polemik
dengan gereja Katolik yang mengutamakan tradisi gereja dan otoritas eklesial sebagai
kriteria utama. Dalam praktek, Calvin sendiri menerapkan patokan ini secara agak
liberal: Apa yang tidak bertentangan dengan Alkitab dan apa yang mewujudkan nilai-
nilai Alkitabiah dapat diterima. Reformasi “sayap kiri” menafsirkan patokan ini secara
harafiah dan ketat: Apa yang tidak ada secara eksplisit dalam Alkitab tidak boleh ada
dalam gereja juga. Sampai sekarang keturunan kelompok ini tidak pakai ritsleting
karena tidak ada ritsleting dalam Alkitab.

Yang jelas adalah Alkitab tidak mungkin menjadi satu-satunya kriteria untuk teologi
Kristen. Ada terlalu banyak perikop yang kabur yang membutuhkan penafsiran (tapi
berdasarkan kriteria apa?) dan terlalu banyak kontradiksi yang perlu diluruskan (lagi,
berdasarkan kriteria apa?). Kontradiksi tersebut bukan hanya di antara Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, tetapi di dalam Perjanjian Baru itu sendiri, bahkan di antara Injil-
Injil Sinoptis. Di Matius 12.30, Yesus mengatakan, “Siapa tidak bersama Aku, ia
melawan Aku.” Tapi menurut Markus 9.40, Ia menegaskan, “Barangsiapa tidak
melawan kita, ia ada di pihak kita.” Mana yang benar? Atau dalam konteks mana yang
satu benar, dan dalam konteks yang lain, yang satu lagi benar? Alkitab sendiri tidak
bisa memutuskan hal seperti ini.

Mungkin sebagian besar perdebatan teologis sepanjang abad justru berputar di sekitar
masalah kriteriologi ini: baik menyangkut peranan Alkitab berhadapan dengan tradisi
gereja, maupun tentang cara menafsirkan Alkitab yang tepat, peranan akal budi
berhadapan dengan pewahyuan, hubungan teologi dengan filsafat dan ilmu-ilmu sosial,
tempatnya pengalaman pribadi … Daftarnya terlalu panjang, dan kami tidak akan
melanjutkannya.

Namun ada satu hal yang tidak dapat ditinggalkan di tengah-tengah semua perdebatan
ini, yaitu peranan Yesus Kristus sendiri. Justru keutamaan Kristus yang menjadi ciri
khas dari teologi yang namanya Kristen. Kalau suatu ajaran atau gagasan teologis
tidak bisa disesuaikan dengan apa yang kita kenal tentang ajaran, pelayanan, dan
kehendak Kristus, maka sulit dinyatakan “Kristen” walaupun sesuai dengan Alkitab atau
kebiasaan gereja. Berhadapan dengan perdebatan kriteriologi pada masa Reformasi
Protestan, maka perlu dikatakan bahwa kalau Alkitab diangkat tanpa Kristus sebagai
prinsip utama, maka kita sementara menjadi orang Yahudi selama kita membaca
Perjanjian Lama, dan menjadi orang Kristen ketika membaca keempat Injil, dan
mungkin orang Paulus ketika membaca surat-suratnya. Dan kalau tradisi diutamakan
tanpa diukur oleh Kristus, maka gerejalah yang empunya Kristus, dan bukan Kristus
yang empunya gereja.

6
Oleh karena itu, kami anjurkan bahwa kriteria yang utama bagi teologi Kristen adalah
Kristus sendiri. Peranan Alkitab, tradisi gereja, karya para teolog pendahulu, akal budi,
pengalaman iman dan praksis pelayanan mengantar kita lebih dekat kepada Kristus,
dan bukan merupakan kriteria yang dapat dipertentangkan denganNya.

Supaya lebih jelas, kami mengangkat sebuah contoh yang nyata bagi warga gereja
masa kini. Banyak jemaat sangat bersemangat untuk membangun gedung gereja yang
indah. Dana dikumpulkan dengan susah paya dari segenap warga. Pada saat yang
sama, anggaran diakonia sangat minim untuk melayani orang sakit, miskin, atau
memberi bea siswa bagi anak-anak yang kurang mampu—justru karena semua sumber
daya mengalir pada semen dan keramik. Apa ini juga merupakan skala prioritas yang
kita pelajari dari Yesus, Sang Kepala Gereja? Apakah kita bisa membayangkan bahwa
Yesus menuntut rumah ibadah yang mewah, sedangkan orang susah boleh diabaikan
(mungkin dengan pertimbangan bahwa “orang miskin senantiasa ada padamu”)?

Tentu pendekatan seperti ini tidak bisa diterapkan secara gamblang dalam segala hal.
Terlalu gampang orang menciptakan sebuah “Yesus” imajiner di kepala sendiri, dan
Yesus orang-orangan seperti ini bisa dimanipulir untuk menjawab segala pertanyaan
kita sesuai dengan keinginan kita sendiri. Oleh karena itu, semua sumber teologi tetap
diperlukan demi suatu keseimbangan dan koreksi kritis dalam upaya teologi kita.

Berdasarkan pertimbangan yang di atas, maka kami memberanikan diri untuk


menawarkan tiga patokan yang layak diterapkan sebagai kriteria dalam upaya teologi
kita bersama:

1. Apakah masuk akal? Paling sedikit, sebagai langkah awal, suatu konsep teologis
harus dirumuskan secara cukup jernih agar maknanya dapat dipahami; kalau
tidak, kita tidak bisa menilai apa-apa.
2. Apakah sesuai dengan kehendak Kristus, sebagaimana kita bisa memahaminya
berdasarkan semua sumber (Alkitab, tradisi, dan pelayanan/pengalaman gereja
masa kini) yang tersedia pada kita?
3. Apakah berdaya guna demi pelayanan pada mereka yang Yesus hendak kita
layani?

Unsur Kelima: Alat-Alat Bantu

Sejak awal, para teolog Kristen memanfaatkan segala ilmu pengetahuan yang mereka
kuasai demi pemaparan dan pendalaman makna iman Kristen. Rasul Paulus
memanfaatkan pendidikannya sebagai rabi untuk membuktikan secara rabinis pula
bahwa Yesus Kristus adalah Mesias. Krisostomus dan Agustinus menerapkan rhetorika
yang mereka pelajari dari Aristoteles untuk memberitakan Injil, dan Origenes memakai
dialektika Plato untuk membantah keberatan para Neo-Platonis terhadap iman Kristen.
Luther menyerap mistisisme abad pertengahan ke dalam pemahamannya tentang sola
fide, dan Calvin telah mempelajari para sarjana humanis pada era Renaissance di Eropa
sebelum ia menjadi teolog reformasi—hal yang sangat nampak dalam sistematika
Institut, rancangannya untuk pemerintahan gerejawi dan pola penafsiran Alkitabnya.

Dalam sejarah perkembangan teologi, hampir semua ilmu kemanusiaan (dan aspek-
aspek tertentu dari ilmu alam) pernah dimanfaatkan sebagai alat bantu dalam upaya
berteologi. Pada mulanya yang dimanfaatkan adalah filsafat, rhetorika dan logika,
menyusul filologi, historika (termasuk arkeologi) dan kritik sastra, dan akhir ini,
sosiologi, antropologi, ilmu politik, ekonomi dan psikologi. Di sini kami sebut semua
disiplin ini sebagai alat-alat bantu karena tidak satupun yang dapat “diharuskan” untuk
dipakai oleh teologi (sehingga naik pangkat menjadi kriteria), namun semuanya bisa

7
bermanfaat untuk tugas dan permasalahan tertentu. Sebagai awal sebuah upaya
berteologi, kami ajukan tiga hal yang dapat dipertimbangkan:

1. Disiplin-disiplin ilmu yang mana yang relevan atau bisa memberi sumbangan
pada permasalahan yang kita hadapi?
2. Disiplin yang mana yang sudah kita kuasai?
3. Nara sumber yang mana yang bisa diajak untuk ikut serta?

Unsur Keenam: Khalayak

Layaknya sebuah surat, Injil Lukas mulai dengan sapaan pada pembaca:

Teofilus yang mulia,


Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan
kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan
Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan
seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk
membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat
mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh
benar. (Lukas 1.1-4)

Pada bagian akhir ini, kita harus bertanya, kita berteologi untuk siapa? Sebutkan saja
beberapa contoh: Lukas seolah-olah menulis pada Teofilus, seorang adik dalam iman,
tapi bisa juga bahwa “Teofilus” adalah nama umum untuk mewakili semua orang yang
mencintai Tuhan. Konsili Nicaea dipanggil dan dituntut pertanggungjawaban iman dari
seorang peserta katekisasi pada waktu itu; kebetulan ia juga adalah Kaisar
Konstantinus. Pada abad ke19 di Eropa, Schleiermacher menulis sebuah “best-seller”
(buku terlaris) di bawah judul Ceramah-Ceramah tentang Agama kepada para Kritiknya
yang Budiman—suatu upaya apologetik yang diarahkan pada kaum cendekiawan pada
waktu itu. Kierkegaard berulangkali mempersembahkan bukunya kepada “Pembacaku,
Seorang Diri”—tentu itu bisa berarti aku dan engkau, tapi ada yang menduga bahwa
Kierkegaard sebenarnya mengingat mantan pacarnya.

Kita memperhatikan khalayak dari tulisan apapun bukan hanya sebagai sumber
inspirasi, tapi sebagai sarana komunikasi. Menulis disertasi yang akan diuji oleh para
profesor di Amsterdam tentu lain dari menulis bahan sekolah minggu. Menyusun
khotbah untuk jemaat kota, lain dari khotbah untuk jemaat pedesaan, bukan hanya
dalam soal bahasa yang dipakai tapi contoh-contoh yang diangkat, permasalahan yang
digumuli, dan argumentasi yang dapat meyakinkan para pendengar. Kalau kita menulis
untuk jemaat, kita boleh saja (bahkan harus) kutip Alkitab sebagai landasan
argumentasi kita, tapi kalau kita menulis dalam surat kabar untuk pembaca umum,
termasuk orang yang beragama lain, kita harus juga memberi argumentasi yang
merujuk pada kepentingan umum atau nilai-nilai etis yang dipandang universal.

Satu pertimbangan yang tidak kalah penting adalah pertanyaan: Kita menulis untuk
kepentingan siapa? Hal ini tidak persis sama dengan khalayak. Misalnya, bisa saja kita
mengarahkan suatu tulisan kepada DPR supaya mereka segera mensahkan Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Khalayak adalah DPR,
tapi yang berkepentingan adalah para perempuan yang babak belur. Saya pernah
menulis dua artikel tentang diakonia: khalayak artikel pertama adalah para pendeta
untuk menguatkan pemahaman teologisnya; khalayak artikel kedua adalah para
anggota majelis jemaat supaya mereka merancang program pelayanan diakonia yang
lebih efektif. Tapi dua-dua artikel ditulis atas kepentingan para orang sakit, miskin,

8
susah, dsb. sebagai penerima pelayanan diakonia.

Dengan demikian, kalau kita mau mengangkat suatu tugas berteologi, ada dua hal yang
perlu kita jernihkan:

1. Kita berbicara kepada siapa? Siapa yang mau diyakinkan oleh kita, dan oleh
karena itu kita harus pakai bahasa, kiasan, dan argumentasi macam apa?
2. Kita berbicara demi kepentingan siapa? Siapa akan dilayani oleh hasil
pergumulan teologis kita?

Bagaimana dengan Konteks?

Kontekstualisasi adalah gerakan teologi lokal yang sangat dijunjung tinggi dalam
gereja-gereja pasca-kolonial. Pekerjaan ini hampir merupakan sejenis arkeologi
intelektual untuk menggali peninggalan-peninggalan kepentingan kuasa kolonial dalam
teologi dan eklesiologi kita dan menggantikannya dengan sebuah visi baru yang
memberi tempat pada karunia Allah dalam kekayaan budaya lokal.

Namun kami tidak mencantumkan konteks sebagai salah satu unsur dalam metode
berteologi. Mengapa? Alasannya sederhana: konteks merupakan aspek yang integral
dari setiap unsur yang di atas. Komitmen kita termasuk komitmen pada komunitas
manusia tertentu; sumber-sumber kita termasuk sumber-sumber yang ditemukan
dalam dinamika pelayanan gereja setempat; kriteria bagi kita yang “mau iring Yesus
sampai s’lama-lamanya” tentu harus terungkap dalam suatu pemahaman tentang Yesus
mau ke mana di lingkungan kita. Perkakas yang kita pakai ditentukan juga oleh
konteks kita. Waktu saya mulai mengajar pastoral di STT Kupang, saya terpaksa
membuang pendekatan psikologis yang saya dapat di sekolah teologi di California dan
mulai belajar antropologi budaya. Dan tentu khalayak kita adalah … orang kita juga.
Konteks berteologi di gereja setempat tidak mungkin kita hindari, sebab ia adalah rahim
yang melahirkan kita.

Penutup

Kiranya jelas dari apa yang dipaparkan di atas bahwa tidak ada satu saja cara
berteologi, sama seperti tidak ada satu saja cara bermasak. Namun paling sedikit ada
tiga aspek dari konteks gereja yang akan memberi ciri khas pada cara berteologi kita.

Pertama, teologi kita akan berkembang dalam dialog dengan tradisi budaya setempat,
termasuk agama suku yang telah mendahului iman Kristen di wilayah pelayanan kita—
sama seperti Perjanjian Baru berkembang dalam dialog dengan tradisi-tradisi Yahudi
kuno yang terhimpun dalam Perjanjian Lama. Dialog tersebut akan melahirkan pokok-
pokok pergumulan teologis yang tidak terbayangkan oleh para teolog Eropa: hal-hal
seperti hubungan kita dengan arwah orang mati, doa-doa pada siklus pertanian, dsb.

Kedua, karena kita hidup dalam sebuah budaya lisan, maka teologi kita kebanyakan
akan berkembang pula dalam konteks lisan, dalam percakapan, diskusi dan ceritera-
ceritera, daripada dalam tulisan-tulisan formal. Hal ini berarti bahwa produk-produk
teologi kita akan cenderung lebih luwes dan beranekaragam dari teologi tertulis.

Ketiga, sama seperti orang biasa berkumpul ramai untuk masak pada sebuah pesta,
teologi kita pun akan lebih bersifat komunal daripada menjadi hasil pergumulan pakar
teologi seorang diri. Mudah-mudahan yang diolah bersama akan dinikmati bersama
juga.

9
Selamat bermasak di dapur teologi.
--John Campbell-Nelson

10

Anda mungkin juga menyukai