Anda di halaman 1dari 9

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MITRA INJIL INDONESIA

Dosen Pengampuh : Pdt. Rehabiam Bilung, Th.M., D.Th©

Mata Kuliah : Teologi Kontemporer

Tugas : Laporan baca Buku

Nama Mahasiswi : Yelmince Astri Hanas

Judul Buku : Teologi Kontemporer

Pengarang : Prof. Dr. Harvie M. Conn

Penerbit : Literatur SAAT Malang

Jumlah Halaman : 174 Halaman

Dalam buku ini penulis membaginya dalam 21 pasal untuk menjelaskan


garis besar beberapa pandangan teologi yang muncul dalam perkembangan
kekristenan. Dalam bukunya, Penulis menjelaskan beberapa usaha yang dilakukan
oleh para tokoh filsafat atau filsuf dan para teologi untuk menyelamatkan
kekeristenan dari ancaman zaman Pencerahan. Tetapi usaha tersebut tidak membuat
kekeristenan menampilkan jati diri utamanya sebagai agama yang mengandalkan
pewahyuan Allah namun malah dibawa makin jauh dan makin menyimpang dari
sumber utama dan otoritas pewahyuannya, yaitu Kitab Suci.

Hal inilah yang dikritik Penulis dalam bukunya, yang pada akhirnya
menjadi ciri khas buku Teologi Kontemporer ini, yaitu kritik terhadap pandangan
teologi yang menjauhkan umat Tuhan dari Alkitab. Dalam setiap kritikannya, Penulis
selalu bertolak dari Alkitab, melalui Alkitab dan kepada Alkitab. Lebih lanjut Penulis
menyatakan bahwa persoalan denominasionalisme yang terjadi antar golongan gereja,
Katolik, Prebyterian, Baptis, Methodis, Episcopalian, dan lainnya, bukanlah menjadi
isu utama dalam tesis buku ini. Pemisahan yang terutama dan terbesar adalah antara
orang yang percaya kepada Kristus yang dinyatakan oleh Alkitab dengan mereka
yang tidak percaya akan hal itu; antara mereka yang memberitakan Allah yang
Tritunggal dan berdaulat dengan mereka yang tidak memberitakan Allah yang
demikian. Itulah yang menjadi tesis utama buku ini.

Sebelum membahas lebih jauh tentang teologi kontemporer, Penulis


menjelaskan terlebih dulu keadaan teologia sebelum tahun 1919, di mana pada masa
itu, yaitu sekitar abad ke-18, pandangan teologi sangat dipengaruhi oleh Immanuel
Kant, seorang filsafat dari zaman Pencerahan, yang menekankan keyakinan manusia
modern pada kemampuan rasio untuk menanggapi dunia materi atau dunia fenomena
dan ketidakmampuan rasio untuk menerangkan segala sesuatu yang ada di luarnya
atau dunia noumena. Rasio merupakan otoritas tertinggi dan menjadi patokan dalam
menentukan kebenaran. Bagi Kant, konsepkonsep Kristen tentang wahyu Allah yang
menyatakan diri-Nya melalui Alkitab harus diganti dengan rasio manusia, seperti
yang dijelaskannya berikut ini: “Agama yang benar bukan terdiri dari mengetahui
atau memperhatikan apa yang sedang dikerjakan oleh Allah atau apa yang telah
dikerjakan-Nya untuk keselamatan kita, melainkan dari apa yang harus kita lakukan
supaya menjadi layak untuk menerimanya dan setiap manusia dapat menjadi yakin
bahwa ia membutuhkannya tanpa ia sendiri harus mengetahui apa-apa mengenai
Alkitab.” Pada masa sebelum tahun 1919 muncul metode penyelidikan Alkitab yang
disebut dengan kritik historis.

Dalam metode ini, Alkitab diperlakukan sama dengan seperti dokumen


lain di masa lalu. Dan karena perlakuan tersebut, maka Alkitab pun tidak lepas dari
adanya kesalahan-kesalahan setelah melihat adanya ketidaksinambungan antara
Firman Allah di satu sisi dan Alkitab pada sisi lainnya. Dengan kata lain, doktrin
inerasi ditolak pada zaman Pencerahan. Pada bagian pendahuluan ini, Penulis
mengkritik akan adanya ketidakkonsistenan 3 ajaran yang disampaikan oleh para
filsuf kontemporer dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
Moltman di satu sisi mencela pandangan eskatologis Kristen tradisional yang masih
menantikan kedatangan Tuhan di masa yang akan datang, namun di sisi lain ia
berbicara tentang gereja yang berorientasi pada masa depan; demikian juga Bultman
yang menolak catatan-catatan Injil sebagai sejarah namun di sisi lain ia menerimanya
karena pemahamanan eksistensial tentang diri yang terdapat di dalamnya. Setelah
Penulis menjelaskan keadaan teologi sebelum tahun 1919, barulah ia menjelaskan
keadaan teologi setelah tahun 1919 yang dimotori oleh Karl Barth, seorang pendeta
gereja kecil di Swiss. Tafsiran kitab Roma yang dibuat Barth telah mengakhiri pikiran
Liberalisme yang menghantui gereja-gereja tradisional. Pada bagian ini, Penulis
mengulas lebih jauh mengenai teologi yang dikembangkan oleh Karl Barth yang
disebut dengan Teologi Neo-Ortodok.

Hal yang menarik dari teologi yang dikembangkan oleh Karl Barth adalah
sekalipun ia pernah belajar di bawah bimbingan para teolog liberal ternama, seperti
Hannack dan Hermann, namun pandangan teologi yang dianutnya berseberangan
dengan pandangan teologi yang diyakini gurunya tersebut; ia memberontak terhadap
ajaran liberalisme. Hal ini terutama disebabkan sebagai akibat Perang Dunia 1 yang
berlangsung pada tahun 1914-1918 yang telah mengakhiri mimpinya, ”Jerman yang
berbudaya, Inggris yang liberal, dan Perancis yang beradab saling bertempur bagaikan
binatang gila.” Demikianlah cuplikan pernyataan Karl Barth. Penulis menjelaskan
beberapa hal yang menjadi perbedaan antara pandangan teologi Karl Barth dengan
liberalisme. Dalam liberalisme, Allah dianggap imanen dalam dunia, sedangkan Barth
menunjukkan Allah sebagai Yang mutlak berbeda dari kita; subyektifitas liberalisme
telah menempatkan manusia sebagai pengganti Allah, namun Barth menyerukan
Allah tetaplah sebagai Allah dan bukan manusia; liberalisme membangun teologinya
di atas dasar etika, namun Barth membangun etika di atas dasar teologi. Ia
menekankan bahwa manusia memerlukan wahyu namun ia sangat berhati-hati dalam
membedakan isi Alkitab dari yang berupa identifikasi mutlak dengan apa yang
menjadi Firman Tuhan.

Menurut Barth, hubungan antara Allah dengan Alkitab tetap nyata tetapi
tidak berlangsung; sebelum perkataan Alkitab nyata bagi kita, sebelum terpancar
dalam kehidupan kita dan sebelum berbicara kepada kita dalam situasi eksistensial,
maka Alkitab bukanlah Firman Allah. Karl Barth menyebut kejatuhan Adam dalam
dosa, penebusan Kristus di dalam Kristus, kebangkitan dan kedatangan Yesus yang
kedua kali hanyalah sebuah kisah. Dalam hal ini, hampir tidak ada perbedaan antara
pandangan teologi Karl Barth dengan liberalisme. Sekalipun Barth menekankan
bahwa manusia memerlukan wahyu namun ia tetap mendukung pandangan
liberalisme yang kritis terhadap Alkitab dan menolak ketidakbersalahan Alkitab,
bahkan ia menyatakan seluruh Alkitab merupakan dokumen menusia yang dapat
keliru. Sekalipun Karl Barth menekankan Yesus Kristus sebagai pusat pernyataan dan
menyangkal adanya pernyataan lain tentang Allah di luar Kristus namun hal itu malah
mengorbankan pernyataan umum yang disampaikan para murid dan orang-orang
khusus yang diberi penyataan Allah. Pada pasal-pasal berikutnya, Penulis mulai
menyajikan pandanganpandangan teologi dari beberapa tokoh teologi kontemporer.
Pada pasal empat, Penulis menguraikan konsep teologi yang disampaikan oleh tokoh
yang bernama 4 Rudolf Bultmann. Ia menerbitkan sebuah buku berjudul History of
the Synoptic Tradition yang membawa perubahan lain dalam penyelidikan kritik
terhadap Alkitab. Dalam pasal ini, Penulis menjelaskan kritik bentuk yang isinya
menyatakan bahwa Alkitab tidak dapat diterima sebagai catatan dari kehidupan dan
pengajaran Kristus dan para rasul-rasulnya yang layak dipercaya. Secara obyektif
Alkitab merupakan hasil pengaruh sejarah dan agama kuno sehingga harus dinilai
sama seperti literatur religius kuno lainnya.

Dalam metodologi yang dikembangkan oleh Bultmann, para penulis kitab


Injil berusaha menyatukan berbagai tradisi yang digunakan pada masa itu dan diolah
gereja untuk menjadi sebuah cerita dengan penambahan lokasi, waktu dan penjelasan
lainnya. Penulis menjelaskan tujuan metode kritik dan langkah-langkah dalam
menentukan kritik bentuknya yang kemudian menghasilkan kesimpulan yang sangat
skeptis. Penulis juga menuliskan beberapa kritiknya terhadap metodologi kritik
bentuk yang dikembangkan oleh Rudolf Bultmann yang akan membuat pembaca buku
ini semakin memahami posisi kekristenan terhadap konsep teologi Bultmann ini.

Selanjutnya pada pasal lima, Penulis menjelaskan konsep lain dari


Bultmann mengenai Demitologisasi yang berarti penafsiran secara eksistensial, yaitu
menurut pengertian manusia terhadap keberadaannya sendiri dengan istilah-istilah
yang dapat dipahami oleh manusia modern. Di sini, Penulis ingin menyampaikan
kepada pembaca bukunya bagaimana proses yang dilakukan Bultmann dalam
mengkomunikasikan Injil secara efektif kepada manusia modern, yaitu dengan cara
mengupas mitos atau dongeng dari Perjanjian Baru dan menyingkapkan tujuan utama
di balik mitos atau dongeng tersebut. Pusat dari konsep ini adalah pendiriannya yang
menemukan dua hal dalam Perjanjian Baru, yaitu Injil Kristen dan pandangan orang
pada abad pertama bercirikan mitos atau dongeng. Tujuan utama dari demitologisasi
adalah untuk mencari dan menafsirkan mitos-mitos yang ada di dalam Alkitab. Tidak
lupa pada bagian akhir, Penulis menyampaikan kritikannya terhadap demitologisasi
Bultmann yang dirangkum dalam lima poin. Pada pasal enam, Penulis menjelaskan
tentang teologi sejarah keselamatan yang dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah
Heilsgeschichte yang diperkenalkan oleh seorang sarjana Perjanjian Baru dari Swiss
yang bernama Dr. Oscar Cullmann. Heilsgeschichte menekankan pada sejarah dan
wahyu Allah di dalam sejarah, di mana wahyu ilahi dan penebusan didasarkan atas
realitas sejarah dan bukan mitos yang dibuat gereja seperti yang disampaikan oleh
Bultmann. Namun pernyataan Cullmann yang menekanan kepada sejarah sebagai
sarana wahyu mempunyai makna bahwa Alkitab bukanlah landasan dasar bagi agama
Kristen, menunjukkan bahwa ia tidak mengakui infabilitas Alkitab. Bagi Cullman,
landasan dasar itu adalah sejarah suci dan bukan Alkitab.

Eskatologis mencakup seluruh peristiwa penyelamatan, mulai dari


inkarnasi sampai kedatangan Yesus yang kedua kali. Penulis memberikan kritik
terhadap Cullmann terkait pendekatannya terhadap Alkitab, wahyu, dan konsep
waktu. Pada pasal selanjutnya, Penulis menjelaskan konsep pemikiran teologi yang
sangat berpengaruh pada abad ke-20, yaitu Teologi Sekulerisme. Menurut Teologi
Sekularisme, teologi abad ke-20 seharusnya memiliki gambar Allah yang baru dan
suatu penafsiran doktrin Kristen yang sama sekali baru. Gereja Tuhan bukanlah
sebuah organisasi religius semata sehingga garis pemisah antara gereja dan dunia
harus dihapuskan. Gereja harus berperan serta dalam politik dan revolusi sebab 5
dunia ini adalah tempat Allah bersemayam. Teologi Sekulerisme memberikan
pengertian yang baru terhadap penginjilan, di mana isinya bukan lagi memanggil
orang berdosa untuk bertobat dan beriman kepada Yesus Kristus namun penginjilan
adalah aktifitas politik dan sosial di kalangan orang miskin. Sekalipun Teologi
Sekulerisme bermaksud mendobrak eksklusivisme gereja dan mendorong gereja
untuk menjadi terang dan garam dunia namun beberapa pandangan lainnya dikritik
oleh Penulis.

Pembaca dapat membaca dengan jelas bagaimana kritik Penulis terhadap


Teologi Sekulerisme ini. Selanjutnya Penulis menggambarkan suatu etika situasi atau
moralitas baru yang menggambarkan tanda kemerosotan standar-standar etika yang
didasarkan pada Alkitab. Pandangan ini mampu merebut perhatian manusia modern
masa itu karena prinsip-prinsip teologinya yang lebih ke arah eksitensial daripada
kesalehan dan lebih ke neo-ortodoks daripada ortodoks. Pada bagian ini, Penulis
menjelaskan bagaimana etika situasi mengkontraskan dirinya dengan etika tradisional
dalam banyak hal. Etika situasi menyebut dirinya sendiri sebagai reaksi terhadap
hukum-hukum moralitas, peraturan-peraturan dan prinsip moral yang lama sebagai
penuntun perilaku. Suatu perbuatan dikatakan salah bukan karena prinsip namun
karena situasi. Satu-satunya kriteria utama untuk menentukan perilaku bukanlah kode
etik tetapi kasih agape yang berkorban dan tidak mengikat diri serta menghendaki
kebaikan sesamanya, tidak peduli apakah kita menyukai mereka atau tidak.

Di dalam etika kristen diajarkan bahwa tujuan tidak membenarkan cara,


namun etika situasi justru mengatakan sebaliknya, “hanya tujuan yang membenarkan
cara”. Sekalipun tampaknya penekanan etika situasi menyerupai pengajaran Alkitab
namun dalam penerapannya mengambil rupa berbeda. Hal inilah yang menjadi kritik
Penulis di bagian akhir pembahasan pasal etika situasi. Pada pasal selanjutnya, di
tengah-tengah ketakutan orang akan kebangkitan Atheisme, Penulis menjelaskan
mengenai kemunculan Teologi Pengharapan oleh Jurgen Moltmann lewat
bukunya,“The Theology of Hope”. Menurut Moltmann, Allah tidaklah sepenuhnya
Allah karena Allah adalah satu bagian dari waktu yang mendesak maju ke masa yang
akan datang. Allah harus tunduk kepada proses waktu. Allah hanya hadir dalam janji-
janji-Nya dan hanya akan menjadi Allah kalau Ia memenuhi janji-janji-Nya.
Moltmann juga menekankan eskatologis orang Kristen bukanlah untuk menantikan
kedatangan Kristus kedua kalinya melainkan keterbukaan kepada masa yang akan
datang, suatu kebebasan di masa yang akan datang. Konsep Teologi Pengharapan juga
menekankan bahwa manusia harusnya tidak hanya pasif saja menantikan masa
depannya melainkan harus berperan lebih aktif untuk membawa masa depan ke dalam
masa kini. Penulis memberikan kritiknya dalam lima poin berkenaan dengan hal yang
ditawarkan oleh Moltmann.

Selanjutnya, Penulis menjelaskan konsep teologi lain yang berkembang


pada akhir tahun 1950, yaitu Teologi Sejarah atau Teologi Kebangkitan yang
dikenalkan oleh seorang profesor muda Universitas Mainz, Jerman, yang bernama
Wolfhart Pannenberg. Sekalipun sepertinya Pannenberg menyerang Karl Barth dan
Bultmann mengenai hubungan iman dan sejarah, tetapi sesungguhnya dalam banyak
hal, Pannenberg terlihat sebagai sangat neo-ortodoks karena ia menerima konsep
tentang realitas yang sebenarnya sama seperti konsep yang berasal dari 6 Kant tentang
keunggulan rasio. Pembaca dapat membandingkannya dua konsep teologi mereka
dalam buku ini. Penulis juga mengenalkan sebuah konsep teologi lainnya yang
dibangun oleh seorang tokoh ilmuwan dan mistik Jesuit, yaitu Pierre Teilhard de
Chardin yang kemudian dikenal dengan Teologi Evolusi. Bagi Teilhard, Allah bukan
penyebab terjadinya segala sesuatu di dalam alam semesta, melainkan penyebab
terakhir yang menarik segala sesuatu menuju kepada kesempurnaan di dalam diri-
Nya. Pusat dari proses evolusi Kristus yang meyakinkan manusia akan realitas proses
evolusi dengan membuatnya nyata di tengah-tengah kita. Gerakan yang menuju
kepada Kristus yakni titik omega adalah kasih yang menurut Teilhard bukan secara
khusus milik manusia namun kepunyaan umum dari segala yang hidup. Menurut
Penulis, konsep yang disodorkan oleh Teilhard banyak menemui kesulitan dalam
mendapatkan perhatian dari orang Calvinis yang dijelaskan dalam tujuh poin
kritiknya. Pada bab selanjutnya, Penulis menjelaskan tentang pemikiran Teologi
Proses yang disampaikan oleh seorang profersor dari Universitas Chicago, Dr.
Charles Hartshorne yang mencoba menjelaskan tentang keberadaan Allah dan karya-
Nya dalam dunia yang skeptis. Dalam bukunya, Penulis juga menampilkan sosok
seorang ahli matematika dan filsuf yang bernama Alfred North Whitehead yang
menyanggah pandangan dari Hartshorne. Pembaca akan tertarik dengan cara Penulis
menyajikan perbedaan ini pada pasal kedua belas yang masih disertai dengan
kritiknya terhadap konsep Teologi Proses. Pada bagian lain, Penulis menjelaskan
Teologi Ada yang dilontarkan oleh Paul Tillich yang dikenal sebagai “teolognya para
teolog”. Tillich setuju dengan Barth dan Bultmann tentang kritik tinggi para sarjana
liberal terhadap Alkitab dan mengajak untuk mendefinisi ulang makna agama.
Menurutnya, agama bukanlah kepercayaan atau perbuatan tertentu. Seseorang disebut
beragama bilamana ia berprihatin secara mendasar, yaitu keprihatinan terhadap hal
yang kita yakini memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan
keberadaan manusia, keseluruhan realitas manusia, struktur, makna dan tujuan
bereksitensi.

Hal yang paling mendasar adalah “Ada” itu sendiri atau yang secara tradisi
disebut Allah. Bagi Tillich, Allah adalah “Ada” itu sendiri, kuasa dari “Ada”, dan
dasar dari “Ada”. Tillich juga memandang dosa dengan istilah “Ada” dan pemisahan
dari keadaaan “Ada” itu, dan Kritus adalah simbol di mana pemisah tersebut dapat
diatasi. Konsep ini kembali menjadi kritik dari Penulis yang dengan jelas dan lugas
disampaikan di bagian akhir pembahasan Teologi Ada ini. Hal menarik lainnya yang
disampaikan Penulis pada bab selanjutnya adalah mengenai Mistikisme yang secara
sederhana adalah semacam agama yang menekankan kesadaran langsung akan adanya
hubungan dengan Allah, kesadaran akan kehadiran oknum Ilahi yang langsung dan
intim. Ciri utama dari mistikisme adalah kepercayaan pada wahyu khusus di luar
Alkitab. Orang mistik menyatakan bahwa Alkitab hanyalah suatu kesaksian tentang
pewahyuan sambil menanti kehadiran Allah dalam dialog dengan orang berdosa
menjadi pewahyuan khusus. Penekanan mistis ada pada hal-hal yang menakjubkan,
bukan kepada karuniakarunia Roh Kudus yang biasa tetapi karunia Roh Kudus yang
luar biasa; mujizat ditekankan dan kadang-kadang juga apa yang dinamakan dengan
bahasa lidah. 7 Menyingkapi hal ini, Penulis memberikan lima poin kritiknya pada
bagian akhir pembahasan pasal ini.

Di tengah-tengah pembahasan mengenai beberapa konsep yang sudah


dipelajari dan akan dipelajari dalam pasal-pasal berikutnya, Penulis mengambil
kesimpulan bahwa lahirnya konsep-konsep teologi yang sudah disampaikan Penulis
adalah tentang apa yang dapat dipercayanya Alkitab; mereka yang mengakuinya
otoritas Alkitab dan ketidak bersalahaannya di satu sisi dan mereka yang tidak
mengakuinya di sisi yang lain.

Kelompok-kelompok penafsiran Alkitab ini disebut “the brethren


(saudara-saudara) atau “the plymouth brethren” yang mulai memunculkan cara
pendekatan yang baru dalam penafsiran Alkitab, yang disebut dengan
Dispensasionalisme. Ciri utama penganut dispensasionalisme adalah selalu
menegaskan penafsiran Alkitab secara harfiah, bahkan semua nubuat pun ditafsirkan
secara harfiah dan akibatnya mereka menolak adanya hubungan antara Israel
Perjanjian Lama dengan gereja Perjanjian Baru. Beberapa ciri lainnya dapat pembaca
pelajari dalam bukunya ini beserta enam poin kritik dari Penulis terhadap konsep
dispensasionalisme.

Pada pasal berikutnya, Penulis menjelaskan sebuah konsep teologi lain


yang mengkritik gerakan liberalisme dan teori evolusi Darwin yang dinamakan
Fundamentalisme. Fundamentalisme menekankan lagi beberapa kepercayaan Kristen
yang mendasar lewat konferensi alkitab tahunan, pendirian sekolah Alkitab dan
seminari, penginjilan massal dan pengiriman badan misi ke luar negeri. Hal menarik
yang ditulis Penulis tentang konsep teologi Fundamentalisme ini adalah bersatunya
penganut Calvin, Arminian, Baptis, dan Presbyterian, dalam melawan arus
liberalisme, termasuk para penganut Dispensasionalisme. Namun perserikatan ini
tidak bertahan lama karena perubahan arus sebagai akibat dominasi
Dispensasionalisme yang sangat kuat dan sangat identik dengan Fundamentalis.
Selain itu faktor keretakan yang terjadi di kalangan internal Fundamentalis sendiri
menjadi akibat mundurnya Fundamentalisme. Misalnya pemisahan orang Presbyterian
konservatif bagian utara dan membentuk suatu denominasi baru, Presbyterian Church
of America yang menuntut agar Dispensasionalisme dikeluarkan dari
Fundamentalisme. Begitupun dengan orangorang Calvinis yang enggan digolongkan
sebagai Fundamentalis sehingga memunculkan gerakan baru yang dinamakan Neo-
Fundamentalisme. Beberapa ciri utama dari gerakan Neo-Fundamentalisme adalah
Dispensasionalisme 8 ekstrem, penarikan diri dari permasalahan sosial, ketakutan
akan tantangan budaya terhadap Injil dan pengabaian permasalahan etis. Penulis
dengan lugas menjelaskan perbedaan antara Fundamentalisme dan Neo-
Fundamentalisme di bagian akhir pembahasan pasal ini. Dalam dua pasal berikutnya,
Penulis menguraikan tentang konsep teologi Neo-Evangelikalisme dan kegagalannya.
Neo-Evangelikalisme pertama kali disampaikan oleh Dr. Harold Ockenga pada waktu
kebaktian pembukaan semester baru di Fuller Theological Seminary, California.
Konsep ini merupakan usaha menggabungkan Neo-Fundamentalisme dan
Fundalmentalisme serta pada saat yang bersamaan menekankan ketidakpuasan
terhadap beberapa bagian Fundamentalisme.

Dalam uraiannya di dua pasal ini, Penulis dengan sangat jelas dan luas
memaparkan konsep ini sehingga para pembaca bisa menarik kesimpulan dari
kegagalan konsep teologi ini. Di pasal terakhir bukunya, Penulis menjelaskan posisi
keyakinan Reform atau yang disebut Calvinisme terhadap gerakan-gerakan yang
muncul pada sebelum dan sesudah tahun 1919 dalam Sidang Dort di Belanda yang
akhirnya memutuskan lima buah doktrin yang dikenal dengan nama “TULIP”.
Reform meyakini bahwa inti Injil yang sesungguhnya adalah anugerah atau kasih
karunia. Penulis juga menjelaskan tantangan Reform atau Calvinisme dalam
mempertahankan doktrinnya, terutama tantangan internal yang disampaikan Dr. G.C.
Berkouwer dari Universitas Fee, Amsterdam, Belanda yang merupakan salah satu
pusat pengajaran Calvinisme dan dalam kehidupan gereja-gereja muda Calvinisme di
afrika dan Asia, di mana gereja bukan lagi menjadi umat Allah melainkan hanya
sebuah bangunan, bukan suatu program yang meliputi kesaksian, ibadah dan
pelayanan melainkan hanya satu jam yang diiisi dengan nyaanyian, doa dan kotbah.

Penulis menjelaskan bagaimana Reform mampu bertahan dari tantangan


yang dihadapinya. Buku ini sangat menarik untuk dimiliki sebagai bahan bacaan yang
mampu membuat para pembacanya mengenal, mengetahui dan mempelajari tentang
perkembangan konsep teologi yang muncul dalam kekristenan. Prof. Dr. Harvie M.
Conn mampu menguraikan konsep-konsep teologi yang rumit tersebut dalam bahasa
yang lugas, padat dan jelas. Kritik yang disampaikan Prof. Dr. Harvie M. Conn
terhadap konsep-konsep tersebut membuat para pembacanya memahami kekeliruan-
kekeliruan yang timbul dari konsep yang ditawarkan oleh para filsuf dan para teolog
ini. Namun nampaknya kritik yang disampaikan Penulis lebih banyak didasarkan
hanya kepada ide-ide Penulis dan doktrin dari keyakinan tertentu dibandingkan
dengan penjelasan ayat-ayat Alkitab. Selain itu, bahasa terjemahanan yang digunakan
dalam buku ini dirasa masih sangat membingungkan dan membuat para pembaca
dipaksa untuk berpikir lebih lama dalam memahami konsep teologi yang dijelaskan
Penulis.

Namun lepas dari kekurangannya, buku ini bukan hanya sebagai buku
bacaan yang mengemukakan tentang perkembangan konsep-konsep teologi yang
muncul dalam kekristenan namun juga merupakan buku refleksi diri yang baik bagi
para pembacanya. Beberapa konsep teologi yang dipelajari dalam buku ini bukan
disampaikan oleh orang-orang yang sembarangan; mereka adalah para filsuf, para
pendeta, para sarjana dan para profesor teologi terkemuka pada masanya. Rudolf 9
Bultmann dengan model kritik bentuk dan demitologisasi-nya adalah seorang profesor
Perjanjian Baru di Jerman; Karl Barth dengan Neo-Ortodoks-nya adalah seorang
pendeta dan profesor teologi di Bonn, Jerman; dan beberapa tokoh liberal seperti
Ritschl, Van Harnack, Rauschenbusch merupakan para ahli teologi pada masa itu. Hal
ini membuktikan bahwa pengetahuan tinggi teologi seseorang tidak berbanding lurus
dengan kemampuan seseorang mengenal Tuhan dengan benar. Pengetahuan hanya
berada di aspek kognitif sedangkan pengenalan akan Tuhan berada di aspek iman atau
supranaturalisme yang terkadang tidak dapat dijelaskan dengan pengetahuan kognitif.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan atau cara pandang seseorang terhadap
Alkitab; sebagai otoritas tertinggi dalam hidup atau hanya sebagai bahan bacaan
seperti buku-buku lainnya yang bisa mengandung kesalahan.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam konsep teologi yang


ditawarkan oleh para filsuf dan ahli teologi di atas dikarenakan hal tersebut, mereka
membawa kekeristenan menjauh dari otoritasnya, yaitu Alkitab. Oelh karena itu,
sangat penting membangun pemahaman teologi berdasarkan otoritas tertinggi dari
Alkitab sehingga tidak hanya aspek kogintif yang dibentuk, namun juga aspek iman.
Hal lain yang menjadi refleksi bagi para pembaca buku ini adalah berkenaan dengan
sikap gereja terhadap panggilannya untuk menjadi terang dan garam dunia. Beberapa
konsep teologi yang disampaikan oleh para teolog bukan saja karena cara pandang
terhadap Alkitab namun juga merupakan bentuk protes dari gereja yang menutup diri
dari permasalahan moral, etis, sosial yang terjadi di sekitarnya. Gereja menjadi sangat
eksklusif dan memisahkan diri dari apa yang terjadi di luar tembok gereja. Hal ini
dapat menolong pembaca buku ini untuk memastikan bahwa gereja harus terlibat
nyata dalam kehidupan di sekitarnya.

Saya menilai bahwa buku ini sangat menarik untuk dimiliki sebagai bahan
bacaan yang memampukan para pembacanya mengenal, mengetahui dan mempelajari
tentang perkembangan konsep teologi yang muncul dalam kekristenan. Namun saya
mengusulkan agar para pembaca yang ingin membaca buku ini setidaknya sudah
memiliki dasar teologi yang mantap sehingga tidak mudah diombang-ambingkan atau
dibingungkan dengan beberapa konsep teologi yang disajikan dalam buku ini.

Anda mungkin juga menyukai