Hal inilah yang dikritik Penulis dalam bukunya, yang pada akhirnya
menjadi ciri khas buku Teologi Kontemporer ini, yaitu kritik terhadap pandangan
teologi yang menjauhkan umat Tuhan dari Alkitab. Dalam setiap kritikannya, Penulis
selalu bertolak dari Alkitab, melalui Alkitab dan kepada Alkitab. Lebih lanjut Penulis
menyatakan bahwa persoalan denominasionalisme yang terjadi antar golongan gereja,
Katolik, Prebyterian, Baptis, Methodis, Episcopalian, dan lainnya, bukanlah menjadi
isu utama dalam tesis buku ini. Pemisahan yang terutama dan terbesar adalah antara
orang yang percaya kepada Kristus yang dinyatakan oleh Alkitab dengan mereka
yang tidak percaya akan hal itu; antara mereka yang memberitakan Allah yang
Tritunggal dan berdaulat dengan mereka yang tidak memberitakan Allah yang
demikian. Itulah yang menjadi tesis utama buku ini.
Hal yang menarik dari teologi yang dikembangkan oleh Karl Barth adalah
sekalipun ia pernah belajar di bawah bimbingan para teolog liberal ternama, seperti
Hannack dan Hermann, namun pandangan teologi yang dianutnya berseberangan
dengan pandangan teologi yang diyakini gurunya tersebut; ia memberontak terhadap
ajaran liberalisme. Hal ini terutama disebabkan sebagai akibat Perang Dunia 1 yang
berlangsung pada tahun 1914-1918 yang telah mengakhiri mimpinya, ”Jerman yang
berbudaya, Inggris yang liberal, dan Perancis yang beradab saling bertempur bagaikan
binatang gila.” Demikianlah cuplikan pernyataan Karl Barth. Penulis menjelaskan
beberapa hal yang menjadi perbedaan antara pandangan teologi Karl Barth dengan
liberalisme. Dalam liberalisme, Allah dianggap imanen dalam dunia, sedangkan Barth
menunjukkan Allah sebagai Yang mutlak berbeda dari kita; subyektifitas liberalisme
telah menempatkan manusia sebagai pengganti Allah, namun Barth menyerukan
Allah tetaplah sebagai Allah dan bukan manusia; liberalisme membangun teologinya
di atas dasar etika, namun Barth membangun etika di atas dasar teologi. Ia
menekankan bahwa manusia memerlukan wahyu namun ia sangat berhati-hati dalam
membedakan isi Alkitab dari yang berupa identifikasi mutlak dengan apa yang
menjadi Firman Tuhan.
Menurut Barth, hubungan antara Allah dengan Alkitab tetap nyata tetapi
tidak berlangsung; sebelum perkataan Alkitab nyata bagi kita, sebelum terpancar
dalam kehidupan kita dan sebelum berbicara kepada kita dalam situasi eksistensial,
maka Alkitab bukanlah Firman Allah. Karl Barth menyebut kejatuhan Adam dalam
dosa, penebusan Kristus di dalam Kristus, kebangkitan dan kedatangan Yesus yang
kedua kali hanyalah sebuah kisah. Dalam hal ini, hampir tidak ada perbedaan antara
pandangan teologi Karl Barth dengan liberalisme. Sekalipun Barth menekankan
bahwa manusia memerlukan wahyu namun ia tetap mendukung pandangan
liberalisme yang kritis terhadap Alkitab dan menolak ketidakbersalahan Alkitab,
bahkan ia menyatakan seluruh Alkitab merupakan dokumen menusia yang dapat
keliru. Sekalipun Karl Barth menekankan Yesus Kristus sebagai pusat pernyataan dan
menyangkal adanya pernyataan lain tentang Allah di luar Kristus namun hal itu malah
mengorbankan pernyataan umum yang disampaikan para murid dan orang-orang
khusus yang diberi penyataan Allah. Pada pasal-pasal berikutnya, Penulis mulai
menyajikan pandanganpandangan teologi dari beberapa tokoh teologi kontemporer.
Pada pasal empat, Penulis menguraikan konsep teologi yang disampaikan oleh tokoh
yang bernama 4 Rudolf Bultmann. Ia menerbitkan sebuah buku berjudul History of
the Synoptic Tradition yang membawa perubahan lain dalam penyelidikan kritik
terhadap Alkitab. Dalam pasal ini, Penulis menjelaskan kritik bentuk yang isinya
menyatakan bahwa Alkitab tidak dapat diterima sebagai catatan dari kehidupan dan
pengajaran Kristus dan para rasul-rasulnya yang layak dipercaya. Secara obyektif
Alkitab merupakan hasil pengaruh sejarah dan agama kuno sehingga harus dinilai
sama seperti literatur religius kuno lainnya.
Hal yang paling mendasar adalah “Ada” itu sendiri atau yang secara tradisi
disebut Allah. Bagi Tillich, Allah adalah “Ada” itu sendiri, kuasa dari “Ada”, dan
dasar dari “Ada”. Tillich juga memandang dosa dengan istilah “Ada” dan pemisahan
dari keadaaan “Ada” itu, dan Kritus adalah simbol di mana pemisah tersebut dapat
diatasi. Konsep ini kembali menjadi kritik dari Penulis yang dengan jelas dan lugas
disampaikan di bagian akhir pembahasan Teologi Ada ini. Hal menarik lainnya yang
disampaikan Penulis pada bab selanjutnya adalah mengenai Mistikisme yang secara
sederhana adalah semacam agama yang menekankan kesadaran langsung akan adanya
hubungan dengan Allah, kesadaran akan kehadiran oknum Ilahi yang langsung dan
intim. Ciri utama dari mistikisme adalah kepercayaan pada wahyu khusus di luar
Alkitab. Orang mistik menyatakan bahwa Alkitab hanyalah suatu kesaksian tentang
pewahyuan sambil menanti kehadiran Allah dalam dialog dengan orang berdosa
menjadi pewahyuan khusus. Penekanan mistis ada pada hal-hal yang menakjubkan,
bukan kepada karuniakarunia Roh Kudus yang biasa tetapi karunia Roh Kudus yang
luar biasa; mujizat ditekankan dan kadang-kadang juga apa yang dinamakan dengan
bahasa lidah. 7 Menyingkapi hal ini, Penulis memberikan lima poin kritiknya pada
bagian akhir pembahasan pasal ini.
Dalam uraiannya di dua pasal ini, Penulis dengan sangat jelas dan luas
memaparkan konsep ini sehingga para pembaca bisa menarik kesimpulan dari
kegagalan konsep teologi ini. Di pasal terakhir bukunya, Penulis menjelaskan posisi
keyakinan Reform atau yang disebut Calvinisme terhadap gerakan-gerakan yang
muncul pada sebelum dan sesudah tahun 1919 dalam Sidang Dort di Belanda yang
akhirnya memutuskan lima buah doktrin yang dikenal dengan nama “TULIP”.
Reform meyakini bahwa inti Injil yang sesungguhnya adalah anugerah atau kasih
karunia. Penulis juga menjelaskan tantangan Reform atau Calvinisme dalam
mempertahankan doktrinnya, terutama tantangan internal yang disampaikan Dr. G.C.
Berkouwer dari Universitas Fee, Amsterdam, Belanda yang merupakan salah satu
pusat pengajaran Calvinisme dan dalam kehidupan gereja-gereja muda Calvinisme di
afrika dan Asia, di mana gereja bukan lagi menjadi umat Allah melainkan hanya
sebuah bangunan, bukan suatu program yang meliputi kesaksian, ibadah dan
pelayanan melainkan hanya satu jam yang diiisi dengan nyaanyian, doa dan kotbah.
Namun lepas dari kekurangannya, buku ini bukan hanya sebagai buku
bacaan yang mengemukakan tentang perkembangan konsep-konsep teologi yang
muncul dalam kekristenan namun juga merupakan buku refleksi diri yang baik bagi
para pembacanya. Beberapa konsep teologi yang dipelajari dalam buku ini bukan
disampaikan oleh orang-orang yang sembarangan; mereka adalah para filsuf, para
pendeta, para sarjana dan para profesor teologi terkemuka pada masanya. Rudolf 9
Bultmann dengan model kritik bentuk dan demitologisasi-nya adalah seorang profesor
Perjanjian Baru di Jerman; Karl Barth dengan Neo-Ortodoks-nya adalah seorang
pendeta dan profesor teologi di Bonn, Jerman; dan beberapa tokoh liberal seperti
Ritschl, Van Harnack, Rauschenbusch merupakan para ahli teologi pada masa itu. Hal
ini membuktikan bahwa pengetahuan tinggi teologi seseorang tidak berbanding lurus
dengan kemampuan seseorang mengenal Tuhan dengan benar. Pengetahuan hanya
berada di aspek kognitif sedangkan pengenalan akan Tuhan berada di aspek iman atau
supranaturalisme yang terkadang tidak dapat dijelaskan dengan pengetahuan kognitif.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan atau cara pandang seseorang terhadap
Alkitab; sebagai otoritas tertinggi dalam hidup atau hanya sebagai bahan bacaan
seperti buku-buku lainnya yang bisa mengandung kesalahan.
Saya menilai bahwa buku ini sangat menarik untuk dimiliki sebagai bahan
bacaan yang memampukan para pembacanya mengenal, mengetahui dan mempelajari
tentang perkembangan konsep teologi yang muncul dalam kekristenan. Namun saya
mengusulkan agar para pembaca yang ingin membaca buku ini setidaknya sudah
memiliki dasar teologi yang mantap sehingga tidak mudah diombang-ambingkan atau
dibingungkan dengan beberapa konsep teologi yang disajikan dalam buku ini.