1. Pengantar
Teologi pengharapan Moltmann berbicara tentang Allah yang ada di depan kita dan
yang akan menjadikan semuanya baru.2 Sekarang Dia dikenal dari janji-janjiNya. Allah
adalah Allah yang mempunyai masa yang akan datang sebagai sifat-Nya yang hakiki.
Teologi pengharapan Moltmann ingin memikirkan pengharapan bukan sebagai penghabisan
seperti yang disebutkan di dalam dogmatika Kristen "Eskatologi" melainkan sebagai dasar
dan sebagai pola pemikiran yang terus-menerus mempengaruhi dogmatika Kristen.3
Eskatologi menurut Moltmann adalah suatu keterbukaan kepada masa yang akan datang.
Eskatologi diinterpretasikan kembali sebagai suatu yang sentral dari doktrin Kristen. Dalam
arti inilah eskatologi dalam teologi pengharapan Moltmann berbeda dengan eskatologi
1
Bdk. Jurgen Moltmann, Theology of Hope, Munich: SCM Press Ltd, 1965, hal. 3.
2
Ibid., hal. 5.
3
Ibid., hal. 16.
1
tradisional sebelumnya. Moltmann menghadirkan eskatologi sebagai doktrin yang aktif dari
pengharapan supaya mampu menjadikan harapan sebagai alternatif masa depan. Moltmann
melihat Gereja sebagai jemaat pengharapan yang mengalami pengharapan di dalam Allah
yang hadir di dalam janji-janjiNya. Karena masih berada di dunia, maka Gereja dipanggil
Allah untuk pergi dan melayani sesama di dalam dunia, membangun dunia baru sambil
menaruh harapan kepada Kristus.
Melalui tulisan ini, kami akan mengulas secara singkat pemikiran Jurgen Moltmann
tentang Teologi Pengharapan.
Jurgen Moltmann lahir pada 8 April 1926 di Hambur, Jerman. 4 Keluarganya tidak
taat dalam hidup beragama. Sejak kecil, Moltman mempunyai ketertarikan dengan puisi,
karya sastra dan pemikiran para filsuf Jerman, Lessing, Goethe dan Nietzche. Bahkan buku
Zarathustra (karya Nietzche) menjadi buku kegemarannya. Pada usia 16 tahun, ia juga
mengindolakan Albert Einstein. Bahkan ia mau belajar matematika untuk mendalami
pemikiran Einstein. Ia sangat tertarik dengan teori relativitasnya Einstein. Akan tetapi,
seiring berjalannya waktu, ia memiliki minat untuk belajar tentang kristianitas, terutama
tentang teologi.
2
Seorang pendeta asal Amerika memberinya Kitab Suci dan ia langsung
membacanya, terutama Kitab Perjanjian Baru dan Mazmur.6 Setelah membaca Kitab Suci
itu, ia menemukan bahwa segala harapannya selama ini dijawab dengan baik oleh Kitab
Suci. Ia menemukan Tuhan, walaupun menderita. Setelah itu, ia diijinkan untuk belajar
teologi di Norton Camp yang dikelola oleh angkatan bersenjata Inggris. Pengalaman
penderitaan menyadarkannya bahwa antara iman dan penderitaan saling melengkapi satu
sama lain. Tahun 1948, ia kembali dari medan perang dan bisa mengikuti kuliah di
universitas Goetingen yang sangat dipengaruhi oleh Karl Barth. Moltman menyelesaikan
studinya pada tahun 1952. Kemudian, ia menjadi pendeta di gereja Evangelikal di Bremen.
Tahun 1963, ia bergabung dengan univeritas Bonn. Akan tetapi, mulai tahun 1967-1994, ia
mengajar di universitas Tubingen dan menjadi guru besar teologi.
Moltman termasuk teolog yang produktif menulis. Berikut ini adalah beberapa buku
yang dihasilkannya.7
Man: Christian Anthropology in the Conflicts of the Present, SPCK, London, 1974
The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God, Harper and Row, New York,
1981
6
Ibid.
7
http://people.bu.edu/wwildman/bce/moltmann.htm, diakses 4 Februari 2014.
3
History and the Triune God: Contributions to Trinitarian Theology
3. Konteks Pemikiran
4
Tatkala mengikuti kuliah di universitas Goetingen, ia mempelajari pemikiran Karl
Barth.8 Bahkan ia sungguh-sungguh menguasai pemikiran Karl Barth. Akan tetapi,
menurutnya, Karl Barth belum menyentuh soal politik dan kebudayaan, padahal itu sangat
penting dalam kehidupan umat beriman, terutama masyarakat Eropa yang baru saja
melewati masa perang. Selain dipengaruhi oleh Karl Barth, ternyata ia juga dipengaruhi
oleh pemikiran Dietrich Bonhoeffer, terutama tentang etika sosial dan keterlibatan gereja
dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang tak kalah menarik adalah Jurgen Moltmann juga rupanya dipengaruhi oleh
seorang filsuf Marxist Yahudi, Ernst Bloch. 9 Ia sangat menyukai buku Ernst Bloch tentang
“Prinsip Harapan” (Das Prinzip der Hoffnung, 1959). Uraian Bloch tentang harapan dan
juga pengalamannya ketika menjadi tawanan perang mendorongnya untuk menulis sesuatu
tentang teologi pengharapan. Moltmann menemukan bahwa prinsip harapan yang diuraikan
oleh Bloch perlu dilengkapi konsep pengharapan dalam iman akan Allah, dan bukan
pengharapan sekular (pengharapan akan masa depan dunia tanpa Allah). Pengalaman
kehadiran Allah dalam situasi penderitaan menggerakkan hatinya untuk membagikan
penemuan teologisnya kepada orang lain. Selain itu, keterlibatannya selama dan sesudah
perang di dalam penderitaan secara kolektif dan kekalahan bangsa Jerman, mendorongnya
untuk membuat kajian teologis yang tidak terpisahkan dari kehidupan umum manusia,
termasuk persoalan-persoalan sosial-politik. Perang dingin yang tak lain adalah perang
ideologi dengan Rusia turut menjadi latar belakang munculnya teologi ini. Rusia
mengalami kebangkitan. Sementara Jerman semakin masuk dalam situasi kekacauan.
Dalam situasi ini, yang perlu adalah selalu berharap kepada Tuhan.
8
http://people.bu.edu/wwildman/bce/moltmann.htm, diakses 10 April 2014.
9
Bdk. Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke-20, Jakarta: Gunung Mulia, 1985, hal. 154.
5
4. Uraian tentang Pengharapan Yang Realistis
Pada bagian ini, kami akan mengulas pemikiran Jurgen Moltmann tentang
pengharapan yang realistis. Untuk memperjelas uraian ini, kami akan membaginya
dalam beberapa bagian kecil.
4.1 Pengharapan akan apa yang dijanjikan Allah bagi masa depan10
In actual fact, however, eschatology means the doctrine of the Christian hope, which
embraces both the object hoped for and also the hope inspired by it. From first to last, and not
merely in the epilogue, Christianity is eschatology, is hope, forward looking and forward
moving, and therefore also revolutionizing and transforming the present. The eschatological
is not one element of Christianity, but it is the medium of Christian faith as such, the key in
which everything in it is set, the glow that suffuses everything here in the dawn of an
expected new day.11
6
zamannya, “orang Kristen, Gereja-Gereja dan kaum teolog telah percaya akan Allah tanpa
masa depan; oleh karena itu, hasrat akan masa depan dunia telah bergabung dengan ateisme
yang mencari masa depan tanpa Allah.”13 Eskatologi memiliki sumber yang khas yakni
karya keselamatan Allah. Dasar eskatologi adalah keyakinan iman bahwa karya Allah
selalu mengandung kemungkinan baru.
Berpikir teologis dari segi pengharapan berarti melihat seluruh teologi dalam terang
masa depan Allah.14 Inilah hal yang juga ditegaskan oleh Jurgen Moltmann. Ia
meninggalkan cara menggambarkan Allah sebagai tokoh kekal yang tanpa bergerak berada
pada tempat yang tinggi atau berada di tempat yang terdalam dari manusia. Mengapa
demikian? Karena Allah bukan berada di tempat yang tinggi atau berada ditempat yang
terdalam, tetapi Ia berjalan mendahului kita dan dari depan menarik kita menuju masa
depan. Dia adalah Allah masa depan, yang mengajar kita berharap. Oleh karena itu,
Moltmann menandaskan bahwa gambaran Allah yang timbul dari pemikiran Yunani harus
diganti dengan gambaran Allah yang timbul dari Perjanjian Lama, yakni Allah sejarah;
Allah yang mencakup segala perkara duniawi, termasuk sosial-politik. 15 Perjalanan bangsa
Israel menegaskan bahwa Allah itu adalah Dia yang selalu berjanji membawa Israel menuju
masa depan yang baru. Kesadaran akan Allah seperti inilah yang menyertai perjalanan
bangsa Israel bahkan hingga saat ini. Pemikiran ini juga hendaknya menjiwai perjalanan
hidup orang-orang Kristen saat ini. Di tengah perjuangan hidup yang ditandai dengan
pelbagai tantangan di dunia ini, hendaknya Allah selalu berada di depan, yang menarik
mereka agar mengalami pembebasan bersama-Nya.
13
Ibid., 146.
14
Ibid., hal. 136.
15
Ibid.
7
yang lebih sempurna.16 Pelaksanaan sementara merupakan antisipasi eskatologis.
Maksudnya adalah dalam pelaksanaan janji yang bersifat sementara itu kepenuhan
pelaksanaan janji-janji diantisipasi. Dengan demikian, selalu ada pengharapan dalam diri
orang-orang percaya.
Dalam perjanjian Baru, antisipasi eskatologis itu lebih ditegaskan lagi. Kerajaan
Allah sudah dekat, maka kita harus bertobat dan mengarahkan diri ke masa depan.
Peristiwa sangat penting yang menumbuhkan harapan baru bagi orang beriman adalah
wafat dan kebangkitan Kristus.17 Melalui peristiwa penting ini, kebangkitan manusia
diantisipasi dan dengan demikian menjadi jelas ke arah mana seluruh dunia berkembang.
Bahkan seluruh proses pembangunan dunia dan masyarakat, segala kemajuan budaya dan
ilmu pengetahuan memainkan peranan penting karena setiap penyempurnaan dunia harus
dilihat sebagai satu tahap dalam proses pelaksanaan wahyu Allah dan kerajaan-Nya.
Mengimani kebangkitan Kristus berarti bahwa orang kristiani sekarang sudah hidup dari
masa depan yang telah diantisipasi dalam kebangkitan Yesus Kristus.
Christian eschatology speaks of ‘Christ and his future’. Its language is the language of
promises. It understands history as the reality instituted by promise. In the light of the
present promise and hope, the as yet unrealized future of the promise stands in contradiction
to given reality. The historic character of reality is experienced in this contradiction, in the
front line between the present and the promised future. History in all its ultimate possibilities
and dangers is revealed in the event of promise constituted by the resurrection and cross of
Christ. We took the promise contained in this event, in the sense of that which is latent,
hidden, prepared and intended in this event, and expounded it against the background of the
Old Testament history of promise, perceiving at the same time the tendencies of the Spirit
which arise from these insights. The pro- missio of the universal future leads of necessity to
the universal missio of the Church to all nations.18
Jadi, eskatologi itu berbicara tentang Kristus dan masa depan-Nya. Hal ini
berkaitan dengan janji Yesus untuk menyelamatkan dunia. Yang perlu disadari adalah janji
itu memiliki latar belakangnya dalam Perjanjian Lama. Seperti yang kita ketahui bahwa
16
Ibid., hal. 141.
17
Ibid., hal. 191.
18
Ibid., hal. 146.
8
dalam Perjanjian Lama, Allah selalu menjanjikan keselamatan bagi umat Israel. Berkat
wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut, Kristus memberikan harapan baru bagi orang
yang percaya; harapan akan keselamatan kekal sekaligus memanggil para pengikut-Nya
untuk mewartakan keselamatan kepada segala bangsa.
Peristiwa penampakan Yesus yang telah bangkit merupakan pewahyuan yang
menampilkan Kristus yang akan datang dan oleh karena itu dapat memberikan tugas
perutusan kepada para rasul.19 Akan tetapi, perutusan ini hanya dapat dimengerti dalam
terang janji-janji Perjanjian Lama tentang kedatangan Tuhan dan kebenaran-Nya. Dengan
demikian, sejarah keselamatan itu bukan hanya penting bagi para nabi, tetapi juga teologi
yang dianggap oleh Moltman sebagai penglihatan historis-eskatologis yang diberikan Allah
kepada kita dalam jangka waktu antara peristiwa salib dan parusia Kristus. Konsep ini
memiliki konsekuensi lebih lanjut yakni karena janji Allah hanya mempunyai arti kalau ada
hubungan dengan manusia yang hidup di dunia, teologi yang berlandaskan Alkitab itu
hendaknya selalu berdialog dengan dunia, termasuk ilmu pengetahuan dan kehidupan
sosial-politik.20 Dengan demikian, iman berkembang menjadi harapan yang berjuang
melawan apa yang negatif di dunia ini sambil menderita, tetapi tidak pernah putus asa
sebab orang Kristen yang memiliki harapan menerima salib dalam kekuatan kebangkitan.
Moltmann juga menguraikan bahwa harapan kristiani itu bersumber dari peristiwa
kebangkitan dan penampakan Kristus. Tatkala kita mengakui kebangkitan Kristus, maka
kita juga mengakui tindakan Allah di masa depan untuk mengubah dunia. Tentang hal ini,
ia menjelaskannya sebagai berikut.
The Christian hope for the future comes of observing a specific, unique event -- that of the
resurrection and appearing of Jesus Christ. The hopeful theological mind, however, can
observe this event only in seeking to span the future horizon projected by this event. Hence to
recognize the resurrection of Christ means to recognize in this event the future of God for the
world and the future which man finds in this God and his acts. Wherever this recognition takes
19
Bdk. Jurgen Moltman, The Church in the Power of the Spirit, Munich: SCM Press Ltd, 1975, hal. 166.
20
Ibid., hal. 176.
9
place, there comes also a recalling of the Old Testament history of promise now seen in
critical and transforming light.21
Dengan kata lain, salib dan kebangkitan Kristus adalah intisari iman kristiani dan ini
mendasari pengharapan umat beriman.22 Iman kristiani hidup dari kebangkitan Kristus yang
disalibkan dan mendambakan masa depan Kristus yang akan terpenuhi dalam parusia. Pada
salib Kristus, kematian manusia mendapat arti bagi Allah. Manusia Yesus yang wafat pada
kayu salib itu adalah Putra Allah, dan wafatnya Putra Allah itu dirasakan baik oleh Allah
Putra maupun Allah Bapa.23 Pembedaan antarpribadi dalam Allah Tritunggal itu mencakup
juga kematian. Hal ini berlaku juga bagi keesaan dalam pembedaan itu, dan keesaan
terletak dalam Roh Kudus: di dalam Roh Kudus terjadi penyerahan Putra ke dalam maut,
dan karena Roh Kudus itu juga terlaksana kebangkitan Putra ke dalam kemuliaan. 24
Kebangkitan Kristus adalah awal kebangkitan orang-orang mati.
Menurut Moltmann, arti eskatologis wafat dan kebangkitan Kristus terletak pada
Salib. Salib dipandang sebagai antisipasi murka Allah atas segala makhluk. Kristus
mewakili orang-orang berdosa dan fasik yang terpisah dari Allah. 25 Dengan demikian, Salib
Kristus merupakan peristiwa penghakiman eskatologis. Maksudnya, dalam salib itu
pengadilan terakhir sudah terlaksana. Dalam salib anak-Nya, Allah Bapa menerima
kematian supaya manusia dapat meninggal dalam damai karena mengetahui dengan pasti
bahwa dalam kematian itu ia tidak terpisah dari Allah. Melalui wafat Kristus, Allah
sungguh-sungguh terlibat dalam sejarah manusia dan akan membawa sejarah itu kepada
pemenuhannya, sebagaimana secara antisipasi sudah terlaksana dalam kebangkitan Kristus.
21
Bdk. Id., Theology of Hope, Op.Cit., hal. 125
22
Ibid., hal. 165.
23
Bdk. Jurgen Moltman, The Crucified God, Munich: SCM Press Ltd, 1974, hal. 190.
24
Bdk. Nico Syukur Dister, Op. Cit., hal. 543.
25
Ibid., hal. 145.
10
menjadi jaminan hidup. Penderitaan hidup di dunia akan berakhir dan yang nanti dialami
adalah sukacita bersama Kristus yang bangkit. Kebangkitan Yesus juga meyakinkan
mereka bahwa peristiwa itu (kebangkitan Kristus) adalah antisipasi kebangkitan umat
beriman. Dengan kata lain, peristiwa kebangkitan Kristus menjadi sumber kebangkitan
hidup semua orang percaya dan sebagai sebuah konfirmasi janji yang akan dipenuhi dalam
semuanya, sehingga masalah kematian pun tidak lagi menakutkan.26
Melalui Salib dan kebangkitan Yesus terdapat gambaran yang menarik tentang
‘persaingan’ antara kematian dan hidup, ketidakhadiran Allah dan kehadiran Allah. 27
Melalui kebangkitan-Nya, Yesus menuju hidup baru, Allah menciptakan kontinuitas di
dalam diskontinuitas yang radikal ini. Selanjutnya kontradiksi salib dan kebangkitan cocok
kepada kontradiksi antara realitas masa kini dan apa yang Allah janjikan untuk diperbuat-
Nya. Pada salib-Nya Yesus memperkenalkan diri-Nya dengan realitas masa kini dengan
segala persoalannya yakni dosa, penderitaan dan kematian atau apa yang Moltmann
katakan adalah keterkutukkan dan ketidakkekalan.
4.4. Pengharapan Kristiani meresap dalam dunia konkret, kini dan di sini
26
Bdk. Jurgen Moltman, Theology of Hope, Op.Cit., hal. 211.
27
Ibid., hal 226.
28
Ibid., hal 16-17.
29
Ibid., hal. 25.
11
hendaknya diselesaikan dengan penuh semangat kerja sama tanpa keputusasaan. Landasan
pengharapan ini adalah Kristus yang telah disalibkan dan kemudian mengalahkan maut
melalui kebangkitan-Nya. Melalui iman, kita terikat kepada Kristus, dan dengan demikian
kita memiliki harapan pada Kristus yang bangkit dan pengetahuan akan kedatangan-Nya
kembali.
For the eschatological hope shows that which is possible and transformable in the world to
be meaningful, and the practical mission embraces that which is now within the bounds of
possibility in the world. The theory of worldtransforming, future-seeking missionary practi-
ce does not search for eternal orders in the existing reality of the world, but for possibilities
that exist in the world in the direction of the promised future. The call to obedient molding
of the world would have no object, if this world were immutable. The God who calls and
promises would not be God, if he were not the God and Lord of that reality into which his
mission leads, and if he could not create real, objective possibilities for his mission. Thus
the transforming mission requires in practice a certain Weltanschauung, a confidence in the
world and a hope for the world. It seeks for that which is really, objectively possible in this
world, in order to grasp it and realize it in the direction of the promised future of the
righteousness, the life and the kingdom of God.30
Dari kutipan ini, kami melihat bahwa Jurgen Moltmann sangat menekankan
aktualisasi dari pengharapan kristiani. Pengharapan kristiani yang berlandaskan pada
Kristus yang bangkit itu hendaknya mendorong pengikut Kristus untuk berani membuat
perubahan; mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Transformasi dunia adalah tugas dari
orang-orang yang memiliki pengharapan. Inilah misi yang diemban oleh para pengikut
Kristus. Dengan kata lain, mereka tidak bisa menutup mata terhadap aneka ketidakadilan,
kejahatan, penderitaan yang terjadi di dunia ini. Mereka harus berpartisipasi untuk
mengubah semuanya ini. Inilah tugas Kristus yang saat ini dilimpahkan kepada para
pengikut-Nya. Apabila tugas ini dilakukan dengan baik, maka pengikut Kristus berhasil
menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini!
Moltmann juga memahami iman Kristen sebagai harapan utama tentang masa depan
manusia dan dunia yang dijanjikan oleh Allah dalam kebangkitan Yesus yang disalibkan.
30
Ibid., hal. 187.
12
Akan tetapi, hal ini tidak berarti masa depan yang diharapkan saja, tetapi sebuah realitas
dalam sejarah nyata dan yang berkuasa atas masa depan. Eskatologi Kristen adalah sebuah
doktrin pengharapan yang aktif agar dapat memberi harapan untuk masa depan bagi yang
tertindas dan menderita pada masa sekarang ini. 31 Oleh karena itu, seorang teolog tidak
hanya peduli untuk menyediakan suatu interpretasi yang berbeda dalam dunia, sejarah dan
kehidupan manusia, tetapi untuk mengubah mereka dalam pengharapan akan transformasi
ilahi. Sejarah adalah realitas yang dilembagakan oleh janji Allah dalam kehadiran-Nya dan
dialami oleh manusia sebagai pergerakkan janji masa depan dalam suatu antisipasi.
Teologi Politik
Situasi penderitaan dunia saat ini hendaknya menjadi medan kesaksian bagi para
pengikut Kristus untuk mewartakan injil kebebasan. 33 Bahkan Moltman menyadarkan
bahwa dunia yang penuh derita dan maut ini akan lewat, sebagaimana Kristus telah
mengalahkan maut. Kebaktian di gereja hanya akan berkenan kepada Tuhan apabila disertai
aksi nyata dalam segala bidang kehidupan manusia. Seorang teolog yang berbicara tentang
Allah harus selalu bertanya apakah ia memberi candu kepada umat ataukah obat untuk
memperjuangkan kemerdekaan manusia. Hanya dalam hal terakhir (memperjuangkan
kemerdekaan), ia berbicara tentang Kristus yang tersalib dan kemudian mengalahkan maut;
sedangkan dalam hal pertama (hanya berbicara tentang Allah), ia hanya berbicara tentang
31
Ibid., hal. 32.
32
Bdk. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hal.145.
33
Bdk. Jurgen Moltman, Theology of Hope, Op. Cit., hal. 330-338.
13
berhala kaum kafir.34 Iman kristiani hendaknya menyadarkan pengikut Kristus agar berani
mengubah dunia dan menegakkan kemerdekaan bagi umat manusia. Yesus datang ke dunia,
bukan hanya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, membebaskan manusia secara pribadi,
menghibur yang tersesak, tetapi juga memberikan harapan baru akan keadilan,
kesejahteraan dan kedamaian di dunia ini. 35 Gereja diutus ke dunia, bukan hanya
menyebarkan iman dan harapan, tetapi juga melakukan perubahan historis.
The risen Christ calls, sends, justifies and sanctifies men, and in so doing gathers, calls and
sends them into his eschatological future for the world. The risen Lord is always the Lord
expected by the Church -- the Lord, moreover, expected by the Church for the world and
not merely for itself. Hence the Christian community does not live from itself and for itself,
but from the sovereignty of the risen Lord and for the coming sovereignty of him who has
conquered death and is bringing life, righteousness and the kingdom of God.37
Kristus yang bangkit memanggil dan mengutus para murid-Nya untuk mengubah
dunia; membawa harapan hidup kepada dunia. Komunitas kristiani yang hidup dari Kristus
hendaknya mampu membawa kehidupan baru kepada dunia; kehidupan yang dipenuhi
34
Bdk. Nico Syukur Dister, Op. Cit., hal. 544.
35
Bdk. Jurgen Moltman, The Church in the Power of the Spirit, Op. Cit., hal. 178.
36
Bdk. Id., Theology of Hope, Op. Cit., hal. 216-224.
37
Ibid., hal. 211.
14
kedamaian dan kesejahteraan. Kebenaran harus ditegakkan di dunia ini. Kerajaan Allah
harus dialami oleh setiap manusia. Inilah misi Kristus yang dijalankan oleh umat kristiani
yang memiliki pengharapan.
Eskatologi Kristiani harus memberi perhatian pada sejarah dan pada keterlibatan
Allah dalam sejarah.38 Janji Allah yang dinyatakan di dalam Perjajian Lama dan Perjanjian
Baru akhirnya dapat menimbulkan pengharapan masa depan yang sungguh-sungguh pasti
bahkan sudah dapat dirasakan pada saat ini. Janji dan pengharapan itu akhirnya dapat
menimbulkan misi Gereja di dunia ini. Misi ini mengutus mereka ke dunia yang universal
dengan kemungkinan pencapaian kemajuan berdasarkan iman akan Allah sendiri di dalam
keagungan kuasa, kesetiaan dan janji-Nya. Misi Gereja dapat berjalan dengan baik jika
orang Kristen mengharapkan sesuatu yang baru dari Kristus, sesuatu yang belum pernah
terjadi, dan hal ini ditunggu pemenuhannya berdasarkan janji kebenaran Allah dalam segala
sesuatu. Oleh karena itu, umat Allah yang telah menerima janji itu harus kreatif dalam
karyanya sehari-hari untuk memperlihatkan jiwa misionaris dengan melayani orang-orang
yang tidak berdaya, lemah, miskin, dan yang terpinggirkan di dunia ini.
Jurgen Moltmann menjelaskan dengan baik sekali tentang misi Gereja di dunia ini.
Hal ini terlihat dalam uraian berikut ini.
The Christian Church which follows Christ’s mission to the world is engaged also in
following Christ’s service of the world. It has its nature as the body of the crucified and risen
Christ only where in specific acts of service it is obedient to its mission to the world. Its
existence is completely bound to the fulfilling of its service. For this reason it is nothing in
itself, but all that it is, it is in existing for others. It is the Church of God where it is a Church
for the world.39
Gereja Kristus pasti melaksanakan misi Kristus. Misi Kristus tak lain adalah
menyelamatkan dunia; memberikan kehidupan kepada dunia. Kristus datang
membebaskan manusia yang tertindas. Inilah tugas yang dijalankan oleh Gereja saat
ini. Gereja Allah itu adalah Gereja untuk dunia!
38
Ibid., hal. 225-228.
39
Ibid., hal. 212.
15
5. Kontekstualiasi Pemikiran Jurgen Moltmann tentang Pengharapan Yang
Realistis
Pemikiran Moltmann tentang pengharapan yang realistis ini masih relevan untuk
dunia sekarang ini. Situasi dunia yang sering kali tidak menentu menyadarkan orang-orang
Kristen untuk tidak putus asa. Ada beberapa hal yang bisa dipetik dari pemikiran
Moltmann.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi kian hari kian canggih. Banyak hal
yang bisa diciptakan oleh manusia. Bahkan tak jarang orang zaman ini selalu
membanggakan kemampuan hebatnya yang telah menciptakan kemajuan sangat berarti di
16
dunia ini. Akan tetapi, situasi ini membuat sebagian orang tidak memerlukan Tuhan lagi,
sebab manusia ternyata bisa menciptakan sendiri apa yang berguna untuk perkembangan
dunia. Situasi ini sering kali menimbulkan persoalan penting pada zaman ini. Antara lain,
hal-hal yang berbau keagamaan disingkirkan. Hal-hal yang tidak bisa dicerna oleh akal
budi dianggap tidak nyata dan khayalan belaka. Kenyataan ini tidak membuat dunia aman
atau manusia mengalami kebahagiaan. Malahan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi mendatangkan malapetaka bagi manusia lain (misalnya, peperangan, bom
meledak di mana-mana).
Sejarah Indonesia telah bergulir jauh ke depan sejak dahulu kala. Seiring
berjalannya waktu, bangsa Indonesia telah, sedang dan akan terus berkembang ke arah yang
lebih baik. Aneka perkembangan berarti telah dialami oleh manusia-manusia Indonesia.
Akan tetapi, aneka persoalan tetap saja terjadi setiap hari. Situasi penderitaan masih saja
mewarnai kehidupan bangsa Indonesia.
17
Sejarah bangsa Indonesia tentu juga adalah sejarah Gereja Indonesia. Dalam terang
teologi pengharapan Moltman, di mana Allah terlibat dalam sejarah manusia, orang-orang
Kristen Indonesia hendaknya yakin bahwa Allah juga hadir dalam sejarah bangsa ini.
Sejarah Indonesia adalah ‘sejarah’ Allah yang terlibat dalam penderitaan hidup manusia
Indonesia. Allah menuntun bangsa ini dalam menciptakan kebaikan bersama (bonum
communae). Masa depan orang Kristen adalah masa depan bangsanya. Salib dan
kebangkitan Kristus yang menjadi landasan pengharapan kristiani hendaknya memacu
semangat Gereja Indonesia untuk memberikan harapan kepada bangsa ini. Karena itu,
orang Kristen Indonesia harus berani terlibat dalam upaya mengatasi aneka persoalan
dalam segala aspek kehidupan bangsa ini. Mereka harus berani menciptakan perubahan
hidup sehingga bangsa ini mengalami kesejahteraan.
Apa yang dilakukan oleh Moltmann ini kiranya menginspirasikan para teolog
Indonesia untuk membuat kajian teologis berlandaskan konteks Indonesia. Antara lain,
konteks keanekaragaman suku, agama, budaya dan juga situasi penderitaan yang dialami
bangsa ini. Harapannya, aneka situasi ini mendorong para teolog agar menghasilkan
teologi pengharapan yang realistis konteks Indonesia. Dengan demikian, teologi Indonesia
bukan hanya melanjutkan teologi Barat atau negara-negara lain, tetapi juga memunculkan
teologi khas Indonesia yang merefleksikan secara mendalam Salib dan kebangkitan Kristus.
Kajian ini diharapkan bisa membantu umat beriman di Indonesia dalam menghayati iman di
18
tengah persoalan hidupnya sehari-hari. Kajian ini juga harapannya mendorong mereka
untuk berani melakukan aksi nyata dalam rangka mengubah aneka ketidakadilan dan
penderitaan yang ada di Indonesia sambil tetap menaruh harapan pada Kristus.
6. Penutup
Teologi pengharapan Jurgen Moltmann menekankan hal penting dalam hidup umat
beriman yakni pentingnya menaruh harapan kepada Kristus. Pengalaman penderitaan
pribadi dan juga kehancuran bangsa Jerman menyadarkan Moltmann akan pentingnya
harapan terjadinya perubahan hidup ke arah yang lebih baik di masa depan. Pengharapan
ini bukan tanpa Allah (seperti Bloch), tetapi bersandar pada Allah, secara khusus Salib dan
Kebangkitan Kristus. Inilah landasan pengharapan Kristiani. Akan tetapi, iman akan
Kristus ini harus diwujudkan dalam tingkah laku konkret yakni mengubah dunia yang
penuh penderitaan ini menjadi dunia yang lebih baik. Dengan demikian, pengharapan
kristiani bukan hanya ucapan tetapi dibuktikan melalui aksi yang nyata yang menghadirkan
Kristus. Inilah pengharapan yang realistis; pengharapan yang menyentuh persoalan konkret
para pengikut Kristus. Gereja dipanggil untuk pergi dan melayani di dalam dunia,
membangun dunia baru sambil menaruh harapan kepada Kristus. Orang-orang Kristen di
Indonesia pun diundang untuk selalu menaruh harapan pada Kristus yang telah wafat dan
bangkit sambil terlibat aktif dalam menciptakan kesejahteraan bersama di dalam negara ini.
Kehadiran orang Kristen diharapkan memberi harapan dan semangat baru bagi perjuangan
mengatasi penderitaan yang dialami masyarakat Indonesia sebab mereka selalu
mengarahkan diri pada Kristus, sumber pengharapan sejati. ***
Lorens Gafur;
19
Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris abad ke-20, Jakarta: Gunung Mulia, 1985,
Moltmann, Jurgen, The Church in the Power of the Spirit, Munich: SCM Press Ltd, 1975.
20