Anda di halaman 1dari 4

SUKU BANGSA SENTANI

(Kabupaten Jayapura)

I Pendahuluan
1.1 Arti Kata dan Asal-Usul
Menurut pendapat dari masyarakat dan tua-tua adat setempat, menyebutkan bahwa Sentani berasal dari
kata puyakha, yang artinya ciri nyata dan puykhapu, yang artinya kawasan danau/air yang dikuasai oleh
puyakha.
Istilah Sentani berasal dari kata Hedam, yang kemudian berubah menjadi Setam, dan akhirnya menjadi
Sentani. Kata Hedam masih ditemukan pada ondofolo suku bangsa Ohei dan naa sebuah distrik. Istilah asli
puyakha diperoleh dari sejarah mitos terjadinya danau Sentani yang bermula dari pembelian air jernih di
gunung Robhong Holo, oleh dua leluhur yang berdiam di pulau Ynonkhom.
Masyarakat yang mendiami wilayah danau Sentani menamakan diri mereka dan danau ini, Bu Jakala,
artinya air yang jernih.

1.2 Keadaan Geografis


Wilayah danau Sentani dihuni oleh 24 kampung, sebagiannya sudah ada sejak zaman purbakala.
Persatuan diantara suku bangsa-suku bangsa itu agak renggang karean kekurangan tempat bagi penduduk di
pulau-pulau kecil. Penduduk yang ada mendiami tiga pulau utama dengan pembagiannya, sebagai berikut:

Pulau Adjauw Pulau Yanokhom

Bukit Yomokho, Pulau Ohei


Asei Ifar Besar Doyo
Ayapo Ifar Kecil Sosiri
Asei Kecil Siboiboi Yakonde
Waena Yabuai Dondai
Yoka Sereh
Puyoh Kecil
Ifar Babrongko
Abar
Tabel. 2. Pembagian tanah adat dalam masyarakat Sentani berdasarkan marga.

Di wilayah Pantai Timur terdapat Pulau Asei yang letaknya terpisah dari kampung Ayapo, Asei Kecil,
Waena, dan Yoka. Di tengah danau terdapat pulau Adjauw dengan beberapa kampung, seperti Ifar Besar,
Ifar Kecil, Saboi-boi Kecil, Ifar Babrongko, Abar, Simporo, dan Netar. Di bagian barat ada pulau Yonokom
dengan kampung-kampung, seperti Kwadeware, Doyo, Sosiri, Yakonde, dan Dondai. Dikatakan juga bahwa
penduduk asli suku bangsa Sentani sudah menyebar ke seluruh danau dan daratan Robhong Holo.

II Unsur-Unsur Kebudayaan
2.1 Sistem Religi
Sebelum agama Kristen masuk, orang Sentani sudah memiliki kepercayaan menghormati arwah
leluhur. Kepercayaan terhadap leluhur diwujudkan melalui ukiran, seperti ukiran manusia dan hewan
(biawak, kadal, ikan, dan burung). Ukiran berbentuk ikan tampak pada tongkat (mehung), gagang kampak
batu (rema hefa), tifa (wokhu), tiang rumah (huluku), dan perahu (kai-ifa).
Masyarakat Sentani juga menunjukkan kepercayaannya dengan menyembah batu-batu besar di
tempat yang dianggap sakral dan pohon-pohon besar di semenanjung. Masyarakat percaya akan roh leluhur
atau roh halus yang mendiami tempat tertentu, seperti kuburan, hutan, dan danau.
2.2 Sistem Mata Pencaharian Hidup
2.2.1 Menangkap Ikan
Mata pencaharian ini dilakukan dengan menggunakan wau, kemudian menyelam ke dasar danau
rilesyole. Pada mulanya, pekerjaan ini hanya dikerjakan oleh para wanita, namun seiring waktu, laki-laki
juga menggeluti pekerjaan ini.
Kegiatan menangkap ikan yang dilakukan oleh wanita, disebut koninjo hokoijo, sedangkan
menyelam dengan menggunakan jaring disebut miyea waijo. Saat ini, kaum wanita menangkap ikan dengan
cara memancing (kaingae), yang selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah yang diletakkan di perahu kai-kai.
Biasanya, kaum wanita berangkat pada pagi hari dan mencari ikan pada tempat yang terdapat banyak ikan.
Jika hasilnya sudah mencukupi, mereka akan kembali ke rumah. Cara lain yang dipakai untuk menangkap
ikan adalah dengan melabuhkan jaring semalam suntuk dan diangkat pada pagi hari. Dengan cara ini, hasil
yang didapat lebih banyak.
Aneka jenis ikan yang ada di danau Sentani adalah gabus hitam (kahilo), ikan sembilan (kamseli),
ikan halus (onoi), ikan mas, ikan tawes, ikan mujair, dan lain-lain. Ada tempat tertentu yang dilarang untuk
menangkap ikan karena dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan umum. Hal ini ditetapkan oleh ondofolo
yang mengurus bidang pureferi-khaferi (bagian air dan ikan).

2.2.2 Meramu Sagu


Sagu merupakan makanan pokok. Untuk mengolah sagu (sara) dibutuhkan waktu selama 2-3 hari,
dari pagi hingga sore. Ada pembagia tugas antara pria dan wanita. Kaum pria bertugas untuk menebang
pohon sagu dan menokoknya, sedangkan kaum wanita bertugas memeras tepung sagunya dan kemudian
menampungnya dalam wadah yang terbuat dari daun pohon nimbun yang berawa-rawa. Hasil yang
diperoleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tugas lainnya, ditangani oleh kepala klen urusan sagu, yang disebut eyo-ayo. Eyo-ayo berperan
untuk mengendalikan pemanfaatan hutan sagu dan memberikan sanksi kepada masyarakat yang dengan
sengaja atau tidak, mengambil sagu di dusun orang lain. Untuk memakai wilayah lain, harus meminta izin
kepada ondofolo.

2.2.3 Berkebun
Berkaitan dengan pekerjaan ini, dikenal cara pembagian lahan dengan menggunakan sistem aliansi
atau keret. Keret-keret yang bertalian dalam satu aliansi mengklaim satu areal sebagai tanah adat bersama,
sebagai tempat mereka berkebun. Pembagiannya dapat dilakukan dengan membuka satu lahan bersama yang
kemudian dibagi ke dalam petak-petak sesuai dengan banyaknya keluarga yang ada dalam keret tersebut.
Diantara petak-petak tersebut dibuat jalan setapak untuk ditanami pisang, singkong, atau kelapa, yang
berfungsi sebagai petunjuk batas.
Adakalanya, dibuat pagar kayu sebagai petunjuk batas, yang disebut he (sentani tengah) atau ke
(sentani barat). Usaha untuk membuka lahan, dilakukan oleh segenap anggota aliansi. Pembagian hasil
tanaman dilakukan secara bertahap, sesuai kebutuhan dan selanjutnya lahan yang sudah kosong ditanam
kembali. Pembukaan kebun baru perlu mendapat persetujuan dari pihak hekheyo-ayo, yang bertugas
menangani masalah pertanian. Apabila hasil kebun berlimpah dan tidak mendapat gangguan dari hama,
hekheyo-ayo akan membuat tindakan magis kesuburan dan pemeliharaan.
2.3 Sistem Organisasi
2.3.1 Kepemimpinan
Dalam hidup bersama di tengah masyarakat, orang-orang Sentani masih membedakan adanya
kepemimpinan formal. Hal ini dipegang teguh oleh masyarakat karena nilai budaya mereka masih
berorientasi vertikal. Mereka percaya bahwa mereka akan hidup lebih lama jika hubungan vertikal
terpelihara dengan baik. Hubungan ini menjadi dasar untuk menjalin relasi dengan sesama. Mereka
mempercayai ondofolo untuk menjadi pengayom dan pemelihara mereka.
Seorang ondofolo1 dianggap sebagai utusan dewa yang diberikan tanggung jawab untuk memelihara,
melindungi, dan mengayomi warga masyarakat melalui hukum adat. Karena itu, masyarakat bersikap takut,
taat, setia, dan disiplin menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan oleh ondofolo. Bagi mereka, segala
perkataan yang keluar dari mulutnya, hanya ada dua pilihan, berkat atau kutukan. Jadi, dalam hidup sehari-
hari mereka selalu menjalankan apa yang baik sehingga selalu mendapatkan berkat.
Sistem kepemimpinan ondofolo selalu dibanggakan dan dinilai sebagai langkah untuk
mengintegrasikan nilai-nilai lokal yang dimiliki dan bermanfaat untuk mengembangkan seluruh aspek
kehidupan orang Sentani. Masyarakat Sentani percaya bahwa segala peristiwa yang sulit diterangkan oleh
akal manusia hanya diketahui oleh ondofolo, karena pada prinsipnya mereka telah diberikan kemampuan,
petunjuk, pedoman, tata cara, dan segala kekayaan akal.
Dari segi struktural, ondofolo menduduki posisi pertama, diikuti Koselo, dan yang terakhir adalah
masyarakat kecil (yabu-yaholom). Setiap kepala klen yang telah dipilih memiliki tugas dalam bidang
kependudukan, peternakan, pertanian, perikanan, magis, dan aneka tugas lainnya.

2.3.2 Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang akan diuraikan di bawah ini mau memperlihatkan kepada kita sistem
pembagian kerja dari masyarakat, serta sikap dan hubungan baik antara pemimpin dan masyarakatnya.
Berikut gambarannya:

a) Keluarga batih.
Merupakan sistem kekerabatan ang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin. Dalam satu
rumah bisa dihuni oleh beberapa keluarga batih.

b) Keluarga luas
Adalah keluarga yang keanggotaannya lebih luas. Kelompok kekerabatan dari klen terkadang menjadi
gabungan keluarga luas (yoho). Dalam kaitan dengan masyarakat, yoho bertugas untuk membayar mas
kawin, membayar harta adat (yung), merubah rumah ondofolo-kase (yo iymea ralo iymea), dan
membangun gereja.
Tugas dari keluarga luas adalah menjaga, memelihara, membina kesatuan dan persatuan yoho dan
iymea, menjaga dan memelihara nama baik ondofolo dan kaselo, memajukan kampung dan fungsinya
masing-masing, dan bersama ondofolo-kaselo berkewajiban untuk mengawinkan dan membayar harta
mas kawin dari perempuan asa yoho.

c) Kampung (yo)
Merupakan perwujudan komunitas yang bersifat otonom, tidak berada atau bernaung di bawah
kampung lain. Yo terbentuk oleh beberapa unsur, yaitu garis keturunan dari satu nenek moyang dan juga
gabungan klen. Hubungan klen-klen dapat bermanfaat untuk mengusahakan kemakmuran dan
kesejahteraan warga masyarakat.

1
Ondofolo adalah istilah yang dipakai untuk menyebut Kepala Suku bangsa
d) Garis Keturunan
Sistem kekerabatan yang berlaku adalah patrilineal. Wilayah yang mengikuti sistem ini adalah Atai
(Sentani Timur), Aran(Sentani Tengah), dan Aye (Sentani Barat).

Masyarakat memiliki suatu aturan adat yang menetapkan bahwa sesudah menikah, wajib tinggal di
kediaman kerabat kaum laki-laki

2.3.3 Perkawinan
Orang Sentani memiliki dua bentuk perkawinan ideal berkaitan dengan pemilihan jodoh, yaitu:
 Perkawinan adat miye wainaq, yaitu dengan mengambil istri-istri pada klen tempat pihak laki-laki
mengadakan peminangan.
 Perkawinan antara anak-anak ondofolo yang dilatarbelakangi oleh sistem pembayaran mas kawin yang
disebut ebha. Mas kawin berasal dari pihak laki-laki yang berstatus ondofolo, dibayar kepada calon
istrinya.

Beberapa bentuk perkawinan yang dikenal oleh masyarakat Sentani, yaitu:


 Perkawinan miyea relahi, yaitu perkawinan di mana saudara laki-lakinya yang ada mengawini kembali
istri saudaranya tanpa pembayaran mas kawin.
 Perkawinan ganti tukar, yaitu perkawinan yang terjadi apabila istrinya meninggal dan dia memiliki
saudara perempuan, suami yang ditinggalkan dapat menikah lagi dengan saudara perempuan istrinya.
 Kawin lari (hakhaikyote), perkawinan dimana laki-laki dan perempuan memilih untuk bersatu , walau
tanpa persetujuan orangtua.
 Kawin bawa diri, perkawinan yang terjadi karena ada hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan
yang menyebabkan kehamilan

2.4 Sistem Bahasa


Ada dua jenis bahasa yang digunakan oleh masyakat suku bangsa Sentani, baik dalam hidup sehari-
hari, acara resmi, maupun acara formal pemerintahan, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Sentani. Oleh
orang-orang asli, bahasa Indonesia disebut ramoyo afaeu, digunakan oleh orang-orang Sentani yang tinggal
di wilayah Dosai, Maribu, dan Sabron.
Bahasa Sentani termasuk golongan bahasa non-Austronesia. Memiliki tiga dialek, sesuai letak
wilayahnya masing-masing. Ada dialek Sentani Barat, Senatni Tengah, dan Sentani Timur. Selain itu, setiap
suku bangsa dengan ondofolonya memiliki mite tersendiri yang berhubungan dengan asal-usul nenek
moyang dan adat istiadat yang diungkapkan dalam gaya ratapan bahasa asli, antara lain :
 Ratapan Hele-Hupa, digunakan pada saat selesainya upacara penobatan ondofolo atau kepala suku
bangsa, maupun hadirnya gadis di saat awal, di rumah tunangannya.
 Ratapan Hele-Hele, adalah ungkapan gaya ratapan yang merupakan ekspresi dari kebolehan dan
keberhasilan seorang pahlawan yang telah berhasil dalam berburu.
 Ratapan Rime Hili, ratapan duka yang ditunjukkan oleh perempuan dewasa pada saat anggota suku
bangsa atau ondofolo meninggal. Selain itu, juga mengungkapkan kasih sayang, rasa penyesalan,
mengenang perilaku baik dan murah hati seseorang yang

Anda mungkin juga menyukai