1 Keadaan Geografi
Desa Balawelin I secara juridis berdiri pada tahun 1958 yang terbentuk dari kumpulan 19 suku
dan lebih dikenal dengan nama Balaweling dalam kesehariannya. Hal ini ditegaskan kembali
oleh Bapak Kepala Desa Balawelin I dalam wawancara dengan peneliti:
“Soal penamaan itu karena keseringan orang menyebutnya Balaweling walaupun dari segi
sejarah Desa ini dibentuk dari harga belis, Bala: Gading, Welin: Harga[1]
Desa Balawelin I, secara geografis berada di wilayah dataran rendah dan berbukit dengan luas
675 ha yang beriklim tropis dengan 2 musim yakni musim kemarau dan musim hujan dengan
mata pencaharian masyarakat bertani. Adapun batas Desa Balawelin I antara lain:
Timur : Desa Pamakayo
Barat : Desa Lemanu
Selatan: Desa Balawelin II.
Keadaan Sosial-Budaya
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh pihak Desa sejauh ini jumlah penduduk
telah mencapai 706 jiwa dengan rincian Laki-laki 368 jiwa dan perempuan 338 jiwa yang
tersebar di 3 dusun (Dusun Lamalewo, Dusun Penilering, dan Dusun Botan) dengan 12 RT dan 6
RW.
Masyarakat Desa Balawelin I mayoritas memeluk agama Katolik, hal ini bisa diamini oleh karena
sejarah penyebaran ajaran Katolik pertama kali terjadi di pulau Solor dengan benteng Lohayong
sebagai saksinya. Masyarakat Desa Balawelin I bermata pencaharian Petani dan Nelayan dan
memiliki sebuah Rumah adat yang dipimpin oleh Bapa Lewo Ema Tanah dan dibantu oleh 4
Suku besar yakni Keban Koten, Keban Kelen, Niron Maran dan Niron Hurit. Dalam keseharian
hidup masyarakat Desa Balawelin I, masih ditemukan budaya saling tolong-menolong atau
Gemohin dalam setiap pekerjaan khususnya pristiwa kematian, pembukaan kebun baru,
pengerjaan lahan dan pembuatan rumah yang dipadukan Makan Lamak.
“Budaya gotong royong atau gemohin masih tetap dijaga oleh masyarakat setempat,dalam
pendirian rumah misalnya tidak semata-mata tuan rumah saja tapi juga tetangga. Dan satu lagi,
soal Makan Lamak.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupeten Flores Timur nomor 08 Tahun 2006 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa Kabupaten Flores Timur yang dituangkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa tahun , Desa Balawelin 1 dipimpin oleh Kepala
Desa yang dibantu oleh oleh aparat desa yang terdiri dari Sekretaris, Bendahara KPTU
Pemerintahan, KPTU Pemberdayaan dan Pembangunan, KPTU Masyarakat, Kepala Dusun
Lamalewo, Kepala Dusun Penilering dan Dusun Botan serta BPD dan PKK.
a) Sistem Religi/Keagamaan
Masyarakat Balawelin I secara umum memeluk ajaran Katolik yang bertolak dari sejarah
kehadiran Agama Katolik di tanah Solor untuk pertama kalinya. Namun demikian, masyarakat
Balawelin juga percaya dan yakin akan beberapa objek kepercayaan tradisional yakni:
(1) Bapa Kelake Lera Wulan – Ema Kewae Tana Ekan
Yakni percaya kepada Wujud Tertinggi seperti yang terungkap dalam wawancara dengan Bapak
Gerardus G. Hayon[3]:
“Soal kepercayaan kami percaya akan kekuatan Bapa Kelake Lera Wulan yang disebut Bapa
Allah dan Ema Kewae Tana Ekan yang disebut Mama Bunda atau Ibu Pertiwi”.
(2) Kewoko Kelite
Yakni percaya akan kehadiran leluhur yang ditandai dengan pemberian makan pada pagi dan
malam hari di rumah warga pada sudut-sudut doa. Hal ini sebagai bentuk penghargaan kepada
leluhur yang sudah melindungi mereka dalam setiap usaha mereka.
(3) Percaya terhadap berbagai macam roh yang baik dan yang jahat.
(4) Mereka pun percaya akan adanya kekuatan gaib atau sakti yang dimiliki oleh orang
tertentu baik yang bersifat baik maupun yang jahat seperti Molang (dukun) dan Menaka
(suanggi). Selain itu, mereka pun percaya akan tempat tertentu yakni lango gelaran (rumah
pemali atau keramat) dan juga barang tertentu yang peneliti bagi berdasarkan Dewan Empat
Besar sesuai dengan informasi dari Bapak Yohanes Olamudi Keban dan Sofia Lelo Keban
(tertanggal 20 September 2013) serta Bapak Bernadus Suban Niron (tertanggal 22 September
2013)[4]:
· Keban Koten : Ua Bladak ( Tongkat sakti) dan Bendera Masyarakat Balawelin.
· Keban Kelen : Wulu Mera ( Bambu Merah), gong dan gendang
· Niron Hurit : Huri Kada ( sejenis parang adat)
· Niron Maran : Ua Bladak (Tongkat Kebesaran serupa raja)
b) Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan masyarakat desa Balawelin dapatlah dikatakan masih minim oleh karena
rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya dengan berbagai alasan salah
satu yang menonjol adalah soal ekonomi. Data yang diperoleh peneliti dari wawancara dengan
Bapak Urbanus Toran Werang selaku Kepala Desa ditemukan kenyataan bahwa anak-anak yang
paling banyak bersekolah adalah SLTP dengan perbandingan 24 orang sedangkan SMA hanya 14
orang. Namun demikian, bukan berarti masyarakat Desa Balawelin I begitu tertutup dengan
berbagai perkembangan yang terjadi semisal pola bertani yang diberikan oleh pihak Pemerintah
dan LSM, malah mereka begitu antusias dan menerima berbagai macam masukan demi
kelangsungan hidup.
Sedangkan sistem kekerabatan masyarakat desa Balawelin terasa sangat kental mengingat tiap
suku-suku yang ada di desa Balawelin merupakan sebuah keluarga besar dan memiliki
keterikatan sangat sangat kuat antar suku yang senantiasa dipertahankan melalui perkawinan
antar suku di dalam masyarakat Balawelin itu sendiri dan dapat dilihat dari kebiasaan Gemohin
dan Makan Lamak.
Segera setelah dikenalnya sistem pemerintahan desa, maka wilayah menjadi sebuah desa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa yang diperbantukan oleh aparat dan perangkat desa. Namun
demikian, terdapat batasan yang jelas antara pemerintahan desa dan organisasi kesukuan di
desa Desa Balawelin sendiri. Kedua pihak saling menerima, mengakui, menghargai, dan
menghormati apa yang menjadi status dan wewenangnya masing-masing. Pemerintahan desa
Balawelin senantiasa berurusan dengan pembangunan desa sesuai yang telah dicanangkan oleh
pemerintahan pusat. Sedangkan untuk urusan adat desa Balawelin menjadi tugas dan
tanggungjawab suku-suku asli desa Balawelin, terutama Bapa Lewo Ema Tana selaku tuan
tanah. Walau kedua sistem organisasi ini jelas berbeda, tetapi dalam pelaksanaan peranannya
masing-masing kedua pihak saling berkaitan.
f) Bahasa
Masyarakat Desa Balawelin dalam keseharian hidup mereka menggunakan bahasa daerah
setempat (bahasa Lamaholot) dan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, hal ini pun terjadi
saat diadakan rapat baik oleh Pemerintah setempat maupun oleh suku-suku yang mendiami
desa Balawelin.
g) Kesenian
Tenun Ikat menjadi produk kesenian yang masih dipertahankan oleh masyarakat Balawelin
hingga saat ini yang digunakan dalam upacara adat. Selain itu, ada beberapa kesenian yang
dapat kita temukan yakni Tarian Hedung, Tarian Sese’nure, gong, gendang (genda) dan giring-
giring (retu’re).
Upacara adat Wu’u Nuran Desa Balawelin I
a. Tinjaun Sejarah Wu’u Nuran Desa Balawelin I
Wu’u Nuran merupakan satu perayaan syukur atas hasil panen. “Wu’u” berarti baru sedangkan
“Nuran” dapat dipersepsikan dengan berbagai makna. Ada yang menghubungkannya dengan
“uran” yang berarti hujan, ada pula yang menghubungkannya dengan “nuren” yang berarti
mimpi dan adapula yang menghubungkannya dengan “wuran” yang berarti buih. Karena itu
secara etimologis wu’u nuran berarti hujan baru, mimpi baru atau buih baru. Namun demikian,
perbedaan akan makna itu tak lantas melunturkan makna wu’u nuran yang bagi kebanyakan
orang sudah diterima umum bahwa wu’u nuran merupakan perayaan syukur atas hasil panen.
Berkaitan dengan sejarah wu’u nuran peneliti mendapat informasi dari Bapak Frans Hayonama
Niron:
“Wu’u Nuran itu sebenarnya didasarkan dari mitologi dimana dalam sebuah keluarga ada 7
bersaudara yaang terdiri dari 6 laki-laki dan 1 perempuan. Saat musim menanam, keluarga ini
tidak memiliki bibit untuk ditanam. Oleh karena itu, si perempuan kemudian menyuruh
saudara-saudaranya untuk membunuh dan potongan tubuhnya ditanam di lahan yang sudah
disiapkan dengan kepala diletakkan di tengah kebun (Era Puken), potongan tangan dan kaki
diletakkan berdasarkan sudut baik kanan maupun kiri. Saudara-saudara pun menuruti
permintaan saudarinya walaupun itu berat. 7 hari berselang lahan yang tadinya kosong kini
ditumbuhi banyak tanaman,namun anehnya dulu tanaman itu dengan sendirinya masuk ke
rumah tanpa dipetik oleh manusia. Namun dalam perjalanan waktu, ada bagian yang diyakini
kebanyakan masyarakat mengalami luka pada kakinya sehingga tanaman itu tidak bisa pergi ke
rumah dengan sendirinya dan diganti dengan manusia sebagai aktor untuk memetik hasil
tanaman itu.[7]”
Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa sebenarnya perayaan wu’u nuran merupakan
bentuk penghormatan kepada kaum perempuan yang merelakan dirinya (Korban) untuk
menghidupi banyak orang, selain bentuk ucapan syukur atas hasil panen yang diperoleh.
Selain sebagai pemimpin, laki-laki juga memiliki posisi tinggi oleh karena budaya patriarki yang
kebanyakan dianut oleh budaya kita yang lebih mementingkan kehidupan kaum kelake dimana
semua urusan perempuan akan dipikirkan kemudian setelah laki-laki dan berdasarkan rujukan
pada Alkitab yang mana perempuan dilahirkan dari rusuk laki-laki, yang dipersepsikan oleh
masyarakat setempat bahwa perempuan itu pantas dilindungi oleh karena laki-laki memiliki
kekuasaan sesuai dengan pengakuan Bapak Petrus Kayo Sogen dalam wawancaranya dengan
peneliti:
“ beleki pe pega kuasa dore ajaran Alkitab, mari meri berwai pe morita dari rusuk beleki nae
selain budaya patriarki yang tite anut “
(laki-laki itu punya kekuasaan sesuai dengan ayat Alkitab yang menyebutkan bahwa perempuan
hidup dari rusuk laki-laki, selain budaya patriarki yang kita anut)[10].
Namun demikian, bukan berarti laki-laki dalam tahapan ini bukan meluluh soal kekuasaan tapi
dapat berdiri sebagai pelayan yang dapat di amati pada salah satu tahapan yakni bulan Kebarek
Ra’en dan Kewae Ra’en yang mana laki-laki harus mencari lauk dan diberikan kepada Ema Oa
yang direpresentasikan sebagai ibu pemilik tanah yang harus dihormati dan dihidupi oleh kaum
laki-laki. Hal ini pun senada dengan pengakuan Bapak Yakobus Hayon, S.Fil yang mengangap
kaum perempuan dalam perayaan ini adalah kaum penentu yang amat menentukan
keberhasilan perayaan ini dan bukan objek penderita dan sepantasnya kaum laki-laki harus
menghormati mereka serupa Ibu Pertiwi (hasil wawancara tertanggal 22 September 2013) dan
tak ada kecemburuan yang timbul dari kaum laki-laki kepada kaum perempuan jikapun dalam
tahapan itu perempuan mendapat porsi lebih yakni 2 bulan yakni bulan Kewae Ra’en dan
Kebarek Ra’en. Bagi mereka hal itu adalah wajar karena kaum perempuan adalah cikal bakal
benih dan pantas dihormati.
Dengan demikian pandangan di atas dengan sendirinya akan mempengaruhi gaya komunikasi
ketika kita menelaah lebih jauh pada upacara wu’u nuran dengan tahapan-tahapan yang
mengikutinya sesuai dengan teori rujukan peneliti yakni Genderlect Theory dan Muted Group
Theory dimana dalam setiap tahapan itu laki-laki masih menjadi pemimpin adat yang
dipercayakan untuk memberikan mantra/ koda kirin dalam hal ini komunikasi verbal saat
membuka kebun baru baik di ma nika leun maupun ma nika bedorin yang didahului dengan
potong kayu seperti terlihat dalam paparan bahasa adat berikut:“ Peta eta pua o’a belo bulu”.
Bahasa verbal dalam perayaan ini akan terlihat lagi dalam tahapan-tahapan berikutnya yang
sebagian besar diambil alih oleh Bapa Lewo - Ema Tana selaku Tuan Tana yang kebanyakan
memakai mantra yang dipakai pada saat tertentu dan tidak sembarang orang dan dibantu oleh
Semata Pa namun hanya berlaku di rumah adat masing-masing suku.
Gaya komunikasi ini pun dapat digunakan Ribu Ratu kelompok laki-laki untuk berkomunikasi
dengan kelompoknya sendiri maupun kelompok perempuan namun hal itu hanya berlaku di
tempat – tempat tertentu dan kesempatan tertentu yang didominasi oleh bahasa daerah
setempat.
Selain menggunakan bahasa verbal, gaya komunikasi kaum laki-laki masyarakat Balawelin pun
menggunakan bahasa non verbal atau menggunakan lambang, tanda, gesture dan lain
sebagainya dalam komunikasi mereka. Malah kebanyakan gaya komunikasi jenis ini yang
dominan dalam perayaaan wu’u nuran seperti yang ditegaskan oleh Bapak Frans Hayoama
Niron dalam wawancaranya dengan peneliti:
“Dalam perayaan ini, komunikasi non verbal amat dominan seperti memanggil kelompok
tertentu dengan gerakan tangan, atau mengucapkan mantra dengan tangan terbuka serupa
doa, dan lain sebagainya” [11]
Hal ini kemudian ditegaskan kembali oleh Bapak Gusti Keban yang mencontohkan peranan suku
Keban Koten dalam pemotongan hewan kurban saat perayaan Wu’u Nuran yakni memegang
kepala tanpa harus diperintah semuanya murni karena peran dan tugas yang harus dijalankan
walaupun tanpa mengeluarkan kata-kata (hasil wawancara tertanggal 20 September 2013).
Selain berbicara soal gaya yang dipakai oleh laki-laki peneliti mencoba mendalami seberapa
tertariknya kaum laki-laki untuk berkomunikasi dengan perempuan namun yang terjadi bahwa
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti kebanyakan kaum laki-laki hanya tertarik untuk
berkomunikasi dengan kaumnya sendiri lantaran kaum perempuan dianggap tidak paham akan
budaya adat khususnya wu’u nuran seperti yang diutarakan oleh Bapak Gerardus G. Hayon:
“Mereka tak paham adat ini, maka daripada itu kami lebih banyak berbicara dengan kaum laki-
laki karena memiliki kesamaan peran dan status yang mana dapat menghantar kami pada
diskusi soal wu’u nuran di masa mendatang.”[12]
Dan jika pun ada yang tertarik berkomunikasi dengan perempuan itu hanya pada kaum Semata
Pa yang mana istri mereka dalam setiap perayaan wu’u nuran harus senantiasa mendampingi
mereka. Hal ini diamini sendiri oleh Bapak Yohanes Olamudi Keban tanggal 20 September 2013:
“ saya lebih memilih nyaman berkomunikasi dengan kaum perempuan khususnya istri
saya”[13].
Dari paparan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa gaya komunikasi laki-laki dalam
perayaan wu’u nuran baik verbal maupun non verbal amat dipengaruhi oleh status sosial dan
jarak sosial yang ada yang kemudian berakibat pada kurangnya interaksi mereka, walaupun di
satu sisi laki-laki masih membutuhkan kaum perempuan sebagai pelengkap yang menentukan.
Kaum laki-laki betul-betul menguasai bahasa verbal dan tak sedikit bahasa non verbal yang
mereka kuasai sebagai pelengkap bahasa verbal, yang menjadikan mereka lebih berkuasa dan
bersikap enggan bergaul serta berkomunikasi dengan kaum perempuan oleh karena status
mereka sebagai kepala keluarga dan di pertegas oleh budaya anutan kita yang partilineal. Jarak
sosial yang vertikal (baca: atas ke bawah ataupun sebaliknya) menjadi penegas lain bahwa
dalam perayaan ini laki-laki masih memiliki kuasa atas komunikasi perempuan.
Selain pada itu, tugas lain yang kemudian menegaskan perempuan menjadi manusia kedua
dapat terlihat dalam perayaan puncak dimana kebanyakan perempuan hanya bertugas di dapur
untuk melayani tamu baik dalam maupun dari luar daerah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
yang diberikan oleh Mama Yohana Mako Keban tertanggal 24 September 2013:
“ Kame berwai kerya di dapur macam ne hunu ape pe pas perayaan wu’u nuran (Kami kaum
perempuan kebanyakan bertugas di dapur pada perayaan itu)”[15].
Namun tidak berarti peranan demikian menyudutkan kaum perempuan begitu saja sebab ada
beberapa kaum perempuan yang diperlakukan secara khusus seperti istri Semata pa, Ema Oa,
Nogo Oe, dan Sason Nuren sesuai dengan pengakuan Mama Maria Loun Hayon yang
merupakan istri salah satu Semata yakni Niron Hurit dimana mereka bertugas memasak rengki
dan kemudian mempersilahkan para tamu (Ribu Ratu) baik yang berasal dari daerah ini namun
pergi keluar maupun yang tinggal di dalam kampung ini dan senantiasa mendampingi suami
kemana saja suami mereka pergi
“ Saat perayaan ini kami lebih dekat dengan suami, kemana saja mereka pergi kami selalu
mendampingi. Pernah kami berdua bersama pergi menjemput ema oa di masing-masing rumah
adat untuk pergi tidur Riang muda sebelum berangkat ke kampung lama. Selain itu kami punya
tugas masak rengki dan ikut bernyanyi bersama kaum perempuan terpilih seperti Sason Nuren
dan Nogo Oe”[16].
Hal demikian diamini sendiri oleh Mama Susana Piana Niron yang pernah berperan sebagai Ema
Oa dimana mereka begitu diperlakukan khusus dijemput dan diantar oleh Semata Pa seperti
terlihat pada tahapan Maya Hode Besi Pare, kemudian mereka menjadi orang pertama yang
memetik hasil panen dan memberikan kepada masyarakat lain yang lewat (kebarek hiton) serta
menjadi orang pertama yang memakan hasil panen pada bulan Maret (Kewae Ra’en) dan bulan
April (Kebarek Ra’en):
“ kami dijemput oleh semata kemudian ditempatkan di era puken dan pakaian kami (kebaya
dan selendang) ditempatkan keleka sambil menunggu mereka menanam sampai selesai. Dapat
dibayangkan betapa capenya kami yang hanya duduk bersilah sambil memangku keleka. Selain
itu kami menjadi orang pertama yang memetik hasil panen dan menjadi orang pertama yang
memakan hasil panen sebelum laki-laki”[17].
Dengan demikian peran yang telah dijabarkan tadi akan mempengaruhi gaya komunikasi dan
cara pandang kaum perempuan akan status laki-laki yang dalam budaya ditempatkan sebagai
kaum yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Secara umum, gaya komunikasi verbal menjadi
yang dominan yang dilakukan oleh kaum perempuan, dengan menggunakan bahasa daerah
setempat dalam perayaan wu’u nuran baik dilakukan di dapur maupun di tempat umum seperti
yang paparkan oleh Mama Yohana Mako Keban dalam wawancaranya dengan peneliti
(tertanggal 24 September 2013) oleh karena ketakutan akan kesalahpahaman akan makna kata
non verbal, walaupun tak disangsikan bahwa ada bahasa non verbal yang digunakan seperti
lambaian tangan yang bermakna memanggil orang yang lazim dimengerti oleh kebanyakan
orang. Hal ini ditegaskan kembali oleh Mama Maria Loun Hayon dan Mama Susana Piana Niron:
“ Kebanyakan kami menggunakan kata-kata, dalam bahasa daerah sehingga mudah dipahami
dan dijalankan oleh mereka yang mendengarkan”[18].
“ Kami sebagai ema oa juga dipercayakan oleh Bapa Lewo – Ema Tana dan Semata Pa untuk
membawakan wede (sejenis syair adat yang dinyayikan) dan itu bukan laki-laki seperti ‘Duli
taliha lama mayan pali mayan lama tali, Duli wato ola keda pali igo kuru sani, Duli muda lama
tulu pali bao lama banga, Duli laka lama mayan lama mayan lama tali, Duli rita lolo eba pali bao
lolo oa dst’”[19].
Kaum perempuan masyarakat desa Balawelin, walaupun merasa diri mereka tidak berarti
dimata budaya oleh karena laki-laki namun tidak berarti mereka hanya membatasi diri mereka
untuk berkomunikasi dengan kaumnya saja akibat kesamaan status dan peran yang dimiliki
namun kebanyakan dari mereka sepakat dan tak ragu untuk berkomunikasi dengan laki-laki
baik dengan menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal karena mereka adalah rekan
kerja, walaupun terkadang mereka punya ketakutan tersendiri apabila komunikasi yang
dibangun itu tidak direspons secara baik oleh laki-laki atau malah ditolak oleh karena budaya
anutan dan pandangan bahwa perempuan itu minim pengetahuan dan hanya laki-laki bijak
yang bisa memahami perempuan.
“ Saya lebih sering berbicara dengan laki-laki tentang adat supaya bisa belajar, walaupun saya
punya ketakutan untuk ditolak. Berbeda ketika saya harus berbicara dengan kaum perempuan
sebab disana saya akan menemukan gosip dan pembicaraan yang sia-sia”[20].
Hal ini pun sendiri disepakati oleh Mama Sofia Lelo Keban dengan sedikit perbedaan dimana ia
memilah ketakutan dalam berkomunikasi itu ada hanya untuk Kelake Bele atau para pengurus
adat karena begitu dihormati selebihnya bagi kaum laki-laki lain adalah biasa-biasa saja (hasil
wawancara tertanggal 20 September 2013).
Dari 2 paparan di atas dapatlah kita katakan bahwa status dan peran antara laki-laki dan
perempuan akan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kelompok lain yang secara
tidak langsung akan berakibat pada gaya komunikasi yang dilakukan dalam perayaan ini. Berikut
penulis mencoba menjabarkan perbedaan gaya komunikasi yang didasarkan pada cara pandang
dan status serta peran antara laki-laki dalam perayaan wu’u nuran:
1) Laki-laki umumnya mengusai bahasa perempuan akibat status mereka sebagai pemimpin
dalam keluarga (baca:kepala keluarga), perempuan pun larut dalam ketidakberdayaan walupun
ada usaha untuk belajar memahami bahasa laki-laki dan menirunya.
2) Perempuan juga dapat mengusai bahasa adat (koda kirin) sama baiknya dengan laki-laki
walaupun itu dinyanyikan yang setidaknya dapat melunturkan anggapan bahwa perempuan tak
tahu apa-apa soal adat.
3) Perempuan masih terpaku pada pembicaraan yang kurang penting diluar adat berbanding
terbalik dengan laki-laki yang begitu peduli tentang adat ini.
4) Kebanyakan dari laki-laki dan perempuan menggunakan bahasa verbal khususnya bahasa
daerah (lamaholot) sebagai alat komunikasi dalam perayaan wu’u nuran dan sedikit
menggunakan bahasa non verbal. Ketika laki-laki masyarakat desa Balawelin berhadapan
dengan perempuan, mereka cenderung menggunakan bahasa yang penuh kelucuan yang
menimbulkan gelak tawa sedangkan perempuan menanggapinya dengan beragam dalam artian
bagi perempuan yang bijak dia akan menanggapinya secara biasa namun jika hal itu
5) dihadapkan pada perempuan yang terpolarisasi secara adat ia tidak akan menanggapinya
dan malah beranjak pergi.
6) Laki-laki masyarakat Balawelin cenderung berkomunikasi dengan laki-laki, namun berbeda
dengan perempuan yang lebih senang melakukan komunikasi dengan laki-laki sama serupa
perempuan.
Tabel 5: Identifikasi Gaya komunikasi laki-laki dan perempuan masyarakat Balawelin dalam
perayaan Wu’u Nuran
Kelompok Laki-laki
Kelompok Perempuan
Persamaan
perempuan sama baiknya menggunakan bahasa adat (koda kirin) seperti laki-laki yang
diperankan oleh ema oa, nogo oe dan sason nuren.
laki-laki dan perempuan masyarakat Balawelin sama menggunakan bahasa verbal (bahasa
daerah) sebagai alat komunikasi ketimbang bahasa non verbal
Perbedaan
1. laki-laki masih menguasai bahasa perempuan oleh karena budaya patrilineal yang dianut.
2. Laki-laki lebih cenderung membicarakan hal-hal yang bermanfaat dan penting misalnya
keberlangsungan budaya ini.
3. Laki-laki lebih senang berkomunikasi dengan kelompoknya ketimbang dengan perempuan
dan perempuan bagi mereka dilibatkan dalam pembicaraan yang menimbulkan gelak tawa.
1. Perempuan lebih cenderung membicarakan hal-hal yang bermanfaat namun tidak penting
seperti gosip dll.
2. Perempuan suka berkomunikasi dengan laki-laki sama seperti berkomunikasi dengan
kelompoknya sendiri.
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kita tak bisa menyangkal bahwa pengaruh budaya begitu kental dalam keseharian
kita, walaupun budaya kita melewati berbagai macam perubahan hingga saat ini. Kita tetap
bersikeras mempertahankannya hingga orang pun menyatakan bahwa budaya itu tak akan
lekang oleh waktu. Hal demikian pun berlaku pada budaya orang Balawelin terkhususnya pada
perayaan wu’u nuran yang hingga saat ini dipertahankan oleh masyarakat setempat sebagai
bentuk penghargaan kepada perempuan yang direpresentasi sebagai benih yang melahirkan
segala sesuatu. Hal demikian pun diperkuat dengan beragam tahapan yang menunjukkan
perempuanlah yang memainkan peranan yang lebih dominan ketimbang laki-laki. Namun
demikian, kita tak bisa mengelak bahwa laki-laki masih punya kekuasaan dalam setiap urusan
adat, termasuk dalam perayaan wu’u nuran oleh karena status dan peran yang mereka mainkan
yang kemudian menimbulkan perbedaan pada gaya komunikasi kelompok laki-laki dan
perempuan dalam perayaan ini.
Laki-laki dengan kedudukan mereka sebagai pemimpin masih mengontrol bahasa
perempuan, dan cenderung suka berkomunikasi dengan kelompoknya (ingroup) dengan
membicarakan hal-hal yang bersifat penting. Berbeda halnya dengan perempuan yang dalam
perayaan ini menjadi figur yang sangat dihormati, tak bisa keluar dari cengkraman budaya
patrilineal yang menjadikan mereka kelompok kedua walaupun mereka (ema oa,nogo oe dan
sason nuren) dapat menguasai bahasa adat (koda kirin) sebaik laki-laki. Mereka lebih cenderung
membicarkan hal-hal yang kurang penting seperti gosip dan lain sebagainya yang bagi
kelompok laki-laki sebagai sesuatu yang kurang tepat. Namun demikian kelompok perempuan
masyarakat Balawelin sangat antusias untuk berkomunikasi dengan laki-laki karena bagi mereka
kelompok laki-laki adalah mitra mereka dalam menyukseskan kegiatan ini dan belajar cara pikir
laki demi kemajuan mereka sendiri.
4.2 Saran
Penelitian ini pun diangkat sebagai bentuk kepedulian penulis akan budaya
khususnya di tanah Solor yang perlahan dilupakan dan mengharapkan hasil penelitian ini
menjadi dokumen bagi masyarakat Balawelin untuk terus menjaga budaya ini dan
memaksimalkan peran perempuan dan mampu memberdayakan perempuan sebagai mana
mestinya bukan sebagai pelengkap penderita tapi menjadi mitra kerja mereka seperti cara
pandang perempuan lainnya.
Oleh karena itu, sebagai upaya pelestarian budaya lokal maka perlunya perhatian dari
pemerintah untuk kembali mengupayakan pelbagai bentuk upaya pelestarian, di antaranya :
melalui penelitian, pertunjukan dan lomba budaya sehingga kembali menstimuli kesadaran
masyarakat untuk mencintai dan mempertahankan kebudayaannya.