Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KERANGKA ETNOGRAFI SUKU MOI PAPUA BARAT

DOSEN PENGAMPU : Mu’tamirudin, S.A.g, M.Si

Disusun Oleh

Yohanes Y.B Kaikatui

31.1098

JURUSAN PRAKTEK PERPOLISIAN TATA PAMONG

FAKULTAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT

INSTITUD PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan atas berkat-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul” Kerangka etnografi suku moi papua barat”. Saya berharap agar kiranya
pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat memperluas wawasan pembaca.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu untuk
menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekuarangan
atau kesalahan baik dalam segi materi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran sangat
kami harapkan dari pembaca.

Jatinamgor, juni 2021

Penulis

2
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i


KATA PENGANTAR ……………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………. 1
A. Latar Belakang ………………………………………….. 2
B. Rumusan Masalah ………………………………………. 3
C. Tujuan Penulisan ………………………………………… 4
D. Manfaat Penulisan ………………………………………. 5
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………… 6
A. Nama Suku Bangsa ………………………………………. 7
B. Lokasi, Lingkungan, Alam dan Demografi ………………. 8
C. Asal Muladan Sejarah ……………………………………. 9
D. Bahasa ……………………………………………………. 10
E. Sistem Teknologi ……………………………..……………11
F. Sistem Mata Pencaharian …………………………………..12
G. Organisasi Social …………………………………………..13
H. Sistem Pengetahuan……………………………………….. 14
I. Kesenian …………………………………………………… 15
J. Agama dan sistem Religi…………………………………… 16
BAB III PENUTUP ………………………………………………….…. 17
A. Simpulan ………………………………………………….. 18
B. Saran……………………………………………………….. 19
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 20
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Beraneka ragam bahasa daerah dari berbagai suku yang berada di Indonesia terutama di
kawasan timur Indonesia, khususnya eks Kabupaten Sorong,Kota Sorong Papua Barat
yang mana didiami oleh suku Moi dengan bahasa daerahnya. Bahasa daerah yang
digunakan oleh suku Moi ini adalah bahasa “Moi”. Bahasa Moi pada masa lampau
selama ratusan tahun telah menepatkan diri menjadi, bahasa lingua franca (bahasa
pengantar) di seluruh jazirah kepala burung Pulau Papua. Berkurangnya penutur bahasa
seirama dengan terkikisnya nilai-nilai budaya suku Moi, pada akhirnya budaya suku Moi
yang akan menjadi cerminan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan suku bangsa
lambat laun berkurang pengaruhnya. Padahal di dalamnya terkandung berbagai kearifan
lokal yang sangat luhur “Bahasa Menunjukkan bangsa”. Bangsa yang besar akan selalu
memiliki dan berusaha untuk mempertahankan berbagai aspek budayanya dan akan
berusaha untuk melestarikan budaya melalui pencatatan di wariskan dari leluhur. Suku
Moi yang menjadi media komunikasi suku Moi dalam kehidupan sehari-hari terutama
digunakan untuk komunikasi antar delapan sub etnik suku Moi sendiri bahkan dengan
pendatang, sehingga apabila ada seseorang yang ingin pergi dan tinggal di beberapa
kabupaten tersebut diatas, maka ia harus belajar menggunakan bahasa Moi agar dapat
berkomunikasi dengan masyarakat suku Moi dengan baik dan benar. Bagi para pendatang
maupun orang asli suku Moi yang belum bisa berkomunikasi dengan bahasa Moi dapat
menggunakan alat bantu seperti buku kamus bahasa Moi sebagai alat terjemahan, namun
buku kamus terjemahan dalam bahasa Moi, sangat langka dan bahkan hampir tidak ada.
Penggunaan Bahasa Moi ini juga telah mengalami penurunan dalam komunikasi sehari-
hari, terutama bagi generasi muda dan masyarakat suku Moi yang berpenduduk di dalam
maupun di luar daerah. Sehingga bahasa Moi ini termasuk salah satu bahasa daerah di
Indonesia yang hampir punah karena jarang di gunakan dan tidak di implementasikan ke
dalam dunia akademisi yakni; dijadikan sebagai mata pelajaran atau jurusan sastra bahasa
Moi di sekokah dan perguruan tinggi. Dengan melihat situasi ini maka untuk
memudahkan seseorang dalam mempelajari Bahasa Moi, dibuat sebuah aplikasi kamus
bahasa Moi berbasis android. Pembuatan aplikasi ini berbasis android, karena android
bersifat terbuka (open source) dan diaplikasikan pada smartphone agar lebih mudah
digunakan khususnya pada waktu komunikasi dan dapat dipakai sebagai media
pembelajaran.
4

A. Rumusan masalah

A. Nama Suku Bangsa?


B. Lokasi, Lingkungan, Alam dan Demografi ?
C. Asal Muladan Sejarah ?
D. Bahasa ?
E. Sistem Teknologi ?
F. Sistem Mata Pencaharian ?
G. Organisasi Social ?
H. Sistem Pengetahuan?
I. Kesenian?
J. Agama dan sistem Religi?

B. Tujuan

Secara umum tujuan pembuatan makalah ini adalah agar pembaca dapat lebih mengenal
lagi etnografi suku-suku di papua barat khususnya suku moi dan agar dapat tetap
melestarkan tradisi dari suku tersebut. Oleh karena itu tujuan terperici dari pembuata
makalah ini adalah untuk :
- Mendeskripsikan tentang etnografi suku moi yang ada papua barat

C. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat di ambil dari pembuatan makalah ini terdiri dari manfaat teoritis dan
manfaat praktis
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Nama Suku Bangsa


- suku moi papua barat
- bangsa Indonesia
B. Lokasi, lingkungan, alam dan demografi

Suku Moi merupakan penduduk asli yang mendiami kepala burung Papua, terdiri atas
5 (lima) sub suku besar yaitu: Moi Abun yang mendiami kabupaten pemekaran Tambrau
sampai ke distrik Moraid, Moi Kelim mendiami distrik Moraid sampai ke wilayah Kota
Sorong, Moi Segin tersebar di wilayah Seget dan Salawati, Moi Maya mendiami
Kepulauaan Waigeo kabupaten Raja Ampat, dan Moi Klabara tersebar di wilayah distrik
Beraur sampai perbatasan Kabupaten Sorong Selatan.

Suku Moi, merupakan masyarakat mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sorong
dan Kota Sorong, Papua Barat, sedang merampungkan pemetaan partisipatif. Upaya ini
untuk menegaskan kembali wilayah adat yang terancam karena perusahaan minyak
Petrochina dan perkebunan sawit.

Silas Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong, mengatakan, pemetaan
partisipatif ini masih terbatas, pada Sub Moi Kelim. Wilayah adat Moi, sangat luas, tidak
hanya terbentang di tiga wilayah administrasi Sorong daratan (Kota Sorong dan
Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan), juga mencakup Raja Ampat dan sejumlah daerah
lain.

“Wilayah adat Suku Moi, mencakup 400 ribu hektar. Sekarang, kami baru memetakan
Moi Kelim sekitar empat ribu hektar,” katanya di Sorong, akhir Oktober 2014.

Moi memiliki 10 sub suku dengan batasan masing-masing. Sub suku ini terbagi menjadi
100-an marga besar dan marga kecil disebut gelet.

Di antara sub suku Moi ini antara lain, Moi Kalasa, Moi Kalagedi, Moi Malamsimsa, Moi
Amber, Moi Malayik, Moi Seget, Moi Kelim, Moi Walala, Moi Abun, Moi Malaibin.
Hanya beberapa sub Suku Moi dikenal luas, khusus di Kabupaten Sorong. “Suku Moi
menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua.”

Di Raja Ampat, Moi Mayya—dulu sub Moi kini menjadi suku tersendiri, dengan banyak
sub suku dan gelet yang menjadi bagian.

Menurut Silas, pemetaan ini memiliki tantangan tersendiri. Identifikasi gelet-gelet pun


bukanlah hal mudah, karena harus meminta persetujuan dari tokoh-tokoh suku.
6

“Dalam pertemuan adat ditetapkan mana gelet masih ada dan yang sudah tak ada.
Begitupun dalam penetapan batas-batas wilayah, jangan sampai mengambil wilayah
orang lain.” Dan juga kondisi alam pada lingkungan suku moi sangat terjaga

C. Asal mula dan Sejarah

Suku Moi adalah salah satu dari suku yang ada di papua. Suku ini berada tepat di
bagian daerah Sorong, Papua Barat.  Letak Sorong secara geografis berada tepat pada
gambar kepala burung, karena dalam peta tergambar lebih menyerupai gambar burung.
Sorong dihuni oleh suku asli Moi. Sesungguhnya Papua merupakan alam yang eksotis
dengan keanekaragaman budaya, bahasa, adat bahkan keanekaragaman hayatinya.
Terutama daerah Sorong. Papua memiliki banyak suku dan bahasa yang berbeda-beda
dan beratus-ratus perbedaan meskipun satu pulau. Disamping itupun banyak juga tari-
tarian yang beranekaragam. Dalam suku ini saja terdapat banyak kebudayaan yang
berbeda-beda dengan suku Papua lainnya. Dan perlu kita ketahui bahwa Papua
merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang memiliki suku bangsa yang paling
banyak, serta unik.

Nenek moyang suku Moi berasal dari Genyem. kata Moiartinya “pemandangan


matahari sore yang kemerah-merahan dan agak berkabut di atas bukit”. Secara khusus
orang Moi yang berada di desa Kendate terdiri dari 11 klan, klan ini memiliki asal-usul
yang berbeda. Orang pertama yang menempati desa Kendate adalah klan
Walli. Walliartinya manusia yang keluar dari dalam tanah atau “manusia yang hidup”.
Pada tahun 1912 injil masuk ke teluk Demaenggong dibawa oleh Yakob Suae yang
berasal dari desa Entyebo, orang Moi yang pertama kali menerima Injil adalah klen
Wandadaya. Menurut sejarah yang diceritakan oleh para orang tua adat,peradaban suku
Moi berawal dari dua kekuatan: yaitu Tamrau dan Maladofok. Tamrau adalah sebagai
kekuatan untuk Laki-laki dan Maladofok adalah sebagai kekuatan untuk
Perempuan. Tamrau dan Maladofok merupakan kedua tempat keramat suku Moi yang
dipercayai mengandung kekuatan magis yang tidak bisa dilewati oleh sembarang
orang,selain yang memiliki kemampuan dan kekuatan khusus.Di kedua tempat ini
terdapat sejumlah benda keramat berbentuk panci,wajang,kapak,bebatuan,dll.Karena
dipercaya sebagai tempat keramat dan pusat peradaban suku Moi pertama kali dalam
legenda peradaban suku-suku di Papua,dengan demikian maka kedua tempat ini dijaga
dan dihormati oleh suku-suku Moi sampai sekarang.Jika ada pihak luar yang mencoba
7

menganggu maka suku-suku Moi akan marah dan melakukan tindakan untuk
mengusir pihak luar tersebut. Karena kurangnya umat, semua orang yang berada di

dataran Wanbusron harus turun ke pantai dan membentuk satu kampung untuk menerima


Injil. Pada tahun 1940-an terjadi perang dunia ke-II antara bangsa Amerika dan jepang,
karena takut akan bahaya maka semua masyarakat yang berada di sekitar pantai pindah
ke daratan dan membentuk perkampungan-perkampungan baru. Tiap klan memiliki
seorang kepala suku dan tiap kampung dipimpin oleh Korano sebagai seorang pemimpin
dan untuk memudahkan pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda maka seluruh
masyarakat diperintah untuk membentuk satu perkampungan Demanggong yang
sekarang disebut desa Kendate.

Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang


menganut garis patrilinear atau garis keturunan dari pihak ayah. Pada daerah-daerah di
Papua umumnya dan secara khusus di kota Sorong yang bervariasi topografinya terdapat
kelompok suku dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeda terutama bahasa
masing-masing sukunya. Dengan mengacu pada perbedaan topografi dan adat istiadatnya
maka secara garis besar penduduk pribumi di kota Sorong dapat dibedakan menjadi 3
kelompok besar, yaitu :

a. Penduduk Daerah Pantai dan Kepulauan.

Dengan ciri-ciri umum, rumah diatas tiang (rumah panggung), mata pencaharian
menokok sagu dan menangkap ikan. Untuk kategori ini suku Raja Ampat dan suku
Inanwatan sangat dominan, tetapi secara khusus di kota Sorong, Raja Ampatlah yang
memiliki areal adat lautan yang cukup luas dengan hampir sebagian besar warga sukunya
yang berprofesi sebagai nelayan, sedangkan suku Inanwatan dan suku Moi wilayah mata
pencahariannya khususnya di laut sangat kecil dan hanya sebagian kecil warganya yang
berprofesi sebagai nelayan serta sebagian besarnya adalah petani khususnya berladang.
Situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat dari suku Raja Ampat rata-rata berprofesi
sebagai nelayan dengan tingkat pendapatan yang tidak terlalu besar, mengingat teknologi
yang digunakan dalam melakukan aktifitas mata pencaharian tergolong sangat sederhana.
8

b.      Penduduk Daerah Pedalaman yang Hidup pada Daerah Sungai, Rawa,
Danau dan Lembah serta Kaki Gunung.

Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan


mengumpulkan hasil hutan. Untuk kategori ini suku Tehit serta sebagian besar suku Moi
sangat dominant tetapi secara khusus di kota Sorong suku Moi yang memiliki areal adat
yang cukup luas serta hampir sebagian besar warga kedua suku ini berprofesi sebagai
petani ladang.

c.       Penduduk Daerah Dataran Tinggi.

Rata-rata bermata pencaharian berkebun, beternak secara sederhana. Untuk


kategori ini suku Maybrat dan sebagian lagi suku Tehit sangat dominan, tetapi secara
khusus di kota Sorong suku Maybratlah yang memiliki peran yang cukup luas dengan
hampir sebagian besar warga sukunya berprofesi sebagai PNS dan petani ladang dengan
semangat dan kerja keras, suku ini terkenal juga bertemperamen dan watak keras. Suku
ini sangat dominan di kota Sorong, mengingat peran dari sebagian warganya cukup
dominan baik di pemerintahan dan hampir mendominasi setiap jabatan di instansi
pemerintah yang ada di kota Sorong. Kota Sorong sebagai satu-satunya kota di Papua
dengan sebagian penduduk asli memiliki keterampilan tenun ikat, biasa disebut
masyarakat setempat sebagai kain Timor. Kain Timor masuk Sorong tahun 1700-1n
dibawa oleh para misionaris dan guru dari Timor. Mereka memperkenalkan kain Timor
sekaligus melatih dan mendidik putra-putri setempat belajar menenun kain Timor.
Banyak perempuan Sorong mengenakan sarung Timor terutama pada peserta-peserta adat
di dalam kota, seperti masyarakat di Timor (NTT) lainnya. Ketika masyarakat di sebagian
besar Papua mengenakan koteka, rumbai dan awur, masyarakat Sorong justru telah
mengenakan sarung Timor. Sarung Timor menjadi mas kawin paling bergengsi dan
paling mahal di Sorong. Makin banyak keluarga memiliki sarung Timor, status sosial
mereka pun makin tinggi, terutama sarung Timor peninggalan zaman dulu.
9

Suku ini adalah merupakan penduduk asli kota Sorong. Suku ini merupakan
jumlah populasi terbesar dari total keseluruhan penduduk pribumi yang ada di daerah ini.
Walaupun suku ini merupakan penduduk yang memiliki hak ulayat sah dari kota Sorong,

namun keberadaan mereka sekarang tergeser dan menyebar di distrik bagian timur dan
utara kota Sorong. Tanah warisannya pun telah diberikan kepada suku-suku yang lain
melalui barter atau telah dibayar kepada suku yang lain. Biasanya dengan cara membayar
mas kawin dengan menggunakan kain timor dan sebagian lagi diberikan kepada
menantunya yang telah mengawini anak dari suku ini.

D. Bahasa
Roger M, Kesing, 1992 menjelaskan bahwa ketika berbicara maka menghasilkan
urutan-urutan bunyi serta makna-makna, di lengkapi oleh Claude Levi Strauss secara
konsep strukturalisme, tata bunyi merupakan mitode konseptual guna memahami budaya
sebagai suatu presepsi, sifat serta pikiran manusia. Secara umum penduduk Irian Jaya di
bagi menjadi 2 bagian besar sesuai dengan bahasa yang digunakannya yaitu Ausronesia
dan Non-Ausronesia, bahasa Ausronesia disebut sebagai bahasa Melanesia sedangkan
bahasa non-Ausronesia disebut bahasa Papua, jadi dapat disimpulkan bahwa kedua
bahasa ini menjadi bahasa lokal masyarakat Papua. Berdasarkan informasi (SIL) Summer
Institute Of Language Internasional cabang Indonesia menyebutkan bahwa keseluruhan
bahasa yang digunakan di Papua ataupun Papua barat berjumlah 263, sedangkan menurut
kementrian RI dalam pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia menyebutkan jumlah bahasa
di Papua-Papua Barat berjumlah 272 secara keseluruhan tidak ada yang berfungsi sebagai
bahasa ibu. Akan tetapi bahasa yang di gunakan dalam interaksi sosial mengunakan
bahasa sehari-hari meliputi bahasa Indonesia, daerah dan asing, ketika berinteraksi satu
suku dengan suku yang lain maka mengunakan bahasa Indonesia, ketika berinteraksi
dengan sesama suku maka mengunakan bahasa daerah dan pada saat berinteraksi dengan
orang luar Indonesia (luar negeri) maka mengunakan bahasa asing.Bahasa Moi
merupakan salah satu bahasa dari lima phylum mayor (phylum) Papua Barat, dimana
terdapat 24 bahasa yang mewakili 3,3 persen dari keseluruhan bahasa yang teredintifikasi
ada di Papua yang berjumlah 726 bahasa,
10
sedangkan penutur aktif I perkirakan mencapai 122.000 atau 4,5 persen dari 2756 penutur
asli bahasa Papua.
Berry & Berry menyebutkan bahwa bahasa asli Moi atau bahasa indu di tuturkan oleh
4.600 orang yang terbentuk dalam masing-masing dialek yang pada hakekatnya mirip,
Berry&berry membaginya menjadi 3 bagian : pegunungan (Amber), dari hulu sungai
(Klasa), dan pedalaman (kelim) namun pada umumnya bahasa daerah yang meliputi
daerah Moi pada umumnya di sebut dengan bahasa Salmak yang merupakan bagian dari
bahasa phylum.
E. Sistem Tehnologi
Tehnologi yang di gunakan suku moi untuk memenuhi kebutuhan dalam mencari
tentunya dari dulu dan sekarang sudah berbeda yang di mana Dalam berburu, alat yang
digunakan adalah tombak bambu, batu, panah dan alat lainya dibaringgi juga dengan
matra-mantra dan lagu yang bersumber pada kepercayaan lokal (animisme) dibagian
pesisir berprofesi sebagai petani yang bercocok tanam berupa ubi jalar, keladi, pisang,
singkong, sagu, ulat sagu dan buah-buahan seperti kelapa, mangga. Dengan mengunakan
alat berupa cangkul batu dan bambu dengan cara melubangi tanah untuk menanam sayur
dan
F. Sistem Mata Pencaharian
Sistem mata pencaharian Suku Moi secara khusus adalah peramu, berburu, petani dan
nelayan, dalam mencukupi kebutuhan hidup baik secara individu ataupun kelompok atas
hak adatnya, selain itu dalam kekerabatan masyarakat Moi mengenal makan bersama,
makan bersama dilakukan bagi keret yang kepemilikan tanah berdampingan/berdekatan,
namun dalam proses ini terdapat larangan-larangan pada waktu-waktu tertentu, dimana
adanya pelarangan adat berupa pengambilan hasil alam dalam kurun waktu 3-4 bulan
(sasi) dalam hubungannya dengan mata pencaharian yang meliputi hasil laut, kebun dan
hasil lainnya. Proses pengambilan hasil laut, kebun dan lain sebagainya akan dapat
dilakukan ketika telah dilakukannya upacara adat (bemfie) dan doa secara
keagamaan.Masyarakat Moi yang hidupnya berdiam di bantaran sungai, danau dan laut
pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan,
11
sejak dahulu Suku Moi mengunakan alat-alat yang sangat sederhana (sbatum) kulit kayu
berbentuk silinder maupun tombak ikan dari bambu dan dahan kayu adapun cara-cara
yang sangat tradisional yaitu meracuni ikan dengan kulit kayu (sabekesik) di baringgi
dengan mantra-matra berupa lagu-lagu agar tangkapan ikan berjalan dengan sangat
mulus, sedangkan bagi masyarakat pedalaman hidup dengan cara berburu hewan seperti
rusa, babi, kasuari, kus-kus dan burung. Dalam berburu, alat yang digunakan adalah
tombak bambu, batu, panah dan alat lainya dibaringgi juga dengan matra-mantra dan lagu
yang bersumber pada kepercayaan lokal (animisme) dibagian pesisir berprofesi sebagai
petani yang bercocok tanam berupa ubi jalar, keladi, pisang, singkong, sagu, ulat sagu
dan buah-buahan seperti kelapa, mangga. Dengan mengunakan alat berupa cangkul batu
dan bambu dengan cara melubangi tanah untuk menanam sayur dan buah-buahan. Akan
tetapi sekarang sebagian besar masyarakat Moi telah memiliki beragam profesi tidak
hanya sebatas berburu, bertani, nelayan melainkan juga telah bekerja pada berbagai
instansi pemerintahan seperti menjadi pegawai negeri sipil, polisi, dosen, tukang ojek,
penjual di pasar dan berbagai macam profesi lainnya guna memenuhi kebutuhan hidup.
Akan tetapi dengan menekuni profesi yang baru tidak membuat masyarakat Moi
meninggalkan profesi lama, seperti berkebun, bertani dan berburu dan lain-lain, hingga
saat ini masih banyak orang-orang tua yang ke hutan dan ke laut untuk bercocok tanam,
berburu dan menangkap ikan, masyarakat Moi dalam kualitas jumlah di bandingkan
dengan suku lain di sekitar memang berbanding sedikit, akan tetapi luas wilayah suku
Moi dengan segala kekayaannya sangat luas dan banyak, oleh sebab itu hal kekayaan
tersebut harus di maanfatkan untuk kebutuhan seharihari.
G. Organisasi Sosial
Masyarakat Kendate memiliki dua sistem kepemimpinan yakni sistem
kepemimpinan informal dan sistem kepemimpinan formal. Pada sistem informal adalah
tipe ondoafi yang merupakan pemimpin tertinggi, dan bersifat turun temurun. Setiap
klan memiliki kepala suku untuk memimpinnya. Berdasarkan struktur
itu, ondoafi memiliki tugas dan kedudukan yang tertingi yaitu pada unsur-unsur adat
seperti melindungi, mengawasi dan memelihara serta bertangung jawab
atas keamanan, kenyamanan warga masyarakat dan mengkoordinir kepala klen yang
ada. Selain itu ondoafi juga memiliki tugas menyimpan harta kekayan milik
masyarakat, melindungi dan menjaga segala sesuatu yang menajadi sumber hidup
masyarakat.

Dalam sistem kekerabatan orang Moi, peranan seorang anak laki-laki yang sudah kawin
dan belum dapat mengurus rumah tanga diberi kesempatan untuk tinggal dengan orang
tuanya untuk mengurus kebutuhanya bersama keluarganya. Keluarga inti pada suku Moi
terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum menikah. Untuk keluarga luas adalah
kelompok keluarga kekerabatan yang terdiri dari kumpulan keluarga inti yang saling
berhubungan karena sedarah dan hidup bersama. Bentuk perkawinan
monogamy dianggap merupakan wadah terpenuhinya tujuan keluarga dengan cara yang
lebih baik,
12
artinya perkawinan yang menguntungkan bukan saja bagi istri dan anak-anaknya tetapi
warga masyarakat yang lainnya. Namun, bentuk poligami tidak menutup
kemungkinan apabila memiliki harta yang banyak dan sangup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.

Dalam perkawinan suku Moi terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila hendak


melangsungkan perkawianan yaitu kedewasaan umur, kemampuan untuk membayar mas
kawin, mampu berkebun atau melaut, mempunyai sikap sopan, mampu mencurahkan
tenaga untuk kawin dan melangsungkan pertukaran gadis.

Dalam rumah adat moi di segala hal yang menyangkut dengan suku moi di atur
seperti: (1) sistem perkawinan, (2) sistem pembagian harta, (3) sistem adat dalam
mengatur perempuan moi, (4) sistem adat dalam hak ulayat tanah, (5) sistem
pembayaran adat bagi yang meninggal, (6) sistem pendidikan kambik, (7) sistem
bercocok tanam, (8) sistem pengobatan, (9) sistem marga dan daerah-daerah keramat.
Pendidikan Kambik (Pendidikan adat) suku Moi penguasa tanah Malamoi di kepala
burung di tanah Papua.Pendidikan Kambik memiliki Jurnal Noken, Volume 4 (1)
Halaman 87-106
H. 2018
I.
J. 89
K. Model Partisipasi masyarakat moi....
L. kekuatan dan etos perjuangan yang
kuat, dalam sistem itu memberikan kita nilai-nilai kehidupan dan memahami
alam. Tetapi menjadi menarik pendidikan kambik ini sangat dekat dengan dimensi
mistisisme sebab dalam pendidikan kambik akan diberikan pengetahuan tentang
M. pengobatan tradisional “secara mistik”
ini selain hal makna hidup, mencintai alam, dan produk/lulusan dari pendidikan
Kambik bisa menjadi seorang pemimpin atau kepala suku. Ada nilai-nilai yang
ditanamkan dalam pendidikan Kambik (pendidkan adat suku Moi) antara lain sebagai
beriktu: Pertama: kepemimpinan (regerasi untuk bicara kepemimpinan adat). Kedua:
pengobatan secara tradisonal. Ketiga: pemahaman eksistensi diri, dan Emapt: sejarah
dan budaya orang Moi. Poin dari pendidikan adat kambik ini menjadi penting untuk
dimaknai dan ditunaikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kesempatan ini penulis
mengutip pendapatnya Ibnu Khaldun, bahwa sekolah/pendidikan itu ada dua model,
pertama pendidikan diajarkan oleh para guru, ulama, professor yang dimaknai
sekarang sebagai bentuk dari pendidikan formal, sedangkan yang kedua adalah
pendidikan yang diajarkan oleh alam. Alam yang memberikan sumber pengetahuan
manusia melalui fenomena dan bukti empirisme sehingga kita mampu menemukan
kebenaran sejati. Tak sedikit pengaruh pendidikan global yang menghantam sendi-
sendi peradaban pendidikan kultur dan pendidikan kultur kembali hilang pada porsi
dan posisi sebagaimana mestinya. Penting penulis melihat ini sebagai tantangan dan
fenomena yang mendasar dan memiliki rentetan yang tak pernah putus.
Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat tema tentang: Partisipasi Masyarakat Moi
Dalam

Pelaksanaan Pendidikan Adat Kambik (Studi Kasus Tentang Kelangsungan Pendidikan


Kambik Di Suku Moi Kampung Maladofok Kabupaten Sorong).

13
H. Sistem Pengetahuan
- pendidikan formal
Pada 1 november 1927 dijadikan sebagai hari lahirnya sekolah pertama di kota Sorong.
Pendidikan formal didirikan oleh Belanda dengan nama “Volkschool UZV” dengan
jumlah murid pertama 26 orang. Menurut keterangan E. Osok murid pertama sekolah ini
bahwa sekolah ini berjalan sampai dengan tahun 1942 setelah itu dihancurkan oleh
jepang akibat Perang Dunia ke II. Bentuk pendidikan formal bagi Suku Moi sebelum
tahun 1970 masih sangat terbatas, jenjang tertinggi hanya sebatas Sekolah Dasar, bahkan
pada tahun-tahun tersebut banyak siswa Suku Moi yang tidak menyelesaikan pendidikan
tersebut, akibat banyak masyarakat suku Moi yang tertinggal dari suku-suku disekitarnya.
Namun pada tahun 1980-aan hingga sekarang ini banyak generasi Suku Moi sudah
menempuh pendidikan mulai dari SD ,SMP ,SMA bahkan sampai S1 dan S2 hingga
jenjang S3. Kesuksesan para putra-putri Suku Moi saat ini tidak terlepas dari peran
pemerintah Kota Sorong dan juga setiap keluarga, individu dan lembaga lainnya bahwa
betapa pentingnya pendidikan bagi kemajuan Masyarakat Moi secara umum.
- Pendidikan adat kambik
Budaya membentuk manusia menjadi manusia yang berpengetahuan, itu terbukti, sejak
dahulu Suku Moi telah hidup di dalam aturan, petunjuk, resep, rencana dan strategi-
strategi yang didalamnya terdapat serangkaian bentuk kognitif yang digunakan secara
kolektif untuk kebutuhan hidup dalam keberadaannya dengan lingkungan sekitar (alam),
semacam ini menciptakan sistem yang dapat memberikan penilaian bagi mereka dalam
menghadapi baik dan buruknya lingkungan disekitar serta sesuatu yang berharga atau
tidak, baik atau buruk dan juga mendatangkan kebaikan atau
mencelakakan, semuanya ini menyatakan bahwa masyarakat Moi sejak dahulu
mempunyai nilai-nilai yang luhur. Sebelum mengenal pendidikan formal, sejak dahulu
masyarakat Moi mengenal pendidikan adat, yakni pendidikan Kambik yang mengajarkan
berbagai macam pengetahuan melalui alam, belajar melalui alam merupakan rutinitas
yang diajarkan secara turun-temurun, dimana pada hekekatnya alam mengajarkan tentang
hidup dan kehidupan, diaman gejala alam seperti gempa, banjir, longsor dan lain
sebagainya dapat diketahui hanya melalui pendidikan Kambik. Secara etimologi Kambik
berasal dari kata Kam yang artinya rumah atau tempat bermain, namun, pada hakekatnya
rumah/tempat pendidikan adat Kambik merupakan sekolah adat yang menempatkan
anak-anak suku Moi sebagai subjek dengan mengunakan pendekatan pendidikan tentang
alam, rumah/tempat belajar Kambik merupakan tujuan masyarakat Moi dalam upaya
memberikan pembelajaran kepada generasi akan datang dengan kemampuan-kemapuan
khusus yang meliputi kesehatan pengobatan traditional, pertanian, sosial, adat-istiadat,
berburu, berperang dan lain sebagainya, namun yang terpenting dari pendidikan Kambik
ialah menciptakan pemimpin serta mempunyai kedudukan dalam suku Moi. Hasil
Wawancara dengan Matias Asirima, ( Murid atau pelaku pendidikan adat ) pada tanggal
18 September jam 20:00 WIT.
Suku Moi meyakini bahwa pendidikan adat Kambik merupakan pendidikan yang sakral,
karena, di yakini pembelajaran yang ada dalam pendidikan Kambik merupakan sumber
pengetahuan moral dan etika yang mengatur seluruh totalitas keberadaan Masyarakat Moi
dalam berbagai aspek kehidupan sosialnya. Peserta Pendidikan Adat kambik merupakan
kelompok dalam struktur masyarakat adat Moi,
14
yaitu hanya anak laki-laki (nedla) yang berhak secara utuh mengukuti pendidikan
tersebut, dalam pendidikan adat Kambik setiap
siswa (ulibi) adat diajarkan tentang kepemimpinan dalam berbagai bidang pengetahuan
dan juga adat-istiadat yang berhubungan dengan keberadaan Suku Moi secara mendalam
dan lengkap. Anggapan dalam masyarakat Moi bahwa, setinggi apapun gelar seseorang
dalam pendidikan formal, akan tetapi bila ia belum mengikuti pendidikan adat Kambik,
maka ia dianggap bodoh/telanjang, seperti perempuan. Angapan seperti menyatakan
bahwa identitas masyarakat Moi sebagai masyarakat adat, dan ketika ia belum masuk
rumah Kambik untuk belajar dan mengerti tentang adat, maka pada hakekatnya ia bodoh.
Seperti layaknya pendidikan formal yang mempunyai tingkatan, pendidikan adat Kambik
juga diberikan gelar kelulusan sesuai dengan jenjang yang di lalui seseorang, seperti SD
(ulibi) merupakan tingkatan paling dasar saat selesai di berikan gelar (unsulu) , berikunya
setara SMP dan SMA (unsmas) diberikan gelar (tulukma) dan yang paling tertinggi
setingkat Perguruan tinggi (untlan/kmabiek di berikan gelar wariek atau sukmin, (dapat
menjadi guru dalam pendidikan Kambik (tukan), gelargelar ini di berikan setelah para
murid Pendidikan Adat Kambik selesai dari proses belajarnya, pemberian-gelar ini
merupakan simbol kopentensi pada bidang-bidang tertentu tetapi juga status sebagai
masyarakat adat, durasi waktu belajar dalam pendidikan adat Kambik berkisar dari 6-18
bulan, tingkatan dasar dan menengah dalam proses belajar memerlukan waktu 6-12
bulan, namun tingkatan yang tertinggi memerlukan waktu hingga 18 bulan bahkan
mungkin lebih, tergantung kesepakatan bersama dewan adat.31 Sumber pembelajaran
dalam Pendidikan Adat Kambik berasal dari pada leluhur, sehingga Pendidikan Adat
Kambik sangat kental dengan unsur animisme, dimana kandungan mantra-mantra dan
penyembahan kepada arwah para leluhur masih di praktekan.

I. Kesenian
Yosimpancar ini merupakan tarian yang memadukan gerak tari dari berbagai suku di
Papua. Mereka yang menyuguhkan tarian adalah Suku Moi, tepatnya pemuda-pemudi
yang aktif di Sanggar Seni Budaya Malamoi. Suku Moi adalah suku yang mendominasi
kawasan Sorong dan sekitarnya. Ketika Tari Yosimpancar dimainkan, maka siapa pun
bisa ikut menari dan suasana pun menjadi cair. Pak Frans bilang ini baru pemanasan
“Besok kami akan menari lagi dengan wajah yang dihias motif khas Papua,” ujarnya. Ia
menunjukkan motif tribal pada corak bajunya. Bentuk simetris yang sering kita lihat pada
seni ukir Papua.

J. Agama dan Sistem Religi


Suku Moi sebelum mengenal agama modern (Kristen, Islam, katolik) mempunyai
kepercayaan animisme dengan mempelajari mitos-mitos, lagu-lagu rakyat, mantra serta
larangan-larangan adat yang bagi masyarakat di tandai dengan berupa tempat-tempat
seperti hutan keramat, mengambil ikan di laut/sungai, menotok sagu semuanya itu harus
dilakukan dengan menyebutkan nama-nama arwah atau roh.23 Kepercayaan animisme
(bahasa latin anima atau roh) merupakan kepercayaan terhadap makhluk halus atau roh,
hal ini merupakan kepercayaan mula-mula dikalangan masyarakat tradisional yang lahir
dari lokalitas setempat, kepercayaan terhadap animisme merupakan bentuk kesadaran
manusia tradisional dalam memahami yang ilahi,
15
dengan keyakinan adanya kuasa tertinggi diatas manusia. Kepercayaan terhadap
animisme terwujud dalam bentuk symbol-simbol seperti gua, pohon, atau batu besar
dimana masyarakat tradisional meyakini adanya kuasa yang berdiam dalam symbol-
simbol tersebut oleh karena itu harus di hormati agar tidak menganggu manusia. Suku
Moi sebelum mengenal Tuhan dalam agama Islam dan Kristen, mereka telah percaya
kepada satu dewa atau Tuhan yang berkuasa diatas dewa-dewa yang di sebut dengan
nama “Fun Nah dan Muwe” bagi Suku Moi semua dewa, roh para leluhur harus di hargai
dan di hormati karena mempunyai kekuasaan yang mutlak atas hidup manusia. Dan bagi
masyarakat Moi dewa pencipta merupakan penguasa tertinggi yang tidak kelihatan
namun dapat dijumpai dalam unsur-unsur alam tertentu seperti angin, hujan, petir,
pusaran air, dasar laut dan juga tanjung tertentu. Hingga sekarang wujud keterlibatan
peran dewa-dewa masih di rasakan saat ini, keterlibatan dewa-dewa dalam peristiwa alam
seperti petir, hujan deras, Guntur dan kilat akan terjadi ketika adanya konflik antara satu
marga dengan marga yang lain, seperti konflik tentang batas tanah, pengambilan hak
ulayat terhadap kepimilikan marga yang lain dan peristiwa-peristiwa lainnya.24 Sejak
dahulu Suku Moi dalam seluruh aspek moral dan tingkah lakunya selalu berhubungan
dengan roh dewa ataupun roh leluhur yang diungkapkan dalam bentuk nyanyian-
nyanyian serta mantra-mantra, dewa-dewa ataupun roh para leluhur diyakini berdiam
dalam setiap wujud-wujud alam misalnya dewa hutan yang mendiami hutan yang
bertempat pada pohon-pohon besar, oleh karena itu masyarakat Moi pohon-pohon besar
di hutan dianggap keramat. Sebelum mengenal agama modern (Kristen, Islam)
kepercayaan tradisi Suku Moi memainkan peran penting dalam keseharian hidup mereka,
dimana anggapan bahwa makhluk-makhluk halus mempunyai kekuatan dan kekuasaan
yang mengontrol kehidupan manusia, oleh karena itu harus dihormati dan dihargai,
bentuk dari penghargaan sekaligus rasa takut mereka diwujudkan dalam bentuk ritual-
ritual pemberian sesajen. Acara ritual pemujaan yang
terdapat dalam suku Moi tidak berbentuk wujud patung seperti masyarakat Biak (Karwar)
atau pembayaran tengkorak (Maybrat), namun pemujaan dan penyembahan dilakukan
kepada alam sebagai sebagai bentuk keyakinan berdiamnya roh halus atau dewa. Penulis
menambahkan bahwa pemujaan dan penyembahan kepada roh leluhur secara modern di
kenal dengan animisme, namun nilai positif dari penyembahan kepada animisme
merupakan wujud pengetahuan terhadap adat, dimana sejak dahulu para leluhur telah
melakukan praktek penyembahan kepada roh-roh yang diyakini ada, jika generasi
berikutnya melakukan hal demikian itu berarti dikategorikan mengerti dan paham tentang
adat tanpa meninggalkannya.
16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan adat kambik merupakan budaya asli suku Moi yang telah mati, artinya tidak
dilaksanakan lagi sekarang, hilangnya budaya pendidikan adat Kambik disebabkan oleh
penetrasi agama tetapi juga kebudayaan asing, kendatipun demikian pendidikan adat
Kambik tidak hilang secara keseluruhan, melainkan pengetahuan-pengetahuan empiris
tentang pendidikan adat Kambik masih hidup dalam memori kolektif masyarakat Moi,
karena itu, pendidikan adat Kambik mesti dihidupkan kembali, megiggat pendidikan adat
merupakan dasar nilai bagi kehidupan bersama yang telah diwariskan oleh para leluhur,
sehingga hal tersebut harus dijaga dan dihormati serta dilestarikan, dikarenakan, dalam
pendidikan adat yang merupakan dasar nilai dan pengetahuan mula-mula, tersimpan
begitu banyak pengetahuan yang memiliki nilai dan makna yang dapat berguna pada
kehidupan sekarang ini. Dengan dihidupkannya pendidikan adat Kambik, maka dapat
menjadi solusi dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat Moi tetapi
juga masyarakat diluar komunitasnya, selain itu juga dengan hidupnya pendidikan adat
Kambik akan memberikan warna baru dalam kehidupan masyarakat Moi dalam
hubungannya dengan sesama, alam dan yang ilahi. Sehingga tercipta persatuan dan
keharmonisan hidup, selain itu juga lulusan-lusan pendidikan adat dapat menguasai
beragam pengetahuan yang berkaitan dengan alam, yang dapat berguna bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang tidak didapatkan dalam pendidikan formal.

B. Saran

1. Membangkitkan motivasi dengan cara melakukan seminar-seminar mengenai


pendidikan adat Kambik kepada masyarakat Moi yang dilakukan oleh Lembaga Adat
Masyarakat Moi (LMA), supaya muncul kesadaran akan pentingnya budaya masalalu
sebagai identitas serta jadi diri masyarakat Moi Membangkitkan rasa menghargai dan
mencintai budaya daerah sehingga minat untuk melestarikan akan semakin besar.

2. Perlunya sinergi dari pemerintah Papua untuk melihat kekayaan budaya daerah yang
tidak dilaksanakan pada saat sekarang untuk dihidupkan kembali, dimana perlunya
bekerja sama dengan lembaga adat dan agama serta pemerintah.

3. Pendidikan adat Kambik yang merupakan pendidikan penduduk asli suku Moi sebagai
pemilik ulayat tanah Sorong, perlu dimasukan dalam kurikulum belajar, khususnya
mengenai bahasa Moi dan keseniankesenian yang dimiliki, seperti ukiran, anyaman dan
lain-lain.

4. Gereja perlu mengembangkan teologi berbasis budaya kontekstual masyarakat Moi,


khususnya klasis Sorong.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://www.mongabay.co.id/2014/11/30/kala-suku-moi-papua
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/17310/3/T2_752016026_BAB%20III.pdf
https://www.mongabay.co.id/2019/06/03/masyarakat-moi-kelim-bergantung-hidup-dari-
alam/
http://aw-nashruddin.blogspot.com/2012/01/suku-moi-papua.html
18

Anda mungkin juga menyukai