Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

ETNOGRAFI PAPUA

DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK 5
1. HANIFA SABALE
2. ANGEL CHARLA DEFRETES
3. ELY MELWIN MANUFURY
4. FAUZIA INDAH SARI
YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PAPUA (YPMP)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PAPUA SORONG

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SORONG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Beraneka ragam bahasa daerah dari berbagai suku yang berada di Indonesia terutama
di kawasan timur Indonesia, khususnya eks Kabupaten Sorong,Kota Sorong Papua Barat
yang mana didiami oleh suku Moi dengan bahasa daerahnya. Bahasa daerah yang
digunakan oleh suku Moi ini adalah bahasa “Moi”.

Bahasa Moi pada masa lampau selama ratusan tahun telah menepatkan diri menjadi,
bahasa lingua franca (bahasa pengantar) di seluruh jazirah kepala burung Pulau Papua.
Berkurangnya penutur bahasa seirama dengan terkikisnya nilai-nilai budaya suku Moi,
pada akhirnya budaya suku Moi yang akan menjadi cerminan dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa dan suku bangsa lambat laun berkurang pengaruhnya. Padahal di
dalamnya terkandung berbagai kearifan lokal yang sangat luhur “Bahasa Menunjukkan
bangsa”.

Bangsa yang besar akan selalu memiliki dan berusaha untuk mempertahankan
berbagai aspek budayanya dan akan berusaha untuk melestarikan budaya melalui
pencatatan di wariskan dari leluhur. Suku Moi yang menjadi media komunikasi suku Moi
dalam kehidupan sehari-hari terutama digunakan untuk komunikasi antar delapan sub
etnik suku Moi sendiri bahkan dengan pendatang, sehingga apabila ada seseorang yang
ingin pergi dan tinggal di beberapa kabupaten tersebut diatas, maka ia harus belajar
menggunakan bahasa Moi agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat suku Moi dengan
baik dan benar.

Bagi para pendatang maupun orang asli suku Moi yang belum bisa berkomunikasi
dengan bahasa Moi dapat menggunakan alat bantu seperti buku kamus bahasa Moi sebagai
alat terjemahan, namun buku kamus terjemahan dalam bahasa Moi, sangat langka dan
bahkan hampir tidak ada.

Penggunaan Bahasa Moi ini juga telah mengalami penurunan dalam komunikasi
sehari-hari, terutama bagi generasi muda dan masyarakat suku Moi yang berpenduduk di
dalam maupun di luar daerah. Sehingga bahasa Moi ini termasuk salah satu bahasa daerah
di Indonesia yang hampir punah karena jarang di gunakan dan tidak di implementasikan
ke dalam dunia akademisi yakni; dijadikan sebagai mata pelajaran atau jurusan sastra
bahasa Moi di sekokah dan perguruan tinggi.

Dengan melihat situasi ini maka untuk memudahkan seseorang dalam mempelajari
Bahasa Moi, dibuat sebuah aplikasi kamus bahasa Moi berbasis android. Pembuatan
aplikasi ini berbasis android, karena android bersifat terbuka (open source) dan
diaplikasikan pada smartphone agar lebih mudah digunakan khususnya pada waktu
komunikasi dan dapat dipakai sebagai media pembelajaran
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka didapatkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana Sejarah Asal Usul“ Suku MOI”
2) Bagaimana Sistim Kepemimpinan suku MOI
3) Bagaimana Kehidupan dan mata pencarian suku MOI
4) Bagaimana Sistim Seni dan Budaya
5) Bagaimana sistim perkawinan
6) Bagaimana sistim kesehatan pola perawatan jika yang sakit
7) Bagaimana sistim kepercayaan atau keyakinan.

1.3Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengetahui Sejarah Asal Usul“ Suku MOI”
2) Mengetahui Sistim Kepemimpinan suku MOI
3) Mengetahui Kehidupan dan mata pencarian suku MOI
4) Mengetahui Sistim Seni dan Budaya
5) Mengetahui sistim perkawinan
6) Mengetahui sistim kesehatan pola perawatan jika yang sakit
7) Mengetahui sistim kepercayaan atau keyakinan.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Asal Usul“ Suku MOI

Suku Moi merupakan suku yang berasal dan banyak terdapat di wilayah kepala burung
pulau Papua. Suku Moi berasal dari wilayah yang disebut Malamoi (Susance Olimpa; 2016).
Dalam bahasa Suku Moi, Mala berarti gunung atau daratan luas sedangkan Moi berarti
halus. Malamoi menunjukkan wilayah gunung atau daratan luas yang menjadi asal
mulatempat tinggal Suku Moi. Gunung tersebut diyakini oleh beberapa Ketua Adat yaitu di
Gunung Maladofok, gunung ini diakui oleh Suku Moi sebagai awal mula kehidupan berasal
dan dari gunung ini kemudian orang-orang Moi bermigrasi menuju Manokwari,
Teminabuan, Ayamaru, dan Kepulauan Raja Ampat.
 
Saat ini Suku Moi sebagian besar bertempat tinggal di Kampung Malaumkarta, Distrik
Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Kampung Malaumkarta terbagi menjadi
tiga Kampung yaitu Kampung Kwadas di sebelah barat, Kampung Klaluk di sebelah selatan
dan ditengah Kampung Malaumarta. Kampung Malaumkarta dapat dicapai dengan
menggunakan kendaraan bermotor (roda 2 dan roda 4) selama 1,5 – 2 jam dari Kota
Sorong. Kampung ini terletak persis di jalan Trans Papua Kota Sorong – Manokwari yang
kondisi jalannya masuk kategori bagus.
 
Mayoritas suku Moi beragama Kristen, karenanya asal mula keberadaan dan migrasi
suku Moi sudah dikaitkan dengan kepercayaan agama Kristen. Suku Moi, membagi
kelompok kekerabatan berdasarkan marga. Marga yang dimaksud yaitu sebuah kelompok
keluarga luas yang berdasarkan garis keturunan Ayah. Marga-marga tersebut adalah
Mubaleng, Magabio, Su, Sapisa, Salamah, Do, Malasumuk, Kelami Haginse, Kelami Masili,
dan Kelami Tiloke. Setiap Marga dipimpin oleh seorang Ketua, otoritas ketua yaitu meja
dipemimpin jika terjadi hubungan antarmarga terkait sengketa lahan maupun
permasalahan pembangunan yang melibatkan lahan marga.
 
Suku Moi mempuyai kearifan lokal yang disebut Egek. Egek merupakan pelarangan
pengambilan sesuatu dari alam atau benda-benda tertentu dalam jangka waktu yang sudah
ditentukan. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Sejak tahun 2017 kampung
Malaumkarta ini telah menjadi kampung Binaan Loka PSPL Sorong dan masyarakat
kampung ini satu-satunya di Provinsi Papua Barat yang ada pengakuan melalui Peraturan
Bupati Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam melakukan
pengelolaan sumberdaya Laut dikampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten
Sorong.
 
Egek dari segi ekologi sebagai aturan yang bertujuan untuk menjaga ketersediaan
sumberdaya alam sedangkan dari segi social budaya adalah sebagai praktek konservasi
dalam bentuk kesinambungan antara budaya yang diturunkan dalam bentuk tatacara
bermasyarakat, kepercayaan, dan prinsip-prinsip sosial yang ada di masyarakat. Egek
dilaksanakan oleh masyarakat untuk melestarikan kekayaan alam, Egek dilaut disepakati
berlaku khusus untuk jenis Lobster, Teripang dan Lola serta Egek untuk alat tangkap
khusus untuk Jaring, Potassium, dan Bom. Masyarakat kampung dilarang untuk mengambil
jenis-jenis ikan yang sudah dilarang, jika ada masyarakat yang mengambil akan kena
sanksi, biasanya yang melanggarakan sakit sama halnya dengan beberapa jenis alat
tangkap akan mendapat hal yang sama. Hal ini merupakan persembahan suku Moi untuk
dunia konservasi. Saat ini konservasi merupakan jawaban berbagai tantangan
pembangunan sector kelautan dan perikanan salahsatunya adalah Over Fishing,
pemanfaatan sumberdaya kelautan harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Egek ini merupakan upaya secara arif dan bijaksana tanpa mengeksploitasi secara
berlebihan. Strategi konservasi berbasis kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat
Malaumkarta adalah buah karya masyarakat Suku Moi Kelim untuk Konservasi
berkelanjutan.

2. Sistim Kepemimpinan suku MOI

Menurut J.R. Mansoben (1985-1995) menemukan adanya empat model kepemimpinan


yang dikenal dalam masyarakat Papua yaitu: a) kepemimpinan berwibawa (pria
berwibawa), b) kepemimpinan chief atau penghulu keondoafian), dan C) kepemimpinan
campuran.

A. Kepemimpinan berwibawa
Merupakan kepemimpinan yang di ukurannya pada prestasi-prestasi individu
seperti kekayaan menurut budaya. Suku Moi kekayaan diukur dengan jumlah kain
timur yang dimilikinya, selain itu kekayaan diukur dengan kemampuan bagaimana
seseorang dapat berorasi atau berdiplomasi, seorang individu dikatakan dapat
memimpin apabila ia mampu dan berani menyampaikan pendapat di muka umum,
pantai berargumen serta pandai bekerja sama antar warga guna mencapai tujuan
yang dicapai.
Adapun sifat bermurah hati (generousity) bahwa seseorang pantas menjadi
pemimpin apabila memiliki sikap peduli terhadap orang lain dengan membantu
orang lain yang membutuhkan pertolongan dimana kekayaan dan kekuasaan tidak
dipergunakan demi kepentingan pribadinya ataupun kelompoknya melainkan
kepentingan orang lain.

B. kepempimpinan penghulu (Chief atau Ondoafi)


model kepemimpinan penghulu atau local keondoafian (chief) bersifat warisan,
bahwa kepemimpinan ataupun kedudukan diperoleh melalui pewarisan
(ascibedment) dilakukan biasanya dari klen (marga) yang sama. Seseorang tidak
dapat memimpin apabila telah meninggal atau dalam kondisi sakit maka akan
diturunkan atau wariskan kepada anak laki-lakinya yang paling tua dengan syarat
memiliki sifat-sifat kepemimpinan serta pengetahuan yang dalam tentang adat-
istiadat, jika tidak memiliki sifat tersebut maka kepemimpinan akan dialihkan
kepada salah seorang saudara yang memiliki syarat-syarat tersebut, adapun jika
pemilik hak waris masih kecil dan belim mampu melaksanakan tugasnya, maka
akan dilimpahkan kepada seorang saudara ondoafi sampai waktu anak tersebut
bertumbuh dewasa dan siap melaksanakan tugas sebagai seorang pemimpin.
Adapaun tipe kepemimpinan penghulu atau ondoafi sumber kekuasaan untuk
menjadi seorang pemimpin bersumber pada (mite) berkaitan dengan asal-usul
pemimpin, dimana harapannya bahwa seorang pemimpin tersebut berasal dari
keturunan dewa atau alam gaib yang dianggap sakral, kesakralannya
memungkinankan kepemimpinannya tidak boleh di bantah atau langgar.
C. . Sistem kepemimpinan campuran
sistem kepemimpinan model ini didapatkan melalui pewarisan serta pencapaian,
dalam hal ini kepemimpinan diwariskan dari seorang ayah kepada anaknya ketika
keadaan masyarakat dalam situasi kondusif, akan tetapi jika situasi masyarakat
dalam kondisi bahaya yang mengancam kehidupan, pada situasi seperti ini jika ada
seorang individu yang mampu memecahkan masalah yang sedang di hadapi maka
secara otomatis ia diakui sebagai seorang pemimpin.

3. Kehidupan dan mata pencarian suku MOI


Sistem mata pencaharian Suku Moi secara khusus adalah peramu, berburu,
petani dan nelayan, dalam mencukupi kebutuhan hidup baik secara individu
ataupun kelompok atas hak adatnya, selain itu dalam kekerabatan masyarakat Moi
mengenal makan bersama, makan bersama dilakukan bagi keret yang kepemilikan
tanah berdampingan/berdekatan, namun dalam proses ini terdapat larangan-
larangan pada waktu-waktu tertentu, dimana adanya pelarangan adat berupa
pengambilan hasil alam dalam kurun waktu 3-4 bulan (sasi) dalam hubungannya
dengan mata pencaharian yang meliputi hasil laut, kebun dan hasil lainnya.
Proses pengambilan hasil laut, kebun dan lain sebagainya akan dapat
dilakukan ketika telah dilakukannya upacara adat (bemfie) dan doa secara
keagamaan.10 Masyarakat Moi yang hidupnya berdiam di bantaran sungai, danau
dan laut pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan, sejak dahulu Suku
Moi mengunakan alat-alat yang sangat sederhana (sbatum) kulit kayu berbentuk
silinder maupun tombak ikan dari bambu dan dahan kayu adapun cara-cara yang
sangat tradisional yaitu meracuni ikan dengan kulit kayu (sabekesik) di baringgi
dengan mantra-matra berupa lagu-lagu agar tangkapan ikan berjalan dengan sangat
mulus, sedangkan bagi masyarakat pedalaman hidup dengan cara berburu hewan
seperti rusa, babi, kasuari, kus-kus dan burung.
Dalam berburu, alat yang digunakan adalah tombak bambu, batu, panah dan
alat lainya dibaringgi juga dengan matra-mantra dan lagu yang bersumber pada
kepercayaan lokal (animisme) dibagian pesisir berprofesi sebagai petani yang
bercocok tanam berupa ubi jalar, keladi, pisang, singkong, sagu, ulat sagu dan buah-
buahan seperti kelapa, mangga. Dengan mengunakan alat berupa cangkul batu dan
bambu dengan cara melubangi tanah untuk menanam sayur dan buah-buahan.
Akan tetapi sekarang sebagian besar masyarakat Moi telah memiliki beragam
profesi tidak hanya sebatas berburu, bertani, nelayan melainkan juga telah bekerja
pada berbagai instansi pemerintahan seperti menjadi pegawai negeri sipil, polisi,
dosen, tukang ojek, penjual di pasar dan berbagai macam profesi lainnya guna
memenuhi kebutuhan hidup.Akan tetapi dengan menekuni profesi yang baru tidak
membuat masyarakat Moi meninggalkan profesi lama, seperti berkebun, bertani
dan berburu dan lain-lain, hingga saat ini masih banyak orang-orang tua yang ke
hutan dan ke laut untuk bercocok tanam, berburu dan menangkap ikan, masyarakat
Moi dalam kualitas jumlah di bandingkan dengan suku lain di sekitar memang
berbanding sedikit, akan tetapi luas wilayah suku Moi dengan segala kekayaannya
sangat luas dan banyak, oleh sebab itu hal kekayaan tersebut harus di maanfatkan
untuk kebutuhan seharihari.

4. Sistim Seni dan Budaya


Seni dan Budaya Suku Moi, diantaranya terdapat pada proses perkawinan adat,
pendidikan adat, hingga sanksi hukum adat.
Untuk perkawinan adat Suku Moi, hampir mirip dengan lima suku lainnya
yakni Maybrat, Sorong Selatan, Pegunungan Arfak dan Bintuni.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Moi, Kabupaten Sorong, Korneles
Usily menuturkan sejumlah prosesi adat di Suku Moi, ada yang bisa diketahui publik
dan ada sejumlah prosesi adat yang tidak boleh diketahui oleh umum, terutama
kaum perempuan.Kata Korneles, misalnya saja pendidikan adat Kambik yang pada
masa lalu hanya diperbolehkan untuk kaum laki-laki.
“Saat ini pendidikan adat Kambik sudah ditiadakan, hanya tersisa beberapa
orang yang memiliki ilmu dari pendidikan Kambik. Rata-rata warga yang memiliki
pendidikan Kambik, mengetahui seluruh adat Suku Moi,”
Hal unik lainnya dari Suku Moi adalah perkawinan adat yang boleh diketahui
oleh masyarakat umum. Dalam prosesi perkawinan adat Suku Moi, dilakukan
dengan pembayaran mas kawin berupa kain, terutama kain timor.
“Pembayaran mas kawin diperuntukan bagi mempelai perempuan maupun
orangtua perempuan. Pemberian mas kawin ini akan diberikan secara terpisah, bagi
calon istri dan orangtuanya," jelasnya.Sementara untuk sanksi hukum adat dari
Suku Moi, ada sejumlah hukum adat yang khusus berlaku bagi laki-laki maupun
perempuan.
“Berbeda dengan sanksi hukum adat menggunakan bambu tui, biasanya
berlaku untuk umum dalam menyelesaikan persoalan sengketa tanah adat,”

5. sistim perkawinan
Masayarakat adat suku Moi masih diakui keberadaannya dan dianggap
mempunyai kekuatan hukum yang cukup efektif. Sehingga dapat mengakomodir
potensi adat dalam penegakan sanksi, hukum adat maka perlu dilakukan, pada
masyarakat adat suku moi demi menjaga Komunitas Suku Moi kabupaten sorong.
Dan hukum adat juga sebagai salah satu peraturan yang di terapkan di komunitas
adat suku moi klim terkait masala pembayaran maskawin,pelanggaran persinahan
dan pembunuhan yang di terapkan di komunitas adat. Dan aturan adat sapapun dia
harus mematuhi hukum adat yang berlaku di suku Moi.Wilayah adat Suku Moi,
merupakan sebagian besar wilayah adat diKabupaten Sorong dan Kota Sorong,
Provinsi Papua Barat.
Masyarakat Suku Moi asli yang berada di kabupaten Sorong memiliki adat
istiadat dalam perkawinan.Menjadi suatu hal yang sakral bagi mereka yang ditandai
dengan upacara-upacara adat mulai dari proses lamaran atau minang sampai
terlaksananya perkawinan.
Perkawinan adat dilangsungkan dengan bermacam-macam upacara, seperti
pertemuan yang resmi dan makan bersama antara kedua mempelai, selamatan bagi
para leluhur, mengadakan pemberian-pemberian pada waktu perkawinan dan
sebagainya. Adat ini diawali ketika orang tua perempuan mengetahui bahwa si
perempuan telah mengandung kemudian terjadi ada komunikasi yang berlanjut
antara kedua belah pihak.
Orang tua dari kedua pihak akan duduk bersama atau bermusyawarah di
rumah adat kemudian ada salah seorang dari marga lain sebagai penyambung
informasi dari kedua belah pihak tersebut. Seseorang yang bertindak sebagai
penyambung infromasi atau disebut pesuruh akan menyampaikan dari pihak laki-
laki ke keluarga perempuan maupun sebaliknya.
6. sistim kesehatan pola perawatan jika yang sakit
Kesehatan, dalam menjaga serta memberikan jaminan kesehatan kepada
setiap kelompok dalam Suku Moi, peserta Pendidikan Adat Kambik diperlengkapi
dengan pengetahuan pengobatan tradisional. Dalam Kambik diajarkan tentang air,
kulit kayu dan daun-daun, bara api dan buah-buahan tertentu yang dapat
menyembuhkan orang dari penyakitnya, contoh seperti tali hutan dapat berfungsi
sebagai media yang dapat mengeluarkan bisa ular dari orang yang tergigit. Suku Moi
juga mengetahui cara sehat bagi ibu hamil, dimana saat seseorang perempuan
sedang hamil, maka secara otomatis suami (laki-laki harus meninggalkan rumah
hingga sang
istri (perempuan) melahirkan baru dapat kembali tinggal bersama-sama. Hal ini
dilakukan demi kesehatan ibu ).

7. sistim kepercayaan atau keyakinan


sebelum mengenal agama modern (Kristen, Islam, katolik) mempunyai
kepercayaan animisme dengan mempelajari mitos-mitos, lagu-lagu rakyat, mantra
serta larangan-larangan adat yang bagi masyarakat di tandai dengan berupa
tempat-tempat seperti hutan keramat, mengambil ikan di laut/sungai, menotok
sagu semuanya itu harus dilakukan dengan menyebutkan nama-nama arwah atau
roh.23 Kepercayaan animisme (bahasa latin anima atau roh) merupakan
kepercayaan terhadap makhluk halus atau roh, hal ini merupakan kepercayaan
mula-mula dikalangan masyarakat tradisional yang lahir dari lokalitas setempat,
kepercayaan terhadap animisme merupakan bentuk kesadaran manusia tradisional
dalam memahami yang ilahi, dengan keyakinan adanya kuasa tertinggi diatas
manusia.
Kepercayaan terhadap animisme terwujud dalam bentuk symbol-simbol
seperti gua, pohon, atau batu besar dimana masyarakat tradisional meyakini adanya
kuasa yang berdiam dalam symbol-simbol tersebut oleh karena itu harus di hormati
agar tidak menganggu manusia. Suku Moi sebelum mengenal Tuhan dalam agama
Islam dan Kristen, mereka telah percaya kepada satu dewa atau Tuhan yang
berkuasa diatas dewa-dewa yang di sebut dengan nama “Fun Nah dan Muwe” bagi
Suku Moi semua dewa, roh para leluhur harus di hargai dan di hormati karena
mempunyai kekuasaan yang mutlak atas hidup manusia. Dan bagi masyarakat Moi
dewa pencipta merupakan penguasa tertinggi yang tidak kelihatan namun dapat
dijumpai dalam unsur-unsur alam tertentu seperti angin, hujan, petir, pusaran air,
dasar laut dan juga tanjung tertentu. Hingga sekarang wujud keterlibatan peran
dewa-dewa masih di rasakan saat ini, keterlibatan dewa-dewa dalam peristiwa alam
seperti petir, hujan deras, Guntur dan kilat akan terjadi ketika adanya konflik antara
satu marga dengan marga yang lain, seperti konflik tentang batas tanah,
pengambilan hak ulayat terhadap kepimilikan marga yang lain dan peristiwa-
peristiwa lainnya.24
Sejak dahulu Suku Moi dalam seluruh aspek moral dan tingkah lakunya
selalu berhubungan dengan roh dewa ataupun roh leluhur yang diungkapkan dalam
bentuk nyanyian-nyanyian serta mantra-mantra, dewa-dewa ataupun roh para
leluhur diyakini berdiam dalam setiap wujud-wujud alam misalnya dewa hutan
yang mendiami hutan yang bertempat pada pohon-pohon besar, oleh karena itu
masyarakat Moi pohon-pohon besar di hutan dianggap keramat. Sebelum mengenal
agama modern (Kristen, Islam) kepercayaan tradisi Suku Moi memainkan peran
penting dalam keseharian hidup mereka, dimana anggapan bahwa makhluk-
makhluk halus mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang mengontrol kehidupan
manusia, oleh karena itu harus dihormati dan dihargai, bentuk dari penghargaan
sekaligus rasa takut mereka diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual pemberian
sesajen.
Acara ritual pemujaan yang terdapat dalam suku Moi tidak berbentuk wujud
patung seperti masyarakat Biak (Karwar) atau pembayaran tengkorak (Maybrat),
namun pemujaan dan penyembahan dilakukan kepada alam sebagai sebagai bentuk
keyakinan berdiamnya roh halus atau dewa. Penulis menambahkan bahwa
pemujaan dan penyembahan kepada roh leluhur secara modern di kenal dengan
animisme, namun nilai positif dari penyembahan kepada animisme merupakan
wujud pengetahuan terhadap adat, dimana sejak dahulu para leluhur telah
melakukan.

BAB III
PENUTUP
a) Kesimplan:
Pendidikan adat kambik merupakan budaya asli suku Moi yang telah mati, artinya
tidak dilaksanakan lagi sekarang, hilangnya budaya pendidikan adat Kambik
disebabkan oleh penetrasi agama tetapi juga kebudayaan asing, kendatipun
demikian pendidikan adat Kambik tidak hilang secara keseluruhan, melainkan
pengetahuan-pengetahuan empiris tentang pendidikan adat Kambik masih hidup
dalam memori kolektif masyarakat Moi, karena itu, pendidikan adat Kambik mesti
dihidupkan kembali, megiggat pendidikan adat merupakan dasar nilai bagi
kehidupan bersama yang telah diwariskan oleh para leluhur, sehingga hal tersebut
harus dijaga dan dihormati serta dilestarikan, dikarenakan, dalam pendidikan adat
yang merupakan dasar nilai dan pengetahuan mula-mula, tersimpan begitu banyak
pengetahuan yang memiliki nilai dan makna yang dapat berguna pada kehidupan
sekarang ini. Dengan dihidupkannya pendidikan adat Kambik, maka dapat menjadi
solusi dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat Moi tetapi
juga masyarakat diluar komunitasnya, selain itu juga dengan hidupnya pendidikan
adat Kambik akan memberikan warna baru dalam kehidupan masyarakat Moi
dalam hubungannya dengan sesama, alam dan yang ilahi. Sehingga tercipta
persatuan dan keharmonisan hidup, selain itu juga lulusan-lusan pendidikan adat
dapat menguasai beragam pengetahuan yang berkaitan dengan alam, yang dapat
berguna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak didapatkan dalam
pendidikan formal.

b) Saran
1. Membangkitkan motivasi dengan cara melakukan seminar-seminar mengenai
pendidikan adat Kambik kepada masyarakat Moi yang dilakukan oleh Lembaga
Adat Masyarakat Moi (LMA), supaya muncul kesadaran akan pentingnya budaya
masalalu sebagai identitas serta jadi diri masyarakat Moi Membangkitkan rasa
menghargai dan mencintai budaya daerah sehingga minat untuk melestarikan
akan semakin besar.
2. Perlunya sinergi dari pemerintah Papua untuk melihat kekayaan budaya daerah
yang tidak dilaksanakan pada saat sekarang untuk dihidupkan kembali, dimana
perlunya bekerja sama dengan lembaga adat dan agama serta pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai