Anda di halaman 1dari 5

Hukum Adat dari Mentawai

Hukum adat dari Daerah Mentawai


Sekarang saya akan membahas tentang hukum adat dari Daerah Mentawai
Arat Sabulungan merupakan sebuah tatanan adat suku Mentawai yang tinggal di Kabupaten Kepulauan
Mentawai Propinsi Sumatera Barat.Tatanan adat ini lahir setelah nenek moyang sampai di Pulau Siberut
bagian Pantai Barat. Tetapi tidak langsung menciptakan Arat Sabulungan. Pertama mereka hidup
bersama alam dengan gejala-gejala alam yang dirasakan.
Nenek moyang orang Mentawai mungkin datang ke Pulau Siberut sekitar 300 tahun yang lalu. Asal usul
mereka belum diketahui, namun beberapa literatur dan peniliti mengarahkan dan menduga kuat, mereka
berasal dari Batak Kuno, Sumatera Utara. Tipe kebudayaan ini mungkin menyebar di seluruh Indonesia
pada masa lampau, tetapi telah dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang datang
dari daerah luar).
Sistem Perladangan Di Mentawai
Masyarakat Mentawai adalah masyarakat tradisional yang masih mempertahankan kehidupan adat dan
tradisi. Hal ini tercermin pada upacara-upacara di setiap tahap proses perladangan yang merupakan
mata pencaharian pokok penduduk. Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat
dikatakan masih tradisional, seperti: tegle, suki, lading,kampak.
Satu hal yang pantas dipuji dalam sistem berladang masyarakat Mentawai adalah kearifan tradisional
mereka dalam memelihara alam lingkungan. Masyarakat Mentawai tidak pernah mengenal adanya
“slash and burn” (tebang dan bakar) yang dapat menimbulkan polusi udara atau, bahkan mungkin,
kebakaran hutan, Berdasarkan kepercayaan yang diwarisi turun temurun, membakar pohon di hutan
akan mengakibatkan kemarahan roh-roh penjaga hutan dan akan dapat mendatangkan penyakit bagi si
pembakar atau pun keluarganya. Tanaman yang sudah ditebang maupun ditebas dibiarkan membusuk di
tempatnya, tidak disingkirkan. Namun pada kenyataannya hal itu justru berguna karena akhirnya menjadi
pupuk alami bagi ladang mereka.
Alasan sebenarnya mereka melakukan itu adalah untuk menghemat waktu dan tenaga, mengingat
ladang yang mereka miliki terlampau luas dan ada di berbagai tempat. Beberapa dari mereka
beranggapan bahwa membersihkan semak-semak yang sudah ditebas atau batang kayu yang sudah
ditebang merupakan pemborosan waktu dan tenaga saja. Mereka pun tidak pernah menggunakan pupuk
buatan, karena itupun dianggap sebagai pemborosan, karena harganya relatif mahal bagi mereka.
Masyarakat Mentawai memiliki kearifan tradisi sendiri dalam mengolah ladang, ada ritual khusus
yang tak boleh ditinggalkan, kalau ingin hasil ladangnya maksimal. Berikut tata cara pembukaan ladang
di Muntei, Siberut Selatan, hasil penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Berladang atau dalam bahasa Mentawai mumone merupakan salah satu upaya yang dilakukan
masyarakat Mentawai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pembukaan lahan untuk ladang biasanya
dilakukan oleh beberapa keluarga yang tergabung dalam satu uma.
Tahap pertama dalam rencana pembukaan ladang adalah musyawarah di tingkat uma.
Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh anggota uma, yaitu para tetua uma dan anggota-angota yang lebih
muda, terutama dari keluarga yang ingin membuka ladang. Musyawarah ini dipimpin oleh sikebukkat uma
(kepala uma). Musyawarah tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai lokasi dan
luas lahan yang akan dibuka.
Tahap kedua melakukan survei lapangan untuk mengetahui hal-hal seperti areal mana yang cocok,
bagaimana kesuburan tanahnya, berapa luas lahan yang akan dibuka serta batas-batasnya Survei ini
bisa makan waktu dua minggu.
Tahap selanjutnya musyawarah lagi. Hasil survei dibicarakan di uma, terutama untuk memfinalkan lokasi,
luas ladang dan kejelasan batas-batas lahan, sekaligus membicarakan kapan punen pasibuluake’ atau
panaki, serta proses pembersihan semak belukar dilakukan.
Sebelum mulai membuka hutan atau menebang pohon-pohon, harus terlebih dahulu dilakukan upacara
“Panaki”yaitu sebuah ritual meminta izin kepada roh-roh penjaga hutan. Masyarakat adat Mentawai
meyakini bahwa ada sebuah kekuatan di luar manusia yang telah menjaga hutan dan alam di sekitarnya.
Oleh sebab itu, setiap akan melakukan aktivitas di hutan termasuk menebang pohon harus terlebih
dahulu meminta izin sebagai bentuk penghargaan manusia terhadap kekuatan di luar diri mereka yang
telah ikut membantu menjaga alam bagi kelangsungan hidup manusia.
Berladang merupakan aktivitas penting sebab merupakan salah satu cara pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari. Di Siberut, perladangan dibuka di sekitar kawaan hutan, dapat pada lokasi yang
berbukit-bukit (leleu) dan juga pada lokasi yang datar (su’suk). Namun meskipun demikian berdasarkan
pengetahuan tradisional, ada beberapa kriteria atau pertimbangan yang harus dipenuhi ketika akan
membuka kawasan perladangan, antara lain :
· Tidak boleh membuka perladangan di lokasi yang curam, hal ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya longsor.
· Perladangan baru juga tidak akan dibuka di kawasan yang banyak terdapat pohon-pohon kayu
yang bermanfaat untuk bahan bangunan atau rumah, sampan dan peralatan rumah tangga, dll.
Lakokaina (Mengkeramatkan Kawasan Alami)
Masyarakat Mentawai di Muntei mempercayai bahwa kawasan tertentu seperti hutan, sungai, gunung,
perbukitan, hutan, laut, rawa dan sebagainya dijaga oleh mahluk halus yang disebut lakokaina. Mereka
yakin lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus menahan rezeki, karena itu harus
dibujuk dan dihibur lewat punen atau lia. Untuk itulah punen pasibuluake’ diselenggarakan. Tapi, tak
seorang Mentawaipun berani menyebut nama lakokaina, mereka takut kualat, artinya nenek moyang atau
sateteumai (nenek moyang kami).
Punen Pasibuluakek diadakan di uma sibakkatpolag (pemilik ladang) dan dipimpin oleh sikebukkat
uma serta dihadiri oleh semua anggota uma, dari yang paling tua sampai yang masih bayi. Para sinuruk
(kerabat) dan tetangga dekat juga diundang untuk makan bersama. Ayam dan babi disembelih dan
dimakan ramai-ramai. Otcai (bagian) dibagi sama rata. Tak ada yang tak mendapatkannya, bahkan jiwa
semua benda di tempat tersebut juga dikasi, supaya mereka tenang dan tidak mengganggu. Terutama
sekali tentu buat teteu di puncak-puncak pohon. Mereka harus dibaik-baiki benar-benar, kalau tidak dia
bisa marah dan mengubrak-abrik ladang yang akan dibuka, atau membuat semua tanaman mati tanpa
sebab, atau yang lebih sadis, membiarkan tanaman tumbuh subur sehingga menimbulkan harapan di hati
peladangnya, lalu membuat semua tanaman tersebut tak berbuah.
Mengkeramatkan kawasan alami seperti, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, rawa dan
sebagainya secara tidak langsung masyarakat mentawai telah menjaga kawassan tersebut karena ada
batasan-batasan tertentu untuk mengelola dan menjamahnya. Kearifan ini harus tetap dijaga dan
dilestarikan karena dapat menjaga keberlangsungan kelestarian alam.
Sistem Perbururuan Suku Mentawai
Berburu merupakan sebuah aktivitas kebanggaan kaum laki-laki Mentawai. Kebanggaan tersebut dapat
dilihat dari pajangan tengkorak binatang buruan (abakmanang) di dalam uma. Selain sebagai ajang
menguji keahlian dan ketrampilan menggunakan peralatan berburu (busur dan anak panah), berburu juga
menjadi sebuah bentuk pengetahuan tradisional masyarakat adat Mentawai terhadap alam dan
fenomenanya. Sebab berburu tidak dilakukan setiap saat, ada masa atau waktu tertentu yang dianggap
baik untuk berburu, seperti perhitungan bulan. Berburu juga biasanya dilakukan sebagai penutup upacara
atau pesta adat (puliaijat). Selain itu setiap kali berburu, berlaku tabu (kei-kei) yang harus dijalani oleh
setiap orang yang ikut pergi berburu.
Berburu juga dilakukan dengan upacara panangga yang maknanya sama dengan upacara panaki
yaitu meminta izin terlebih dahulu kepada roh-roh penjaga hutan sebagai penghargaan dan rasa terima
kasih.
Kegiatan berburu di mentawai ini termasuk pada kegiatan konservasi karena memiliki aturan dan
tatacara yang tepat. Perburuan ini dapat membuat populasi hewan yang ada dihutan menjadi sehat
karena dilakukan pada waktu-waktu tertentu serta mempertimbangkan ukuran, umur dan satwa-satwa
tertentu saja.
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur
sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang
berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma.
Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit
di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-
kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak
pernah terbentuk karena peristiwa ini.
Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai
kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat
menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Secara tradisional uma mempunyai wewenang tertinggi di Siberut. Selama rezim Orba fungsi organisasi
sosial uma kurang begitu berfungsi tetapi sejak era reformasi uma mulai digalakkan kembali dibeberapa
Desa dengan dibentuknya Dewan Adat. Sejak otonomi daerah bergulir direncanakan satuan pemerintah
terendah yaitu “ laggai”.
Budaya Tradisional
Menurut agama tradisional Mentawai (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di
alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan
dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan
dapat menyebabkan penyakit.
Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kegiatan keseharian yang
tidak sesuai dengan adat dankepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan
roh di alam.

Upacara agama dikenal dengan sebagai punen, puliaijat atau lia harus dilakukan bersamaan dengan
aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat
berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup
maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat
(uma) dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga
mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, maka sistem tabu atau pantangan
(kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian.

Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur
pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun.
Bagaimanapun juga, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh
dengan cepat dan sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga
berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat
Mentawai.
Dalam melakukan kegiatan beerburu, pembuatan sampan, merambah/membuka lahan untuk ladang atau
membangun sebuah uma maka biasanya dilakukan secar bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan
pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam,
sagu, dll) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah
selesai melaksanakan kegiatan/upacara.

Makanan pokok masyarakat di Siberut adalah sagu (Metroxylon sagu), pisang dan keladi. Makanan
lainnya seperti buah-buahan, madu dan jamur diramu dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein
seperti rusa, monyet dan burung diperoleh dengan berburu menggunakan panah dan ikan dipancing dari
kolam atau sungai
Sistem Kepercayaan Orang Mentawai
Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Protestan, Islam atau Bahai.
Walaupun demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang teguh religinya yang asli, ialah
Arat Bulungan. Arat berarti “adat” dan bulungan berasal dari kata bulu (= daun).

Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan,
batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam
ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.

Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu
suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.

Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan
sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh
mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).

Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata,
orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih
ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan
berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk
menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara
karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.

Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau
menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah
menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang
penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa
ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka
masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah
membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi
kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.

Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti
telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu
tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.

Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu,
orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan
puasa.

Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan
dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.

Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar
pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan
pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan
denda-adat atau tulon tersebut di atas.

Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan
benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou
dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi
sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat
lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir
pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada
di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.

Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata


Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai
juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan
gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan
(2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam
sekitar manusia.

Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya,
atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit
secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu
sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib
produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang
ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti
juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan
(bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar
biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-
benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere,
dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-
tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib
atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik

Anda mungkin juga menyukai