Anda di halaman 1dari 5

Suku Aneuk Jamee

Provinsi Aceh memiliki keberagaman budaya. Salah satu keberagaman


budaya itu lahir dari suku-suku yang berbeda pula. Salah satu suku yang
memiliki kebudayaan mandiri adalah suku Aneuk Jamee. Suku Aneuk
Jamee, adalah salah satu suku yang terdapat di provinsi Aceh.

Suku Aneuk Jamee tersebar di beberapa kabupaten di provinsi Aceh, yaitu


di kabupaten Aceh Selatan, kabupaten Aceh Barat, kabupaten Aceh Barat
Daya dan kabupaten Nagan Raya.

Nama Aneuk Jamee (bahasa Aceh) memiliki arti "anak yang berkunjung"
atau "pendatang baru". Nama ini digunakan untuk menggambarkan orang-
orang Minang berasal dari Lubuk Sikaping, Pariaman, Rao, dan Pasaman
yang mulai bermigrasi ke daerah tersebut pada abad ke-17. Secara
bertahap, mereka berasimilasi dengan orang-orang Aceh yang ada di
daerah tersebut. Proses asimilasi tersebut dipermudah oleh kepercayaan
Islam yang umum. Namun, pada akhirnya mereka merasa bahwa mereka
bukanlah orang Aceh maupun orang Minangkabau, tetapi masyarakat baru
yang memiliki budaya dan bahasa sendiri.

Sebaran Daerah dan Populasi

Orang-orang Aneuk Jamee adalah salah satu kelompok masyarakat yang


tinggal di pesisir barat Provinsi Aceh. Populasi suku Anak Jamee sekitar
50%. Mereka pada umumnya tinggal di sekitar teluk-teluk kecil di
sepanjang pantai. Mereka juga tersebar di kawasan dataran rendah, yang
dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan. Aneuk Jamee sebagian besar
berada di Kabupaten Aceh Barat, yang meliputi lima kecamatan yaitu
Tapak Tuan, Samadua, Susoh, Manggeng, dan Labuhan Haji. Ada
sebagian kecil yang tinggal di Kabupaten Aceh Selatan di tiga kecamatan,
yaitu Johan Pahlawan, Kaway XVI, dan Kuala.

Kehidupan Suku Aneuk Jamee

Suku Aneuk Jamee adalah kombinasi dari budaya Aceh dan Budaya
Minangkabau. Kita bisa melihat dari cara dan perlengkapan adat pengantin
wanita yang menambahkan semacam sunting (mahkota) di kepala yang
merujuk pada adat dari daerah Bukit Tinggi. Sementara pada pakaian adat
pria tetap mengikuti adat Aceh.

Bahasa suku Aneuk Jamee adalah bahasa yang hampir mirip dengan
bahasa Minangkabau. Bahasa Aneuk Jamee yaitu jamu adalah merupakan
bahasa pembauran beberapa bahasa yang ada di Sumatera. Konon, suku
Aneuk Jamee dulu berasal dari Minangkabau. Masyarakat Aceh menyebut
mereka sebagai "Aneuk Jamee" yang berarti tamu atau pendatang. Suku
Aneuk Jamee terkonsentrasi di kabupaten Aceh Selatan dan kabupaten
Aceh Barat Daya. Selain itu terdapat kelompok-kelompok kecil yang
menetap di sekitar kawasan Meulaboh, kabupaten Aceh Barat, sekitar
kawasan Sinabang, kabupaten Simeulue, kabupaten Aceh Singkil dan kota
Subulussalam.

Konon ketika pecahnya perang paderi, para pejuang paderi melarikan diri
dari serangan tentara kolonial Belanda. Akibatnya banyak masyarakat
Minangkabau yang tersebar di sepanjang pesisir pantai Barat-Selatan
Aceh. Pada awalnya mereka tetap menggunakan bahasa Minangkabau,
tetapi karena telah sekian lama, bahasa mereka pun tercampur dengan
bahasa Aceh, sehingga terbentuklah suatu dialek bahasa baru, yaitu
bahasa Aneuk Jamee. Bahasa Aneuk Jamee banyak menyerap
perbendaharaan kata dari bahasa Aceh.

Salah satu tradisi unik di hari Meugang (hari magang) ini adalah tradisi
yang ada pada masyarakat suku bangsa Aneuk Jamee, khususnya di
daerah Kluet Selatan (kandang) . Di daerah ini di hari Meugang dikenal
adanya tradisi Mambantai dan Balamang. Kedua tradisi ini selalu
dilaksanakan setiap tahun sebelum Ramadhan setiap generasi ke
generasi. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka berkumpul di
sebidang tanah yang cukup luas. Prosesi ini dipimpin oleh seorang pawang
(kadang dipimpin oleh Imam Chik mesjid atau Meunasah) yang benar-
benar memahami tata cara dan doa dalam penyembelihan dan dibantu
oleh beberapa orang yang bertugas mengikat kaki dan merebahkan hewan
yang akan disembelih dengan posisi menghadap kiblat. Sampai pada
proses pemotongan daging dan siap dimasak oleh kaum perempuan.

Selain itu, di hari yang sama ada pula tradisi Balamang yang dilaksanakan
oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti tradisi memasak
lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh semua
malamang perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh
tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan. Mereka mendapat porsi
tugas masing-masing sesuai usia. Nenek dianggap orang yang paling ahli
dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk
semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang paling
mengerti cara memasukkan beras kedalam bambu. Generasi yang lebih
muda kebagian tugas mencari, memotong dan membersihkan bambu
untuk memasak lemang. Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu
(buluh) tidak boleh dilangkahi karena dapat menyebabkan beras ketan
yang dimasak di dalam buluh tersebut alak akan keluar (menjulur) saat
proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam posisi berdiri bersandar
pada besi tungku.

Biasanya bambu dicuci di sungai dengan menggunakan sabut kelapa


untuk mengikis miang yang melekat pada bambu (buluh) agar tidak gatal
lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan yaitu satu arah,
tidak boleh bolak balik untuk mencegah miang tadi melekat kembali.
Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh.
Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan
santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang
sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan
dengan baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari
daun pisang, lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah
robek untuk dimasukkan ke dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci
beras hingga bersih.

Kepercayaan /Agama
Orang-orang Aneuk Jamee adalah penganut agama Islam. Seperti orang-
orang Indonesia yang lain, orang-orang Aneuk Jamee juga memperlihatkan
beberapa unsur kepercayaan sebelumnya yang tidak mudah dilupakan.
Praktik perdukunan masih sering digunakan untuk berbagai keperluan.
Misalnya, seorang dukun kadang-kadang diminta untuk memasukkan
mantra cinta (sijundai) pada seorang gadis, atau untuk menyembuhkan
seorang gadis yang dimantrai dengan cara ini.

Sosial dan Ekonomi

Masyarakat Suku Aneuk Jamee umumnya mengetahui juga kegunaan


jenis-jenis binatang untuk dijadikan bahan obat-obatan. Jenis-jenis
binatang yang dapat dijadikan obat-obatan tersebut adalah seperti baneng
glee (sejenis penyu) dimakan dagingnya untuk obat gatal-gatal dan
reumatik. Biantang kurungkhong (sejenis kepiting) dan labah-labah air
dapat dijadikan obat batuk asma. Tulang badak serta sumbunya dapat
dijadikan obat berbisa. Katak hijau dapat dijadikan obat digigit ular.
Jeureumen manok (lembing ayam dapat dijadikan obat digigit lipan atau
kala).

Masyarakat Aneuk Jamee memiliki tiga strata sosial. Bangsawan (datuk)


menduduki strata tertinggi. Strata menengah dibentuk oleh kepala daerah
(hulu baling) dan pemuka agama (ulama), seperti pemimpin doa (tengku),
kiai (imam), dan hakim agama (kadi). Orang-orang biasa berada pada
strata paling bawah.

Kepemimpinan tradisional di dalam sebuah desa terdiri dari kombinasi


unsur

Minangkabau dan Aceh. Mereka ini adalah para kecik (lurah), tuangku
manasah dan tuangku surau. Ini agak berbeda dengan kepemimpinan di
tingkat kecamatan yang sama dengan pola kepemimpinan tradisional
budaya Aceh. Pola kepimpinan ini terdiri dari kepala daerah (mukim), lurah
(kecik), pemimpin jalanan (ketua jurong), dan tua-tua (tuha peut).

Selain itu, sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara


budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan
berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah
adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat
pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan
perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu.
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut
rumah tangga. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai
kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang
ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.

Hal lainnya adalah bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut
gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau
kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang
dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong
disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima
yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap
gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum
meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).

Banyak masyarakat Aneuk Jamee yang menjadi nelayan, sementara


beberapa lainnya bersawah (basawah), berladang (baladang), dan
berkebun (bakabun). Ada beberapa orang Aneuk Jamee yang menjadi
pedagang tetap (baniago), sementara lainnya dikenal sebagai penggaleh --
orang yang menjual barang-barang dari desa ke desa.

Suku Aneuk Jamee juga menggunakan alat-alat peperangan diperoleh dari


tempeun (tempat menempa alat-alat perkakas yang berasal dari besi) alat-
alat peperangan masyarakat adat Aneuk Jamee.

Anda mungkin juga menyukai