Anda di halaman 1dari 18

Tugas

KEBUDAYAAN SULAWESI TENGGARA

MAKALAH

RITUAL KAFIA/PERKAWINAN DALAM

MASYARAKAT TOMIA

BOY CANDRA FERNIAWAN


N1D1 16 104

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga saya sebagai penyusun makalah ini dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “RITUAL KAFIA/ PERKAWINAN
MASYARAKAT TOMIA(WAKATOBI)”.
Makalah ini dibuat dan disusun untuk memenuhi penyelesaian tugas pada
mata kuliah kebudayaan sultra. Dalam penulisan makalah ini, saya penulis tentu saja
tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang ikut serta membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati meminta
maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang
ada dalam makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

Kendari, 21 Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………………………....................................... .
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang…………………………………………………………….............
1.2 Rumusan masalah…………………………………………………………………
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………….
BAB IIIPEMBAHASAN
2.1 Ritual Dalam Perspektif Sosiologi……………………………………………….
2.2 Ritual KAFIA (Perkawinan) Masyarakat Tomia………………………………….
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………
3.2 Saran…………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat dari
kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual keagamaan yang di
laksanakan dan di lestarikan oleh masing-masing pendukungnya. Ritual keagamaan
tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan serta maksud dan tujuan yang
berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lainnya. Hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat
serta tradisi yang di wariskan secara turun temurun.

Upacara keagamaan dalam kebudayaan suku bangsa biasanya merupakan unsur


kebudayaan yang paling tampak lahir. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Ronald Robertson,(1988:1) bahwa agama berisikan ajaran-ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak tentang tingkah laku manusia dan petunjuk-petunjuk
untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat (setelah mati),yakni sebagai manusia
yang bertakwa kepada Tuhannya, baradab,dan manusiawi yang berbeda dengan cara-
cara hidup hewan atau mahluk gaib yang jahat dan berdosa. Namun dalam agama-
agama lokal atau primitif ajaran-ajaran agama tersebut tidak di lakukan dalam bentuk
tertulis tetapi dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi atau
upacara-upacara.
Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktifitas dan tindakan
manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa roh nenek
moyang,atau mahluk halus lain, dan dalam usahannya untuk berkomunikasi dengan
Tuhan dan mahluk gaib lainnya.Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung
secara berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim atau kadang-kadang saja.
Dalam pelaksanaan upacara keagamaan masyarakat mengikutinya dengan rasa
khidmat dan merasa sebagai sesuatu yang suci sehingga harus di laksanakan dengan
penuh hati-hati dan bijaksana, mengingat banyaknya hal yang di anggap tabuh serta
penuh dengan pantangan yang terdapat di dalamnya. Dimana mereka mengadakan
barbagai kegiatan berupa pemujaan, pemudahan dan berbagai aktifitas lainnya seperti
makan bersama, menari, dan menyanyi serta di lengkapi pula dengan beraneka ragam
sarana dan peralatan.

Semuan aktivitas tersebut dalam bahasa masyarakat setempat disebut dengan istilah
Mingku. Mingku secara harfiah adalah suatu bentuk sikap, perilaku, dan kegiatan
yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Kegiatan tersebut mengandung
berbagai macam nilai yang perlu dilestarikan dan dipertahankan keberadaanya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis merasa tertarik untuk menulis dan
meneliti masalah penelitian ini yang berjudul ritual kafia (pernikahan) masyarakat
tomia.

2.2 Rumusan Masalah


Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah, bagaimanakah ritual kafia
/pernikahan masyarakat tomia?.

3.3 Tujuan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan yaitu untuk mendiskripsikan tentang ritual
kafia/penikahan masyarakat tomia.

BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Ritual dalam Perspektif Sosiologi

Semua agama mengenal ritual. Karena setiap agama memilki ajaran tentang
hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan
pelestarian kesakralan. Disamping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh
hubungan pelaku dengan objek yang suci, dan memperkuat solidaritas kelompok
yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental (Djamari, 1993:35).

Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi


oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh
karena itu, ritual didefinisikan sebagai prilaku yang diatur secara ketat, dilakukan
sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan prilaku seahri-hari, baik cara
melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual
diyakini akan mendatangkan keberkahan. Karena percaya akan hadirnya sesuatu yang
sakral. Sedangkan perilaku profane dilakukan secara bebas (Djamari, 1993:36).

Dalam analisis Djamari (1993:36), ritual ditinjau dari dua segi : tujuan
(makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada
Tuhan, ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan
keselamatan dan rahmat, dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan
yang dilakukan.

Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua : individual dan
kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan
dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula
ritual yang dilakukan secara kolektif (umum) seperti khotbah, shalat berjamaah, dan
haji.George homans (Djamari,1993:38) menunjukkan hubungan antara ritual dan
kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya,
ia membagi kecemasan menjadi kecemasan yang bersifat “sangat” yang ia sebut
kecemasan primer, dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kecemasan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual
primer, dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia
mendefiniskan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan
meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan dan ritual sekunder
sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau
kekurangannya dalam ritual primer.

Berbeda dengan Homans, C. Anthony Wallace (Djamari,1993:39) meninjau ritual


dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut :

1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatan


pertanian dan perburuan.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal
yang tidak diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis-mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan
suasana perasaan hati, nilai, sentiment, dan perilaku untuk kelompok yang
baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok
terhadap status, hak, dan tanggungjawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang
mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru, ia
berhubungan dengan kosmos yang juga mempengaruhi hubungan dengan
dunia profan.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kemabali). Ritual ini
sama dengan ritual salvation yang bertujuan untuk penyelamatan tetapi
fokusnya masyarakat.

2.2 Ritual kafia ( perkawinan) masyarakat tomia

1. Adat Perkawinan
Seperti kita ketahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku dan kebudayaan,
jadi tidak heran apabila kita sering melihat upacara-upacara adat yang sangat unik.
Upacara pernikahan adalah termasuk upacara adat yang harus kita jaga, karena dari
situlah akan tercermin jati diri kita, bersatunya sebuah keluarga bisa mencerminkan
bersatunya sebuah negara. Mungkin tidak menjadi masalah apabila anda memilih atau
menikah dengan orang yang satu suku, namun apa jadinya bila anda menikah dengan
orang yang berbeda suku, beda adat dan kebiasaan, pasti anda harus mempunyai
bekal pengetahuan tentang seluk beluk, dan tatacara pernikahan.Adat perkawinan
masyarakat Wangi-Wangi dapat dibagi dalam lima tahap, yakni: (1) tahap pemilihan
jodoh (kaburi) (2) tahap tahap parara/paombo (3) tahap pelamaran (potumpu) (4)
pertunangan (heporae) (5) eka sebagai tahapan yang terakhir (Ali Hadara, dkk.
2011:17)

1) Kaburi

proses awal untuk memasuki jenejang pernikahan menurut adat masyarakat


Wangi-Wangi diawali dengan pemilihan calon pengantin wanita yang disebut kaburi.
Menurut Ali Hadara, dkk (2011:17) tatacara penatalaksanaan pemilihan jodoh
(kaburi) menurut adat masyarakat Wangi-Wangi pertama-tama diawali dengan
perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua laki-laki dan perempuan.
Perjodohan ini biasa masih terjadi dalam lingkup keluarga, persahabat kedua orang
tua, atau adanya pertemuaan antara laki-laki dan perempuan disebuah acara adat atau
acara-acara lain. Pertama, perjodohan yang masih ada ikatan keluarga dalam hal ini
keluarga jauh. Umumnya dalam masyarakat Wangi-Wangi perjodohan dalam ikatan
keluarga jauh ini masih sering terjadi sampai sekarang. Hal itu tersebut dimaksudkan
untuk tetap mempererat atau memperkokoh hubungan keluarga, atau untuk menjaga
status sosial misalnya sama-sama golongan kaomu (bangsawan). Disisi lain
perjodohan antara keluarga ini juga untuk mempermudah atau meringankan segala
urusan misalnya dalam hal mahar dan sebagainya. Kedua, perjodohan karena
hubungan persahabatan antara keluarga antara pihak laki-laki dan perempuan.
Perjododohan ini biasanya dilakukan melalui pendekatan dari kedua belah pihak atas
nama anaknya masing-masing, atau salah satu dari kedua keluarga itu mengutarakan
kata-kata ungakapan adat seperti ane diumpa na wa komba melala, anemo kemiano
ara mbeado, artinya “dimana sibulan terang, sudah ada orangnya atau belum”. Selain
ungkapan yang dilontarkan oleh pihak laki-laki biasanya juga ungkapan dari pihak
perempuan, misalnya arate kadola moanento ai notoogemo ara mbeado, artinya “apa
ayam jantanya itu hari sudah besar atau belum “. Ungakapan-ungkapan ini sebetulnya
merupakan suatu pertanyaan yang bertujuan untuk saling mengetahui keberadaan
(status) anak laki-laki atau perempuan yang akan dijodohkan. Pertanyaan itu
merupakan langkah awal untuk menuju suatu perjodohan tetapi dilakukan oleh orang
tua mereka. Disamping adanya ungkapan-ungkapan tersebut diatas, biasanya dalam
sebuah pertemuan persahabatan dan silaturahmi, jika salah satu keluarga laki-laki
atau keluarga perempuan mengadakan kunjungan. Dalam pertemuan atau kunjungan
silaturahmi tersebut kandang kala mereka “mempromosikan” anak-anaknya baik
mengenai keberadaan anaknya yang sudah sukses usahanya, sudah bekerja,
berpendidikan tinggi, berprilaku baik, atau hal-hal lainnya yang menyangkut
kelebihan dan kebaikan anak-anaknya. Ketiga, perjodohan karena adanya pertemuan
antara laki-laki dan perempuan disebuah acara, pesta atau pada tempat dan kegiatan
lainnya. Jalur perjodohan ketiga ini sering terjadi dikalangan anak mudah sekarang,
bukan hanya ditengah masyarakat Wangi-Wangi melainkan juga pada anak-anak
muda di daerah lainnya.

Ketiga jalur utama perjodohan di atas hanya merupakan formalitas saja,


artinya suatu langkah awal sebelum secara berterus terang menyatakan keinginannya
langsung kepada kepada keluarga perempuan. Hal-hal penting yang perlu
diperhatikan dalam mencari jodoh ini, yakni proses pencariaan sejumlah informasi
penting terhadap perempuan yang akan dilamar. Proses ini dilakukan terutama untuk
mencari tahu tentang perilaku perempuan yang akan dilamar tersebut dari tetangga
atau teman dekatnya. Kegiatan ini dilakukan oleh pihak laki-laki, dengan cara
menyuruh seseorang yang bekerja secara rahasia tanpa diketahui oleh pihak
perempuan. Setelah mendapatkan informasi maka utusan tadi mengabarkan kepada
pihak laki-laki tentang apa yang diketahui mengenai perempuan yang akan dilamar.
Jika pihak laki-laki tertarik maka langkah selanjutnya menuju ketahapan resmi yang
dinamakan parara.

2) Parara

Kata parara, dalam dialek orang Wangi-Wangi dapat dikatakan sebagai


sebuah kata khusus. Dikatakan demikian, sebab kata tersbut hanya digunakan
berkaitan dengan rangakaian kegiatan pinang-meminang. Secara harfiah, kata ‘para‘
dalam areal bahasa Wangi-Wangi, utamanya Wanci, kurang lebih berarti “membuat
tampak, mengabarkan atau menginformasikan secara diam-diam”. Dengan makna
yang demikian itu, maka kata parara dapat diartikan sebagai kegiatan atau kunjungan
awal dari seorang pemuda yang menaruh hati pada seorang gadis, yang biasanya
dilakukan oleh orang tua atau yang ditunjuk khusus untuk menginformasikan kepada
pihak orang tua sang gadis bahwa anak laki-laki mereka menaruh hati (mencintai)
anak gadis mereka. Dalam kegiatan kunjungan parara dimaksud, biasanya utusan
yang mewakili keluarga si pemudah menanyakan status si gadis apakah telah ada
jejaka/laki-laki lain yang lebih dahulu meminang, melamar atau dijodohkan
dengannya. Bila dalam kegiatan parara diketahui belum ada laki-laki lain yang dating
kepada pihak keluarga, maka utusan dari pihak keluarga laki-laki akan
menyampaikan pada pihak keluarga si gadis untuk menunggu kedatangan mereka
pada saat tertentu, dan biasanya dalam kegiatan parara dimaksud waktunya sudah
ditentukan (Ali Hadara, dkk, 2011:20-21)

3) Potumpu/ Heporae

Potumpu adalah merupakan rangkaian pertama dalam pernikahan dimana


dalam kegiatan ini orang tua laki-laki dan orang toko adat, agama serta laki-laki yang
ingin melamar kerumah perempuan untuk bertemu orang tua perempuan.
Sesampainya di rumah maka rombonga pelamar menanyakan kesiapan yang
dilamar.Setelah ada kesiapan dari pihak perempuan maka proses pelamaran langsung
dilakukan dengan rangkaian mengikat perempuan dengan cicin emas. Di antara kedua
pasangan ini salaing tukar cicin dengan dipasangkan di jari manis sebgai tanda bahwa
keduanya sudah resmi bertunangan.

4) Rangkami

Rangkami merupakan lanjutan dari proses heporae dimana perempuan ketika


dipanggil kerumah laki-laki dan ketika kembali kerumahnya diantara oleh rombongan
dari keluarga laki-laki dengan berbagai bawaan mulai dari makan samapi dengan
perlengkapan lain yang dibutuhkan oleh perempuan sebagai tunangannya.Setelah
sekian lama tunangan maka selanjutnya laki-laki bersama orang tuanya bertemu
kembali dengan keluarga perempuan untuk mengadakan persetujuan tentang hari
pelaksanaan pernikahan.Sebelum berlangsungan atau sampai pada hari H pelaksanaan
pernikahan banyak yang perlu dilakukan yang memiliki nilai kerafian lokal dalam
masyarakat pulau Wangi-Wangi. Diatantaranya: mengambil kayu, mendirikan tenda
(sabua), dan mengupulkan air sebanyak-banyaknya.

5) Hopowa’a

Hopowa’a adalah langkah pertama dari adat pernikahan setela persetujuan


untuk hari H pernikahan telah ditentukan. Hopowa’a ini, anggota keluarga
mendatangi kampung ke kampun dan rumah ke rumah menginformsikan kepada
pihak keluarga yang ada di kampung lain maupun bukan keluarga yang bertalian
darah untuk datang di acara pernikhan tersebut. Pada zaman dulu, hopowa ketika ada
acara pernikahan maka pihak keluarga yang melakukan hopowa berjalan kaki hingga
puluhan kilo mengelilingi, dari kampung yang satu ke kampung yang lainnya.Kalau
kita kaitkan dengan zaman sekarang hopowa yang ada di perkotaan maka hopowa
adalah undangan yang sekarang dilakukan oleh orang dalam bentuk surat. Hingga
saat ini masyarakat pulau Wangi-Wangi masih banyak bahkan masih bisa dikatakan
murni masih menggunakan cara hopowa dalam memberi tahukan, mengundang atau
menginformasikan pihak keluarga atau kerabat yang lain tentang akan diadakannya
pernikahan. Dengan perkembangan alat transportasi maka kegiaan hopowaa ini tidak
lagi jalan kaki untuk keliling dari kampung ke kampung tapi sudah mengunakan roda
dua atau motor bahkan sudah menggunakan mobil. Namun, budaya ini tetap terjaga
sampai sekarang karna selain memberikan informasi kepada keluarga yang lain juga
menambah keakraban serta menjalin silaturahim kepada keluarga yang lain. Kegiatan
ini sebenarnya bukan hamya berlaku pada acara pernikahan tetapi semua acara adat
maupun pesta masyarakat.

6) Te Pakawia

Menurut Ali Hadara dkk, (2011:27-32) Tahap kawi atau eka merupakan tahap
akhir dari seluruh rentetan perkawinan masyarakat Wangi-Wangi. Setelah kegiatan
parara kemudian dilanjutkan dengan potumpu dan heporae maka muaranya adalah
ijab Kabul atau nikah. Setelah pelamaran sehingga sepasang muda mudi diresmikan
sebagai tunangan (heporae), biasanya dalam waktu tidak terlalu lama dianjukan
dengan pernikahan. Untuk menuju ke jenjang tersebut, biasanya sebelum terjadi
pembicaraan tentang segala sesuatunya, antara lain; tanggal, hari, bulan dan
perlengkapan perkawinan, umumnya di dahului dengan pemberitahuan awal dari
keluarga calon mempelai laki-laki tentang rencana, atau lebih tepatnya maksud untuk
diselenggarakan perkawinan. Kegiatan tersebut dalam dialek daerah setempat disebut
paombo, selain sudah dibicarakan waktu perayaan perkawinan, (tanggal, hari, bulan)
juga dibicarakan pula tata cara dan seluruh mekanisme yang akan ditempuh dalam
perkawinan dimaksud menurut ketentuan agama islam dan ketentuan adat. Apabila
kedua belah pihak kelurga calon mempelai sudah setuju, mereka akan kembali dan
mulai saat itu pula masing-masing keluarga akan mempersiapkan segala sesuatunya
guna menyosong waktu yang telah ditetapkan.
Persiapan dimaksud dimulai dengan pemberitahuan kepada keluarga satu
klan. Artinya, dalam kebiasaan persiapkan pesta perkawinan dalam kebudayaan
orang, wakatobi, khususnya komunitas Wanci, kerabat yang pertama-tama diberi
informasi adalah keluarga satu klan dari pihak kedua belah keluarga satu klan
dikabari (hopowaa) barulah dilanjutkan dengan kerabat lainya.Perlu pula
dikemukakan disini bahwa dalam kebiasaan masyarakat Wangi-Wangi dimasa
lampau, sesungguhnya tidak dikenal istila ”uang naik” atau ”uang yang dimakan api”
yakni sejumlah uang yang harus dipersiapkan oleh calon pengantin laki-laki sperti
yang berlaku bagi suku-suku lainya, sebut saja suku bugis, makasar atau tolaki,
umumnya bagi masyarakat Wakatobi, khusunya Wangi-Wangi di masa lampau,
ketentuan adat sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki
adalah sepasang perhiasan emas, satu pis kain kaci, dua belas lembar sarung, satu set
tempat tidur, satu kelambu, dan sebilah parang. Seperangkat adat inilah yang
dinamakan kamondo. Di dalam kamondo tersebut, khusus yang berwujud emas masih
dipilah kedalam dua bagian, yaitu ada yang disebut rangkami dan ada yang
dinamakan paeka. Paeka dalam suatu adat perkawinan masyarakat Wangi-Wangi
sama dengan mahar, dengan begitu keberadaanya menjadi sesuatu yang wajib.Dilihat
dari sudut pelaksanaan, setelah kedua keluarga calon mempelai menentukan waktu
penyelenggaraan pernikahan, masing-masing keluarga dari kedua calon mempelai
mulai mempersipakan segala kebutuhan dalam pelaksanaanya. Penting untuk
ditemukan disini bahwa sebelum akad nikah dilangsungkan kerumah kelurga calon
mempelai perempuan, baik kelurga calom mempelai laki-laki maupun perempuan
melaksanakan pesta secara terpisah atau secara sendiri-sendiri. Artinya, kelurga calon
mempelai laki-laki maupun calon mempelai calon mempelai perempuan mengundang
kelurga satu kian dan kerabat lainya dirumah masing-masing, dan umumnya
kehadiran sanak kelurga diiringi dengan makan bersama. Dengan cara seperti
dimaksud, terlihat bahwa pesta tersebut tampak seperti “reuni akbar” kelurga satu
klan dan kerabat dekat lainya. Setelah makan bersama yang biasanya di ikuti dengan
doa bersama pula, maka bilamana sudah tiba waktu akad seperti yang telah
disepakati, maka seluruh pihak keluarga akan mengantar calon pengantin laki-laki
kerumah calon pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Setelah itu.
Kelurga pun kembali, ada yang masih menuju kerumah pengantin laki-laki, tetapi
tidak sedikit pula yang langsung kembali kerumah mereka masing-masing.

a) Sombo

Pada masyarakat Wangi-Wangi sudah menjadi keharusan adat bagi seorang


perempuan yang sudah menginjak dewasa untuk dipingit (dikurung). Dalam bahasa
adat mereka namakan kungku atau sombo. Olenya itu bagi calon mempelai
perempuan sebelum diadakan perkawinan harus dipingit (sombo) terlebih dahulu
selama tujuh sampai 40 hari. Adapun prosesi sombo ini diadakan setelah perempuan
bertunangan atau resmi menjadi calon istri dari laki-laki.Sebelum perempuan yang
akan menikah ini pingit, keluarga laki-laki menyerahkan seperangkat adat yang
dinamakan parambaku yang diantar oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
oleh syarawowine (pemangku adat). Karena parambaku ini dikhususkan untuk
perempuan yang akan di sombo. Maka berisikan perlengkapan wanita yang langsung
diserahkan kepada pihak perempuan karena semua perlengkapan tersebut akan
digunakan oleh calon mempelai wanita. Selain itu dari keluarga pihak laki-laki
menyiapkan bedak kuning (campuran kunyit dan beras ketan yang dihaluskan) serta
kelapa yang diparut, dua jergen air, dua potong kayu serta makanan khas masyarakat
Wangi-Wangi, yang merupakan pertanda bahwa wanita tersebut akan dikurung
(sombo)Prosesi pingitan diawali dengan orang tua laki-laki (ibunya) mencuci rambut
perempuan (keramas) memakai santan kelapa sekalgus dimandikan dengan air dua
jergen yang di bawah oleh pihak laki-laki, setelah disucikan perempuan dipakaikan
sarung tanpa pakain lain karena akan memakai bedak yang berwarna kuning tadi ke
seluruh tubuh (he raha kuni).

b) Pelaksnaan Akad Nikah


Sebelum pelaksanaan akad nikah, keesokan harinya pada hari ke-40, calon mempelai
laki-laki bserta keluarganya ke rumah perempuan dengan membawa seperangkat
perlengkapan adat yang dinamakan kamondo,berupa perlengkapan tidur seperti,
kasur, bantal, ranjang, yang diterima oleh kelurga pihak perempuan karena akan
segera diadakan perkawinan. Pada hari itu juga perempuan yang dipingit kelurga dari
kurangnya (polimba) yang dilakukan di rumah calon mempelai perempuan. Adapun
prosesinya setelah perempuan cukup 40 hari kelurga dari kurungan atau pingitan
(sombo), perempuan tersebut disebersihkan kemudian dimandikan oleh orang yang
dituangkan (pemangku adat).

Setelah selesai dimandikan dan “disucikan” perempuan menggunting sedikt


rambutnya (hekire), kemudian memakai baju adat. Sebelum perempuan keluar rumah
menuju tempat diadakan acara polimbaa, juga dinamakan pahenauka, terlebih dahulu
disiapkan kain putih panjang yang dibentangkan dari kamar perempuan dsamapi
kedalam tempat pelaksanaa adat polimbaa. selesai acara pahenauka, maka dilanjukan
dengan acara akad nikah yang dilaksanakan dirumah mempelai perempuan yang
hadiri oleh petugas PPN (petugas pencatat Nikah), dan beberapa saksi, serta satu
orang protokol serta kedua orang tua mempelai.

c) Penyerahan Mahar

Setelah perayaan pesta perkawinan telah selesai, maka dalam adat masyarakat Wangi-
Wangi dilanjutkan penyerahan mahar (kamondo) oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Adapun prosesi adatnya dilakukan pada malam hari. Pada saat setelah
selaesai pesta perkawinan, kelurga pihak laki-laki dan pihak perempuan yang telah
menjadi istrinya membawa kamondo tersebut. Selesai menyerhkan mahar tersebut
kedua kelurga laki-laki dan perempuan bermusyawarah untuk menentukan hari baik
bagi pengantin perempuan untuk bertandang kerumah mertuanya. Biasanya dalam
pelaksaanya adalah empat hari sesudah acara perkawinan

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dala pembahasan hasil


penelitian, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa keraifan lokal dalam
masyarakat pulau tomia sangat penting untuk diungkapkan dan dimunculkan
kepermukaan sebab, dengan ritual masyarakat dapat memahami arti penting dan
makna suatu kegiatan adat maupun budaya yang berkembang. Seperti kagiatan adat
yang telah peneliti jelaskan di atas dalam pembahasan hasil makalah seperti:

ritual perkawinan masyarakat tomia dapat dibagi dalam lima tahap, yakni: (1) tahap
pemilihan jodoh (kaburi) (2) tahap tahap parara/paombo (3) tahap pelamaran
(potumpu) (4) pertunangan (heporae) (5) eka sebagai tahapan yang terakhir (Ali
Hadara, dkk. 2011:17)

3.2 Saran

Berdasarkan makalah ritual kafia /penikahan, penulis mengharapkan agar


ritualtersebut dapat dilestarikan, selain sebagai sarana untuk prosesi perkawinan ,
ritual juga sebagai alat untuk berinteraksi dan beradaptasi, dan merupakan budaya
yang harus kita lestarikan sehingga dapat mencegah dari kepunahan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Hadara (belum dipublikasikan). 2011. Adat Pernikahan Masyarakat


Wakatobi. Kendari. Sulo printing.

Ali Hadara. 2010. Filsafat Sejarah Edisi Ke dua. Bahan Ajar. Kendari: FKIP
Universitas Halu Oleo.

……………2011. Sejarah Wakatobi Dari Masa Praintegrasi Sampai Terbentuknya


Kabupaten Wakatobi. Yogyakarta. Teras-Yogyakarta

…………… 2006. Dinamika Pelayaran Tradisional Orang Kepulauan Tukang


Besi. Makalah diajukan pada kongres nasioanal sejarah VIII di Jakarta 16
November.

Arman. 2007. Perkembangan Motorisasi di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten


Wakatobi. Skripsi FKIP: UHO

Edy Karno. 2013. Kontribusi Nilai-Nilai Budaya Terhadap Kesejahteraan


Masyarakat (Studi pada Masyarakat Bajo Indah Kec. Soropia kab. Konawe).
Laporan Hasil Penelitian: UHO

Jabar, Tribun. 2009. Ancaman Kultural lag dan Mestijo Cultural.


http://klipingut.wordpress.com (di akses 10 januari 2013).

Jaria. 1988. System Derivasi Dan Infeksi Ansterdam Pada Zaman Voc Di Hila
Pulau Ambon 1642-1799. Skripsi: Unhalu

Harviayaddin. 2005. Pengtahuan Lokal Masyarakat Kepulauan Tukang Besi


Dalam System Pertanian (Studi Kasus Di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten
Wakatobi). Skripsi faperta: Unhalu

Anda mungkin juga menyukai