Anda di halaman 1dari 4

NAMA: BOY CANDRA FERNIAWAN

NIM : N1D116104

Analisis Novel Sitti Nurbaya (SN)

(Tinjauan Pasca-kolonial)

1. Struktur Ruang dan Waktu

Ruang di dalam novel SN antara lain terbagi menjadi rumah dan luar rumah, jalan,
sekolah, kapal, darat, laut, bumi, langit, Padang dan Batavia (Jakarta), Padang Hulu dan
Padang Hilir, sedangkan waktu terdiri dari siang dan malam, gelap dan terang, masa lalu,
masa kini, masa depan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut ini

Novel ini dibuka dengan gambaran ruang yang berupa jalan yang menghubungkan sekolah
tempat Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya belajar dengan rumah mereka masing-masing. Hal ini
dapt dilihat dari kutipan berikut.

Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda, bernaung di bawah
pohon ketapang yang rindang, di muka sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang,
Seolah-olah mereka hendak memper-lindungkan dirinya dari panas yang memancar dari
atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang men-didih. Seorang dari anak muda ini,
ialah anak laki-laki yang umurnya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju....(SN, hlm. 1—2)

Kutipan diatas menyatakan tentang keadaan samsul bahri dan sitti ketika menunggu pak ali
untuk menjemput mereka. Sehingga mereka seakan dijepit oleh dua ruang yang lain yaitu
bumi dan langit. Ada panas matahari yang memancar dari langit dan ada panas matahari yang
menguap dari bumi. Hanya ada dua hal yang menyelamatkan dan mungkin membebaskan
mereka dari kondisi ruang yang demikian yaitu pohon ketapang tempat mereka bernaung
untuk sementara dan Pak Ali, dengan bendinya, yang akan membawa mereka segera pulang
ke rumah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan selanjutnya.

“Jangan-jangan ia tertidur, karena mengantuk: sebab tadi malam ia minta izin


kepada ayahku, pergi menonton komidi kuda. Kalau benar demikian, tentulah kesalahannya
ini akan aku adukan kepada ayahku,” kata anak laki-laki itu pula, sebagai marah rupanya.
Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! karena ia bukan sehari dua bekerja pada
ayahmu, melainkan telah bertahun-tahun. Dan di dalam waktu yang sekian lamanya itu
belum ada ia berbuat kesalahan apa-apa. Bagaimanakah rasanya, kalau kita sendiri sudah
setua itu, masih dmarahi juga? Pada sangkaku, tentulah ada alangan apa-apa padanya.
Jangan ia mendapat kecelakan di tengah jalan. (SN : 10)
Kutipan diatas menjelaskan tentang keadaan marah samsul bahri karena terjepit oleh ruang
dan waktu akibat menunggu pak ali. Hal yang bisa di ilhami adalah samsul bahri
menginginkan kebebasan dari posisi ruangnya adapun kutipan selanjutnya yaitu.

“Pak ali, mengapa terlambat datang menjemput kami? Tahukah, bahwa sekarang ini
sudah setengah dua?setengah jam lamanya kami harus berdiri di bawah pohon ketapang,
sebagai anak ayam yang ditinggalkan induknya,” kata Sam seakan-akan marah, sambil
menghampiri bendi yang telah berhenti itu.“Engku muda. Janganlah marah! bukannya
sengaja hamba terlambat. Sebagai biasa, setengah satu lalu hamba pasang bendi ini, untuk
menjemput engku muda. Tetapi Engku penghulu menyuruh hamba pergi sebentar menjemput
Engku Datuk Maringgih, karena ada sesuatu, yang hendak di bicarakan. Kebetulan Engku
Datuk itu ada di tokonya, sehingga terpaksa hamba pergi ke Ranah. Mencarinya di
rumahnya. Itulah sebabnya terlambat hamba datang,” jawab kusir tua itu dengan
sabar.(SN:12)

Kutipan diatas menyatakan dalam konteks situasi tersebut, menjadi sesuatu yang amat
diharapkan, tempat kebahagiaan dan kesenangan bisa diperoleh dan kebebasan dari
penderitaan dapat diraih.

Kemudian narator melihat ruang dari sutan mahmud yang merupakan ayah dari samsul bahri.

Lihatlah!Memang benar sangkaku. Pikiranmu telah berubah daripada yang diadatkan di


padang ini. Istrimu sudahlah, sebab ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu? Bukanlah ada
Mamandanya, saudara Istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya? Bukankah dia yang
harus memelihara anakmu, menurut adat kita?” mendakwa Putri Rubiah.“atau telah lupa pula
engkau adat nenek moyang kita itu?”.(SN:21)

Kutipan diatas menyatakan Rumah tempat Sutan Mahmud berasal merupakan rumah lama
yang megah, yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang kaya dan terhormat di
lingkungannya.hal ini kemudian berlanjut pada penegasan putri rabiah berikut ini.

“Jangan engkau marah, apabila aku berkata demikian kepadamu, karena sesungguhnya
engkau rupanya makin lama makin kurang kepada kami. Dahulu setiap hari engkau datang
kemari, makan dan minum disini dan kadang-kadang tidur pula disini. Barang apa yang kau
hendaki, engkau minta atau kauambil sendiri, rumah ini kau pandang sebagai rumahmu
sendiri. Akan tetapi sekarang ini, jangankan tidur disini, menjaga kami, datang melihat kami
kemari sehari sejumat pun idak. Apabila kuberikan apa-apa kepadamu, tak hendak kaumakan,
sebagai takut dan tak percaya engkau kepada rumah ini dan isinya: padahal disini lah tumpah
darahmu, disinilah tumpah darahku dan disini pula orang tua-tua kita tinggal lebih dari 80
tahun dan disini pula ayah-bunda kita berpulang ke rahmatullah. Bagaimana boleh sampai
hatimu sedemikian itu, tiada lah dapat kupikirkan,”kata putri rubiah, seraya menyapu air
matanya. Yang berlinag di pipinya. (SN:20)

Kutipan diatas menyatakan tentang Sutan Mahmud mempunyai dua buah rumah, yaitu rumah
keluarga intinya dan rumah keluarga luasnya. Rumah keluarga intinya adalah rumah tempat
ia, istri, dan anaknya tinggal. Rumah keluarga luasnya, tempat ia berasal dan biasanya,
menurut adat Minangkabau, didiami oleh anak perempuan dari keluarga luas itu atau saudara
perempuan dari Sutan Mahmud, Putri Rubiah.

Dari lokasi dan asesori yang ada di dalamnya tampak bahwa rumah itu sekaligus
memenuhi kriteria status sosial yang berlaku dalam masyarakat setempat pada masa itu,
menunjukkan kepastian dan ketinggian tempat penghuninya di dalam masyarakat yang
bersangkutan.hal ini menjelaskan bahwa sutan mahmud adalah seorang penghulu yang dapat
dilihat dari kutipan berikut ini.

“Sudahlah kakanda, jangan menangis lagi! memang maksud hamba datang ini hendak
membicarakan hal Rukiah.”Apakah gunanya dibicarakan juga lagi! Menambah sedih hatiku
saja. Kalau engkau tak ber uang, masakan ia mau. Sudahlah, biarlah anakku menjadi
perawan tua. Bukan saja aku yang akan malu, tetapi terlebih-lebih engkau; karena tentulah
orang akan berkata,“Seorang Penghulu tiada sanggup mencarikan suami
kemenakannya!” (SN:23)

Kutipan diatas menyatakan pernyataan sutan mahmud sebagai penghulu menjelasakn tentang
status sosial di masyarakat sehingga wajarlah bila rumah atau tempatnya tinggal megah dan
terlihat kaya raya.

Kemudian selanjutnya narator melihat Rumah Datuk Maringgih berdasarkan struktur atau
komposisinya, tidak begitu berbeda dari rumah keluarga Sutan Mahmud. Keduanya sama-
sama rumah tua yang besar. Dua hal yang membedakannya yaitu masalah perawatannya dan
letaknya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
-Di Kampung Ranah, di kota Padang adalah sebuah rumah kayu beratap seng
… Itulah rumah Datuk Maringgih, saudagar yang termashyur kaya di Padang.
(SN: 94)
Rumah di dalam novel ini dipandang sebagai lambang identitas seseorang yang menjadi
pemiliknya. Keterbukaan tempat rumah Sutan Mahmud menunjukkan kejelasan identitasnya
dan sekaligus status sosialnya. Sebaliknya, ketertutupan rumah Datuk Maringgih menjadi
lambang kegelapan masa lalunya, ketidakjelasan asal-usulnya dan status sosialnya. Tidak ada
gambaran yang detail mengenai bangunan fisik rumah pribadi Sutan Mahmud. Namun, di
rumah itulah diadakan pesta perpisahan untuk melepas keberangkatan Samsul Bahri ke Jawa
dengan tujuan melanjutkan studinya ke wilayah tersebut. Pesta tersebut juga diselenggarakan
dengan sepenuhnya mengikuti cara Belanda atau Barat.

Anda mungkin juga menyukai