Anda di halaman 1dari 51

Persahabatan Sunyi

DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tibatiba berwarna merah. Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya. Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu. Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelanbuntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan. Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu. Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggitinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopohgopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik. "Cepat pergi!"

LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri. Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal. MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa. Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu. Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya. Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa

krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana. Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi. SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan. "Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat. Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat. BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan. Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.

Percintaan Kepompong
Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat kata-kata kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu waktu untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu, belalang, atau mungkin burung jiwa. "Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit," ujar kekasihku, penuh imajinasi.. Tetapi, aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu, entah berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga kita. "Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat. Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa," katanya. Tapi, bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di dalam kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan diri dari kungkungan derita. "Ah tidak. Kita sedang berproses," katanya. "Kita harus jalani proses itu untuk menjadi." Untuk menjadi? Menjadi apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak punya cita-cita. Aku ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai angin, menyebar bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai rumput-rumput jiwa. Tetapi, seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses proses untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit, bersama orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang bersedia berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier, bertahuntahun, berabad-abad, sampai serasa lumutan. Tapi, aku sungguh tidak tahan menghadapi tahapan membujang terlalu lama takut menjadi bujang lapuk. Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis yang aku sukai dan bersedia berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka sebelum kuntuntaskan cintaku padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan menjalani tahapan itu, membujang begitu lama, setidaknya sampai kami bertemu lagi di Jakarta. "Aku ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama," katanya. Aku terkejut sekaligus terpana. "Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama? Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu, bersama," tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang pujangga. "Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang dulu," kataku. "Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk bercinta seperti dulu," katanya. "Tapi, bagaimana dengan kepompongku?" "Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu." "Apa? Tanpa cinta? Ah... kau keliru. Aku mencintai istriku." "Bagaimana engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini, di dalam kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya." Aku ingin membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai istriku, meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah lelaki biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis? Karena itu, meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa juga aku mencintainya. "Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat menyatukan jiwa dalam kepompong cintamu," kataku akhirnya. Sejujurnya, aku memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku menikah bukan sematamata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung jawab dan kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan setengah hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih tertinggal dan berdenyut di dalam kepompongnya.

Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku bercinta dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan membangun kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku mengimami shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih sayang Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk memasuki kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi, mencintai yang belum tercintai. Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam imajinasi-imajinasi indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap wajahnya yang ayu dan senyumnya yang bagai irisan salju kami menciptakan kepompong dari selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan sepi. "Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya," katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa. Dan, kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki sampai ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di Yogya, aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut nafasnya, dan harum rambutnya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya. "Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama," kataku. "Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku." "Siapa tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi, tidak. Aku tidak ingin merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku lebih suka menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!" "Kau memang lelaki yang luar biasa." "Luar biasa bodohnya, maksudmu?" "Ha ha ha!" Kekasihku tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta kami serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi, anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak mungkin lagi mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi? Sebagai wanita karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki lain yang menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali aku pun perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal atau lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak lama kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan biasa. Suatu hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan, ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, "Aku masih suka tidur sebagai bayi kupukupu di dalam kepompong cinta kita." Kadang-kadang aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku benar-benar menunggu lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia pernah mengatakan, "aku sering merasa diciptakan hanya untukmu." Dan, bukannya aku tidak berani melamar dan menikahinya, atau bermaksud sengaja mempermainkannya. Sama sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku sudah memiliki anak dan istri, dan sejujurnya belum punya nyali untuk berpoligami. Kadang-kadang, aku ingin nekat saja menikahinya sebagai istri kedua. Tetapi, tiap aku menatap wajah istri dan anak-anakku yang polospolos yang tidak berdosa, yang saat tidur seperti menyerahkan seluruh nasibnya padaku, aku menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak tega membayangkan keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih, tiba-tiba tercerai berai karena pernikahan keduaku.

Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang benar-benar menungguku, dan terus menungguku bertahun-tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi, berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh kecantikannya secara sia-sia? Bukankah itu artinya aku menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku juga berdosa? Berhari-hari lagi, berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi, seperti keyakinan kekasihku, kami terus berproses untuk menjadi. Entah menjadi apa. Berkali-kali kami mencoba tidur bersama lagi, bagai dua bayi kupu-kupu, di dalam satu kepompong cinta. Tetapi, belum juga tumbuh sayap-sayap perkasa di tubuh kami untuk terbang ke langit bersama-sama. Aku makin suntuk dengan anak-anakku, memikirkan sekolah dan masa depan mereka. Aku juga makin sibuk dengan lemburan dan pekerjaan-pekerjaan sambilanku untuk menutup defisit biaya hidup di Jakarta yang semakin mahal saja. Sementara, kekasihku juga makin suntuk dengan kariernya yang terus menanjak, dan kini menduduki posisi sebagai seorang manajer. Kudengar bahkan dia sedang diproyeksikan untuk menduduki salah satu jabatan di jajaran direksi. "Syukurlah," pikirku. Makin hari kamipun makin jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Bukannnya kami sudah tidak rindu lagi untuk tidur bersama sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta. Tapi, lebih karena waktu yang makin tidak memungkinkan untuk itu. Pada hari-hari liburku, Sabtu dan Minggu, aku lebih memilih berada di rumah atau pergi bersama keluarga, sedangkan kekasihku entah di mana. Beberapa kali, melalui telepon, kami masih sempat mengatur kencan seperti dulu, di hari kerja, tapi dialah yang membatalkannya karena harus menghadiri rapat penting yang mendadak di kantornya. Dan, tiga tahun kemudian kekasihku benar-benar dipercaya sebagai salah seorang direktur di perusahaannya. Aku tahu dari undangan syukuran yang dikirimkannya padaku. Aku betul-betul menyempatkan diri untuk menghadirinya sekaligus ingin tahu sudah adakah lelaki yang beruntung dapat mendampinginya. Usai acara syukuran kami sengaja pulang belakangan untuk berbicara berdua. Ternyata dia masih sendiri seperti dulu, kesendirian yang membuat hatiku mendadak merasa berdosa dan pedih seketika. "Apakah kau masih menyimpan kepompong cinta kita?" tanyaku. "Ya," katanya. "Tapi, bayi kupu-kupu itu telah mati, karena terlalu lama menahan derita, menahan cinta yang tak sampai-sampai." "Bukankah bayi itu kini telah tumbuh perkasa, menjadi wanita karier yang sukses?" "Tidak. Aku bukan bayi kupu-kupu yang dulu. Kini aku adalah belalang dengan sayap-sayap perkasa yang mulai lapuk karena usia." Aku kembali merasa tertohok oleh kata-katanya, tapi aku tiba-tiba juga merasa telah tua dan tidak patut lagi berimajinasi tentang cinta dengannya, bagaimanapun manis dan indahnya. Aku hanya merasa menyesal, kenapa dulu tidak cepat-cepat melamar perempuan yang begitu kukuh dengan cintanya. Selanjutnya aku hanya merasa bodoh dan tidak bisa berkata-kata lagi di depan keperkasaannya, sampai kekasihku beranjak dari kursinya dan mengucapkan "selamat tinggal" tanpa secercah senyumpun di bibirnya!

Safrida Askariyah
Mereka berteriak girang, sementara Safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar rumoh inong. Di keudee Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung. Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih perih. Padahal sudah banyak ia membunuh serdadu pemerintahan. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi semangat baja Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayatiwanita yang tidak mau dijajah. Dendam itu belum tergerus. Waktu yang bergulir tak kuasa meredam rupanya. Wanita itu sudah mencoba untuk melupa, tapi tidak bisa! Ingatan itu begitu kuat melekat di otaknya. Bocah kecil ribut di pekarangan rumoh. Buah delima sedang lebat-lebatnya. Bocah bergelantungan demi mencapai buah masak yang ada di ujung. Kaki Safrida terseret ke rumoh-dapu. Masyiknya entah ke mana sudah perginya. Kanot air di tungku api. Safrida turun ke sumur, lalu mengambil baju kotor punya-nya dan masyik. Dimasukkan ke ember hitam besar dan dipikul di atas kepala. Safrida ke meunasah. Bocah-bocah menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat. "Ka damai geutanyoe, Da," tegur istri Tengku Banta kepada melihatnya lewat. Safrida tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah televisi. Semua berita televisi berkenaan dengan perjanjian damai yang dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu menggembirakan, tapi baginya tidak. Damai itu tak berarti apa-apa untuk Safrida. Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh jarak rumohnya dengan meunasah. Suara ngaji terdengar sayup-sayup dari meunasah. Suara mengaji si Suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun sedari tadi. Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya hari itu adalah hari kelabu untuk dirinya. Kisah pahitnya bermula dari hari itu. Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok satu-satu. Desiran angin menggigil. Langit kurang bersahabat. Safrida sudah siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya. "Mau ke mana, Da?" tanya itu berasal dari lelaki yang berseberangan di jalan dengan Safrida. Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu. Dan tabuh di dadanya tak tinggal diam. Selalu lain bila ia mendengar suara itu. Bahkan semenjak dahulu. "Mau ke meunasah," Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri. Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan kata Bapak, tunggu ia tamat SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung. Safrida sebentar lagi sampai ke meunasah. Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi buta. Safrida yang sudah turun, lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak yang baru saja selesai mandi ikut merunduk di sampingnya. Mak dan Masyik entah di sumur, entah pula di rumoh dapu? Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti rentetan senapan tak berhenti. Memekakkan telinga. Menciutkan nyali. Merasai ajal itu seperti di depan gerbang. Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin ke sekolah. Tapi Mak melarang. Takutnya ada sweeping di jalan. Gadis itu berpikir keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor. Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu. Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan anaknya sudah lepas dari cengkeramnya.

"Sudah cukup mandi jih mak..." "Bacut lagi, mantong kalang nyoe," tangan Sakdiah menggosok-gosok leher anaknya. Si bocah tertawa-tawa sembari mengatakan 'geli...geli...' Melihat kejadian itu, ada iri yang menyelusup di benak Safrida. Di kampungnya, semua perempuan sudah menjadi ibu, selain dirinya. Tak satu pun pria yang mau memperistri dirinya. Padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Baru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu. "Sudah teken damai Da, ya?" Sakdiah akan pulang. Bocah yang digendong mencium muka Maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu beringsut lega. Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur. Pekerjaan itu sungguh muda bagi seorang Safrida yang sering mengangkat senjata berat dahulunya. Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara di pekarangan rumohnya. Bapak, Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah. Bapak sudah bercelana, tak berhanduk seperti waktu merunduk tadi. Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab takut sekali. Salah satu tentara yang berperawakan tinggi dan hitam keling meminta KTP Bapak. "Kau GAM, ya?" bentak tentara itu kasar. "Bukan Pak, saya ini rakyat biasa," Bapak tampak gentar. "Pasti kamu sembunyikan GAM di rumah kamu?!" sambung kawannya juga dengan tak kalah kasarnya. "Periksa rumah ini!" Dan sekitar sepuluh orang tentara naik ke rumah Aceh tanpa melepas sepatu. Empunya rumah tak berkutik. Pintu rumah disepak-sepak. Ada beberapa yang masuk ke kroong padee. Dan para tentara itu tidak mendapatkan GAM seperti yang mereka tuduhkan. Memang aneh sekali serdadu-serdadu pemerintahan itu, main tuduh saja kerjanya! Lamban sekali kerja Safrida. Sudah lama di sumur, baru dua potong baju yang siap disikat. Lamunannya entahlah ke mana. Sebagian tentara pergi ke rumah samping, ke rumah Wa Ali. Suara mereka keras dan kasar sampai kedengaran ke rumoh Safrida. "Ada GAM di sini...!" Teriakan itu bagai halilintar di telinga Safrida. Dan... "Dor...Dor..." tubuh Bapak bersimbah darah. Dua pelor menembus kepala lelaki itu. Tanpa bertanya terlebih dahulu. "Bapak...Bapak..." Mak histeris. "Dor...Dor...." Mak terkulai tak berdaya. Tembakan di mana-mana. Dua lengan kasar mendekap tubuh Safrida. "Masyik...Masyik...." Ronta Safrida. "Beuk kapeulaku cucoe long...." Masyik berusaha menarik tubuh cucunya itu. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali dihajar dengan badan senapan, langsung terjungkang ke tanah. "Kamu cantik juga, ya?" tentara itu membabi buta. "Bek...Bek...." Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret ke semak-semak. "Barang bagus, ya?" "Ya nih...Tapi aku duluan ya...Ha...ha..." Setan itu terpingkal-pingkal. "Ayo sayang..." "Jangan...." Safrida menjerit panjang. Tak ada penolongnya. Safrida menimba lagi air di sumur. Air tadi kurang rupanya. Baju kotor baru beberapa pasang yang tersikat. Masih banyak sisanya. Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh di depan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai.

Tapi, suatu hari datang panglima GAM ke kampung. Berapi-api menerangkan jikalau orang kampung tak boleh tinggal diam. Hati Safrida panas bukan main. Dendamnya membara. Ia ingin menuntut balas. Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee. Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu diubah. Tak lagi inong balee, tapi Askariyah. Berbulan-bulan Safrida di gunung. Tiap hari latihan berat. Tangannya kasar bukan main. Mengokang senjata bukan hal baru. Sudah mahir menggunakan senjata. Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering terlibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya jitu. Banyak mematikan pasukan musuh. Safrida begitu terbakar semangat bila ingat wajah Mak dan Bapak. Wanita itu berubah licin dan berbisa. Berbagai cara ditempuh untuk menghabisi nyawa serdadu pemerintahan. Wajahnya yang memikat tak jarang jadi tameng. Digoda dan diajak ke tempat terasing. Lalu diracuni setiba di sana. Bukan sekali-dua kali berhasil menyisipkan bom di pos tanpa dicurigai sedikit pun. Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi. Dendam Safrida masih membuncah. Dendam itu bukannya mengendur. Seolah tangannya gatal bila tak menghabisi nyawa serdadu pemerintahan sehari saja. Ia begitu puas ketika melihat tubuh musuh bersimbah darah. Selesai juga Safrida menyikat semua baju kotor. Pekerjaan selanjutnya membilas baju-baju itu dengan air. Langit kelam pelan-pelan. Mata Safrida menengadah ke langit. Ia waswas bila hujan turun. Keadaan terdesak. Panglima Sagoe Manyak payed, Galinggeng, menyerahkan diri ke pasukan RI. Safrida tak bisa percaya itu! Padahal Safrida lagi semangat-semangatnya. Kata panglima sagoe, perjuangan GAM sudah melencang dari syariat. Ah, benarkah itu? tanya hati Safrida. Safrida dan anak buah Askariyahnya dalam posisi terjepit. Tertangkap tinggal menunggu waktu. Bencana. Galinggeng pasti akan memberitahukan tempat persembunyian mereka. Safrida kalut tak terkira. Akhirnya mereka ikut menyerah. Tapi dendam kesumat tak raib. Bagusnya menyerahkan diri, ia dan anak buahnya itu dibebaskan beberapa minggu kemudian. Dikembalikan ke kampung masing-masing dengan penjagaan ketat. Rosmawati lewat dengan menggamit lengan dua anaknya. Kembali Safrida menyaksikan kejadian itu dengan menelan ludah. Enak sekali bisa menjadi ibu dan punya anak, lirihnya. Nampak Safrida di sumur, Rosmawati berhenti di balik pagar dan menyapa. "Aceh ka damai Da, seunang that hatee long...." Rosmawati melempar senyum dan berlalu karena anaknya merengek minta dibelikan kue. Kepala Safrida terangguk paksa, tapi hati dan jiwa menolak keras. Ini tak damai untuk Safrida! Damai ini tak berarti apa-apa. Damai ini tak bisa membuat gadisnya kembali. Ketakutannya karena diperkosa tak raib. Mak dan Bapak tak juga kembali. Damai ini tak bisa membuatnya bisa peroleh suami dan anak yang diidamkan lama. Enak saja pemerintah mengira, dengan teken janji damai, semua akan kembali laik semula.

Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya yang sudah dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati melayanglayang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya kembali setelah direnggut tragis? Damai itu hanya di selembar atau beberapa kertas. Sementara perih jiwa di sekujur tubuh. Sembuhkan luka itu? Safrida bisakah berdamai dengan duka di sekujuran tubuh? Safrida akan menjemur baju di pagar besi meunasah. Terdengar suara-suara tertawa dari keudee Tengku Banta Manyang. Langit kian kelam. Tak lama, butiran menitik satu persatu. Safrida cemas. Bajunya alamat tak kering.

Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta


Sudah dari dulu niat sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi Jakarta . Tak tahu Nek Yam sebabnya apa. Entah jin apa pula yang telah membisikkan hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu kian menggebu saja tiap malam dan siang bertukar. Jakarta menurut bayangan Nek Yam adalah kota yang sangat indah. Seperti yang kerap disaksikannya pada teve si Syam, tetangga dekat rumahnya -- malam hari penuh terang dengan lampu-lampu cantik terpajang di sepanjang jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus kali, malah lebih, dari gubuk reotnya. Berharap sekali Nek Yam dapat merengkuh indah itu. Ingin kakinya terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma sekali selama masa hayatnya. Sayang tapi, niat itu tak pernah terwujud. Apalagi kini kondisinya sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Angan itu laksana pungguk rindukan bulan. Semasa ada suaminya pun, angan itu tak sanggup terjelma, apalagi tanpa lelaki itu kini. Namun, lintas hidup seorang manusia tak dapat diterka oleh siapa pun. Nek Yam tak pernah menyangka jikalau hasratnya itu bisa terkabul juga akhirnya. Manakala usianya kian uzur pula. Kala itu, tanah kelahiran Nek Yam, Tanoh Seuramoe Mekkah, ditimpa bencana teramat dahsyat. Banyak orang menyebutnya 'tsunami'. Tsunami adalah air bah hitam yang berarus kuat dan mempunyai ombak yang sungguh tinggi. Cerita orang yang sempat melihat langsung, tinggi ombak itu nyaris sepadan dengan tiga kali tiang listrik. Mengerikan! Tsunami itu telah meratakan sejajar tanah seluruh perumahan di tanah Aceh. Gubuk reot Nek Yam, yang berlokasi di Alue Naga, tak luput dari terjangan air bah hitam itu. Nek Yan beruntung meski, saat naas itu datang, kebetulan sosok itu tengah berada di Tanjung Selamat -- salah satu kawasan yang tak terjamah tsunami. Jika tidak, mungkin tubuh Nek Yam termasuk salah satu dari ratusan ribu manusia yang telah dipanggil oleh-Nya dalam tempo sekitar tujuh menit. Empat hari baru usia bencana itu, manakala Nek Yam menjejakkan sepasang kakinya kembali ke Alue Naga, ingin melihat kondisi gubuk mungilnya. Namun hanya hampa yang terbentang luas di sana. Tanpa satu sisi rumah pun. Seluruhnya telah dijarah paksa oleh tsunami. Terpaku Nek Yam menatap pemandangan langka itu. Berdiri di manakah dia, tak tahu Nek Yam, sebab halaman di Alue Naga tak lagi berbatas pagar ataupun lainnya. Pun Nek Yam tak tahu juga di mana bekas rumahnya dulu. Tampak tersatukan semuanya. Lama keterpakuan itu menaungi tiap inci dari tubuh senja Nek Yam. Pikiran itu terbayang panjang. Melamun, tak sadar hadir sendiri. Desah nafas berat berantrian sesak untuk mengudara. Baru tersentak Nek Yam tatkala mampir tepukan halus di pundaknya. Menoleh lekas Nek Yam, ternyata seorang gadis muda cantik yang telah menepuk pundaknya barusan. Terjadi percakapan serius di antara dua wanita yang berbeda generasi itu. Untung Nek Yam mahfum dengan bicara perempuan yang menggunakan bahasa Indonesia itu, meski wanita senja itu tak terlalu fasih bercakap dalam bahasa itu. Dari pembicaraan itu tahulah Nek Yam, kalau perempuan muda itu bernama Leni Marlina. Non Leni, begitu Nek Yam menyapa gadis itu, atas suruhan gadis itu sendiri. Tahu juga Nek Yam, bila Non Leni itu datang dari Jakarta. Manakala mendengar Jakarta, angan Nek Yam kembali terbit setelah terselubung banyak hal sebelumnya. Ingin sekali Nek Yam bersimpuh di hadapan gadis yang sepertinya belum menikah itu, memohon agar sosok itu membawanya ke Jakarta saat dia pulang ke sana nanti.

Malu tapi Nek Yam untuk melakukan itu, sebab gadis itu bukanlah apa-apanya. Kenal pun, dalam tempo singkat. Niat itu akhirnya hanya terbiarkan terkubur jauh di dalam relung hati Nek Yam. Saat perjumpaan untuk kali kedua dengan gadis itu, juga di Alue Naga, nurani Nek Yam masih serupa -- sungguh ingin mengeluarkan unek terpendamnya. Tapi kembali ganjal itu tak sanggup teterbangkan juga. Hari ke sembilan setelah tsunami, pertemuan itu berulang. Lama keduanya berbicara lebar. Gadis itu bertanya tentang keluarga Nek Yam. Nek Yam agak tersendat menggulir cerita. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah lama hidup sebatang kara. Tanpa suami dan juga anak. Perempuan itu tampak terkejut mendengar penuturan Nek Yam. Juga gadis itu menanyakan, akan kemanakah Nem Yam setelah rumahnya tak lagi ada. "Mungkin saya akan tinggal di pengungsian." Untuk kedua kalinya, gadis muda itu tampak terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nek Yam. Terbisu sesaat. Entah hal apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis itu. "Ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak dinyana rangkai kata itu terlontar dari mulut gadis di depan Nek Yam. Andaikata masih kuat, maunya Nek Yam berjingkrak-jingkrak saat kupingnya menangkap bunyi barusan. "Apa, Non?" takutnya Nek Yam salah dengar. "Apa ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak salah rupanya indera pendengaran Nek Yam. Tak menunggu ulang untuk ketiga kalinya, sebuah anggukan cepat dan beriring senyum paling bahagia, terpasang di kepala Nek Yam. Nek Yam diajak ke Jakarta! Berangkatlah Nek Yam dan gadis muda itu ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang kelas paling ekslusif. Luar biasa senangnya Nek Yam bisa berada di dalam tranportasi udara itu. Selama di perjalanan, tak henti perempuan senja itu berceloteh kegirangan. Tiba di Jakarta, girang Nek Yam total sudah -- tak menduga sama sekali bila tanah kota impiannya berada di bawah sepasang telapak kakinya kini. Seperti sedang bermimpi saja rasanya. Teriak kagum keras terdengar dari mulut Nek Yam manakala gadis muda itu menunjuk ke arah bangunan tinggi besar sebagai rumahnya "Rumah Non Leni seperti istana." Seru itu hanya berbalas senyum pelan dari bibir perempuan muda itu. Selama di Jakarta Nek Yam dibawa jalan-jalan ke mana saja yang Nek Yam mau oleh gadis muda itu. Nek Yam sudah pergi ke Monas, ternyata Monas jauh lebih cantik dari yang ia tengok di teve. Juga Nek Yam sudah pergi ke Bundaran HI, banyak sekali mobil di bundaran itu rupanya. Tak lupa Nek Yam menyempatkan untuk berfoto-foto di tempat-tempat yang telah dikunjunginya itu. Pun telah dibeli aneka barang oleh gadis itu untuk Nek Yam. Beragam baju dan rok yang bagusbagus dan tentu saja mahal, telah kuasa dimiliki oleh Nek Yam. Bahkan rok yang sedikit di bawah lutut, sudah pernah dicoba oleh tubuh wanita itu. Dan, Nek Yam merasa bahwa dirinya jauh kelihatan awet muda kala memakai rok itu. Rasa bahagia tak terhingga merayap di hati renta itu. Waktu tiga bulan telah Nek Yam habiskan di Jakarta. Tak terasa sedikit pun. Roda waktu seolah berputar cepat sekali. Banyak pengalaman baru yang sudah didapatkan Nek Yam selama rentang waktu tersebut berada di kota mimpinya itu. Termaktub salah satunya yang paling berkesan buatnya, tatkala dia mendapat perhatian yang luar biasa dari orang banyak begitu tahu kalau dirinya berasal dari Aceh. Bukan hal yang jarang ketika Nek Yam bersama Non Leni pergi ke supermarket atau ke tempat lainnya, tubuh Nek Yam segera dipeluk oleh ibu-ibu yang tak dikenalnya sama sekali. Sebab mereka tahu kalau Nek Yam berasal dari Serambi Mekkah.

Puas sudah hati Nek Yam. Jakarta , kota angannya bahkan semenjak dari masa daranya dulu, telah berhasil ditaklukkan dalam tempo sekarang. Dan, Nek Yam merasa, puasnya cukup sudah, tiba masa baginya untuk balik kembali ke kampung halamannya. Sebab dari semula, Nek Yam memang tak pernah berminat untuk menatap di kota itu, hanya sekadar mengunjungi saja. Tak lebih dari itu. Diantar oleh gadis muda yang membawanya dulu, dengan tetap menumpang pesawat terbang kelas paling ekslusif, Nek Yam bertolak ke tanah kelahirannya. Sumringah betul nenek tua itu manakala kakinya terjejak kembali di tanah Aceh yang masih amburadul itu. Setelah turun dari pesawat, lekas menumpang kenderaan umum, gadis muda itu mengantar Nek Yam ke camp pengungsian yang berlokasi di Darusallam seperti permintaan Nek Yam sendiri. Katanya, ada kerabatnya di sana . Sesampai di camp pengungsian Darusallam, Nek Yam yang hari itu memakai baju berlengan pendek warna pink, serta dipadu dengan rok pendek bewarna merah menyala, sontak segera menjadi pusat perhatian banyak orang. Penampilannya memang mencolok sekali di antara mereka. Bisik-bisik menjalar cepat. Banyak yang kenal dengan Nek Yam nyatanya. Lirih-lirih pelan yang mendengungkan nama Nek Yam kerap terdengar, meski tak terlalu gamblang. Mata kabur Nek Yam menatap sosok tergopoh-gopoh yang teramat di kenalnya menuju ke arahnya. " Nek Yam, pajan trok? " wanita paruh baya itu tampak bahagia sekali. Namun saat diperhatikan seksama penampilan sosok di depannya, senyum yang sudah terekah lepas, tiba-tiba raib cepat. " Keujeut meunoe droe neuh? " desak wanita itu lagi, masih heran. Nek Yam terbisu. Tak sepotong huruf pun keluar dari mulutnya. " Peue yang terjadi dengon droe neuh ?" ulang tanya wanita itu lagi. Kali ini Nek Yam mengeryitkan kening, simbol bahwa dia tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicaranya. Nek Yam berlagak tak bisa lagi berbahasa Aceh. " Bajee droe neuh keujeut meunoe? " rasa heran perempuan itu belum terjawab setitik pun. Masih berbalas bisu dari mulut Nek Yam. " Han jeut lee bahasa Aceh nyeuh? " agak menerka nada itu. Nek Yam masih tak menjawab juga. Dalam hati saja dia mengangguk dan menjawab lontar tanya si Munah. Ya, sebab saya sudah ke Jakarta.

Pembuat Kubah dan Tukang Pos


IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat. Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman. Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos. "Kosong?" "Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk. "Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut. "Banyak surat diantar hari ini?" "Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira." "Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos." "Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai." "Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah." Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah. Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anakanak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun. "Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua. "Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun." "Sejak muda membuat kubah?" "Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif." "Maksud Bapak?" "Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa." "Wah!" "Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!" Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi. "Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita. Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.

"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu." "Tidak pernah Bapak tanya?" "Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok." Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu." "Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung," "Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?" "Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok." "Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut. Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang mulukmuluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadangkadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng. Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakapcakap dengan si tukang pos. "Hebat!" puji si tukang pos muda. "Ya?" "Hebat benar Pak Kubah bekerja!" ulang tukang pos. "Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah." "Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor." "Dan ikhlas," ujar si tukang pos. "Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa," sambut si pembuat kubah. Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu? "Berapa umur Pak Kubah tahun ini?" "Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh." Pembuat kubah itu kembali tertawa.

Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok. Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, "Kosong, Pak Kubah!" Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" "Kosong?" "Kosong. Tapi mungkin besok." "Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi." "Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar." Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah. Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai. Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap "kosong Pak Kubah, mungkin besok" dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah. Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. " Surat Pak Kubah!" " Surat ?" "Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!" Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan.

Mawar Biru Untuk Novia


UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya. Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satusatunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang. Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan. Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang? Aku yakin. Aku pernah melihatnya. Bukan dalam mimpi? Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta. Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia. Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta. Novia berusaha meyakinkan. Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru. Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya! tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya. Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada. Tapi, Novia pernah melihatnya. Bunga kertas kali! Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati. Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana? Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?

NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata jadi!' maka jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja? pikirnya. Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga, teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit. Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau: Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong? Minta tolong apa, Pak? Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh. Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja. Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka. Bapak mau pulang sekarang? Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya? Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu. Bapak tinggal di kampung apa? Di kampung seberang. Aduh. Bapak tadi naik apa ke sini? Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi. Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua, kilah lelaki gembel itu.

TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan. Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu. Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya: Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu. Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya. Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya. SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana . Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas. Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu. Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya. Mana bunga itu, Sayang, katanya lirih. Ini. Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar. Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya. Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.

Angin Menabuh Daun-daun


Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong, beku di dekat Bapak. Putri memandangi sosok lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong dan kain sarung itu. Dia tidak sadar kalau kacamatanya telah melorot ke hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu, jemarinya meniti huruf demi huruf di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak sempat menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang tersendat-sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur anaknya. Sekejap kemudian, dia menghentikan ketikannya. Diam mematung, tapi pikirannya seperti meraba dalam kegelapan. Mengetik lagi. Melamun lagi. Begitu terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati. Mesin tik tua itu sangat berharga bagi Bapak. Suatu hari, beliau pernah berkata bahwa dia lebih mencintai mesin tik itu ketimbang dirinya sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut Putri. Tapi, kalau sudah melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri benar-benar trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya. Sejujurnya, Putri sudah jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu dibelinya dengan harga miring di pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal uang untuk membeli mesin tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah hafal luar kepala. Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia bisa memiliki mesin tik yang lama menggoda dalam mimpinya. Begitulah. Mungkin usia mesin tik itu jauh lebih tua dari Putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah umum. Setiap melihat mesin tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang pensiunan tua. Di sisa hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak menghasilkan tulisantulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda antik itu. Tapi tidak. Bapak sungguh telaten merawat mesin tik itu. Sejarah, mungkin, membuat cinta Bapak tak pernah layu. Sudah beberapa kali Bapak mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun belakangan ini, dia mulai rewel. Ada saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas dari tempatnya atau huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar meladeninya. Jika dia merasa sanggup memperbaiki kerusakan itu, pasti dikerjakannya sendiri. Kalau dia menyerah, dia tidak sungkan membawanya ke tempat servis. Akhirnya, bayangan yang Putri takutkan itu menjadi kenyataan. Guru-guru di sekolah membuktikan ancamannya. Mulai hari ini mereka menggelar aksi mogok mengajar sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, semua guru di kotanya, bahkan di kota-kota lainnya, serempak melakukan aksi serupa. Mereka bersikeras agar pemerintah pusat merealisasikan tuntutan mereka. Ah, begitu banyak cara menyikapi suatu persoalan. Inilah pilihan terbaik di antara yang terburuk. Seumpama macan yang terusik tidurnya, guru-guru di sekolah Putri menggeliat dari kepasrahan yang lama melilit mereka. Mulai hari ini, hampir seluruh sekolah di negeri Putri lumpuh total. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Guru-guru mogok massal. Sejak pagi hingga siang hari, orang-orang dipaksa menyaksikan pemandangan yang entah heroik atau menyedihkan itu. Guruguru dengan pakaian korps lengkap, berbondong-bondong menuju gedung wakil rakyat. Mereka ingin menyampaikan aspirasi di sana . Mereka masih sempat tersenyum dan memekikkan yel-yel, tapi sesungguhnya air mata menetes dalam batin mereka.

Sudah hari keempat Putri dan teman-temannya terlantar. Beberapa guru memang tampak hadir di sekolah, tapi mereka tetap enggan memberi pelajaran. Mereka hanya duduk-duduk di ruang guru. Berbincang dengan raut muka tegang. Mereka tetap berkeras agar pemerintah segera membayar rapel gaji mereka yang terus-menerus ditunda. Murid-murid bingung. Kalau begini jadinya, pihak mana yang harus disalahkan? "Teman-teman, sudah beberapa hari ini kelas kita melompong tanpa guru. Rasanya hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kita harus melakukan sesuatu." "Tapi, tindakan apa yang bisa kita lakukan?" "Saya yakin kita semua sudah mengerti masalah apa yang menimpa guru kita, bukan?" Sebagian dari mereka mengangguk mengiyakan. "Kita semua tahu, menekuni profesi sebagai pendidik di negeri ini begitu dilematis. Tidak usahlah saya jelaskan panjang lebar. Ini sudah jadi rahasia umum. Apalah artinya gaji guru dibanding kebutuhan hidup mereka? Belum lagi potongan di sana-sini. Kalau dulu, kita menganggap guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia, tapi sekarang, kita telah melihat kenyataan bahwa guru tak jauh beda dengan sapi perah." Rapat terus bergulir. Ketika jam istirahat tiba, seisi kelas membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berunding mencari jalan keluar. Ternyata membahas apa yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas murid kepada guru bukanlah masalah yang mudah. Dari sekian banyak usulan, semuanya mengerucut pada satu kesimpulan. Anak-anak itu bermaksud menyumbangkan uang kas kelas pada guru mereka. Sejumlah uang itu tentulah tidak sebanding dengan kebutuhan hidup seorang guru. Tapi masalahnya, dari sekian banyak guru di sekolah itu, siapakah yang lebih berhak menerima pemberian itu? Sejak perceraian yang menyakitkan itu terjadi, Bapak memuntahkan esedihannya lewat tulisan. Dia seperti kesurupan kalau sudah di depan mesin tik. Jemarinya melompat-lompat begitu liar, seliar ide dan imajinasi yang ada di benaknya. Dia benar-benar produktif berkarya. Putri memutuskan ikut Bapak. Biarlah dua adiknya yang masih kecil ikut Ibu. Putri ingin belajar pada Bapak bagaimana menghayati hidup dengan sederhana dan bersahaja. Diam-diam, Putri pun bercita-cita ingin seperti Bapaknya. Angin menabuh daun-daun. Terik matahari begitu menyengat. Debu-debu beterbangan dibawa angin. Musim kemarau seakan enggan bersahabat pada manusia di muka bumi. Dari balik bingkai jendela, Putri memandangi daun-daun yang menguning dan berguguran di halaman rumahnya, dihalau angin kemarau. Putri mendesah gamang. Aduhai, lihatlah daun-daun itu. Seburuk apa pun mereka diperlakukan cuaca, mereka akan kembali menjadi humus yang menyuburkan. Tapi, kenapa kadangkala hidup tak sesuai dengan apa yang diharapkan? Putri hanya mengurung diri dalam kamar ketika Bapak sedang meladeni beberapa tamunya. Sayupsayup didengarnya percakapan antara Bapak dengan mereka. Hati gadis belia itu seperti disayatsayat. "Pak Sukri, kami harap Bapak berkenan menerima pemberian kami ini, sebagai rasa simpati kami semua terhadap perjuangan Bapak."

"Kami mohon Bapak tidak berkecil hati. Tidak ada maksud kami melecehkan profesi Bapak. Kami tahu Bapak adalah guru dengan idealisme tinggi. Kami juga tahu, kami tidak akan pernah bisa membalas jasa Bapak. Hanya ini yang bisa kami berikan sebagai tanda terima kasih kami." Sungguh, ingin rasanya Putri menjerit sekuatnya. Tapi sebisa mungkin dia tahan. Putri tidak tahu bagaimana menghadapi kenyataan ini. Putri ingin lari sejauh mungkin. Lari dari kepedihan yang menghimpit jiwanya. Ah, hidup memang kejam. Sesengit apa pun meladeninya, tetap saja mereka terpojok. "Tuhan, seperti apakah posisi kami di hadapanMu sesungguhnya?" gugat Putri dalam hati. Putri terbangun ketika malam telah bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Dia merasa matanya sembab dan bengkak. Rupanya sejak sore tadi dia tertidur beralaskan bantal yang basah oleh airmata. Di luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran, Putri melangkah menuju ruang tamu. Tebakannya tak meleset. Dia mendapati Bapak masih berkutat menyelesaikan pekerjaannya. Kertas-kertas berserak di meja dan lantai. Ada bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang sudah kosong membeku di dekat Bapak. Tiba-tiba suara mesin tik berhenti. Menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Bapak melirik Putri yang berdiri di dekatnya. Dari balik kaca mata tebal itu, Putri masih dapat melihat jendela hati Bapak yang kuyu. Mungkin, dia sedang sebisa mungkin menahan rasa sedih dan kecewa. Ah, betapa ketabahanku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketabahan Bapak. Putri mendesah samar. Dengan suara tersendat-sendat seperti caranya mengetik, Bapak menceritakan kedatangan temanteman Putri sore tadi. Putri benar-benar bingung. Mulutnya serasa terkunci. "Kamu masih percaya bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, Putri?" tanya Bapak di penghujung ceritanya. Suaranya berat dan gamang. Pertanyaan itu membuat Putri terkejut. Dia tidak menyangka Bapak akan bertanya seperti itu. Ragu-ragu ditatapnya Bapak. Tapi Bapak malah balik menatap Putri dengan mimik menunggu. Putri hafal tatapan itu. Tatapan seorang guru yang menunggu jawaban dari muridnya. Putri gugup, menelan ludah seperti menelan sebutir paku. Pak Guru Sukri masih menunggu jawaban dari muridnya. Puti diam. Pak Sukri pun diam. Detik-detik berlalu dalam kebisuan. Tak ada angin berembus. Sunyi menciptakan jarak yang terasa panjang dan menyakitkan. "Mulai detik ini, belajarlah untuk melupakannya, anakku. Itu cuma omong kosong," pinta Pak Sukri pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suaranya terasa getir dan parau. Sangat parau.

Daging di Meja Makan


JALAN-JALAN sepanjang kota itu menempati ruang istimewa dalam hati Sumarno, begitu juga sebaliknya.. Berpuluh tahun dia jadi saksi perubahan zaman yang terjadi di kotanya. Andai saja tiap ruas jalan itu punya jemari, tentu nama Sumarno akan mereka catat dengan tinta emas lalu di bingkai dalam sejarah. Tapi apalah artinya jelata seperti Sumarno, yang kaumnya cuma bisa pasrah dan tabah ketika dijadikan tumbal oleh para penguasa. Sebagai tukang sapu jalan, dia cukup tahu diri untuk membusungkan dada atau mengabarkan pada setiap orang bahwa ia adalah pahlawan. Lelaki tua berbadan kecil, bungkuk, ringkih dan mulai sakit-sakitan itu hanya percaya bahwa sebagian besar kenangan tentang pergulatan hidupnya telah disumbangsihkan untuk jalan-jalan yang hingga saat ini tak seluruhnya mampu ia ingat namanya. Pagi buta. Sumarno sudah siap menjalankan rutinitas sehari-hari. Dengan senjatanya: sapu lidi, karung goni kumal, dan seragam yang sudah tidak layak membungkus tubuh; Sumarno bak serdadu yang siap bertempur ke medan perang. Dia pergi diam-diam tanpa pamit pada istri atau anakanaknya. Tak tega ia membangunkan mereka. Biarlah anak beranak itu tersenyum dalam mimpi indahnya masing-masing, sebab cuma tinggal mimpilah yang bisa mereka miliki secara gratis. Berjalan menyusuri kota yang masih pulas, Sumarno ingat kemarin ada demo lagi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan. Entah apalagi yang mereka tuntut. Bagi Sumarno, usai pesta rakyat itu berarti tumpukan sampah berserak di mana-mana, dan dia bertanggung jawab membersihkannya. Sumarno pernah ngedumel. Apa mereka tidak sadar kalau ulah mereka membuat bebannya tambah berat? Tapi siapa yang peduli pada Sumarno. Apalah artinya keringat tukang sapu jalan, dibanding niat tulus para demonstran yang, konon, demi masa depan bangsa. Toh, sampah-sampah itu tetap harus dilenyapkan. Atasannya pernah memuji peran Sumarno dan rekan-rekan seperjuangannya. Karena jasa merekalah kota itu bisa mempertahankan Adipura untuk kelima kalinya. Meski cuma tamatan SD, Sumarno tahu lingkungan kotor membuat hidup tak nyaman. Apa jadinya kota yang hiasi sampah? Para pejabat pasti malu bukan kepalang kalau turis-turis bule yang mampir menganggap sampah sebagai ciri khas kota itu. Sumarno pun maklum kalau sampah jadi barang haram di kota itu. Tapi Sumarno manusia, bukan robot atau binatang. Dalam tubuhnya ada jiwa dan hati nurani. Maka, dalam hati sering dia memaki, 'Apa pejabat-pejabat itu juga ngerti kalau aku ini orang miskin? Yang aku butuhkan itu uang! Bukan pujian! Bukan penghargaan! Aku perlu uang, untuk mengganjal perut anak istriku! Heh, apakah mereka itu manusia juga?'' SUMARNO duduk terpekur di trotoar jalan. Dia ingin istirahat barang sejenak. Sudah ratusan meter dia menyapu jalan. Keringat menyembul satu-satu dari pori-pori kulitnya. Gelas plastik, koran, bungkus nasi, poster-poster, bungkus rokok, dan spanduk-spanduk, masih bertaburan di depan matanya. Di mana para demonstran itu sekarang? Mereka pasti masih ngorok ditemani mimpi-mimpi muluk tentang negeri mereka. Omong kosong mereka semua itu! Batin Sumarno memaki di antara dengus nafasnya. Semenjak sang raja di depak jatuh, kiai jadi presiden, sampai kaum hawa jadi penguasa, toh nasib tukang sapu tidak bergeser sesenti pun. Aku tetap orang kere, pikirnya. Entah dari mana datangnya, kesadaran Sumarno membentur sekelumit kenangan masa kecil di kampungnya dulu. Almarhum Emak selalu mengingatkan Sumarno untuk selalu bangun pagi. 'Biar rezekimu tidak di patuk ayam,'' begitu kata almarhum emaknya. Membandingkan nasehat itu dengan kondisinya saat ini, Sumarno tersenyum getir. Dari dulu sampai sekarang, dia memang tidak pernah telat bangun pagi. Dia malah sering bangun lebih cepat dari kokok ayam. Tapi, kalau soal rezeki, kenapa dia selalu kalah cepat dengan binatang bertaji itu?

Sejak dulu hingga zaman yang kata orang-orang reformasi ini, Sumarno tetap seorang kacung yang gajinya mentok untuk makan seminggu. Untuk makan selanjutnya harus diperjuangkan sendiri. Jadi makelar, pesuruh, atau apa saja asal menghasilkan uang halal. Untung istri dan empat anaknya bukan tipe manusia yang banyak menuntut. Giyarsih, istrinya, jadi tukang cuci di perumahan dekat gubuk mereka. Upahnya lumayan. Keempat anak yang masih kecil-kecil itu pun sudah ditempanya jadi manusia yang gagah menghadapi kemelaratan. Si Mardi, putra sulungnya, jadi penjual koran setelah putus sekolah. Sementara Barkah, anak kedua, tak pernah mengeluh meski jadi penyemir sepatu. Mungkin dua anaknya yang lain, Sumiati dan Lestari, bakal menyusul jejak kedua kakak mereka lulus SD nanti. Bisa baca tulis saja sudah cukup, biar kelak tidak gampang di kelabui orang pintar. Begitulah, anak beranak itu jadi tulang punggung bersama keluarganya. Setiap malam, uang hasil memeras keringat itu disatukan dan esok paginya dibelikan beras serta lauk pauk ala kadarnya. Tak pernah ada menu daging di meja makan itu. Kalau lebaran tiba atau tetangga sedang ada kenduri, barulah mereka bisa merasakan makan enak. Di sela-sela kesedihan, mereka masih bisa tersenyum jika melihat salah seorang di antara mereka meneteskan air liur dari ujung bibir, lalu menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging yang demikian lezatnya. DARI hari ke hari, kehidupan di kota itu semakin bertambah kejam. Kekerasan yang terjadi di tiap sudut kota dan menyebar hingga pelosok negeri adalah hantu yang tak lagi ditakuti. Pembunuhan, perampokan, perang saudara, pertikaian antar elite, dentuman bom, dan rentetan peluru, sudah dianggap klise. Semua orang seperti sepakat bahwa kekerasan tak ada bedanya seperti menonton telenovela, kuis, atau sinetron yang mengumbar kemewahan. Aroma kekerasan yang mengepung negeri itu pun menyergap keluarga Sumarno. Lewat televisi hitam putih, satu-satunya aset berharga milik mereka, anak beranak itu terbiasa di suguhi berita kekerasan yang up to date. Anak Sumarno akan berdecak kagum ketika melihat berita demo-demo yang berujung adu jotos. Kekaguman mereka bakal bertambah tensinya begitu melihat darah berceceran di mana-mana. Sumarno dan istrinya tak ketinggalan. Ketika menyaksikan mimik pengungsi yang kebingungan sambil menangis, atau sosok politikus yang sedang berkicau merdu dan nyaring, mereka selalu tertawa terbahak-bahak. Di mata mereka adegan itu sungguh menggelikan. EMBUN menari-nari di tiup angin. Di bawah siraman cahaya lampu merkuri, sesekali Sumarno menikmati pemandangan itu sambil menyapu jalanan. Sejenak dia lupakan keluh istrinya semalam karena belum dapat uang cucian. Belum lagi si Mardi yang demam dan kini tergolek lemah di kamarnya. Persediaan beras memang masih cukup untuk seminggu. Tapi, apakah mereka akan makan nasi tanpa lauk sama sekali? Tiba-tiba Sumarno merasa aneh dengan tempatnya berpijak. Dia merasa berdiri di atas genangan air. Padahal seingatnya kemarin hujan tak turun. Di dorong rasa penasaran, kepalanya menunduk, mengamati apa yang sedang diinjaknya. Begitu menyadari benda apa yang mengepungnya, Sumarno melompat kaget. Beat-beat jantungnya tak lagi berirama. Ada sesuatu dalam tubuhnya yang merayap ke ubun-ubun dan membuatnya menggigil sesaat. Darah. Merah. Kental. Di mana-mana. Sumarno telah menginjak gumpalan darah kental yang mulai mengering. Belum habis keterkejutan Sumarno, seekor anjing buduk hitam melenggang santai di depannya. Di mulut anjing itu tergantung benda bulat yang bergoyang ke sana-kemari. Sebutir kepala manusia! Refleks, pandangan Sumarno menyebar. Dia tertegun lama, menyaksikan pemandangan yang menikam matanya. Sungguh menakjubkan! Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan, kepala-kepala manusia berserak tak karuan. Di dekat tong sampah, di depan toko, di jalan raya, di halaman rumah

ibadah, di mana-mana. Dilatari darah merah kental. Menggelinding ke sana ke mari di sapu angin pagi. Kepala-kepala aneka bentuk dan ukuran itu telah berpisah dengan tubuhnya tanpa sempat mengucap kata perpisahan. Anehnya, kali ini Sumarno tidak terkejut lagi. Barangkali rasa kagetnya sudah habis. Tapi, sungguh, kelakuan anjing hitam tadi telah membuat Sumarno keki. Keterlaluan! Sepagi itu seekor anjing telah mempermalukannya. Binatang itu begitu mudah mendapatkan daging segar untuk sarapan pagi. Batin Sumarno melolong. Oh, anak istriku, maafkan segala kehinaanku. KALAU ada keluarga yang paling berbahagia di muka bumi malam itu, keluarga Sumarnolah yang merasakannya. Sayup-sayup, terdengar tawa anak-anak Sumarno dibawa angin. Melesat ke langit malam. Perlahan-lahan, bulan tertutup awan. Sayup-sayup terdengar tangis serigala yang menyayatnyayat. Tumpang tindih dengan kegembiraan keluarga Sumarno. Akhirnya mereka bisa makan enak. Benar kata orang, datangnya rezeki kadang tak terduga. Malam itu di meja makan telah terhidang menu istimewa: sup daging. Sumarno sudah lupa kapan terakhir kali dia bertemu menu seperti itu. Sekarang tibalah saatnya melunasi dendam pada kemiskinan. Sendok garpu beradu dengan piring. Suaranya berdenting-denting. Giyarsih memang istri yang adil. Setiap orang diberi semangkuk sup sama rata. Tak ada cemburu. Tak ada protes. Keadilan masih tersisa di rumah itu. Tiba-tiba, anak beranak itu tertawa ketika si bungsu Lestari, meneteskan air liur dari ujung bibir lalu menghisapnya lagi dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging. 'Kenapa? Enak, ya?'' tanya Giyarsih. 'Nggak enak. Susah dikunyahnya,'' jawab Lestari lugu, sambil mengembalikan potongan kuping manusia itu ke dalam mangkuknya. Derai tawa lagi-lagi bergema. Suaranya disusul lolong serigala yang sayup-sayup entah dari mana asalnya. 'Ini, tukar saja dengan punya Emak''. Sendok Giyarsih tenggelam ke dalam mangkuknya. Sekejap kemudian keluar lagi. Sebuah benda seukuran bola pingpong mengambang dan bergoyang-goyang di atasnya. Sebutir mata manusia. Lestari mencomot, melesakkannya ke dalam mulut, dan mengunyahnya seperti mengunyah permen bon-bon. Matanya terpejam-pejam. Sungguh nikmat. MALAM itu mereka bisa tidur nyenyak tanpa perut melilit-lilit. Tapi Sumarno belum bisa memicingkan mata. Dia masih menikmati rasa bangganya menjadi kepala keluarga yang bisa membahagiakan anak istri. O, beginilah rasanya jadi lelaki yang bertanggung jawab. Ia tersenyum. Suara serigala melolong-lolong di kejauhan ketika Sumarno menguap. Sumarno merebahkan badan di dipan kayu. Mendadak dia ingat berita yang ditayangkan di televisi. Ada sebuah bom meledak di pusat kota tadi siang. Puluhan orang mati dengan tubuh cerai berai, ratusan lainnya luka-luka, gedung-gedung jadi puing, dan banyak mobil mewah disulap jadi arang. Sumarno hafal jalan ke lokasi pemboman itu. Dia biasa menyapu jalan di sana. Sumarno berniat, besok pagi-pagi sekali, dia akan berangkat ke sana. Menyisir tempat itu dengan sapu lidinya. Harus lebih hati-hati kali ini, pikirnya. Siapa tahu masih ada kepingan-kepingan tubuh manusia yang tercecer di sekitar tempat itu dan bisa dibawanya pulang. Terbayang di pelupuk matanya, sarapan pagi dengan menu semur daging panas terhidang di meja makan. Aromanya mengepul mengundang selera. Lalu disantapnya menu itu bersama-sama. O, gurihnya daging manusia! Di ujung kantuknya, Sumarno berdoa dalam hati, semoga kebiadaban di negerinya tak pernah berakhir, agar keluarganya bisa turut merasakan nikmatnya memakan sesama manusia.***

Purnama Dibalik Cadar


Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya. Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya. ''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu. ''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku. ''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.'' ''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.'' ''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.'' Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo. Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan. Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul sepenuhnya saat berbicara,' pikirku. ''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium. Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku. Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku. ''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku. ''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku.

''Sedang cari buku apa?'' ''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.'' Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak. ''Mas Imran....'' Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu. Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ? Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom. Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok Islam garis keras. Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan rencana sendiri. Setelah kepergiannya, aku benar-benar merasa kehilangan. Ini agak aneh, karena aku belum lama mengenalnya dan baru dua kali sempat berbicara. Itupun hanya beberapa menit saja. Wajahnya yang ditutup cadar pun belum kukenal sepenuhnya. Yang kukenal baru mata beningnya yang kebiruan bagai telaga, suaranya yang lembut, kecerdasannya, dan misteri cahaya di kepalanya. Selebihnya, barulah ilusi kecantikan di balik cadarnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama, pikirku. Aku sangat merindukannya. Berhari-hari, bermingu-minggu, aku menunggu kabar kepulangannya. Kekhawatiranku memuncak, ketika terjadi penangkapan terhadap beberapa demonstran anti-AS di halaman masjid Al Azhar -- dua di antaranya mahasiswi bercadar asal Indonesia. Aku khawatir Salma ada di antara mereka. Siapa tahu, ia pulang secara diam-diam dan langsung ikut demonstrasi. Apalagi, tampak pada layar televisi Mesir yang menyiarkannya, salah seorang gadis bercadar yang tertangkap itu sangat mirip Salma. Aku segera meluncur ke kantor polisi. Tapi, syukurlah, ternyata bukan. Yang membuatku lebih khawatir adalah ketika terjadi penangkapan terhadap para demonstran antiAS di London sehari kemudian, karena di televisi disebut-sebut bahwa beberapa di antaranya adalah 'penyusup' dari Afrika Utara. Aku yakin Salma ada di sana. Jika benar ia memang aktifis internasional, dengan gampang ia akan masuk ke suatu negara, bahkan dengan paspor palsu sekalipun. "Tolong, Pak, mohon informasi, apakah di antara yang tertangkap tadi ada yang namanya Salma Audina, mahasiswi Al Azhar asal Bandung?" tanyaku pada salah seorang staf KBRI di London. Aku ingin segera tahu apakah di antara yang ditangkap itu ada Salma. Tapi, tidak segera mendapat jawaban, karena pihak KBRI belum mendapat laporan resmi dan baru akan dicek ke kepolisian setempat. Syukurlah, tiga hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa tidak ada nama Salma Audina pada daftar nama pengunjuk rasa yang ditangkap. Juga tidak ada penyusup dari Mesir, selain dua gadis berdarah Arab kelahiran London.

Tetapi, berita yang paling menakutkan tiba-tiba datang dari Afghanistan. Sebuah toko buku di Kabul, yang sedang ramai pengunjung, terkena ledakan bom, 11 orang tewas dan dua di antaranya gadis asal Indonesia. Dengan rasa was-was aku segera mencari nama gadis-gadis itu pada beritaberita di surat kabar Mesir, barangkali ada nama gadis bercadar itu di sana. Dan, betul, menurut kantor berita AFP yang dikutip beberapa surat kabar Mesir, salah satu korbannya adalah Miss Audina, seorang mahasiswi asal Indonesia, yang baru tiga hari tiba dari London. Pada foto yang terpampang, cadar Salma sudah terkoyak. Mata birunya terkatup di bawah garis jilbab yang hampir menyentuh alisnya. Ada bercak-bercak darah pada pipi, mulut dan hidungnya. "Innalillah..., Salma, kenapa kau begitu cepat pergi...," gumamku. Aku merasa sangat terpukul membaca berita itu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku: harapan. Ya, harapan untuk memilikinya. Sebagai sesama perantau yang mencari ilmu di negeri orang, tentu sudah sewajarnya aku merasa berduka. Apalagi ia mati konyol akibat teror bersenjata yang membabi buta. Aku tidak tahu, siapa yang harus dikutuk, AS yang memperlakukan dunia secara tidak adil, atau Osamah ben Laden yang memilih teror sebagai jalan penyelesaian karena ketidakberdayaannya melakukan perang secara terbuka. Tapi, yang kurasakan saat itu benar-benar lebih dari sekadar berduka. Aku seperti merasa kehilangan seorang kekasih atau keluarga terdekat, dan hatiku terasa sangat tersayat. Segera kuhubungi imam masjid Al Azhar untuk melaksanakan shalat ghaib bagi Salma. Kawan-kawan mahasiswa dan alumni Al Azhar asal Indonesia pun kukumpulkan untuk melaksanakan shalat ghaib dan mengirim doa bagi arwahnya. Atas nama KBRI kukirim juga telegram bela sungkawa kepada keluarganya di Bandung. Dan, karena telegram itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. ''Assalamu 'alaikum. Bisa bicara dengan Pak Imran?'' ''Ya, saya sendiri. Ini siapa?'' ''Ini Salma.'' ''Aduh Salma. Kawan-kawan mengira kamu tewas jadi korban ledakan di Kabul. Sebab, ada korban yang namanya Audina." "Itu bukan Salma. Saya baik-baik saja di Bandung. Saya tak jadi ke Kabul . Minggu lalu saya dari London langsung ke Bandung .... Salam ya, untuk kawan-kawan. Saya jadi pindah kuliah ke Jerman. Besok pagi saya berangkat ke Berlin , tidak sempat mampir Kairo...!" Aku merasa lega karena Salma masih hidup. Tapi tetap saja merasa kehilangan, karena kepindahan kuliahnya itu. Rasanya aku harus terbang ke Berlin juga untuk meraih cintanya. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan purnama di balik cadarnya!

Kalau Lelaki Itu Pulang...


Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. Elok-elok di sana, pesan ibu. Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan? Kakak diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. Kakak! Kakak! adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau. Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan kakak, menyeru namanya. Tapi kakak diam saja, kata adik-adik. Seperti tak mendengar. Kakak mendengar, ujar ibu. Dia sayang sekali kepada kalian. Mengapa kakak tidak menyahut? adik terkecil bertanya kepada Kak Lela. Kakak sedang malas bicara, jawab Kak Lela. Ajaklah terus berkata-kata. Malas bicara, seperti kalau aku ngambek? Ya. Begitu. Sambil lambat-lambat menyisir rambut kakak yang sepinggang ibu berucap, Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Mariani. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudahsudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu. Kakak tetap tidak beringsut. Sudah lama kakak serupa patung hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya lelaki itu sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangantak lama sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan siapa. Orang terlalu banyak saat itu mengurung rumah. Membawa ayah. Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya masinis kereta api. Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua organisasi buruh DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. Ayaaah! Ayaaah! kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib dalam kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini. Baru pekan lalu kuterima surat Kakak, kata Paman Jafar seperti minta maaf. Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula cepat-cepat berangkat, izin dulu ke komandan. Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang, istri paman menambahkan. Paham aku itu, balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada kakak. Begitu keadaannya, lihatlah. Istri Paman Jafar menghampiri kakak. Tapi mau dia makan, Kak? Mau. Disuapi. Disuapi? Bibi senyum memeluk bahu kakak. Disuapi engkau Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini? Senyum bibi tiba-tiba lenyap. Anak-anak nakal itu, sahut ibu. Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang. Terlalu! Tengoklah, Bang! Mendengar ibu menjerit melihat darah muncrat di jidat kakak, aku melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama besar denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking, berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab saat

lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat. Kalian lukai kakakku! Kalian lukai kakakku! Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau, berteriak-teriak. Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang berkelahi! Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial! Mereka yang salah, kubilang. Mereka lempar kakakku dengan batu. Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu! Melihat puting susu perempuan itu terjuntai panjang dan hitam belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak, Kau ibu anjing! Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang. Kepalaku nanar. Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku, mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. Pergi! Bibi merebahkan kepala kakak di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. Masih rajin engkau mengaji, Mariani? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga. Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak. Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras! ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Kak Lela berlarian mendekat. Kakak! Kakak! Mereka rangkul tangan dan tubuh kakak. Kakak tersedu-sedu dalam pelukan bibi. Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji, kata ibu seperti berbisik kepada Paman Jafar. Buya Nawawi juga tidak menyuruh? Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. 'Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Mariani, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa'. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orangorang muda berkuasa di surau. Katanya, ingin bersih-lingkungan. Paman Jafar melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. Sebaiknya Kakak ikut denganku ke Pakanbaru, dia bilang. Bagaimana aku bisa pindah, Jafar, jawab ibu. Rumah ini bagaimana. Jual. Ei, siapa bersedia membeli rumah yang penghuninya dianggap serupa hama ! Ibu tersenyum masam. Diberi cuma-cuma atau ingin merampas, banyak, Jafar. Tapi aku yang tak rela! Adik ibu itu terdiam. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik jip hijau Paman Jafar di halaman. Sstt! ucap bibi perlahan. Tidur. Berbisik pula pada adik-adik, Ambil bantal, selimut! Lalu dia rebahkan kepala kakak hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti. Saat tidur begitu muka kakak persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: ayah yang lenyap, diputus tunangan, ditolak jadi guru. Padahal, sudah tiga bulan ia mengajar, menanti pengangkatan. Berangkat gembira di pagi hari. Juga siang, sewaktu pulang. Dan terkadang terdengar riang menyanyi di kamar mandi: tak ' kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa

berdebar. Atau diajaknya adik-adik, aku, Kak Lela berdoa, supaya ayah lekas kembalientah dari mana. Lalu, penolakan jadi guru itu tiba suatu hari, serupa badai. Karena status ayah. Dan laki-laki itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin belah-rotan. Juga karena status ayah, meski tak diucapkan. Tetapi, dia maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat kakak mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian lelaki itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah merantau ke Jakarta. Sementara kakak semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas. Sudah ke mana-mana kuobati, kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Pakanbaru dapat menangani? Ada! Paman dan bibi menjawab serempak. Tenanglah Kakak, lanjut bibi. Kalau perlu kami bawa ke dokter Caltex. Sesekali kubawa pula ke sekolah. Kawanku membuka sekolah taman kanak-kanak. Kukhawatirkan justru Kakak, ulang Paman Jafar. Ikutlah ke Pakanbaru! Tak perlu khawatir, Jafar, balas ibu. Tidak semua orang jahat atau bernafsu mengucilkan. Lagi pula, bila aku pindah, bagaimana kalau abangmu pulang? Ke mana dia cari kami? Walaupun sudah setahun lebih, belum pupus harapanku abangmu bakal pulang. Paling tidak, tahu keberadaannya. Bagaimana keadaannya. Bila mati di mana berkubur. Kakak terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami kakak paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap kakak jadi guru tamat SGA. Sedangkan Kak Lela diharapkan menjadi perawat, kalau cukup biaya. Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah juru-api kereta api. Ayah tertawa suatu ketika. Syukur ada kakak kalian, ya? Kami mengangguk, turut bangga walaupun kakak waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas. Rencanaku besok kembali, ucap Paman Jafar. Kubawa Mariani sekalian. Tugasku menunggu. Di Pakanbaru juga kacau keadaan. Ibu mengangguk-angguk. Terpikir olehku, Dik, ujarnya kemudian. Apa tak berbahaya buatmu kalau orang tahu status ayah Mariani? Tidak! Paman menggeleng keras-keras. Komandanku tahu. Dia kawanku, Kak. Anak Ampek Angkek. Ibu bernapas lega. Besoknya, kakak dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lenganglengang sekali. Kakak telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, kalau laki-laki itu pulang suatu hari, dia pun takkan melihat kakak lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah. Sekali waktu lelaki itu pasti pulang ke kota kami; tak mungkin tidak. Juga lalu di muka rumah. Tidak ada jalan dapat dia lalui untuk tiba di rumah ibunya, kecuali dia buat jalan sendiri dengan meruntuhkan Bukit Tambun Tulang serta menimbun Lurah Situngka Banangsesuatu yang amat mustahil. Tetapi, mungkin juga bukan mustahil bila hatinya semakin dingin serupa penguasapenguasa lalim yang dengan telunjuknya dapat membelok-belokkan apa saja. Termasuk jalan hidup anak manusia, seperti ayah, kakak, atau kami yang kehilangan mereka. ***

Mata yang Berlabuh


Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada suara lengkingan renyai yang menyeruak seperti biasanya setiap kali ia jejakkan kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang, yang dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak yang berlarian di depannya itu dari air laut yang merambati kaki mereka. semuanya telah menghilang. Tapi masih ada yang belum ditemukan. Karena itu, Abdullah, laki-laki yang berjalan terseok itu, terus mencari-cari. Tangannya telah lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi gelombang di dadanya lebih besar daripada kehendak tubuhnya. Ia paksakan kakinya melangkah meski nyeri mulai menusuk pada memar kakinya. Abdullah hentikan langkah. Layangkan matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi apakah ini siang atau malam. Waktu telah berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu untuk mengais sisa tenaganya. Lalu apa yang masih menggerakkannya? Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu harus dicabut dari tungkainya, Abdullah akan terus berjalan. Semuanya memang telah sirna. Tapi masih ada yang tertinggal. Karena itu, ia masih mencari. Sepanjang beberapa depa, Abdullah kembali menghentikan langkah. Kakinya dilanda nyeri. Seribu semut merah seperti menggigiti urat kakinya. Abdullah Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya istirahat sejenak. Sebab sesudahnya, dengan rasa sakit yang masih menyisa, Abdullah berjalan kembali. Mungkin rasa sakit itu sudah hilang. Bersama tumpahan air mata yang membanjir berhari-hari sebelumnya hingga tak menyisa. Meskipun ia minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan bisa menggantinya. Abdullah pun telah menghapus air mata itu dalam catatan di darahnya. Seperti beku telah membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia berjalan. Mata yang gelap.Berharihari yang lalu, Abdullah telah jelajahi seluruh tempat. Puing-puing yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada tetangganya, teman melaut, teman anaknya yang sering menunggui kapal ikan datang, penjaga surau kampung. Namun ia tak ada di sana. Karena itu, Abdullah terus mencari.''Sudahlah, Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu sudah letih.'' Ia tidak begitu awas, apakah itu suara istrinya atau tetangganya. ''Nanti saja. Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti aku kembali.'' Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya. Kembali? Aku belum menemukan yang kucari, maka aku tidak akan kembali. Lagipula kemana aku akan kembali? Abdullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak kan ada langkah surut, suara hati Abdullah kuatkan langkahnya.Istrinya memang memahami sikapnya. Batu yang keras itu tak akan mudah dilebur dalam satu pukulan kampak.''Anakmu sudah menanti. Mengapa engkau masih tak tahu juga, Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka sudah menantimu untuk makan siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam menentang ke atas. Ada yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-apa. Langit tak biru. Merah memantul dari lensa matanya. Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya tak ada. ''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin pulang.'' ''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau tak turuti anjuran istrimu. Mengapa engkau masih bengal juga, Abdullah! ''Itu suara ayahnya. Suaranya keras, seperti dirinya. Abdullah tak peduli. ''Kemana engkau akan pergi, anakku?'' perempuan yang matanya kelabu memanggilnya serupa angin.''Tak usah hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya. Mayat-mayat bergelimpangan seperti rongsokan. Bau sengat yang mengundang kerumunan lalat menggunduk di setiap setiap tempat. Tapi Abdullah tak hiraukan itu. Matanya yang berpijar merah melata, susuri setiap mayat yang bergelimpangann itu. Tangannya mengorek satu demi satu mayat

yang terhampar di kakinya. ''Ia tak ada di sana !'' Ibunya berseru. Rambut peraknya berkeriyap dihembus angin. Abdullah tidak ingin mendengar. Kakinya terus ia seret. ''Pulanglah, Abdullah. Maka kau akan menemukannya,'' suara ibunya memanggil lagi. Langkahnya makin melata. Seluruh sendi-sendi kakinya bergetar, merambat ke engsel tubuhnya. Tapi Abdullah tak mau mengalah pada keadaan tubuhnya. Ia seret kakinya dengan sisa tenaga. Jalan ibarat pasir yang menusuk luka di tubuhnya. Serakan mayat itu masih bergelimpangan di kanan-kiri. Halangi langkah tubuhnya yang makin ringkih. Mata-mata mereka membuka. Seperti hendak menyampaikan pesan pada Abdullah. ''Sudahlah, Abdullah. Pulanglah ke rumah.'' Abdullah singkirkan suara-suara itu dari udara. Langit menjadi-jadi bekunya. Hanya ada suaranya yang mengapai-gapai udara. Ia hampir kehilangan keseimbangan ketika kaki kanannya menabrak tubuh yang membujur. Tubuhnya mencoba menahan lengkung badannya yang hampir jatuh ke tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan merengkuhnya. Berat badannya condong ke tanah. Bunyi berdebam memecah sunyi ketika tubuhnya yang labil menimpa mayat itu. Mata yang putih. Seperti daun jendela yang membuka lebar. Menyeret Abdullah masuk dan terhisap ke dalamnya. Mata yang berkata. Mengapa kau tak yakin ini semua, Abdullah. Kemana kau campakkan imanmu itu. Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu. Abdullah menggeram. Diamlah. Semuanya sudah kosong. Hambur oleh angin yang membawa pergi. Hanya satu yang masih tersisa. Aku sedang mencarinya dan ingin membuktikan keberadaan-Nya. Jadi singkirkan kakimu, hai mayat yang tak punya rasa. Tak ada yang dapat menghalangi langkahku. Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa aspal kasar, tangan Abdullah menjangkau tongkat kayu dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh, Abdullah menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah ia menegakkan tubuh. Tapi siapakah yang bisa mengalahkan kekerasan hatinya? Setelah tubuhnya tegak seimbang, Abdullah menendang mayat itu. Ia injak dengan kaki kanannya yang masih menyimpan tenaga. Lalu mendengus. Jalan yang ditempuh Abdullah makin menyempit dalam pandangan matanya yang kelabu. Tapi ia terus berjalan. Beberapa depa di depannya, Abdullah tersentak. Masjid Baiturrahman masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di tengah lautan puing-puing yang menyerak. Warnanya yang putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas. Padang mahsyar. Abdullah semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya yang pincang bergerak cepat. Ia berlari. Seperti kuda sembrani yang melintas di permukaan laut yang tenang. ''Mau kemana engkau, Abdullah?'' Abdullah tak menjawab. Ia terus seret langkahnya. Menekan gemuruh yang berputar dahsyat di kepalanya. Adakah Engkau di sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini? Begitu hebat guncangannya, begitu keras gemuruhnya. Ketika tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah meraung hebat. Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Ia terjerambab dengan tubuh kehilangan daya. Dan terduduk di teras masjid dengan mata yang buta. Dengan tubuh yang tergugu. Adakah badai yang lebih besar dari ini, Ya Allah? Abdullah menangis. Hatinya basah. ''Apakah engkau menemukannya, Abdullah?'' Suara yang jauh meruapi telinganya. Dagu Abdullah mengangguk makin hebat. Air mata menggenang di wajahnya. Membasah di janggutnya yang tipis. Seperti kilau minyak zaitun. Tak sanggup gelombang suara keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Hanya lirih yang mengisi udara. ''Bagaimana mungkin, bukankah matamu telah buta, Abdullah?'' Suara yang lembut menghunjam dadanya. Air mata Abdullah makin menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak kuat menahan guncangan yang kuat dalam dadanya. Matanya memang telah buta. Sejak gelombang pasang itu meraup seluruh hidupnya. Ia tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata yang membasuh hatinya membukakan semua pintu yang terkatup.

Ia seakan melihat istrinya, ibunya, bapaknya, dan Ibrahim anaknya melambaikan tangan ke arahnya. Lalu di sebelah-sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan. Senyum mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang membeningkan pagi. Lalu perlahan semuanya mengabur serupa kabut yang membias di fajar subuh. Suara adzan menyayat telinganya. Abdullah merasa tubuhnya melayang dalam udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan mihrab masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya.

Keluarga R
WAKTU menyempurnakan segalanya. Memburai, mengacak, juga menatanya kembali. Tidak ada yang abadi. Juga di rumah seberang jalan itu. Dulu ada sembilan kepala, sembilan mulut, sembilan perut di rumah itu. Kami sebut keluarga R karena namanya semua diawali huruf R. Mulai Rus'ad, sang ayah; ibu, Rakena; lantas tujuh anak yang berleret susun paku: Ridwan, Rosmalia, Ruslan, Rustam, Rismun, Rusmin, dan Ramena. Keluarga R dapat pula kita tandai dari kepala mereka yang terlihat lebih besar dari rata-rata kepala manusia, serupa jerangkong. Serta mulut menerowong seakan tak pernah mengatup, perut bagai tidak berlantai. Khusus Rustam yang sebaya denganku, dan Rismun sang adik, ditambah perangai balaku baruak alias nakal, rakus, bandel, kurang ajar tidak ubahnya beruk. Rusmin juga mulai mengarah perilaku itu, kendati masih tiga tahun. Apa saja dipanjat. Apa yang terlihat direbut, dipurukkan ke mulut. Ramena yang berumur beberapa bulan pun demikian. Tidak henti menggeliat, meliuk-liuk. "Lasaknya!," ujar ibu, tiap kali bayi serupa kera itu dibawa ibunya atau Rosmalia main ke rumah. Ditepuk-tepuk ibu pinggulnya tetapi Ramena tetap meliuk-liuk seolah terbuat dari karet. Rustam dan Rismun, bukan cuma lincah memanjati tembok halaman belakang, bergayutan di pohon jambu, mangga atau pisang; juga menyusup masuk dapur, duduk mencangkung melihat ibu memasak. Tepatnya, mengamati yang dimasak ibu. Begitu yang dimasak diangkat dari penggorengan, mereka sambar. "Tunggu!," seru ibu, tidak jarang dengan menokok tangan keduanya. "Basuh tangan dulu!," Dua bersaudara itu terbirit-birit ke kamar mandi, sementara ibu menyendok dua piring nasi, sayur, sekerat ikan, atau kentang goreng balado. Sedang lahap-lahap begitu kadang aku muncul. "Rustam! Rismun!" Keduanya tergeragap, menyeringai menampakkan taring dan gigi-gigi yang kuning. Dan selesai makan ngeluyur beriringan bak beruk kekenyangan. Lebih seru bila aku muncul saat mereka dicegah mencomot sesuatu. Selain kubentak, kusepak. "Rakus!," Keduanya lagi-lagi menyeringai, kabur, tetapi tak lama mencogok kembali. Ngehek benar! Hanya saja, ibu dan ayah tak suka aku begitu. "Kenapa harus kasar dan marah-marah," tegur ayah. "Jangan biasakan dirimu dihuni rasa marah dan tidak suka kepada sesama!" "Kasihan," ibu menambahkan. "Lagi pula, takkan mengurangi kalau kita beri." Memang tidak mengurangi. Mangga atau jambu kami tetap lebat buahnya, dan yang diminta Rustam juga potongan potlot tidak terpakai, sisa hapusan atau buku tak digunakan. Ibu sesekali memberi pakaian bekas. Tetapi, jengkel terus aku menengok kepala bak jerangkong, mulut menerowong itu. Apalagi kalau bermain, tidak pernah Rustam tak membawa adik. Bila tidak Rusmin, ya, si Rismun. Keduanya sama, cuma nama saja dibolak-balik. Satu-satunya yang meredam rasa gusarku, Rustam pintar di sekolah. Apa saja dijelaskan Bu Ainah langsung terperangkap dalam kepalanya yang besar, lekat bahkan berkembang biak di situ. Ia juga tidak pelit. Maksudku, kalau ada ulangan aku cukup mendesiskan "ssst" maka lembar jawaban dia dekatkan hingga bisa kusalin seutuhnya, hingga ke titik-koma. Tetapi itu tetap tak membuatku cepat kaki ringan tangan disuruh ibu ke rumah seberang jalan itu; mengantar gulai, nasi, ubi, talas, keladi, pisang, serabi atau apa saja sebagai pengganjal perut. Ada saja alasanku, hingga adik atau kakak perempuan yang pergi. Sekembali mereka kasak-kusuk aku bertanya, "Bagaimana, bagaimana? Sedang mengapa mereka?" "Menyanyi!" "Menyanyi?"

"Menyanyi. Ngobrol. Tertawa-tawa!" Itu lagi kebiasaan sekaligus keanehan keluarga R. Kumpul sore-sore, termasuk Pak Rus'ad dan nyonya, kemudian mengobrol, bernyanyi, tertawa-tawa, seolah tidak ada apa-apa. Pernah, usai magrib, aku tak dapat mengelak disuruh ibu mengantar serantang makanan ke rumah seberang jalan itu. Memasuki halaman sudah kudengar suara-suara orang menyanyi, bercakapcakap, diselingi gelak tawa. Lantas senyap, terhenti, waktu aku tiba-tiba mencogok di ambang pintu. Berpasang-pasang mata terpaku kepadaku. Persisnya, bawaanku. Kemudian Bu Rakena senyum-senyum menghampiri. Pulangnya, iseng aku berbelok ke samping, dan diam-diam kulekapkan kuping ke dinding. "Mak, aku dulu Mak! Aku dulu!" Kalau tidak Rusmin, tentu Rismun. Bisa juga Rustam. "Sabar, sabar. Semua dapat. Semuanya diberi." "Tapi aku dulu Mak! Sejak siang aku belum makan!" "Adik dan kakak-kakakmu juga. Nah, ini, makanlah!" Sesampai di rumah kuceritakan semua, disertai rupa-rupa bumbu. ANGGOTA keluarga R kemudian lenyap satu-satu. Mula-mula Ridwan, anak pertama, yang suka senyum serta penyapa. Konon dibawa famili ke Jakarta. Menyusul Ruslan, ke Medan, juga dibawa keluarga. Di tempat kami wujud kekerabatan seperti itu. Mereka yang merantau, apalagi jaya, menjelma lokomotif penarik bagi yang lain. Jadi wajar bila Anda jumpa orang daerahku di mana pun kapan pun di pelbagai belahan dunia. Mereka pasti tidak sendiri di sana. Lalu kepala keluarga, Rus'ad, lenyap. Tapi tak lama, sekitar lima-enam bulan. Barangkali penguasa tahun '66 juga berpikir, tak mungkin tukang gerobak seperti Pak Rus'ad ancaman bagi negara, sehingga ia dilepas kembali setelah di bui. Jika pun ikut-ikutan organisasi pasti agar lebih mudah dapat minyak tanah, sabun, atau gula; seperti ayah masuk koperasi. Tetapi Pak Rus'ad tidak balik ke profesi semula pulang dari bui. Alih profesi jadi anak-ula , alias kernet lepas bus jurusan Bukittinggi --terkadang ikut bus ayah. Tubuhnya tambah kurus, kepalanya makin mirip jerangkong, keluar penjara. Dengan kondisi begitu bisa-bisa dia yang didorong gerobak disarati berkarung-karung beras, kelapa, minyak goreng, sayur-mayur, entah apa lagi. Masa itu, pedagang di kota kami mengandalkan gerobak bertenaga manusia mengangkut mata dagangan dari stasiun ke pasar atau sebaliknya. Sejumlah orang bergiat dalam jasa ini, tetapi tidak seorang pun bertubuh kerempeng dan berkepala besar bagaikan jerangkong. Sementara itu, Rosmalia dan Rustam lenyap saat Pak Rus'ad di penjara. Rosmalia dibawa famili entah ke Dumai, Rumbai, Duri, tidak kuketahui. Yang tahu dan merasa kehilangan abangku, Zein. Selain sama-sama kelas satu SMA, sekelas pula, Zein ada hati pada Rosmalia. Itu sebabnya Zein oposan kami di rumah selain ibu dan ayah. Tapi Zein berlebihan. Mati-matian dia bela keluarga R. Juga kelewat sensitif. Misalnya, kalau aku mengacungkan lidi sate kota kami yang terkenal sedap itu dengan menggoyang-goyangnya, Zein langsung membelalak. "Tidak baik begitu!" dia bilang. "Kalau rezeki Pak Rus'ad sebaik ayah tentu anak-anaknya sehat seperti kita!" Rosmalia sebenarnya manis. Bahkan cantik, dengan kulit halus warna gading, suara dan senyum lembut, bola mata hitam-bulat tidak berputar-putar liar. Tapi seperti saudara-saudara serta orang tuanya, tubuh Rosmalia lurus saja, panjang, dan memang mirip lidi sate. Ke mana raibnya Rustam diajak famili, tidak kuketahui. Mungkin ke Bandung , Semarang , Surabaya , sungguh tak terang. Aku juga tak bernafsu mengetahui. Sebagai kawan Rustam

hanyalah mentimun bungkuk, ada tapi tidak masuk hitungan --kecuali ada ulangan. Selain itu, setahun setelah kepergiannya, tamat SD, giliranku lenyap dari kota kami. Ikut, sekaligus disekolahkan abang sulung yang sudah mandiri di Jakarta . Hari-hariku selanjutnya sarat dengan kesibukan sekolah, kuliah, bekerja, lantas menikah. Keluarga R sesekali saja teringat. Misalnya jumpa relasi bernama Risman, Rasmin, Rismuji. Dan kalaupun ingat tidak merangsang tanya bila aku pulang sesekali ke kota kelahiran. Sampai satu hari tiga puluh tiga tahun sesudah kepergianku, mataku bagai terganjal tidak dapat berkedip menatap seorang pemakalah dalam suatu seminar di Bandung. Rustam Rus'ad, PhD ekonomi lulusan universitas kenamaan di Amerika Serikat! Memang sulit dipercaya. Tapi ketika moderator membaca biodatanya, perlahan mataku berkedip lagi. Ia memang Rustam si mentimun bungkuk, keluarga jerangkong. Namun mulutnya tidak lagi menerowong. Dan meski bagian depan kepalanya botak bagai kepalaku, karena usia, kini tak mirip jerangkong. Malah serasi dengan tubuhnya yang bugar berisi, membuatku teringat kembali ucapan abangku Zein yang telah tiada, mati muda. Kudekati dia saat rehat. Dan bila aku masih tertegun-tegun, Rustam langsung terbelalak. Sekejap kemudian didekapnya aku erat-erat. "Mandius! Mandius! ujarnya dengan suara bergetar, dan serak. Kepada orang-orang yang terpana di sekitar kami, ia lalu berucap: Saudara saya! Sahabat baik waktu kecil!" Alamak! PULANG libur ke kota kelahiran bersama istri, anak-anak, dan calon menantu, kuceritakan pertemuan itu kepada ibu. "Jumpa aku si Rustam di Bandung," kataku. "O, ya," balas Ibu. "Memang di Bandung dia. Abangnya si Ruslan sekarang di Batam, pengusaha hotel. Adiknya Rusmin, jadi dosen di Medan." Betapa ajaib sang waktu memburai-burai nasib, sekaligus menatanya kembali. Kutoleh rumah seberang jalan itu melalui jendela yang lebar terbuka. "Siapa sekarang penghuninya?" "Anak si Ridwan nomor tiga," sahut Ibu. "Si Ridwan pun kerap pulang setelah pensiun dari departemen luar negeri. Selalu singgah dia kemari." Dari Ibu pula kutahu Rismun sudah meninggal dunia. Bukan jatuh dari tembok pekarangan kami, tetapi helikopter, pulang survei minyak di lepas pantai Pulau Pagai. Rismun insinyur perminyakan. Rosmalia istri wali kota di Sumatra. Dan ibu mereka, Rakena, bersama Ramena. Ramena sendiri, yang sejak kecil dibawa abangnya Ridwan ketika tugas di sejumlah negara Eropa, guru balet di Paris; menikahi pria bule, punya anak satu. Tentu bukan karena namanya serupa nama Rumania, atau orang-orang Eropa Timur. "Senang hidup si Rakena itu sekarang, telah dua kali naik haji," ujar ibu. "Tapi Tuhan punya rencana lebih sempurna, buru-buru memanggil suaminya, seperti juga ayahmu." Sebagaimana ayah, Pak Rus'ad telah wafat. Jauh lebih dulu dari ayah, kira-kira setahun sekeluar penjara. Walau lima-enam bulan saja di bui, agaknya tidak kuat batin dan tubuhnya yang tipiskerempeng bak jerangkong menanggung derita.

Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja


Bursa Efek Jakarta, Tower 2 lobi depan. Jam 7 pagi. Manusia-manusia global penghuni kompleks perkantoran masih terbenam di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu lintas. TransJakarta yang penuh sesak. Three in one nan menyebalkan akibat dari sebuah metropolitan yang ketinggalan dalam sistem transportasi umum. Akhirnya menyisakan satu pilihan: macet di jalan atau berangkat pagi-pagi. Kupilih pilihan kedua, berangkat pagi-pagi. Lebih baik pagi datang ke kantor ketimbang dihajar kemacetan yang semakin luar biasa di Ibukota sebuah negeri elok bernama Jakarta . Starbucks Coffee menyempil di Tower 2 lobi gedung Bursa Efek Jakarta. Jam 7 pagi. Ketika waiter pertama kali membuka pintu dan para barista masih sibuk dengan racikan kopi. Kakiku langsung memasuki gerai kopi anak kandung dari budaya global. Selalu begitu ritual pagi di Starbucks Coffee. Waiter membuka pintu, barista meracik kopi, aku duduk di kursi belakang sebelah kiri. Di bawah poster ' the world history of coffee ." Secangkir espresso ditemani sepotong pastry . Ah, betapa eksotiknya. Lalu ritual pagi semakin eksotik ketika beberapa menit berikut muncul wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya: Anna Karenina Wijayanti. Nama yang mengingatkan aku pada novel besutan Tolstoy. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Anna biasa memilih cappuccino. Kesukaan lainnya espresso macchiato. Dan kesukaan Anna yang lain lagi; duduk di hadapanku. Menyibakkan rambut sebahunya. Memperlihatkan dua antingnya. Menyeruput cappuccinonya. Lalu Anna mulai membuka bibir. Bercerita apa saja. Mulai dari urusan politik lokal, sastrawan peraih nobel, harga minyak dunia yang tidak pernah stabil hingga diskon celana di Plaza Senayan. Seperti pagi ini. Blouse hitam berpasangan dengan celana panjang hitam. Sepatu berhak tinggi. Bau parfum estee lauder . Rambut dibiarkan tergerai sebahu. Secangkir cappuccino. Sepotong tiramisu. Anna menelanjangi wajahku. "Matamu masih merah. Apa semalaman pikiranmu berkelana sehingga bantal tidak mampu menyelamatkan kantukmu?" Anna membuka ritual percakapan pagi. " The Conch Bearer -nya Chitra Divakaruni. Membuat saya semalaman harus menyelesaikannya," kusebut buku terbaru karya sastrawati besar India . "Dua anak keturunan India - laki-laki dan perempuan - yang hidup di Amerika. Anak-anak imigran yang tidak tercerabut dari akar budayanya. Lalu Divakaruni membawa pembacanya ke dalam petualangan untuk belajar, menerima dan mengagumi budaya India. Sungguh luar biasa." "Aku juga sudah melahap dua novel Divakaruni, Sister of My Heart dan The Mistress of Spices . Memang luar biasa tuh si Diva." Anna melahap tiramisunya. Diaduk cappuccinonya. Lalu dua teguk masuk ke mulutnya. "Bukan hanya Divakaruni yang hebat. Prakash Rham juga luar biasa." Anna menyebut nama bosnya,"Saking hebatnya Rham, sampai-sampai perusahaan memberi dia rumah mewah di Permata Hijau dan Jaguar keluaran terbaru." Kali ini Anna menyindir bosnya. Alis matanya menaik. Tanda kata-katanya belum selesai. Kutunggu lanjutan kalimatnya. "Tapi mau apa lagi. Kapitalis-kapitalis global itu tetap lebih mempercayai orang-orang Asia Tengah dan Asia Timur ketimbang manusia-manusia lokal. Yah nasib warga negara dari sebuah negeri yang eksekutif dan legislatifnya selalu berkelahi." "Berkelahi itu bagian dari demokrasi, Saudariku. Apalagi demokrasi yang masih seumuran jagung. Tapi lumayanlah, ketimbang masa lalu. Legislatifnya mati di ketiak eksekutif," aku berucap.

Cangkir berisi espresso kuraih. Kunikmati tiga tegukan. Pembicaraan kemudian beralih. Dari sastra menjadi politik. "O ya, sekarang ada rumor ampuh yang ramai didiskusikan orang. Pemberantasan korupsi beserta produk-produk turunannya," kulanjutkan kalimatku, "Pembentukan komisi antikorupsi, kampanye polisi bersih, mengganyang mafia peradilan hingga memindah koruptor ke Nusakambangan." "Terlalu banyak program, Bung. Satu saja, fokus; kampanye polisi bersih. Hong Kong 25 tahun lalu mirip negeri ini. Banyak koruptor. Bertumbuh preman-preman berdasi. Kolusi penguasa dan mafia. Sampai penyelundupan yang direstui. Tapi apa yang dilakukan pemerintah Hong Kong ? Fokus pada satu hal, mencetak polisi bersih." Anna menimpali. "Analisismu luar biasa, kawan. Polisi Hong Kong sekarang merupakan polisi paling ramah di seluruh jagat." Espresso tinggal sepertiga cangkir. Kulirik jam tangan. Angka-angka digital menunjuk ke 07.52. Segera kuteguk habis sisa espresso. Anna setali tiga uang dengan polahku. Disambar habis tiramisunya. Diteruskan dengan menenggak habis sisa-sisa capucinno. Kami berbarengan meninggalkan Starbucks Coffee. Menuju pintu lift . Terbenam di dalamnya. Di lantai 21 Anna meloncat keluar. Menuju kantornya. Enam lantai berikut, di lantai 27. Di sini kantorku. Laptop kunyalakan. Jaringan internet kupasang. Memeriksa puluhan e-mail . Sebagian besar e-mail sampah. Sisanya e-mail yang layak dibaca dan dibalas. Setengah jam berikut, Tini, sekretarisku, membawa guntingan koran. Ada sepuluh kliping berita dan analisis. Semuanya tentang saham dan keuangan. Kuamati satu analisis. Kubaca judul tulisannya, "Merekayasa Laporan Keuangan: Tanggapan Atas Tulisan Agung Kusuma." Lalu kupelototi penulisnya, Anna K Wijayanti. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Menanggapi analisisku. Analisis tentang penggorengan saham yang dilakukan oleh perusahaan kliennya. Kuserang habis perusahaan klien Anna. Kutelanjangi intrik-intrik laporan keuangannya. Kubeberkan perkembangan nilai-nilai sahamnya yang nyaris tidak masuk akal. Pagi ini, gantian Anna membela habis-habisan kliennya. Bahkan pada tulisannya, aku disebut analis kacangan yang cuma mencari sensasi murahan. Lalu ditutup dengan kalimat pendek namun amat tajam. "Beginilah kalau tukang kayu mencoba menjadi pemain saham. Semua dianggap sebagai paku." Wow, luar biasa tanggapan wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya. Tulisan Anna kusimpan di laci. Nanti sore akan kubuat tulisan untuk menanggapi ulang analisis Anna. Kuraih guntingan koran lainnya. Kali ini direktur utama perusahaan yang kutelanjangi laporan keuangannya angkat bicara. Kulihat fotonya dengan jajaran direksi lain. Membuat konferensi pers. Isinya tunggal; menuntut aku. Tulisan-tulisanku tentang perusahaannya dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Harga saham perusahaan yang dalam seminggu terakhir meluncur jatuh dianggap karena ulahku. Aku dituntut mengganti rugi sebesar 100 miliar rupiah. Wah, luar biasa tuntutan perusahaan klien wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya. Dari mana akan kututup uang tuntutan sebesar itu? Sejenak berikut HP-ku berdering. Dari penyiar televisi. Katanya mau mewancarai aku. Tentang tuntutan perusahaan klien Anna. Jam dua belas tiga puluh wawancaranya. Kusetujui. Kliping koran selesai terbaca. Laptop yang tadi sibuk dengan e-mail sekarang berganti dengan angka-angka saham. Harga saham perusahaan klien Anna semakin meluncur. Aku tersenyum. Aku berkelana memelototi saham lainnya. A ha , ini dia saham incaranku. Perusahaan milik negara yang sedang sibuk dengan pergantian direksi. Bukan karena direksi lama tidak becus. Tetapi ada

pergantian penguasa. Direksi lama yang tidak punya cantolan politik terpaksa dilengserkan oleh penguasa baru. Saat yang tepat untuk membeli saham. Segera kuhubungi Daniel, mitraku. Dalam percakapan singkat langsung terjadi kesepakatan; memborong saham perusahaan itu. Tugas Daniel berikutnya menggoyang lantai bursa dengan rumor-rumor tentang direksi baru perusahaan milik negara itu. Ketika rumor sedang panaspanasnya, saat tepat untuk menjual saham. Tentu dengan harga yang berlipat-lipat. Luar biasa, dalam sekejap perusahaanku akan mendapat keuntungan mahabesar. Jam dua belas lebih tiga puluh. Aku sudah di depan kamera tivi. Membeberkan tentang skandal keuangan besar di tahun ini. Angka-angka ajaib laporan keuangan dari perusahaan klien Anna. Harga saham yang aneh. Setiap jam empat lebih lima puluh menit di hari Jumat pasti harga sahamnya terkerek tinggi. Aneh ini. Sepuluh menit lagi bursa saham di tutup. Kok selalu terjadi jual beli dengan angka fantastis. Tiga puluh menit di layar kaca. Bertubi-tubi telepon datang ke redaktur televisi. Sebagian besar memuji analisisku. Sebagian kecil memaki. Para pemaki ini pasti gerombolan manajemen perusahaan itu. Kemungkinan besar Anna ikut memaki aku. Kubayangkan bibir Anna marah-marah di ujung telepon. Kuimajinasikan wajah cantik Anna berubah buas memaki-maki aku. Ah, memaki pun Anna masih tetap ayu. Jam dua aku sudah terbenam dalam angka-angka saham. Segepok saham berinisial ATK masih tergenggam di tanganku. Kuajak diskusi Daniel. Kata Daniel, simpan dulu saham ATK. Dua hari lagi pasti akan terkerek harganya. Daniel, kupercayai nasihatnya. Jam tiga sore, tiba-tiba terjadi hiruk-pikuk di lantai bursa. Harga saham ATK yang aku kuasai dalam sekejap meluncur jatuh. Dari nilai Rp 1.575 turun tiga ratus poin menjadi Rp 1.275. Aku gelagapan. Nyaris berteriak. Semakin sore, mendekati penutupan, saham ATK semakin sakit. Lalu di ujung penutupan bursa, saham ATK terjun bebas sebanyak 520 poin. Harga saham menjadi Rp 1.055 per lembar saham. Imajinasi otakku langsung menghitung, ratusan juta melayang. Aku tepekur diam. Tanpa ekspresi. Nyaris mati. Kubiarkan Daniel yang mencoba membuat seribu alasan. Ratusan juta hilang dalam sekejap. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan peristiwa ini ke kantor pusat di New York sana ? Pikiranku kacau. Metabolisme di tubuhku tidak karu-karuan. Lunglai. Sebelum akhirnya sebuah suara keluar dari HP-ku. Suara wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya, " Frappucino cream atau iced latte ? Jangan dijajah pekerjaan. Kutunggu kau di Starbucks." " Iced latte !" segera kusahut suara Anna. Kuangkat tubuh. Kulangkahkan kaki. Di Starbucks Coffee, Anna sudah menunggu. Terhidang satu frappucino cream . Satu lagi iced latte . " Ada film bagus. Bintangnya Tom Cruise. The Collateral . Kau sudah nonton?" tanpa ditunggu Anna sudah membuka bibir begitu aku menaruh tubuh di hadapannya. "Belum. Hanya membaca resensinya saja.," langsung kuteguk iced latte . Senja hari. Apa yang lebih eksotik dibanding secangkir iced latte dan ditemani gadis ayu cerdas bernama Anna Karenina? "Sayang Tom Cruise tidak mendulang Oscar di film itu. Oh ya, tadi aku diberi buku kumpulan puisi. Kekasihku . Penulisnya satrawan lokal, Joko Pinurbo. Sudah baca?" Anna bertanya. Kugelengkan kepala. Lalu dikais isi laptop- nya. Buku warna hijau. Diserahkan kepadaku. Joko Pinurbo, sastrawan generasi baru nan luar biasa. Kulahap beberapa puisinya.

Senja semakin merangkak. Mentari menghilang berganti bulan. Bintang-bintang di langit bermunculan. Jam mendekati angka tujuh. Kuselesaikan iced latte -ku. "Anna, sudah jam tujuh. Three in one berakhir. Kita teruskan ngobrolnya besok pagi. Malam ini ada tulisan yang harus aku selesaikan. Terima kasih iced latte -nya," aku mengangkat tubuh. Sejenak kutatap Anna. Kusalami tangannya. Lalu kuangkat kaki. Dua langkah dari kursi, tiba-tiba Anna sedikit berseru. Kuhentikan langkah. Kubalikkan badan. "Hari ini sahammu hancur. Aku yang menghancurkan. Hari ini kamu kalah," Anna menelanjangi wajahku." "Dugaanku begitu. Pasti kamu yang melakukan. Hari ini aku memang kalah. Lalu?" kutanya Anna. "Orang kalah layak dihukum." Kubalikkan tubuh lagi,"Apa hukumannya?" Anna menelan ludah. Menelanjangi wajahku. Lalu bibirnya terbuka. Berbisik. Sebuah bisikan yang sudah lama aku tunggu-tunggu. "Malam ini, kau dihukum untuk menemani tidurku...." Anna Karenina Wijayanti. Hari ini menjadi pemenang. Pemenang yang menghukum pecundang. Sebuah hukuman nan elok. Akan kujalani hukuman itu.

Balada sang Korban


MALAM begitu gerah. Pak Salman gelisah. Becak yang selama ini merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi dia dan keluarganya akan dijual oleh juragannya. Alasannya, tidak lama lagi becak akan dilarang masuk Jakarta . Becak-becak yang ada akan dibersihkan dan dibuang ke laut. "Daripada dibuang ke laut, lebih baik dijual duluan ," kata sang juragan. Sepulang dari kerja, Pak Salman membaringkan tubuhnya yang berkeringat di dipan bambu. Pikirannya dikacaukan bayangan masa depan yang sesuram knalpot bus kota . Ya, bagaimana nanti kalau uang Rp 20 ribu di kantongnya sudah habis untuk makan sehari-hari? Sedang dia sudah tidak menarik becak lagi. Jalan satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah menjual barang-barang yang dia miliki. Tetapi kalau barang-barangnya sudah habis? Pak Salman melirik barang-barang yang dia miliki: sebuah televisi bekas 12 inci dan sebuah radio transistor dua band yang warnanya mulai legam. Hanya itu yang dapat dijualnya. Dia menaksir paling banter hanya laku sekitar Rp 90 ribu dan hanya bisa untuk makan sekeluarga selama setengah bulan. Setelah itu, mencari sesuap nasi saja mungkin akan sangat sulit. Anak-anaknya masih kecil. Istrinya tidak bekerja. Belum lagi untuk membayar sewa rumah bulanan. Untuk mencari pekerjaan lain dalam waktu singkat sangat sulit. Ijazah dia tidak punya. Membaca saja masih terbata-bata. Padahal Kota Jakarta makin dipenuhi orang pintar yang masih menganggur dan setiap saat selalu rebutan pekerjaan. Di kota yang makin padat ini orang seperti Pak Salman akan semakin tersisih. Dan dunia yang paling dekat dengan dia dan keluarganya adalah dunia gelandangan. Tidur di kolong jembatan, kalau masih ada tempat. Kalau tidak, terpaksa harus mau tidur di emper pertokoan Cina, pikirnya. Padahal, gelandangan juga makin banyak di Kota Jakarta. Tiap hari mereka meminta-minta di perempatan-perempatan jalan, di jembatan penyeberangan, di emper-emper pertokoan dan semakin berdesakan di kolong-kolong jembatan. Dia sangat ngeri membayangkan itu semua. Kepalanya terasa semakin berat dan napasnya semakin sesak. Mbok Kasmi, istrinya, heran melihat tingkah Pak Salman yang tidak seperti biasa itu. Biasanya sehabis pulang kerja dia langsung minum bergelas-gelas air putih dan makan nasi setengah bakul. Hari itu minum seteguk air pun tidak. Lebih heran lagi, Pak Salman berbaring lesu sambil melamun, menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya, dan matanya menatap ke langitlangit, seperti pemuda yang sedang patah hati. "Ada apa, Pak? Mbok ya makan dulu!" Mbok Kasmi memberanikan diri mendekati suaminya. Pak Salman masih bungkam. "Apakah kau sakit, Pak?" "Aku sangat bingung, Bu. Besok sudah tidak bisa narik beca lagi." "Lho, kenapa? Apa kau dikeluarkan?" Pak Salman menggeleng. "Semua beca Pak Parto akan dijual," katanya lesu. "Lalu kawan-kawanmu nanti akan kerja apa?" "Mana aku tahu, Bu. Mereka tadi pulang dengan membisu. Aku sendiri bingung, untuk selanjutnya akan kerja apa? Padahal bisaku hanya menarik beca. Sebetulnya aku ya diberi pesangon, tapi hanya dua puluh ribu. Uang segitu dapat untuk apa, Bu? Untuk makan tiga hari saja akan habis. Dan dalam waktu itu aku belum tentu mendapat pekerjaan lain."

"Ya, Pak. Bagaimana hidup kita nanti kalau kau tidak bekerja?" Pak Salman menggeleng dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Wajah Mbok Kasmi berubah sangat sedih. Pak Salman menyesal telah telanjur mengatakan kekhawatiran yang membayangi pikirannya. Air mata Mbok Kasmi menetes, air mata tua yang sedang berduka. "Sudahlah, Bu. Jangan menangis. Berdoa saja semoga dalam waktu beberapa hari aku sudah mendapat pekerjaan lagi." * Pak Salman sesungguhnya sudah ikhlas menerima nasib sebagai penarik beca walaupun hasilnya hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Meskipun kenyataannya cukup pahit, dia tetap bekerja dengan bersemangat dan gembira. Namun, ternyata Pak Parto, juragannya, punya rencana lain. "Bapak-bapak, sebetulnya aku tidak tega melakukan hal ini. Tapi demi kebaikan kalian, hal ini terpaksa kulakukan. Aku merasa kasihan melihat kerja kalian semakin sepi. Kalian semakin terdesak. Daerah bebas beca semakin diperbanyak, dan sebentar lagi akan diberlakukan di seluruh Jakarta. Ditambah lagi semakin banyak bemo dan angkot yang operasinya semakin merata ke jalanjalan kecil dan gang-gang, sehingga kita semakin tidak kebagian rezeki. Belum lagi kini kita juga harus bersaing dengan tukang-tukang ojek. Dan, yang lebih tidak dapat kita lawan, tidak lama lagi beca akan dilarang masuk Jakarta ," kata Pak Parto. "Karena itu, semua beca akan saya jual. Besok pagi akan diangkut ke Semarang semua dan kalian dengan sendirinya sudah tidak dapat menarik beca saya lagi. Uangnya akan saya pakai untuk tambahan membeli dua minibus dan akan saya operasikan di jurusan Jakarta-Bogor. Kalau di antara kalian ada yang dapat menyetir dan mempunyai SIM A, boleh mengoperasikannya. Tetapi sudah tentu saya hanya butuh dua orang sopir saja." Pak Salman dan kawan-kawannya hanya membisu ketika pidato itu diucapkan oleh Pak Parto di hadapan mereka. Ada yang hanya melongo memandang Pak Parto, sebagian ada yang hanya menatap langit kering karena musim kemarau, sebagian lagi hanya menunduk sambil memainmainkan jemari kakinya di tanah seperti anak kecil. Sudah setengah bulan lebih Pak Salman menjadi penganggur. Setiap pagi dia ke luar rumah untuk mencari pekerjaan, tetapi sorenya selalu pulang dengan tubuh lesu karena harapannya tidak tergapai. Dan hari ini uangnya hanya tinggal lima ribu rupiah. Televisi bekas dan radionya pun sudah ia jual di pasar loak Taman Puring. Itu berarti besok dia sudah tidak punya uang lagi. Dia hanya berani membawa dua ribu rupiah untuk ongkos mencari pekerjaan. Sisanya diberikan kepada istrinya untuk makan sehari. Kalau hari ini dia tidak berhasil mendapat uang dan pekerjaan, besok istri dan kelima anaknya tidak akan bisa makan lagi. Sebelum berangkat Pak Salman memandangi anak-anaknya. Yang masih kecil sedang digendong ibunya, yang nomor dua dan tiga sedang bermain-main di teras rumah sewanya yang sempit, dan satu lagi yang paling besar sudah berangkat ke sekolah. Dengan memandang anak-anaknya, semangat Pak Salman timbul kembali. Pak Salman sudah sangat jauh berjalan. Uang di sakunya sudah ludes untuk naik bus kota dan minum aqua di pinggir jalan. Dia merasa sangat lelah. Jalan-jalan raya sudah ditelusurinya semua. Bahkan dia sudah keluar masuk gang. Tetapi setiap mendatangi kantor, toko, pabrik, warung makan, dan rumah orang kaya, selalu disambut dengan perkataan: tidak ada lowongan kerja. Banyak pula yang mengatakan kelebihan tenaga. Dia sangat sedih menghadapi kenyataan itu.

Saat berjalan sambil melamun, hujan tiba-tiba turun dari langit yang mendung sejak siang tadi. Pak Salman cepat-cepat berlari ke teras rumah yang lebar. Dia berteduh di situ. Di sekelilingnya tampak sepi, kecuali orang-orang yang berlarian masuk ke rumah masing-masing. Hujan semakin deras, disertai angin yang cukup kencang. Pak Salman menggigil. Dia tidak dapat melanjutkan langkahnya untuk mencari pekerjaan. Hujan keparat, umpatnya dalam hati. Dengan tajam dia menatap air hujan yang jatuh dari langit, lalu menatap langit yang kelam sambil sekali-sekali mengumpat. Kali ini dia betul-betul merasa benci pada hujan. Hatinya sangat marah. Tetapi hujan tetaplah hujan. Dia punya aturan sendiri untuk turun ke bumi. Tadi Pak Salman juga sudah mencoba nimbrung pada para calo bus antarkota untuk ikut membagi rezeki, tapi dengan kasar mereka mengusirnya. Lalu dia juga mencoba ikut mengatur parkir mobil di depan pertokoan Cina, tapi seorang lelaki bertubuh besar dan berwajah berewok segara mengusirnya. Bahkan dia hampir ditempeleng ketika ngotot tetap berada di tempat itu. "Ini lahan gue, wilayah gue! Pergi lu!" bentak lelaki berewok itu, kasar. Pak Salman marasa seperti orang yang betul-betul terusir dari tanah airnya sendiri. Dia ingat pada anak-anak dan istrinya di rumah. Dia bertambah sedih. Dia pun ingat pada kata-kata Pak Parto yang terakhir: kalian jangan khawatir. Saya yakin, kalian akan segera mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pada penarik beca. Di sini banyak tersedia lapangan kerja. Semoga kalian tidak menjadi penarik beca lagi, hidupnya pahit! Pak Salman sangat benci pada kata-kata itu kini. Dia juga sangat benci pada Pak Parto. Dia merasa tertipu oleh kata-katanya. Dia juga semakin membenci keadaan, membenci Kota Jakarta. Sangat benci. Syukur dia belum membenci negaranya sendiri, sehingga tidak memilih menjadi pemberontak. Deras hujan agak berkurang. Sekitar rumah tempat Pak Salman berteduh masih tampak sepi. Dia menengok ke dalam rumah itu, juga tampak sangat sepi. Tetapi anehnya pintu rumah itu tidak dikunci, bahkan sedikit terbuka. Dia mengamati isi rumah itu. Tampak barang-barang berharga tergeletak di situ. Ada pesawat TV yang cukup besar, jam dinding, tape recorder , dan yang paling menarik hatinya adalah arloji berwarna emas yang tergeletak di atas meja. Jam itu tentu harganya sangat mahal, pikirnya. Jam itu bagai membisikkan sesuatu ke telinganya. Pak Salman pun ingat keluarganya yang sebentar lagi akan kelaparan. "Seandainya aku dapat mengambil jam itu dan menjualnya, tentu saat yang mengerikan itu dapat tertunda lebih lama lagi dan aku mempunyai peluang dan ongkos untuk mencari pekerjaan lagi. Dan mungkin dalam jangka waktu itu aku akan mendapat pekerjaan." Pikiran Pak Salman bekerja keras. "Tapi bagaimana cara mengambilnya? Ah mudah sekali. Aku dapat melangkah dengan pelan-pelan ke meja itu, mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Ya, jam tangan itu saja, tak usah banyak-banyak. Persetan dengan benda-benda lainnya. Tapi bagaimana nanti kalau ketahuan?" Ia berpikir kembali. "Ah, kenapa tiba-tiba aku ingin jadi maling? Betapa terkutuknya!" Pak Salman teringat lagi pada anak-anak dan istrinya di rumah, mereka mulai besok pasti sulit untuk mendapatkan sesuap nasi. Dia memandang berkeliling. Masih sepi. Ia memandang kembali pada arloji berwarna emas di atas meja. Pertentangan dalam batinnya semakin menghebat. Tetapi jam tangan itu semakin kuat mengundangnya. Pak Salman tiba-tiba sudah berada di depan meja tempat arloji berwarna emas itu tergeletak. Dia memandang ke seluruh penjuru angin. Tidak ada orang lain di ruangan itu. Cepat-cepat dia mengambil arloji berwarna emas dan secara kilat memasukkannya ke saku celananya. Dengan dada berdegup keras dia berbalik untuk cepat-cepat berlalu. Tetapi tiba-tiba pintu kamar depan terbuka. Dua anak muda muncul dan berteriak garang, "Maliiiing!"

Pak Salman kaget dan geragapan. Dia berbalik ke arah dapur, tapi dari sana muncul pula seorang ibu dan dua orang lelaki. Pak Salman betul-betul terkepung. Betapapun dia tidak ingin tertangkap. Dia nekat menabrak dua pemuda tadi, tetapi mereka terlalu perkasa baginya. Tangan Pak Salman tertangkap. Dia berontak dan terpaksa melayangkan tinjunya ke muka pemuda yang menangkap tangannya. Pemuda itu terhoyong-hoyong mundur. Namun tiba-tiba sebuah tinju yang amat keras bersarang di pelipis kirinya, disusul dengan tinju-tinju lainnya. Mata Pak Salman berkunangkunang. Secara samar-samar Pak Salman melihat beberapa orang memasuki rumah itu, dan bertambah banyak lagi. Mereka beramai-ramai mengeroyok dan menghajarnya. Untuk selanjutnya dia hanya merasakan pukulan-pukulan semakin gencar menghujani kepala dan tubuhnya. Bukan pukulanpukulan tinju saja, tapi juga benda-benda keras dan amat keras menghujani tubuhnya. Kemudian dia ambruk. Kepalanya menghantam lantai dengan keras. Pandangannya menjadi gelap. Semakin gelap. Gelap sekali. * Di rumah sewanya yang kumuh, Mbok Kasmi gelisah. Sampai jam sepuluh malam suaminya belum pulang. Dia khawatir terjadi apa-apa dengan sang suami. Mungkinkah dia sudah mendapat pekerjaan dan malam ini harus kerja lembur? Syukurlah kalau begitu. Tapi bagaimana kalau dia mengalami kecelakaan di jalan? Atau mungkin dia bunuh diri karena putus asa? Mbok Kasmi semakin gelisah, sampai seseorang mengetuk pintu rumahnya, seorang polisi. Dia semakin khawatir saja. "Ibu istrinya Pak Salman?" tanya polisi itu setelah duduk di kursi kayu. Mbok Kasmi hanya mengangguk. "Apa kerja suami Ibu?" "Menarik beca? Tapi sudah setengah bulan tidak bekerja. Becanya dijual sama yang punya," jawab Mbok Kasmi dengan sorot mata penuh tanda tanya. Polisi itu menatap Mbok Kasmi agak lama. "Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak tega, tapi ini harus saya katakan pada ibu. Suami ibu meninggal di rumah sakit." "Ha! A... apa? Suami saya mati? Oh...!" Dada Mbok Kasmi bagai terpukul godam dengan amat keras. Jiwanya betul-betul terguncang. Pandangannya semakin kabur dan kacau. Kursi kayu yang didudukinya bagai bergoyang hebat. Dia tidak kuat lagi dan ambruk menimpa Pak Polisi. Pingsan!

Badai Laut Biru


SIANG itu sangat terik. Matahari membakar pantai berpasir hitam hingga terasa membara. Tiangtiang layar perahu bagai gemetaran dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau tua itu bagai menari-nari di bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam rutinitas, mengikuti kehendak sang alam. Di atas pasir hitam, tak jauh dari sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang keras. Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental. Karena guncangan itu, keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya yang sedang berdiri di geladak, merapikan letak tali layar perahu dan jaring-jaring ikan. Melihat Kardi kepayahan, lelaki di geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi dan mengambil alih keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir lunglai. Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua tangannya yang kekar dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi sudah tidak kuat mengangkat tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya, menarik tangan Kardi sampai berhasil naik ke geladak. "Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau pingsan," ejek Salim. Kardi hanya tersenyum pahit sambil terus merebahkan tubuhnya di pinggir geladak. Perahu mereka sesungguhnya sudah sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak Ruslan, yang sudah mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam orang lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai tukang masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar kira-kira enam meter. Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan sudah banyak tambalannya, namun mereka belum sempat menggantinya dengan layar yang baru. Kardi masih berbaring di pinggir geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding perahu. Dia bagaikan tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas matahari menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa dibakar sinar matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki kulit tubuh yang kuning seperti ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang lalu. Kardi masih ingat betul ketika itu memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi dan wajah simpatik. Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang tergolong berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis keturunan Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama kegagalannya meraih cita-cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning kulitnya. Direnggut sang waktu. Selama dua tahun dia pun berusaha mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya, namun hasilnya nihil. Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik sang ayah sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib, kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya, dia pasrah saja. Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran.

"Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak Ruslan dari haluan. Kardi kaget dan segera bangkit. Dia melihat seseorang telah terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu yang terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya dengan menarik tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung hitam bergumpalan. Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih tampak bersinar, condong ke ufuk barat. Dayung-dayung berkecimpung dan perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju ke arah timur laut, semakin ke tengah dan terus ke tengah. "Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan berganti arah," teriak Pak Ruslan. Seorang awak perahu memanjat tiang layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang awak perahu yang lain melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali layar membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para awak perahu mencari keseimbangan. "Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten lagi. Juru mudi segera menekankan sirip kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu. Kardi dan Salim membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-lahan membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang. Jala-jala yang berwarna biru tua mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan yang memakan umpan, kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul tenggelam di permukaan air itu tertarik menurut larinya ikan. Tarikan dan gerakan pengapung itu kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah dan perlahan, tergantung pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan dengan cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan menghentakhentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan lebih pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap. Jala-jala yang dipasang di kanan kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau berkali-kali apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya. Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya. Perahu tua itu masih melaju dengan tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu, memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam, Matahari timbul tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut yang semakin tampak biru. Ikan-ikan kecil banyak berloncatan di kanan kiri perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang-kadang masuk ke geladak perahu. Kardi mengambil sebungkus rokok dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim. Salim melolos sebatang, dan dijepitkan di belahan bibirnya.

"Tumben kau membawa jarum super!" " Kan kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut rokok, mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap rokok itu buyar di koyak-koyak angin laut. "Kalau hasil kita begitu terus enak, ya." "Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang panen ikan baru seminggu saja sudah abis, dan hasil kita tidak selalu banyak. Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-apa. Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi. "Sekarang kan sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di daerah kita." "Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja beroperasi di daerah kita." "Apakah kita tak pernah lapor tentang pelanggaran-pelanggaran mereka?" "Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang-kadang bahkan menjadi alat penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh." "Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan tragedi pembunuhan?" "Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa orangnya yang tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok oleh orang lain? Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita sudah bentrok dengan para perampok itu." "Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya semakin membuat kita tidak berdaya." "Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita sehingga kita semakin tidak berdaya, kecuali hanya memendam kejengkelan yang semakin mendalam." Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu masih melaju dengan tenang. Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit. "Kau tidak lapar, Lim?" "Lapar sih lapar, tapi itu dewimu belum selesai memasak. Rukmi, sudah masak belum? Ini Romeomu suda kelaparan!" Salim berolok-olok, Kardi cuma senyum-senyum saja. "Sebentar lagi!" teriak Rukmini dari dalam gubuk. Akhir-akhir ini Salim dapat mengetahui adanya hubungan batin antara Kardi dan Rukmini. Salim sering melihat pada saat-saat senggang Kardi dan Rukmini duduk berdua di buritan atau di emper gubuk. Salimpun dapat menangkap bahwa Rukmini selalu memberikan pelayanan yang istimewa kepada Kardi. Meskipun kadang-kadang dengan agak malu-malu. Secara tak sengaja Salim pernah memergoki Kardi sedang mencium Rukmini di belakang gubuk perahu seperti Slamet Raharjo

mencium Christine Hakim dalam film Cinta Pertama yang pernah mereka tonton. Mesra dan lembut. "Lim, menurutmu Rukmini itu bagaimana?" "Cakep. Hitam manis," jawab Salim singkat. "Ya, tentu saja hitam manis. Mana ada gadis nelayan yang kuning langsat seperti model iklan bedak di tivi." "Ada saja." "Siapa?" "Gigimu." "Bah! Memangnya gigimu selalu kau pepsodent. Aku serius lho, Lim. Maksudku, aku cocok tidak dengan dia?" "Cocok sekali. Tir pada irenge , sir pada jalitenge . Ya, sama-sama hitamnya. Kalau menjadi satu semakin kelam seperti kepala kereta api kuno." "Jangan berkelakar, Lim. Ini sungguh-sungguh." "Memangnya aku tidak sungguh-sungguh." "Begini Lim, umurku dua puluh dua tahun, sedangkan umurnya baru enam belas tahun." "Selisih enam tahun. Selisih umur yang bagus untuk suatu perkawinan." "Kau sok tahu saja." Salim tertawa kecil. Perahu mulai memasuki daerah sarang ikan. Para awak perahu mulai sibuk melayani alat-alat penangkap ikan. Kardi dan Salim menceburkan diri ke dalam kesibukan itu. Ada sebuah Pukat Harimau yang sedang beroprasi di situ. Padahal daerah itu termasuk daerah terlarang bagi pukat harimau. Ketika kedua perahu itu berdekatan, Pak Ruslan bertepuk tangan dengan keras lalu mengacungkan kepalnya dengan maksud agar sang pukat harimau segera menyingkir dari tempat itu. Rupanya sang pukat harimau tahu diri. Perahu itu segera menyingkir ke tengah. Para awak perahu Kardi semakin sibuk dengan ikan-ikan yang tertangkap jala dan kail mereka. Dua keranjang sudah hampir penuh ikan. Dalam kesibuk-an itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pukat harimau tadi yang melaju dengan cepat dari timur laut ke arah perahu mereka. Pak Ruslan segera berdiri dan menanti apa maksud perahu itu. Ketika sang pukat sudah sangat dekat dengan perahu Kardi, seseorang yang sedang berdiri di haluannya berteriak keras, "Cepat tinggalkan tempat ini! Pesawat radar kami mengisyaratkan bahwa badai akan melanda tempat ini!" Pak Ruslan hampir tidak percaya dengan berita itu. Kardi menatap langit. Langit telah berubah menjadi kelam dengan medung hitam yang bergumpalan tebal berarak ke selatan. Langit seperti mau runtuh. Pak Ruslan segera melihat berkeliling. Dia melihat tanda-tanda yang aneh. Laut di sekeliling perahunya tampak tenang tanpa ombak sedikitpun. Bagai laut mati. Dia yang sudah berpengalaman segera memberi perintah: "Cepat kita tinggalkan tempat ini! Badai betul-betul akan datang!"

Para awak perahu bagai tersentak. Semua segera kembali ke bagiannya masing-masing. Haluan diputar. Kemudian dengan dibantu dayung-dayung, perahu segera dilaju ke barat daya. Namun terlambat. Suara gemuruh sekonyong-konyong datang dari arah timur laut. Angin mendadak menerpa sangat keras, disertai ombak yang semakin besar menghantami dinding perahu mereka tanpa kenal ampun. Perahu tua itu terguncang-guncang keras. Dengan susah payah mereka menggulung layar untuk menghindari amukan angin. Tapi angin kencang lebih kuat menghantamnya. Layar tua itu terkembang kembali dengan keras bagai dihentakkan. Perahu hampir terbalik. Dan "kreeekk," layar tua itu robek. Perahu terayun-ayun keras bagai sepotong papan yang tak berarti, lalu perlahan-lahan miring ke kanan dan seluruh isi geladak tiba-tiba terlempar ke laut. Pak Ruslan dengan sigap melemparkan ban-ban dan pelampung. Kardi terbanting ke geladak dengan keras ketika sedang berusaha mengambil sebuah ban yang tergantung di ujung buritan. Rukmini dengan wajah pucat berpegang erat pada tinag pintu gubuk. Ia mejerit keras ketika tiang layar di depannya patah diterjang angin dan terempas ke buritan. Dan, "brruuuaaakk!" gubuk reyot di atas perahu itu pun dihempaskan angin dan roboh menghantam dinding parahu. Bersamaan dengan itu, Pak Ruslan yang masih berpegangan pada dinding perahu berteriak keras: "Selamatkan diri kalian masing-masing. Perahu akan terbalik. Bersamaan dengan itu pula Kardi meloncat ke laut. Namun, begitu mendengar jeritan Rukmini, dia segera berbalik dan merangkak naik kembali ke perahu. Separo tubu Rukmini tertindih pagar yang roboh tadi. Kardi mengangkat pagar itu. Rukmini merangkak keluar. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Pada detik-detik yang menegangkan itu, dengan cepat Kardi menarik tubuh Rukmini untuk bersama-sama meloncat ke laut yang bergelombang besar. Ketika keduanya masuk ke air, Rukmini terlepas dari pegangannya dan tenggelam ditelan ombak. Dengan mata dan tangannya dia mencaricarinya. Sepintas dia melihat perahunya terbalik. Pada saat terakhir itu Pak Ruslan meloncat ke laut. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Kardi melihat Rukmini muncul dari dalam air dengan gelagapan. Dia cepat-cepat mengejarnya dan dia berhasil mengepit tubuh Rukmini dengan tangan kirinya. Lalu berenang dengan susah payah. Rukmini lemas. "Aku tidak bisa berenang lagi, Mas. Rasanya kakiku ada yang patah." "Kuatkan hatimu, Rukmi. Berdoalah semoga badai segera reda dan pertolongan segera datang." "Tubuh Kardi juga semakin lemas. Dia hanya dapat berusaha untuk mengambang saja di permukaan air. Untung badai semakin reda. Namun dia menyadari bahwa kekuatannya sangat terbatas. Mungkin sebentar lagi tenaganya habis dan tentu saja akibatnya sangat fatal kalau pertolongan tidak segera datang. Kardi ngeri memikirkan itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kayu atau ban yang terapung di sekitarnya yang dapat digunakan untuk tempat bertumpu. Pada saat itu Pak Ruslan juga sedang berjuang mati-matian. Dengan susah payah ia berhasil menjebol selembar papan geladak perahu yang telah terbalik dan dengan selembar papan tersebut dia bermaksud mencari anaknya. "Kardi. Rukmini. Syukurlah kalian masih hidup. Papan ini hanya cukup untuk kalian berdua. Pakailah." Pak Ruslan memberikan papan itu pada mereka. "Pak Ruslan bagaimana?"

"Jangan pikirkan diriku yang sudah tua begini. Kalian masih punya harapan hidup yang panjang. Selamatkan anakku!" Pak Ruslan meninggalkan mereka, berenang menembus ombak, dan hilang dari pandangan mereka. Melihat itu, Rukmini menelungkupkan mukanya ke atas papan dan menangis sejadi-jadinya. Sekitar setengah jam kemudian, badai benar-benar reda dan laut pun kembali tenang. Kapal pukat harimau tadi mendekati mereka dan mengangkat keduanya. Sampai di geladak keduanya pingsan. Seperempat jam kemudian Kardi membuka matanya. Salim sudah berjongkok di sampingnya sambil tersenyum-senyum. Rukmini juga terbangun dan duduk bersandar pada dinding perahu. "Oh, Lim. Di mana kita sekarang?" "Di atas pukat harimau. Kita tidak jadi masuk akherat." "Di mana Pak Ruslan dan yang lain?" "Jangan khawatir. Semuanya selamat. Cuma kau dan dewimu yang pingsan. Maklum, kalian memang bukan pelaut sejati." "Kalau tadi Pak Ruslan tidak memberikan selembar papan kepada kami entah kami sudah jadi apa. Mungkin telah tenggelam berdua dimakan hiu. Dia memang betul-betul seorang kapten yang bertanggung jawab." "Ya.... Untung tadi aku kebagian sebuah ban. Nah, sekarang kusarankan padamu. Cepat-cepatlah nikahi Rukmini. Jangan berpacaran di tengah laut lagi, agar tidak dikutuk Dewa Laut seperti tadi." Kardi cuma tersenyum kecut. Rukmini tersipu-sipu. Dengan cengar-cengir Salim lantas meninggalkan mereka menuju buritan.

Anda mungkin juga menyukai