Anda di halaman 1dari 62

Robohnya Surau Kami

AA Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada
simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan
sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di
depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang
tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga
surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari
sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia
mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu.
Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi
sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah
pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka
minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.
Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta
tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling
sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan
tinggallah
surau
itu
tanpa
penjaganya.
Hingga
anak-anak
menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang
disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka
mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang
sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat
perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa
bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di
jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan
yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek

begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak


menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolaholah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu
yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan
pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku
melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya
seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau
itu. Dan aku tanya Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama
aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang
mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan
bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia
begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar
baginya ialah karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi
model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada
saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku
ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak,
dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin
berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut
kamin sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah
yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi.
"Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini,
menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua
menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau
imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama
aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama
aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang
sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi
memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah
berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal
padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan?
Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku?
Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah
membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan
pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak,
punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri.
Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin,
kuserahkan
kepada
Allah Subhanahu
wataala. Tak
pernah
aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi
kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan
kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama
hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena
aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya
yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku
sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca KitabNya. Alhamdulillah kataku
bila
aku
menerima
karuniaNya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku
kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan
Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam
hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan
ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek
bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah
memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di
samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala
manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana
ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang
yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja,
karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua
tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan

menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk


neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat
orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak
mengatakan selamat ketemu nanti. Bagai tak habishabisnya orang yang
berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang.
Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia
menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
Engkau?
Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.
Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau
di dunia.
Ya, Tuhanku.
apa kerjamu di dunia?
Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.
Lain?
Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut
nama-Mu.
Lain.
Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembahMu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit,
nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan
kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.
Lain?
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia
kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu
ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah
menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia
termenung
dan
menekurkan
kepalanya.
Api
neraka
tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi
setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
Lain lagi? tanya Tuhan.
Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi
Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu. Haji Saleh yang sudah kuyu
mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan
pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak
salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: Tak ada lagi?
O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.
Lain?

Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku
katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.
Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang
kauceritakan tadi?
Ya, itulah semuanya, Tuhanku.
Masuk kamu.
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh
tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di
kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temantemannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia
tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang
dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada
salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar
syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa
mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang
itu pun, tak mengerti juga.
Bagaimana Tuhan kita ini? kata Haji Saleh kemudian, Bukankah kita di
suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita
kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkanNya ke neraka.
Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita
semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat, kata salah seorang
diantaranya. Ini sungguh tidak adil.
Memang tidak adil, kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.
Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke
neraka ini.
Benar. Benar. Benar. Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana? suatu suara
melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.
Kita protes. Kita resolusikan, kata Haji Saleh.
Apa kita revolusikan juga? tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia
menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
Itu tergantung kepada keadaan, kata Haji Saleh. Yang penting sekarang,
mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.
Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita
perolah, sebuah suara menyela.
Setuju. Setuju. Setuju. Mereka bersorak beramai-ramai. Lalu mereka
berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, Kalian mau apa?


Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan
dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai
pidatonya: O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini
adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat
menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu,
memuji-muji kebesaranMu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lainlainnya.
Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami
membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah Engkau
panggil kami kemari, Engkau memasukkan Kami ke neraka. Maka sebelum
terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang
cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang
Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan
dalam Kitab-Mu.
Kalian di dunia tinggal di mana? tanya Tuhan.
Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.
O, di negeri yang tanahnya subur itu?
Ya, benarlah itu, Tuhanku.
Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai
bahan tambang lainnya, bukan?
Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami. Mereka mulai
menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di
wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah
silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa
di tanam?
Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.
Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?
Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.
Negeri yang lama diperbudak negeri lain?
Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.
Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke
negerinya, bukan?
Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat
mereka itu.
Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu
berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya,
bukan?

Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu.
Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.
Engkau rela tetap melarat, bukan?
Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.
Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?
Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar
mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.
Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke
hatinya, bukan?
Ada, Tuhanku.
Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi
antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri
yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena
beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang
aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau
kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti
masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah
mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh
ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah
atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja
pada malaikat yang menggiring mereka itu.
Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di
dunia? tanya Haji Saleh.
Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi
engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan
anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka
sedikit pun.
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang
memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa
aku tak pergi menjenguk. "Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja.
Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek
tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala
peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana
dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."

Sepotong Senja Untuk Pacarku


Seno Gumira Ajidarma
Alina tercinta, Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja
dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan.
Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja
di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet

batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak
sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang
berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih
yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal
yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu
akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi
kenyataan. Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop
yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang
lebih dari sekedar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina,
dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan
menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah
kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan
selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di
dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang
lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan katakatanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa
makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa
diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta.
Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerahmerahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama
seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke
balik cakrawala. Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan
padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu. Sore itu aku
duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari
waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan
alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah
sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada
debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan
langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir
tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya. Kemudian tibatiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan
aku tiba-tiba teringat padamu. barangkali senja ini bagus untukmu,
pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat
sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa
abadi dan aku bisa memberikannya padamu. Setelah itu aku berjalan
pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya
karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita.
Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan
yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di
sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang
langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini
memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke

mana-mana. Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang


datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena
senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang, Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti
itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat
seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku. Dia yang mengambil senja itu!
Saya lihat dia mengambil senja itu! Kulihat orang-orang itu melangkah ke
arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
Catat nomernya! Catat nomernya! Aku melejit ke jalan raya. Kukebut
mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu
untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh
mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di
dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi
cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya
senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga
mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke
angkasa. Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja
telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat
potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah
paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana
kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing?
Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual
di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah
waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak
pedagang asongan di perempatan jalan. Senja! Senja! Cuma seribu
tiga! Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena
semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di manamana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya
keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota,
tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota
kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam.
Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting
untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya
demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi. Sirene polisi
mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi
peringatan. Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658
A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa
senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai
terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip
dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan
sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu selukbeluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang

gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia
yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah. Satu mobil
terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung,
dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas
terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil.
Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa
lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memakimaki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit
semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah
senja ini kuserahkan Alina. Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang
kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku
tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa
senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung
bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak
ada gorong-gorong yang terbuka. Mobilku sudah kutinggal ketika
memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah
tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga
reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang
tak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Masuklah, katanya tenang,
disitu kamu aman. Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada
tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah.
Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter
dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain. Dan gelandangan itu
mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Goronggorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri
di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi
tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya
yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan.
Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga.
Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu.
Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi
lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat
anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka
berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan
kebahagian. Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan.
Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina. Di
ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke
bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin
benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus
membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah
kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi
sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina.

Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?


tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak
bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos.
Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama. Aku berjalan ke
tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu
saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang
berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir
membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri
melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam
bahasa? Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah
semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke
sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong
melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya
burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan
membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja.
Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir
Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa
membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus
pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan
senja. Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau
Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala
itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan
kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku,
menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali
menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih. Sampai di atas, setelah
melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan,
dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi.
Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik
sambil meniup saksofon. Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir
dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil
mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua
senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan
cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan
cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas
dengan kecepatan penuh Alina kekasihku, pacarku, wanitaku. Kamu
pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari
gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas.
Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos. Aku ingin
mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang
sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu. Kini
gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan
datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa

gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya


ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya
sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja
untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga
akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh
seseorang kepada pacarnya. Alina yang manis, paling manis, dan akan
selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari
seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan
dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau
tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi. Dengan ini kukirimkan
pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat,
dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

Jawaban Alina
Seno Gumira Ajidarma

Sukab yang malang,


Senja yang kau kirimkan sudah kuterima, kukira sama lengkap seperti
ketika engkau memotongnya di langit yang kemerah-merahan itu, lengkap
dengan bau laut, desir angin dan suara hempasan ombak yang memecah
pantai. Ada juga kepak burung-burung, lambaian pohon-pohon nyiur
dalam kekelaman, sementara di kejauhan perahu layar merayapi
cakrawala dan melintasi matahari yang sedang terbenam. Aku pun tahu
Sukab, senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya akan berakhir
dalam keremangan menyedihkan, ketika segala makhluk dan benda
menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan. Kita sama-sama tahu,
keindahan senja itu, kepastiannya untuk selesai dan menjadi malam
dengan kejam. Manusia memburu senja kemana-mana, tapi dunia ini fana
Sukab, seperti senja. Kehidupan mungkin saja memancara gilanggemilang, tetapi ia berubah dengan pasti. Waktu mengubah segalanya

tanpa sisa, menjadi kehitaman yang membentang sepanjang pantai.


Hitam, sunyi dan kelam.
Rupa-rupanya dengan cara seperti itulah dunia mesti berakhir. Senja yang
engkau kirimkan telah menimbulkan bencana tak terbayangkan. Apakah
engkau tahu suratmu itu baru sampai sepuluh tahun kemudian? Ah,
engkau tidak akan tahu Sukab, seperti juga engkau tidak akan pernah
tahu apa yang terjadi dengan senja yang kau kirimkan ini. Senja paling
taik kucing dalam hidupku Sukab, senja sialan yang paling tidak mungkin
diharapkan manusia.
Senja ini baru tiba setelah sepuluh tahun, karena tukang pos yang jahil itu
rupanya penasaran dengan cahaya merah kemas-emasan yang
memancara dari amplop itu Sukab. Cahaya itu telah mengganggunya
semenjak ia menggenjot sepeda dari kantor pos, berkilau-kilau dan
memancar di tas surat yang tergantung di boncengan sepeda, begitu rupa
sehingga cuaca siang hari menjadi kacau, angin menderu dan ombak
terdengar menghempas-hempas, meskipun ia bersepeda mendaki bukit
kapur. Demikianlah, maka ia suatu ketika berhenti. Dari dalam tas itu
terdengar suara-suara, ia buka tas itu, dan ia melihat amplop Federal
Express yang sudah tidak putih lagi melainkan merah keemas-emasan
Sukab, seperti senja dengan matahari terbenam di balik cakrawala.
Tukang pos itu mengambil amplop tersebut, menimang-nimangnya, agak
berat juga. Maklumlah bukankah amplop itu berisi senja Sukab? Senja
dengan matahari merah membara yang turun perlahan-lahan di balik
cakrawala, seperti semua senja yanga ada di balik kartu pos, tapi yang
kamu kirim itu bukan kartu pos Sukab, yang kau kirim itu senja di tepi
pantai dengan hempasan ombak, bau laut dan angina yang asin. Kamu
pikir berapa ton beratnya pasir di sepanjang pantai itu Sukab? Kira-kira
sedikit dong! Masih lumayan tukang pos itu kuat menggenjot sepedanya
mendaki bukit kapur. Busyet. Kalo anak-anak kecil tahu ada matahari
terbenam di dalam amplop itu lantas bagaimana? Kau tahulah sukab,
anak-anak di daerah bukit kapur begini tidak punya mainan yang anehaneh seperti di kota. Mereka hanya tahu kambing dan kerbau, ikan dan
belut, sungai dan jagung. Nasi saja jarang meraka sentuh. Anak-anak
yang tidak pernah tahu mainan robot berjalan dengan cahaya didadanya
berkedip-kedip pasti akan penasaran sekali dengan cahaya senja yang
memancar berkilauan., berkilauan merah dan keemas-emasan itu Sukab.
Mereka tidak pernah melihatnya Sukab, karena tukang pos itulah yang
telah mendahului meraka. Ia menimang-nimang bungkusan berisi senja
itu, mendengar-dengarkan, dan akhirnya mengintip. Tentu saja didalam
amplop itu dilihatnya senja Sukab. Senja terindah yang paling mungkin

berlangsung di muka bumi. Ia mengintip dan terpesona. Ia buka amplop


itu. Sebetulnya menurut kode etik profesi itu tidak boleh. Tapi manusia
manapun bisa melakukan kesalahan bukan? Ia buka terus amplop itu, dan
melihat senja dengan langit merah kemas-emasan didalam sana, dan
melihat mega-mega berpencar seperti perahu di danau, memebrikan
perasaan nyaman dan tenang. Siapa yang tidak suka merasa nyaman
dan tenang di dunia Sukab, di sebuah dunia yang miskin masih
bersimbah darah pula? Maka jangan salahkan tukang pos itu Sukab, jika ia
kemudian menjadi begitu penasaran dan memasuki senja yang
terbentang. Tidak ada yang tahu apa nasib waktu(1). Ketika anak-anak
akhirnya berkerumun di sekita sepeda yang tergeletak itu, mereka hanya
melihat cahaya senja yang kemerah-merahan yang semburat membakar
langit. Amplop itu hanya bocor sedikit, tapi akiatnya sudah begitu rupa. Ini
semua gara-gara kamu Sukab.
Sukab yang malang, bodoh dan tidak pakai otak,
Sepuluh tahun lamanya tukang pos itu mengembara didalam amplop, kita
tidak pernah tahu apa yang diklakukanya disana. Apakah dia kawin,
beranak pinak, dan berbahagia? Atau selama itu dia hanya duduk saja
memandang matahari terbenam dengan perasaan kehilangan, sementara
langit yang tadinya merah keemas-emasan perlahan-lahan menggelap
kebiru-biruan aku juga tidak tahu bagaimana caranya menikmati senja
di dalam amplop Sukab, sebuah ruang yang sungguh-sungguh terdiri dari
waktu. Apakah waktu bisa diulang atau bagaimana, aku belum pernah
memasuki senja di dalam amplop. Atau, apakah didunia ini sebetulnya
seperti didalam amplop ya Sukab, dimana kita tidak tahu apa yang berada
di luar diri kita, dimana kita merasa hidup penuh dengan makna padahal
yang menonton kita tertawa-tawa sambil berkata, Ah, kasihan betul
manusia. Apakah begitu Sukab, kamu yang suka berkhayal barangkali
tahu. Tapi aku tidak mau khayalan, aku tidak mau kira-kira, meskipun
usaha kira-kira itu begitu canggihnya sehingga disebut ilmiah, aku mau
tahu yang sebenarnya. Apakah ada yang menyaksikan kita sambil
tertawa-tawa? Kalau iya, apalah artinya hidup kita ini sukab? Tidakkkah
nasib manusia memang seperti ikan, yang diternakkan hanya unutk
mengisi akuarium diruang tamu seseorang yang barangkali juga tidak
teralalu peduli kepada makna kehidupan ikan-ikan itu?
Aku tidak pernah tahu, tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dialami
tukang pos itu didalam amplop, sampai ia keluar sepuluh tahun kemudian
dengan wajah bahagia. Ia sudah sepuluh tahun menghilang didalam
amplop, tapi ia tidak tampak betambah tua. Apakah waktu di dalam
amplop tidak bergerak? Tepatnya apakah senja didalam amplop tidak

berhubungan dengan waktu? Apakah tidak ada waktu di dalam amplop


Federal Express itu? Hmm. Apakah aku harus peduli dengan semua ini
sukab, apakah aku harus peduli? Kamu betul betul merepotkan aku Sukab,
dasar lelaki tidak tahu diri.
Sukab yang malang, goblok dan menyebalkan,
Kamu tahu apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Tukang pos itu tiba
di depan rumah kami. Ya, rumah kami. Setelah sepuluh tahun banyak
yang terjadi dong Sukab, misalnya bahwa kemudian aku kawin, beranak
pinak dan berbahagia. Jangan kaget. Dari dulu aku juga tidak mencintai
kamu Sukab. Dasar bego dikasih isyarat tidak mau mendengarkan. Sekali
lagi, aku tidak mencintai kamu. Kalau toh aku kelihatan baik selama ini
padamu, terus terang harus ku katakana sekarang, sebetulnya aku cuma
kasihan. Terus terang aku kasihan sama kamu Sukab, mencintai begitu
rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak mencintai kamu.
Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Sukab, pakai otak dong sedikit,
hanya dengan begitu kamu akan selamat dari perasaan cintamu yang
tolol itu. Tapi bukan cinta taik kucing ini yang sebetulnya ingin ku
ceritakan padamu Sukab. Soal cinta ini sama sekali tidak penting.
Kamu harus tahu apa akibat perbuatanmu ini Sukab, mengirim sepotong
senja untuk orang yang sama sekali tidak mencintai kamu. Tahu apa
akibatnya? Begitu tukang pos itu pulang, setelah menceritakan kenapa
kiriman Federal Express bisa terlambat sepuluh tahun, kubuka amplop
berisi senja itu, dan terjadilah semua ini. Apa kamu tidak tahu Sukab,
senja itu meski cuma sepotong, sebetulnya juga semesta yang utuh?
Kamu kira matahari terbenam itu besarnya seperti apa? Seperti apem?
Kalau sepotong senja itu di dalam amplop terus sih tidak apa-apa, tapi ini
keluar dan lautnya membludag tak tertahankan lagi. Bagaimana aku tahu
amplop itu berisi senja Sukab? Aku bukan pengkhayal seperti kamu.
Hidupku penuh dengan perhitungan yang matang. Aku tahu betul untung
rugi setiap perbuatan, terutama apa untung ruginya untuk diriku sendiri.
Betapa pentingnya hidupku selamat, demi suamiku dan anak-anakku.
Pura-puranya aku ini juga perempuan yang setia. Itu pula sebabnya,
sebelum maupun sesudah kawin aku tidak sudi berhubungan dengan
kamu Sukab. Lagi pula aku tidak mencintai kamu. Mau apa? Tapi kamulah
yang tidak tahu diri, mengirim senja tanpa kira-kira. Dunia ini jadi
berantakan tahu? Berantakan dan hancur lebur tiada terkira.
Setelah amplop itu kubuka dan senja itu keluar, matahari yang terbenam
dari senja dalam amplop itu berbenturan dengan matahari yang sudah
ada(2). Langit yang biru bercampur aduk dengan langit yang kemerahmerahan yang terus menerus berkeredap menyilaukan karena cahaya

keemas-emasan yang menjadi semburat tak beraturan. Senja yang


seperti potongan kue menggelegak, pantai terhampar seperti permadani
di atas bukit kapur, lautnya terhempas langsung membanjiri bumi dan
menghancurkan segala-galanya. Bisalah kau bayangkan Sukab,
bagaimana orang tidak panik dengan gelombang raksasa yang tidak
datang dari pantai tapi dari atas bukit?
Air bah membanjiri bumi seperti jaman Nabi Nuh. Dunia menjadi gempar,
tidak semua perahu yang ada cukup untuk seluruh umat manusia kan?
Lagipula sampai kapan kapal dan perahu itu bisa bertahan? Tiada satu
kota pun yang selamat, lautan dari senjamu yang membuat langit merah
membara itu menghempas dan membanjiri bumi dengan cepat sekali.
Gedung-gedung pencakar langit di setiap kota besar di seluruh dunia,
gunung-gunung tertinggi di muka bumi, semuanya terendam air. Sukab,
bumi ini sekarang sudah terendam air. Dimana-mana air dan langit senja
tak kunjung berubah menjadi malam. Segalanya kacau Sukab, gara-gara
cintamu yang tak tahu diri.
Sukab yang malang, paling malang, dan akan selalu malang,
Aku menulis surat ini dengan kertas dan pena terakhir di dunia, di atas
puncak himalaya. Di depanku ada senuah sampan kecil dengan sepasang
dayung dan sebungkus supermi. Itulah makanan terakhir di muka bumi.
Sisa manusia yang menjadi pengembara lautan di atas kapal dan perahu
telah mati semua, karena kehabisan bahan makanan maupun mayat
teman-temannya sendiri. Manusia memang banyak akal, tapi menghadapi
senja dari dalam amplop itu tidak ada jalan keluar. Banyak orang
mempertanyakan diriku, kenapa aku membuat dirimu begitu cinta
menggebu-gebu, padahal cinta secuil pun juga tidak, sehingga kamu
mengirimkan sepotong senja itu kepadaku, dan tumpah ruah membanjiri
bumi. Tapi coba katakan, tapi itu bukan salahku toh Sukab? Aku tidak mau
disalahkan atas bencana yang menimpa umat manusia. Mengapa cinta
harus menjadi begitu penting sehingga kehidupan terganggu? Ini bukan
salahku.
Air laut kulihat makin dekat, setidaknya setengah jam lagi tempat aku
menulis surat ini sudah akan terendam seluruhnya. Aku akan naik perahu,
mendayung sampai teler, makan supermi mentah, lantas menanti maut.
Akan ku kirim kemana surat ini? Barangkali kamu pun sudah mati Sukab.
Semua pengembara di lautan sudah mati. Sedangkan di puncak tertinggi
di dunia ini tinggal aku sendiri, dari hari kehari memandang senja yang
selesai, dimana matahari tidak pernah terbenam lebih dalam lagi.
Semesta dalam amplop itu telah menjadi pemenang dalam benturan dua
semesta, namun semesta dalam amplop itu cuma sepotong senja,

sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi. Kalu aku mati
nanti, bumi ini akan tetap tinggal senja selama-lamanya. Dengan
matahari terbenam separuh yang tidak pernah turun lagi. Langit merah
selama-lamanya, lautan jingga selama-lamanya, tetapi tiada seorang
manusia pun memandangnya. Segenap burung sudah punah karena
kelelahan terbang tanpa henti. Tinggal ikan-ikan menjadi penguasa bumi.
Di kejauhan, ku lihat Ikan Paus Merah yang menjerit dengan sedih.

Sukab,
Aku akan mengakhiri surat ini, akan ku lipat menjadi perahu kertas, dan
ku layarkan ke laut lepas. Buakn tidak mungkin surat ini akan terbaca
juga, entah bagaimana caranya, namun siapa pun yang menemukannya
akan membaca kesaksianku. Jika tidak, aku pun tidak tahu apa nasib
waktu(3). kupandang senja yang abadi sebelum melipat surat ini. Betapau
semua ini terjadi karena cinta, dan hanya karena cinta betapa besar
bencana
telah
ditimbulkannya
ketika
kata-kata
tak
cukup
menampungnya. Kutatap senja itu, masih selalu begitu, seprti
menjanjikan suatu perpisahan yang sendu.
Selamat berpisah semuanya. Selamat tinggal.
Alina

Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta


Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah
gelisah.
Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.
Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya
memberengut, sambil melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang
tidak bias berbicara tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun, sungguh
terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30
menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum
itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?
Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang
menelepon dengan wajah gelisah itu memang terlihat berusaha menahan
suaranya, tapi rupanya perasaannya berteriak lebih keras. Menjadi tidak
penting lagi baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau tidak.
Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak
selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacarpacarmu.
Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat
arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu
tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan
wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan tersendatsendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan jawaban yang
kurang berkenan.
Aku cuma salah satu di antara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-

wanita itu, aku tidak ada artinya bagimu.


Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh
cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan.
Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku, katanya.
Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan
bunyi ck yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan
menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya,
melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu
lain.
Terlalu!
Sudah setengah jam.
Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi
sekarang jadi tanggung!
Berapa lama lagi dia selesai?
Ini sudah setengah jam.
Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.
Saya cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.
Saya juga cuma sebentar, tapi penting sekali.
Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa
celaka.
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah
menjadi jauh lebih keras.
Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu
kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!

Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya


percakapan masih akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau
setelah itu masih juga bicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena
pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42
menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa
memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu.
Namun, yang sudah terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika
pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-sabarkan.
Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin
kamu memang cinta, kamu memang sayang, kamu memang selalu
memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan aku? Katakan padaku
kamu cinta, cinta, cinta
Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang
menelepon dengan wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya
tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa
menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang
gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang
panas terik yang melelehkan aspal jalanan.
Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah
dunia fantasi.
Pemandangan ini agak melegakan para pengantri. Pasangan yang
bercinta di telepon biasa memutuskan percakapan mereka pada saat-saat
terbaik. Mata wanita itu menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu
ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah
dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang
yang menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.
Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.
Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang
mengerutkan dahi. Alangkah memabukkannya cinta yang bergelora itu.
Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang lama.
Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?
Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik
merayumu?
Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?

Masih cintakah kamu pada istrimu?


***
Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.
Masih cintakah kamu pada istrimu?
Meluncur lagi satu koin.
Gila! Hampir satu jam! Seseorang berteriak dengan marah.
He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.
Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning,
sengaja memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil
mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada
yang diteleponnya.
Sebentar, sebentar.
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada
pengantre yang terdekat dengannya.
Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentar saja.
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah
berbisik, maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.
Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?
Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan
tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
Kamu masih tidur dengan dia?
Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin
kencang berhembus. Daun-daun berguguran.

Kamu kok bisa, sih? Kamu terga sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak
mencintai aku.
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak
peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.
Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang
lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan
ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena
cinta.
Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai
dua orang sekaligus?
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan
sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta
yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang
wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang
wanita?
Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di
mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang
yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di
seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah
menjadi gelisah?
Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya
cinta?
Jeglek! Tuuuuuuttt
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh
dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu
dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan
setengah memaksa. Pengantri yang lain pun mendekat dengan wajah
mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun
peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya

dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali,


meskipun hujan kini turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap
menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia
masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.

SARMAN
Seno Gumira Ajidarma

Ceritakanlah padaku tentang kejenuhan, kata Alina pada juru cerita itu.
Maka Juru cerita itu pun bercerita tentang Sarman:
Pada suatu hari yang cerah, pada suatu hari gajian, Sarman membuat
kejutan. Setelah menerima amplop berisi uang gaji dan beberapa
tunjangan tambahan, dan setelah menorehkan paraf, sarman termenungmenung.
Tak
lama.
Ia segera berteriak dengan suara keras.
Jadi, untuk ini aku bekerja setiap hari, ya? Untuk setumpuk kertas sialan
ini, ya?!
Ia berdiri dengan wajah tegang. Tangan kirinya mengenggam amplop,
tangan kanannya menuding-nuding amplop itu, dan matanya menatap
amplop itu dengan penuh rasa benci.
Kamu memang bangsat! Kamu memang sialan! Kamu brengsek! Kamu
persetan! Memble! Aku tidak sudi kamu perbudak! Aku menolak Kamu!

Kantor yang sehari-harinya sibuk, sejuk, saling tak peduli, dengan musik
yang lembut itu, pun mendadak jadi gempar.
Lho ada apa Man? Kok pagi-pagi sudah nyap-nyap?
Eh, Sarman kenapa dia?
Jangan-jangan ia belum makan.
Kesurupan barangkali.
Man! Sarman! Sabar man! Nanti kamu dimarahi!
Tapi Sarman tidak hanya berhenti disini. Ia melompat ke atas meja. Ia
robek amplop cokelat itu. Ia keluarkan uang dari dalamnya. Ia robek
bundel uangnya. Dan sebagian uangnya ia lemparkan ke udara.
Nih! Makan itu duit! Mulai hari ini aku tidak perlu di gaji! Dengar tidak
kalian!? Tidak perlu digaji! Aku akan bekerja suka rela, tetap rajin seperti
biasa! Dengar tidak kalian monyet-monyet?!
Berpuluh-puluh uang lembar Rp 10.000,- berguling-guling di udara
dihembus angin AC. Kantor itu seperti dikocok-kocok. Para pegawai tanpa
malu-malu berebutan uang gaji Sarman. Pria maupun wanita saling
berdesak, bersikutan, dorong mendorong, berlompatan meraih rejeki yang
melayang-layang diudara. Mereka cepat sekali memasukkan uang itu
sekenanya dalam kantong bajunya. Lantas pura-pura tidak tahu.
Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya, map-map
yang bertumpuk, mesin tik, segelas the, bahkan foto keluarganya ia
tending melayang. Layer monitor computer pun pecah digasaknya
Sarman! Kamu gila!
Sarman melompat dari meja ke meja denganr ingan seperti pendekar
dalam cerita silat. Ia tendang semua barang-barang di atas meja
karyawan-karyawan lain, sambil terus memaki-maki. Tak jelasa benar apa
yang
dimaki.
Dalam waktu singkat, kator yang terletak di tingkat 17 itu pun
berantakan. Sekretaris-sekretaris wanita menjerit: Aaaa! Dan para
karyawan pria memperlihatkan jiwa pengecut mereka, tidak berani
berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap Sarman melempar-lempar
lagi sisa uang yang dipegangnya. Dan Sarman bukannya tak tahu.

Kalian mau uang? Ha? Kamu mau uang? Sukab! Kamu mau uang? Nih!
Kamu mau uang? Nih! Kalian semua mau uang? Nih! Nih! Nih! Makan!

Sambil masih melompat dari meja ke meja, Sarman, melempar-lemparkan


uang ditangannya. Para karyawan berubah jadi serangga yang mengikuti
kemanapun Sarman pergi. Suasana kantor sungguh menjadi hingar
bingar. Wajah karyawan-karyawan itu seperti kucing kelaparan. Mereka
berebutan dengan rakus. Yang sudah melompat, jatuh terdorong. Yang
menubruk uang dilantai, diseret kakinya. Tidak sedikit uang robek dalam
pergulatan. Tarik menarik, cakar-mencakar, tendang-menendang, tanpa
pandang bulu.
He, kalian masih mau uang lagi? tanya Sarman sambil berdiri di atas
meja kepala bagian. Mereka serentak menjawab.
Mauuu!
Sarman tersenyum. Keringat menetes didahinya. Ia longarkan dasi yang
mencekiknya.
Baik! Tapi kalian harus berteriak Hidup Uang! Hidup Uang! Setuju?
Setujuuuuu!
Maka, seperti pemain softball melempar bola, Sarman pun segera
melemparkan lagi segepok uang ditangannya. Uang itu berhamburan
diudara, menari-nari bagaikan salju khayalan di hari Natal pada panggung
sandiwara. Mata para karyawan dan karyawati berbinar-binar dengan
riang, mulut mereka menganga, wajah mereka menujukkan semangat
tekad bulat yang sangat mengharukan.
Serbuuuu! teriak mereka bersamaan. Pertarungan pun dimulai kembali.
Kini mereka berebutan bagai pemain disuah pesta. Mereka tertawa
terkikik-kikik. Saking asyiknya, mereka lupa bahwa banyak kancing baju
mereka yang lepas, sepatu copot, rok tersingkap, dan rambut terburaiburai. Sarman berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Ia melompat dari
meja ke meja sambil bersalto. Ruangan riuh dengan yel, meskipun tidak
terlalu serempak, karena mereka berteriak sambil berebutan uang di
udara dan dikolong-kolong meja: Hidup Uang! Hidup Uang!
Mendadak muncul Kepala Bagian. Ia diam saja di pintu, menatap
bawahan-bawahannya berpesta pora. Wajahnya disetel supaya

berwibawa. Lantas ia melangkah seperti tak terjadi apa-apa, menuju ke


mejanya.
Mula-mula para pegawai itu tidak tahu, mereka masih berebut sambil
tertawa-tawa. Namun yang tahu segera terdiam, dan kembali ke mejanya,
pura-pura bekerja. Padahal mejanya sudah berantakan dikacaukan
sarman.
Lambat laun semuanya tahu kehadiran kepala bagian. Mereka mundur
dengan tersipu-sipu. Tangan mereka kedua-duanya menggenggam uang.
Sisa uang bertebaran di lantai, di kursi, di meja, di bak sampah,
bercampur tumpahan kopi dan gelas yang pecah. Kertas-kertas terserakserak, morat-marit, kacau-balau, kata peribahasa seperti kapal pecah.
Sarman masih berdiri di salah satu meja. Rambutnya kacau, wajahnya
buas seperti binatang tersudut, pakaianya yang biasa rapi, dan sepatunya
yang berkilat-kilat, kini kumal. Kepala bagian hampir tak mengenali
Sarman, karyawan paling rajin dan kedudukannya menanjak dengan
cepat.
Coba, tolong jelaskan apa artinya semua ini, ujarnya kemudian, dengan
sabar, tapi tetap tegas.
Semua terdiam. Tapi mata mereka semua tertuju kearah Sarman, yang
masih terengah-engah, menjulang diatas meja. Dalam sunyi, musik yang
lembut terdengar lagi, namun tak membuat suasana menjadi dingin.
Pandangan kepala bagian akhirnya pun tertuju pada Sarman.
Sarman apakah kamu bisa turun dari atas meja itu? Tanyanya.
Bisa pak, tapi saya tidak mau.
Kenapa?
Jawabnya panjang sekali Pak, tidak perlu saya jelaskan.
Kenapa tidak? Kita bisa membicarakanya diruangan lain dan
Tidak Pak! Jangan coba-coba merayu! tukas Sarman, Hari ini saya
menolak gaji, menolak bekerja, menolak menuruti Bapak. Pokoknya
menolak apa saja yang seharusnya terjadi! Saya tidak suka keadaan ini!
Saya benci!
Kepala Bagian mendekat, dengan wajah
menenangkan pegawai kesayangannya itu.

kebapakkan

ia

mencoba

Apakah kamu mau cuti Sarman? Kamu boleh ambil cuti besar, cutilah
satu bulan. Kamu sudah bekerja sepuluh tahun.
Tapi Sarman malah menjejak meja, menendang sisa tumpukan kertas di
meja itu, lantas melompat lagi ke meja lain. Seorang wanita yang duduk
disitu terpaku dengan ketakutan, tidak berani bergerak.
Jangan mendekat! Saya sudah coba jelaskan mulai hari ini saya menolak
apa saja! Mengerti tidak? Saya menolak apapun kemauan kalian!
Kepala bagian itu sebetunya ingin marah, dan mengusir Sarman, tapi
Sarman terlalu penting untuk perusahaan. Lagi pula alangkah tak layak
memecat seorang pegawai yang sangat berjasa seperti Sarman.
Sementara itu berdatanganlah para karyawan dari bagian lain. Kejadian
itu begitu cepat tersebar. Beberapa petugas keamanan memasuki
ruangan. Mereka akan bertindak, tapi Kepala Bagian menahan.
Tunggu! Biar saya yang mengatasinya! Saya kenal dia, saya kenal dia,
Sarman anak buah saya selama bertahun-tahun.
Maka petugas-petugas keamanan pun hanya sibuk dengan HT mereka.
Telepon berdering disalah satu meja, memecahkan keheningan, tapi
Sarman keburu melompat kesana dan menendangnya. Ia masih
menggenggam sebundel uang. Gajinya memang termasuk tinggi di kantor
itu. Maklumlah ia sudah bekerja disana selama sepuluh tahun.
Untuk apa kamu lakukan semua ini Sarman? Untuk apa? tanya Kepala
Bagian.
Itu sama sekali tidak penting!
Lantas kamu mau apa, aku sudah menawarkan cuti besar, langsung
mulai hari ini, tunjangannya bisa kamu ambil hari ini juga. Kamu juga
boleh pakai hotel milik perusahaan kita di Bali, pakai Vila kantor kita di
Puncak, pergilah dengan tenang biar kami selesaikan pekerjaanmu. Terus
terang, selama ini kami memang terlalu
Apa? Cuti? Cuti kata Bapak tadi? Ujar Sarman sambil meletakkan tangan
ditelinga, Cuti besar setelah sepuluh tahun bekerja. Cuti? Ha-ha-ha-ha!
Cuti? Hua-ha-ha-ha! Cuti besar lantas masuk lagi, dan bekerja sepuluh
tahun lagi? Huaha-ha-ha! Hua-ha-ha-ha! Ambillah cutimu Pak!
Dan Sarman dengan lompatan karate menerjang jendela. Jendela tebal di
tingkat 17 itu tidak langsung pecah. Sarman meninjunya beberapa kali
sampai
tangannya
berdarah,
lantas
ia
mengambil
kursi,

mengahantamkannya ke jendela, barulah jendela itu pecah. Angin yang


dahsyat menyerbu masuk kantor. Kertas-kertas berterbangan. Sarman
melompat ke jendela. Siap melompat kebawah. Orang-orang gempar dan
menjerit-jerit.
Sarman! Jangan bunuh diri Sarman!
Jangan akhiri hidupmu dengan sia-sia Sarman! Iangat anak istrimu! Ingat
orang tuamu dikampung! Ingat Sahabat-sahabat kamu!
Sarman! Pakai oatakmu! Gunakan Akal sehatmu! Hidup ini cukup
berharga! Hidup ini tidak sia-sia!
Sarman yang sudah menhadap kejalan raya berbalik, sambil menendang
sisa kaca di kusen jendela, ia berteriak dengan marah.
Bangsat kalian semua! Bangsat! Sudah sepuluh tahun aku bangun tiap
pagi dan berangkat dengan tergesa-gesa ke kantor ini! Sudah sepuluh
tahun aku berangkat pagi hari dan pulang sore hari melalui jurusan yang
sama. Sudah sepuluh tahun aku memasukkan kartu absen di mesin
keparat itu tiap pagi dan sore! Sudah sepuluh tahun aku melakukan
pekerjaan yang itu-itu saja delapan jam sehari! Sudah sepuluh tahun! Dan
akan berpuluh-puluh tahun lagi! Memang aku dibayar untuk itu dan
bayaran itu tidaklah terlalu kecil! Ini bukan salah kalian! Ini juga bukan
salah perusahaan! Ini semua hanya omong kosong! Mengerti tidak kalian
monyet-monyet? Ini semua Cuma omong kosong!
Sarman sudah gila, bisik seseorang.
Kenap sih dia bisa begitu? desis yang lain.
Semua ini Cuma lewat dan berlalu seperti debu!
Sarman
masih
terus
nerocos,
Apa kalian masih ingat angka-angka yang kalian tuliskan kemarin? Apa
kalian masih ingat kalimat-kalimat yang kalian tulis kemarin? Apakah
kalian masih ingat nama-nama pada daftar relasi kita kemarin? Apa kalian
masih ingat nomer-nomer mobil kantor kita yang baru? Apa kalian masih
ingat nama-nama pegawai baru kita? Apa kalian masih ingat nama kawankawan kita yang sudah keluar dari perusahaan ini? Apa kalian masih ingat
nama gombal-gombal yang selalu kita beri komisi? Begitu banyak, begitu
dekat, tapi alangkah tidak berarti. Kita semua memang gombal! Aku jug
acuma gombal! Jadi, sudahlah, jangan repot-repot! Besok kalian akan

lupakan kejadian ini! Lenyap hilang seperti debu! Seperti gombal di pojok
gudang! Seperti oli di lantai bengkel! Seperti sekrup.
Sementara Sarman masih terus berpidato, para petugas keamanan tidak
kehilangan akal. Mereka memanggil petugas pemadam kebakaran, tapi
kedatangannya menimbulkan geger.
Mana yang kebakaran Pak?
Bukan kebakaran!
Ada apa?
Ada orang mau bunuh diri!
Di mana?
Tuh!
Syahdan diketinggian tingkat 17, tampaklah jendela yang terbuka itu
menganga. Sarman tampak kecil, tapi jelas, menghadap kedalam sedang
berteriak-teriak. Orang-orang yang sedang berada dibawah berhenti,
menatap kesana. Mobil-mobil juga berhenti. Jalanan macet. Dengan
mendadak, Sarman jadi tontonan. Beberapa orang menggunakan
teropong. Bahkan ada yang memotret dengan lensa Tele. Petugas
pemadam kebakaran membentangkan jala. Tangga mobil pemadam
kebakaran, yang Cuma 40,9 meter, diulurkan. Semprotan air disiapkan,
untuk menaha laju kejatuhan tubuh Sarman, kalau jadi melompat. Jalanan
macet total. Helikopter polisi merang-raung diudara. Para penonton duduk
di atap mobil. Beberapa orang bertaruh dengan jumlah lumayan, Sarman
jadi bunuh diri atau tidak. Namun kru televisi terlambat datang.
Jalan lain untuk mencegah Sarman juga diambil. Di Helikopter polisi itu
terdapatlah keluarga Sarman, istri Sarman dan anaknya yang bungsu.
Sarman, lihat itu anak istrimu! teriak para karyawan dalam gedung.
Ya, itu anak istrimu! Ingatlah mereka Sarman! Jangan berbuat nekad!
Sarman! Sarman! Aku istrimu Sarman! Aku mencintai kamu! Anak-anak
juga mencintai kamu! Jangan melompat Sarman! teriak istrinya sambil
menangis, Suaranya menggema lewat penegeras suara di celah raungan
helikopter.
Bapak! Bapak! seru anaknya.

Sarman berbalik. Dilihatnya wanita itu melambai dengan air mata tumpah
ruah. Hatinya tercekat. Ia ingin melambai kembali. Seperti dilakukannya
setiap pagi ketika berangkat kantor. Namun ini mengingatkannya pada
segepok uang yang masih digenggamnya. Sarman kumat lagi. Tapi dari
dalam kantor, dua petugas kemanan merayap perlahan ke jendela.
Ingat anak-anak kita Sarman! Mereka mebutuhkan kamu! Ingat ibumu, ia
mau datang minggu ini dari kampung! Sarman, o Sarman, jangan
tinggalkan aku Sarman! teriak istrinya lagi.
Apa? Pulang untuk ketemu kamu?! Ketemu dengan segenap tetekbengekmu?! Pulang utnuk menemui segenap omong kosongmu?! Kamu
tidak pernah mau tahu perasaanku! Kamu Cuma tahu kewajibankewajibanku!
Kamu
Cuma
tahu
ini!
Sarman mengacungkan uang ditangannya,
Kamu Cuma tahu ini kan?!
Bukan begitu Sarman, aku tidak bermaksud begitu, kamu salah sangka
Sarman, aku
Ini uang kamu! Makan!
Dan Sarman melempar ratusan ribu rupiah ke udara. Uang ditangannya
sudah habis. Lembaran-lembaran uang itu berteberan ditiup angin,
berguling-guling dan berkilauan dalam siraman cahaya matahari.
Sarman, o Sarman Istrinya menangis tersedu-sedu. Anaknya hanya
bisa berteriak,
Bapak! Bapak!
Angin masih bertiup kencang diketinggian itu. Sarman melihat uang
gajinya berguling-guling melayang kebawah. Kertas-kertas itu belum
sampai tanah. Masih melayang-layang menyebar. Orang-orang dikantor
yang ada ditingkat bawah dari kantor Sarman terkejut melihat uang
berterbangan di udara. Dibawah anak-anak maupun orang dewasa
bersiap-siap menangkap uang itu. Suasana sangat meriah. Sarman
termenung.
Sekilas
terlintas
untuk
megakhiri
sandiwara
ini.
Saat itulah kedua petugas keamanan yang merayap, tiba di jendela. Salah
seorang meyergap, berusaha merangkul Sarman, namun gerakkan yang
abru pertama kali ia lakukan dalam hidupnya itu kurang sempurna.
Sarman malah jadinay terpeleset, ketika membuat gerakan refleks
menghindar. Petugas itu hanay mencengkeram sepatu sarman.

Orang-orang dibawah berteriak histeris. Oarang-orang dalam gedung


berebutan melongok dari jendela.tubuh sarman meluncur. Dalam jarak
yang cukup jauh Sarman sempat berpikir, sandiwaranya kini menjadi
kenyataan. Dengan gerak mirip tarian, tubuh Sarman menembus sebaran
uang kertas yang belum juga sampai kebumi. Di bawah, pemadam
kebakaran telah membentangkan jala penyelamat lebar-lebar. Empat
selang memancarkan air dengan keras ke atas.
Apakah Sarman akhirnya bisa diselamatkan? desak Alina yang sudah
tidak sabar.
Oh, itu sama sekali tidak penting Alina, jawab si juru cerita, Itu sama
sekali tidak penting.

Dongeng Sebelum Tidur

Jadi, mereka tidur sambil memandang rembulan, Mama?


Ibunya hanya tersenyum, memandang keluar jendela. Ada rembulan di
luar sana.
Kututup gordennnya Sari?
Biarkan begitu Mama, aku ingin memandnag rembulan itu, seperti
mereka.
Ibunya menahan sesuatu yang hampir dikatakannya. Lantas mengecup
pipi Sari.
Selamat tidur Sari.
Selamat malam Mama.
Lantas ibunya mematikan lampu, menutup pintu, meninggalkan Sari
sendirian. Sari memiringkan kepalanya, matanya berkedipi-kedip
memandang
rembulan.
Ia
sama
sekali
tidak
bisa
tidur.
Malam ini cerita ibunya lain sama sekali. Barangkali karena simpanan
cerita ibunya sudah habis. Dari ibunya Sari telah mendengar hampir
semua cerita. Sejak berumur lima tahun, ibunya biasa bercerita sebelum
tidur, karena kalau tidak, Sari tidak bisa tidur. Kini Sari sudah berumur
sepuluh tahun. Sudah sekitar 1825 cerita didengarnya, dan semua

menempel baik-baik di kepala Sari yang terlatih ia tidak mau


mendengarkan
cerita
ulangan.
Ibunya, seorang wanita karier yang sibuk, sesibuk-sibuknya tetap
berusaha menceritakan sebuah dongeng kepada anaknya sebelum tidur.
Jika ia berada di luar kota, atau di luar negeri, ia menelpon tepat pada
waktunya untuk bercerita. Kalau ia mesti mengadakan perjalanan
panjang, dengan pesawat terbang semalam suntuk misalnya, ia
meninggalkan dongengnya dalam rekaman. Ibunya itu bisa bercerita
dengan menarik, habis dulunya suka main sandiwara sih. Sari sungguh
beruntung.
Tapi setelah selama lima tahun bercerita setiap malam, persediaan
ceritanya habis. Ia sudah menghabiskan kisah seribu satu malam, ia
sudah mengingat-ingat sebisanya semua fable Aesop, bahkan juga cerita
wayang lengkap dengan carangan-carangannya, tapi tak juga ia temukan
satu saja yang belum diceritakannya kepada Sari.
Barangkali aku sudah mulai tua, keluhnya pada sopir.
Ah, tua bagaimana sih Nyonya, yang menaksir juga masih banyak gitu
kok.
Huss!
Bener lho, itu kata sopir-sopir temen saya.
Aku ini ditaksir supir-supir?
Bukan begitu Nyonya, sopir-sopir itu menceritakan kembali omongan
tuannya.
Jadi yang naksir aku tuan-tuan mereka?
Iya!
Hmmhh! Orasudi!
Lho, siapa yang bilang harus sudi?
Apa mereka tidak tahu kalau aku ini punya suami?
Lha itu, makanya!
Makanya kenapa?
Malah kepingin!

O, dasar gemblung!
Orang Jakarta kan memang gemblung Nyonya.
Ah, sudahlah, yang jelas aku ini baru bingung, kehabisan cerita buat Sari.
Anak itu kok ya hafal semua cerita yang sudah kuceritakan. Bingung aku.
Coba, semua versi cerita Asal Mula Padi dari Jawa,Bali, Lombok, sampai
irian sudah kuceritakan, aku tidak bisa mengingat cerita apa-apa lagi
sekarang. Katak Hendak Jadi Lembu sudah. Burung Punguk Merindukan
Bulan sudah. Calon Arang sudah. Bandung Bandawasa sudah.
Sangkuriang sudah. Asal Mula Gunung Batok juga sudah. Aku sudah tidak
punya cerita lagi, sudah lupa, sudh tua, apa kuputerin laser-disc saja,
kuputerin Beauty and the Beast begitu?
Lho jangan Nyonya, dongeng seorang ibu sebelum tidur itu lain dengan
laser-disc yang mekanis, diputar untuk siapapun keluarnya sama, Nyonya
boleh saja canggih, tapi harus tetap jadi manusia. Bercerita kepada anak
tetap harus ada hubungan personal.
Eh, kamu kok pinter?
We lha, jelek-jelek gini kan droup-out dari universitas lho Nyonya.
Wah universitas mana?
Salatiga!
Universitas Salatiga? Droup-out apa dipecat?
Aduh Nyonya, mbok jangan menyindir.
Siapa yang menyindir? Kamu yang merasa sendiri kok!
Sebelum tiba di rumah, sopir yang jebolan universitas itu berhasil
meyakinkan ia punya majikan, agar mengarang saja cerita untuk Sari. Ibu
Sari setuju. Masalahnya, ia tidak merassa bisa mengarang. Pandai
bercerita tidak harus berarti pandai mengarang bukan?
Tapi aku tidak bisa mengarang.
Ah, kalau Cuma cerita menarik, di koran juga banyak.
Itu bukan cerita kan Nyonya, maksud saya juga bisa diceritakan?
Apa ada berita menarik di koran?

Mobil sudah hampir sampai rumah.


Aduh, hampir sampai, bagaimana dong?
Lihat saja dulu dikoran Nyonya, pasti ada saja satu dua yang bisa
dibacakan.
Melewati pintu garasi, Sari sudah menghambur sambil membawa
bonekanya.
Mama malah sekali sih? Sari sudah mengantuk nih.
Biasa kan? Rapat mulur, jalanan macet, tadi kan Mama sudah nelpon dari
jalan.
Ibunya menggendong Sari.
Ayo dong mendongeng, cepetan!
Buka sepatu saja belum.
Sembari masih menggendong, ibunya menyambar koran di meja. Entah
koran kapan. Selintas saja disambarnya judul-judul berita. Ketika ia
meletakkan Sari di tempat tidur, sambil mencopot sepatu hak tinggi, dan
membuka blazer-nya, sebuah berita menempel di kepalanya. Ia masih
mempertimbangkan, apakah berita itu akan disulapanya menjadi sebuah
cerita.
Cerita tentang apa sekarang Mama?
Ibunya menghela
kenyataan?

nafas.

Di

manakah

batas

antara

dongeng

dan

Dengarlah Sari, cerita ini dimulai dari pengakuan seorang ibu.


Lantas
ibunya
membaca
berita
itu.
Saya sudah tinggal di sini sejak usia delapan tahun sampai memiliki tiga
anak dan seorang cucu. Tiba-tiba saja, pada usia yang ke-39 sekarang ini
jadi setelah 31 tahun hidup di sini, setelah saya makin merasa bahwa
inilah kampong halaman saya, kampong halaman anak-anak dan cucu
saya, saya dipaksa pindah dan hanya diberi uang Rp 400.000. Siapa yang
tidak marah diperlakukan seperti itu? Adilkah ganti rugi dengan nilai
sekecil
itu?
Saya bersama suami saya memang tinggal diatas tanah negara. Tapi saya
punya KTP, taat membayar PBB dan tak pernah melawan pemerintah.
Kini, setelah rumah saya terbakar dan dibongkar, setelah barang-barang

kami rusak semua, kami tidak memiliki apa-apa lagi. Seharusnya mereka
tidak membiarkan kami seperti ini. Kami juga tidak tahu harus kemana
setelah ini.
Apa yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah mengungsikan sebagian
anak-anak saya. Saya kini menunggu kepastian. Uang Rp 400.000 untuk
kontrak sebuah keluarga yang layak, sangat tidak cukup. Uang sebesar itu
hanya bisa dipakai untuk kontrak rumah alakadarnya selama tiga bulan.
Ini pun kalau belum naik, dan jika uang itu hanya dipakai untuk kontrak
rumah saja. Bagaimana jika kami harus menyewa truk untuk mengangkut
sisa barang kami? Saya juga meragukan bisa tinggal di rumah susun.
Untuk membayangkan saja belum pernah, apalagi mempercayai janji
bahwa kami bisa hidup lebih baik di rumah susun itu nanti
Lantas, ibunya mencoba bercerita berdasarkan foto-foto yang ada di
koran itu, begitu asyik, sampai tak tahu betapa Sari terperangah.
Dongeng-doneng sebelum tidur yang diceritakan ibunya biasanya sangat
romantis, indah, dan membayangkan suatu alam yang tenang. Tapi kini
debu mengepul dalam bayangan Sari, bulldozer menggasak rumah-rumah
penduduk, dalam waktu singkat satu kampong menjadi rata dengan
tanah. Ibu-ibu diseret, anak-anak menangis, dan bapak-bapak berkelahi
melawan petugas. Sari memejamkan mata, namun ibunya terus bercerita
tentang kebakaran yang berkobar-kobar, jeritan orang-orang yang
kehilangan rumah, dan terik matahari yang seakan menjadi lebih
menyengat dari biasanya.
Ketika mengakhiri ceritanya, dengan gambaran matahari senja yang
bulat,merah, dan besar turun perlahan-lahan di balik siluet jalan laying
yang berseliweran, ibunya merasa bagai habis berlari lama sekali dan kini
terengah-engah.
Jadi, mereka tidur sambil memandang rembulan, Mama?
Sari masih ingat, ibunya hanya tersenyum, memandang rembulan di luar
jendela, menahan sesuatu yang hampir dikatakanya, lantas mengecup
pipi. Sari memandang rembulan itu. Kali ini dongeng ibunya membuat ia
tidak bisa memejamkan matanya sama sekali.
Ayahnya, yang baru pulang menjelang dini hari, terkejut melihat Sari
belum tidur ketika membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Sari memandang
rembulan sambil menyedot ibu jari.
Ada apa? Ia bertanya pada istrinya yang masih menonton CNN.

Istrinya menunjuk koran yang dibacanya tadi. Suaminya membaca


selintas.
Kamu bercerita tentang penggusuran?
Istrinya tidak menjawab, malah balik bertanya.
Kamu tidak akan membredelnya hanya karena membuat Sari tidak bisa
tidur
kan?
Suaminya hanya mendengus. Ia menyingkap gorden, melihat rembulan
yang terang di atas pohon palem.
Jakarta,1 november 1994

Tangan-Tangan Buntung
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin
pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera
disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka
akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit
kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat
mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada
memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia
menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat,
lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai
menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan Hidup
Presiden Nirdawat, terus-menerus berkumandang dengan nada penuh
semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat,
dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat
untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat
merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain
dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat
melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan
salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama
negaranya diambil dari nama presidennya).

Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati


Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan
sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia
tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan
dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya
dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi
sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka
begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik
Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah
diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan,
kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga
mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin
negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan
balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga
hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin
negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan
negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi
kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga
dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai
keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul
sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga
negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara,
tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh
pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk
kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar
diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negaranegara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat
masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke
dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa
ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam
Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur.
Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu.
Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan
lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginankeinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman,
keinginan itu merupakan cita-cita mulia.

Cobalah kita tengok peta dunia ini, kata Nirdawat dalam sebuah
pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah
peta dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah
nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara
yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini
berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik
Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul
oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai
dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar
seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan
gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera
bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal
negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di
negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak
mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan
negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan
sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara
juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil
menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah
menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin
oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak
menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang,
semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undangundang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar
tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka
dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun
dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan
dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus
menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya,
maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan
dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik

demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu
dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan
karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang
dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai
akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam
otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada
undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh.
Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak
menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang
memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak
Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak
presiden negara republik demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik
Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai
penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam
otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan
undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara,
maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan
Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan
karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena
sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk
menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka
main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak
mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka
Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan
menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong
sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan
siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah
lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau
perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung,
berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal
pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.

Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa


pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa
diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah
diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa
yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda
merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan
bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik
Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.
Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu
mendampingimu, kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat
lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai
hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubahubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir
kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam
waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga.
Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua
periode, masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu
nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit,
disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong
dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji.
Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu
Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat
ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di
Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara
memberi penjelasan kepada wartawan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat
penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik
Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa
menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba
sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.
Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi, kata sekian banyak wartawan
dengan serempak.

Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka
dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara
mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat
mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi
pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik
Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar
ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum
mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir
tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh
Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan
pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatancatatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji
keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan
kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden
Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara
yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum
memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong
tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat
terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga.
Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi
pemimpin, dan tetap dihormati.

Kumpulan Cerpen Kompas


Karangan Bunga dari Menteri
Belum pernah Siti begitu empet seperti hari ini.
Pokoknya gue empet ngerti nggak? Empeeeeeeet banget!
Kenape emang? Tanya Ira, sohibnya.
Empeeeeeeeeeetttt banget!!
Ah elu! Empat-empet-empat-empet aje dari tadi! Empet kenape Sit?

Di tengah pesta nikah putrinya, di gedung pertemuan termewah di


Jakarta, Siti merasa perutnya mual. Tadi pun belum-belum ia sudah
tampak seperti mau muntah di wastafel.
Emang elu bunting Sit? Ira main ceplos aje ketika melihatnya.
Bunting pale lu botak! Gue ude limapulu, tau?
Yeeeeeee! Mane tau elu termasuk keajaiban dunie!
Usia 50, hmm, 25 tahun perkawinan, seperti baru sekarang ia mengenal
sisi yang membuatnya bikin muntah dari suaminya.
Bikin muntah?
Yo-i! Bikin muntah.
Hueeeeeekkk!
Perutnya mual, begitu mual, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih mual.
Meski sebegitu jauh tiada sesuatu pun yang bisa dimuntahkannya.
Bagaimana tidak bikin muntah coba!
Nah! Pegimane?
***
Waktu masih SMU, Siti pernah diajari caranya menulis naskah sandiwara
dalam eks-kul, jadi sedikit-sedikit ia bisa menggambarkan adegan di
kantor seorang menteri seperti berikut.
Seorang sekretaris tua, seorang perempuan dengan seragam pegawai
negeri yang seperti sudah waktunya pensiun, membawa tumpukan surat
yang sudah dipilahnya ke ruangan menteri.
Ia belum lagi membuka mulut, ketika menteri yang rambutnya tak boleh
tertiup angin itu sudah berujar dengan kesal melihat tumpukan surat
tersebut.
Hmmmhh! Lagi-lagi undangan kawin?
Kan musim kawin Pak, sahut sekretaris tua itu dengan cuek. Sudah lima
menteri silih berganti memanfaatkan pengalamannya, sehingga ada
kalanya ia memang seperti ngelunjak.

Musim kawin? Jaing kali!


Namanya juga menteri reformasi, doi sudah empet dengan basa-basi. Ia
terus saja mengomel sambil menengok tumpukan kartu undangan yang
diserahkan itu. Satu per satu dilemparkannya dengan kesal.
Heran, bukan sanak bukan saudara, bukan sahabat apalagi kerabat,
cuma kenal gitu-gitu aja, kite-kite disuru dateng setiap kali ada yang
anaknya kawin. Ngepet bener. Mereka pikir gue kagak punya kerjaan apa
ya? Memang acaranya selalu malam, tapi justru waktu malam itulah
sebenarnya gue bisa ngelembur dengan agak kurang gangguan. Negeri
kayak gini, kalau menteri-menterinya nggak kerja lembur, kapan bisa
mengejar Jepang?
Perempuan tua itu tersenyum dingin sembari memungut kartu-kartu
undangan pernikahan yang berserakan di mana-mana.
Ah, Bapak itu seperti pura-pura tidak tahu saja.
Belum habis tumpukan kartu undangan itu ditengok, sang menteri
menaruhnya seperti setengah melempar ke mejanya yang besar dan
penuh tumpukan berkas proyek, yang tentu saja tidak bisa berjalan jika
tidak ditandatanganinya.
Tidak tahu apa?
Menteri itu memang seperti bertanya, tapi wajahnya tak menunjukkan
bahwa ada sesuatu yang tidak diketahuinya.
Masa Bapak tidak tahu?
Coba Ibu saja yang bilang!
Perempuan berseragam pegawai negeri itu hanya tersenyum bijak dan
menggeleng. Pengalaman melayani lima menteri sejak zaman Orde Baru,
membuatnya cukup paham perilaku manusia di sekitar para menteri.
Baginya, menteri reformasi ini pun tentunya tahu belaka, mengapa
sebuah acara keluarga seperti pernikahan itu begitu perlunya dihadiri
seorang menteri, bahkan kalau perlu bukan hanya seorang, melainkan
beberapa menteri!
Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi menteri itu sudah bergegas lari ke
toilet pribadinya. Dari luar perempuan berseragam pegawai negeri itu
seperti mendengar suara orang muntah.

Hueeeeeeekkkk!!!
Perempuan itu masih tetap berada di sana ketika menteri tersebut muncul
kembali dengan mata berair.
Bapak muntah?
Menteri yang kini rambutnya seperti baru tertiup angin kencang, meski
hanya ada angin dari pendingin udara di ruangan itu, membasuh air di
matanya dengan tissue.
Sayang sekali tidak, jawabnya, kok masih di sini Bu?
Kan Bapak belum bilang mau menghadiri undangan yang mana.
Hadir? Untuk apa? Cuma foto bersama terus pergi lagi begitu, kata
menteri itu seperti ngedumel lagi.
Jadi, seperti biasanya? Kirim karangan bunga saja?
Iyalah.
Bapak tidak ingin tahu siapa-siapa saja yang mengundang?
Huh!
Sekretaris tua itu segera menghilang ke balik pintu. Menteri itu
menggeleng-gelengkan kepala tak habis mengerti. Kadang-kadang orang
yang mengawinkan anak ini tak cukup hanya mengirim undangan,
melainkan datang sendiri melalui segala saluran dan berbagai cara, demi
perjuangan untuk mengundang dengan terbungkuk-bungkuk, agar bapak
menteri yang terhormat sudi datang ke acara pernikahan anak mereka.
Apakah pengantin itu yang telah memohon kepada orangtuanya, agar
pokoknya ada seorang menteri menghadiri pernikahan mereka?
Jelas tidak!
Menteri itu terkejut mendengar suaranya sendiri. Ia merasa bersyukur
karena sekretaris tua yang tiba-tiba muncul lagi itu tidak mendengarnya.
Apa lagi Bu?
Karangan-karangan bunga untuk semua undangan tadi.

Ya kenapa?
Menteri itu melihat sekilas senyum merendahkan dari perempuan
berseragam pegawai negeri tersebut.
Mau menggunakan dana apa?
Menteri itu menggertakkan gerahamnya.
Pake nanya lagi!
***
Seperti penulis skenario film, Siti bisa membayangkan adegan-adegan
selanjutnya.
Pertama tentu pesanan kepada pembuat karangan bunga. Karangan
bunga? Hmm. Maksudnya tentu bukan ikebana yang artistik karena
sentuhan rasa, yang sepintas lalu sederhana, tetapi mengarahkan
pembayangan secara luar biasa. Bukan. Ini karangan bunga tanpa
karangan. Tetap sahih meskipun buruk rupa, karena yang penting adalah
tulisan dengan aksara besar sebagai ucapan selamat dari siapa, dan dari
siapa lagi jika bukan dari Menteri Negara Urusan Kemajuan Negara Bapak
Sarjana Pa.B (Pokoknya Asal Bergelar), yang berbunyi SELAMAT &
SUCCESS ATAS PERNIKAHAN PAIMO & TULKIYEM, putra-putri Bapak
Pengoloran Sa.L (Sarjana Asal Lulus) Direktur PT Sogok bin Komisi & Co.
Lantas karangan bunga empat persegi panjang yang besar, memble,
hanya mengotor-ngotori dan memakan tempat, boros sekaligus mubazir,
dalam jumlah yang banyak dari segala arah, berbarengan, beriringan,
maupun berurutan, akan berdatangan dengan derap langkah maju tak
gentar diiringi genderang penjilatan, genderang ketakutan untuk
disalahkan, dan genderang basa-basi seperti karangan bunga yang
datang dari para menteri, memasuki halaman gedung pernikahan yang
telah menjadi saksi segala kepalsuan, kebohongan, dan kesemuan dunia
dari hari ke hari sejak berfungsi secara resmi.
Satu per satu karangan bunga itu akan diurutkan di depan atau di
samping kiri dan kanan pintu masuk sesuai urutan kedatangan, agar para
tamu resepsi bisa ikut mengetahui siapa sajakah kiranya yang berada
dalam jaringan pergaulan sang pengundang.
Bukan ikut mengetahui, pikir Siti, tapi diarahkan untuk mengetahui.
Tepatnya dipameri. Ya, pamer. Karangan bunga untuk pamer.

Siti jadi mengerti, tak jadi soal benar jika tidak dihadiri menteri, asal para
tamu melihat sendiri, bahwa memang ada karangan bunga dari menteri.
Ini juga berarti para pengundang seperti berjudi, tanpa risiko kalah sama
sekali, karena meski yang diundang adalah sang menteri, yang datang
karangan bunganya pun jadi!
Begitulah, saat karangan-karangan bunga itu datang, Siti telah
mengaturnya sesuai urutan kedatangan. Ia mencatat dari siapa saja
karangan bunga itu datang, karena ia merasa sepantasnyalah kelak
membalasnya dengan ucapan terima kasih, atau mengusahakan datang
jika diundang pihak yang mengirim karangan bunga, atau setidaknya
mengirimkan karangan bunga yang sama-sama buruk dan sama-sama
mengotori seperti itu.
Ah, dari Sinta!
Ternyata ada juga yang tulus. Mengirim karangan bunga karena merasa
dekat dan betul-betul tidak bisa datang. Sinta, sahabat Siti semasa SMU,
mengirim karangan bunga seperti itu. Dengan terharu, Siti menaruh
karangan bunga dari Sinta di dekat pintu, antara lain juga karena tiba
paling awal. Di sana memang hanya tertulis: dari Sinta; bukan namanama dengan embel-embel jabatan, nama perusahaan atau kementerian
dan gelar berderet.
Tiga karangan bunga dari menteri, karena datangnya cukup siang, berada
jauh di urutan belakang, nyaris di dekat pintu masuk ke tempat parkir di
lantai dasar. Siti tentu saja tahu suaminya telah mengundang tiga orang
menteri, yang proyek-proyek kementeriannya sedang ditangani
perusahaan suaminya itu. Suaminya hanya kenal baik dengan para
pembantu menteri tersebut, meski hanya tanda tangan menteri dapat
membuat proyeknya menggelinding. Tentu pernah juga mereka berdua
berada dalam suatu rapat bersama orang-orang lain, tetapi sudah jelas
bahwa menteri yang mana pun bukanlah kawan apalagi sahabat dari
suaminya itu. Sama sekali bukan.
Maka, dalam pesta pernikahan putri mereka, bagi Siti pun karangan bunga
dari menteri itu tidak harus lebih istimewa dari karangan bunga lainnya.
Namun ketika
perilakunya.

suaminya

datang

memeriksa,

Siti

terpana

melihat

Itulah, setelah 25 tahun pernikahan, masih ada yang ternyata belum


dikenalnya.

Suaminya, yang agak gusar melihat tiga karangan bunga dari tiga menteri
saling terpencar dan berada jauh dari pintu masuk, memerintahkan
sejumlah pekerja untuk mengambilnya. Ia mengawasi sendiri, agar
terjamin bahwa ketika melewati pintu masuk, setiap tamu yang datang
akan menyaksikan betapa terdapat kiriman karangan bunga dari tiga
menteri.
Yang ini ditaruh di mana Pak?
Siti melihat seorang pekerja bertanya tentang karangan bunga dari Sinta,
sahabatnya yang sederhana, cukup sederhana untuk mengira karangan
bunga empat persegi panjang seperti itu indah, dan pasti telah
menyisihkan uang belanja agar dapat mengirimkan karangan bunga itu
kepadanya.
Terserahlah di mana! Pokoknya jangan di sini!
Siti melihat suaminya dari jauh. Suaminya juga minta dipotret di depan
ketiga karangan bunga itu!
Ia merasa mau muntah.
Hueeeeeeeeeekkkk!!!
***
Itulah yang terjadi saat Ira bertanya.
Emang elu bunting, Sit?
Kampung Utan, Sabtu 3 September 2011. 08:30.
Kumpulan Cerpen Kompas
arsip cerita pendek kompas minggu
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi
with one comment

11 suara

Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman
pemerintahan Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang
Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level
politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi dan partaipartai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota
Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak
kalah memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus
putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya.
Dimulai ketika Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi
kepala desa alias lurah di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan
seorang kapten TNI yang baru-baru ini pensiun, yang kabarnya akan
menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak
bersih lingkungan karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S.
Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab,
ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan camat
yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya.
Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang
kebetulan tanahnya adalah milik Sutarjo.
Negara memerlukan tanahmu, kata Camat. Jangan jual mahal.
Tapi, Pak, tanah ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir
jalan besar.
Ini demi pembangunan, lho.
Pada waktu itu kata pembangunan jadi hantu politik yang membuat
Sutarjo berpikir dua kali untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun
menyewakan tanahnya dengan harga sangat murah. Camat masih minta
supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut
mark up).
Coba tanda tangani kuitansi ini, pinta Camat.
Lha kok besar betul, katanya.

Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya
laut, punya tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli
pegawainya dengan harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja.
Daripada diberikan Cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung
ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup.
Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa
merahasiakan.
Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi
pemborong pembangunan gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat
sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga bangunan itu juga
digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia
tidak lulus.
Sutarjo menggunakan tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten
menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo
sudah diketahui alasannya, sedangkan kapten, ya, karena ia bekas
tentara, dan siapa berani tidak meluluskan tentara? Orang mesti
berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari
kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan
para kader. (Kader artinya juru kampanye).
Sutarjo yang juga sudah mendengar soal tidak bersih lingkungan
menjadi panik. Maka, ia pergi pada seorang tokoh yang dulu Ketua
Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua MDI, dan sekarang anggota
DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian
politiknya. (Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar? Orang itu
jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.)
Gampang saja, katanya. Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu
Lurah. Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape,
sebar luaskan. Kalau ada video tape, putarlah pada semua kesempatan
jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah. Kakeknya dulu adalah
lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti
mandraguna. Sutarjo merasa lega.
Ia mengundang tukang foto, dengan biaya besar [jer basuki mawa
beya] ia juga mengundang kameraman dari TVRI, dan membeli peralatan
untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi kuburan kakeknya,
lhadalah!
Haram, syirik, teriaknya.

Kuburan itu penuh kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang


membersihkan kemenyan dan bunga itu. Kalau tidak, bagaimana
meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah tulen? Setelah bersih,
baru jepret-jepret dan terrr.
Beres. Ia pun lapor pada tokoh penasihatnya.
Itu kesalahan, komentarnya.
Lho! Ia seperti disambar petir.
Kata penasihat, Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi
boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat,
balikkan kelemahan jadi kekuatan. Kata penasihat lagi, Adanya
kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukkan bahwa
sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi.
Karena itu, pergilah tiap malam ke kuburan kakekmu, bawa orang, baca
surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu direnovasi. Buatlah emper-emperan
sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa diatur
kemudian.
Perlu diketahui bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan
Dana Sosial Berhadiah, yang oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi,
pedagang, dan para jurnalis] dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua
Beres), efemisme dari lotere. Orang menyepi di kuburan kakeknya yang
dianggap keramat untuk mendapat nomor. Hal yang membuat dia pusing,
orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya, kabarnya,
dibekingi oleh pesaingnya, kapten itu.
Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan
kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh
orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah
kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan
kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar.
Tujuannya satu: menjadi lurah desa.
Minggu kampanye ditandai dengan kelilingnya dokar, penumpang dengan
megafon, dan pengumuman supaya penduduk yang berhak memilih
mendatangi TPS. TPS itu ada di lima dusun.
Halo, halo. Pengumuman, pengumuman. Datanglah ke TPS untuk pilihan
lurah, hari [anu], pukul [anu sampai anu].

Kusir dokar dan pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa
yang harus dilalui sebab mereka juga yang mengumumkan sepak bola,
bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar, layar tancep), komidi putar, dan
ketoprak di lapangan desa.
Mulailah kampanye. Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah
penduduk. Mereka akan memulai dengan, Apa panjenengan sudah punya
calon? Kalau belum, sebaiknya pilih Padi. Atau, Kalau belum, inilah
calon terbaik, tanda gambar Senapan.
Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan
tentang toleransi. (Dengan makanan kecil keluar dari kantongnya).
Semuanya
dimaksud
untuk
menunjukkan
bahwa
dia
orang
Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan
pidato-pidatoan. Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga
mengundang seorang kiai NU dan bukan ustadz Muhammadiyah.
Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan sarasehan
tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato dan
berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh.
Perintahnya pada seorang kader, Cetak banyak-banyak yang 45 menit
jadi. Buat papan pengumuman di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan
gambar-gambar itu. Jaga, jangan sampai Senapan mencopot gambargambar itu. Buatlah Padi banyak-banyak, tempel di tembok-tembok,
tiang listrik, dan pohon. Pendek kata, dia sudah merasa puas dan yakin
memenangkan pilihan.
Pesaingnya, Senapan, menggunakan strategi dan taktik lain yang
mungkin dipelajarinya dari masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub
dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk. Dua, wayangan dengan
waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa
yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang
kepada para pemilih. Uang ini didapat dari dua buah perusahaan real
estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran sebuah sungai
dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak
bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, Aman dulu, baru
membangun desa, didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua
peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda dan petrus
(penembak misterius).
Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung
bakmi. Orang indekos itu tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman
seindekos, ya ibu kosnya, kata penduduk asli kepada seseorang yang
mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-

rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa Senapan


marah. Malam hari mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda
asli berkongko-kongko dan terjadilah tawur antarpemuda asli dengan
pemuda mondok. Adapun mengenai petrus itu ceritanya begini.
Pemerintah Kodya Yogyakarta selama ini tidak berdaya menangani para
Gali (Gabungan Anak Liar) di kota yang mengadakan pungli (pungutan
liar) terhadap Colt, toko, warung, pedagang di pasar, dan pedagang kaki
lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk bertindak apa saja.
Dasar tentara yang punyanya cuma bedil, senapan menyalak. Mereka
menembak mati Gali-Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di
pinggiran kota itu yang didor. Malam hari orang akan mendengar bedil
berbunyi, kemudian mobil ambulans milik tentara.
Tibalah hari-H. Di setiap TPS disediakan tiga kotak, dua kotak untuk
cakades dan satu kotak kosong untuk menjamin pilihan yang demokratis.
Padi yakin menang karena dia selalu ada di tempat, mendapat
konsultan yang benar-benar politikus, dan sudah bekerja secara benar dan
pener. Senapan juga yakin menang karena telah bekerja sesuai dengan
strategi dan taktik yang dipelajarinya. Lagi pula semboyannya tentang
prioritas pada keamanan cocok dengan semboyan Orde Baru.
Tibalah waktu yang paling membuat sport jantung dari dua cakades:
penghitungan suara. (Tentu, tak ada orang tahu bahwa kartu pilihannya
diberi nomor oleh panitia. Dan, ada daftar nama dan nomor pada panitia.
Karena setelah dihitung, kotak-kotak akan dibawa ke kecamatan,
Senapan tinggal pergi ke kecamatan, dan tahulah dia siapa memilih
siapa. Para pemilih dan panitia pencatat akan mendapat imbalan
sepatutnya. Rapi jali, halus, dan tak bisa bocor). Setelah dihitung, ternyata
Padi kalah telak.
Ketika sudah nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya.
Jangan menyesal. Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur,
agamis, bersih, dan kesatria. Senapan telah memanfaatkan nafsu rendah
manusia dengan waranggana yang cantik dan tayuban. Sini saya beri
tahu.
Kemudian dengan bisik-bisik dikatakan bahwa Senapan itu curang
dengan cara obral uang, tawur, dan petrus.
Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan
oleh kecurangan itu pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau
memburu akhirat, dia memburu dunia.

Sesampai di rumah, Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang


penasihat kepada istrinya.
Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia
gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok
meleset, orang agama jalan lurus urung, komentar istrinya.
Pokoknya bukan itu semua.
Sutarjo suka menghibur diri. Saya kalah karena memburu akhirat,
meninggalkan dunia. Sak beja-bejaning wong kang lali, isih beja wong
kang eling lan waspada. Sebesar-besarnya keuntungan orang yang lupa
diri, masih beruntung orang yang ingat dan menjaga diri.
Ia tetap bangga kalau teringat kisahnya jadi cakades.
Ia yakin benar, Saya dikalahkan oleh kecurangan. Dan, Alhamdulillah,
tidak jadi lurah, tidak usah korupsi.
Dia sudah berusaha keras menghibur diri: dari kecurangan orang lain,
politik secara nasional berpihak pada lawan, terhindar dari kejahatan
korupsi, sampai tidak jadi lurah itu memang sudah takdir. Tapi tetap saja
ia tidak dapat menyembunyikan kemurungan. Makan tak enak, tidur tak
nyenyak, minum tak segar, mimpi dikejar-kejar maling. Istri yang sehariharinya mengamatinya ikut prihatin. Istri menemui penasihatnya, politikus
tulen itu. Begitu saja kok repot. Kalah dan menang dalam politik itu
lumrah, komentar sang penasihat. Saya pikirnya dulu.
Bola ada di tangan penasihat. Penasihat memutar otak. Pertanyaannya
ialah ia ingin menjadikan kekalahan sebagai sebuah kemenangan.
Sepertinya mustahil. Semua sudah terjadi. Penduduk desa terbagi dua.
Mereka menggerombol pada kelompoknya sendiri: Padi dan Senapan.
Pesta kawin, jagong bayen, siskamling, rapat-rapat LMD dan LKMD,
bahkan takziyah.
Pikir punya pikir, sang penasihat dapat ilham cemerlang, Eureka!
Penasihat menemui cakades gagal kita.
Jangan sedih. Ada caranya membalikkan sebuah kekalahan menjadi
sebuah kemenangan.
O, ya? Mukanya jadi cerah, byar!

Iya. Begini, lho. Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato
dan makan-makan seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa.
Kumpulkan kader-kader kedua belah pihak, wakil-wakil pemuda,
mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan kecamatan Muspika
untuk hadir dan memberi sambutan.
Ia pun bekerja, mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga
mendapat dukungan dalam rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri
dimintanya memasak, seekor kambing besar disembelih. Rumahnya akan
jadi rumah bersejarah di desanya.
Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah
lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan hidangan. Orang-orang berdatangan.
Muspika datang. Lurah baru datang meski agak terlambat. Tapi, lho! Yang
datang hanya orang-orang Padi. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu
Senapan mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya
tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga
bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis,
tapi ditahannya. Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru
pamit. Semua pulang. (Orang Senapan sudah menanti untuk mendaulat
supaya Muspika kemudian hadir di Balai Desa).
Sukses! kata Camat ketika bersalaman dengan Sutarjo.
Sukses! kata Danramil waktu pamitan.
Sukses! kata Kapolsek.
Hati Sutarjo seperti diiris-iris.
Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat.
Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?
Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali
tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti.
Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang,
kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang
tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan
momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga
jangan terlambat, komentar sang penasihat enteng.
Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. Ck, ck,
kata mulutnya, kemudian melongo.

Yogyakarta, 1 Maret 2003


Saksi Mata
Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di
tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba udara. Dari lobang
pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah
bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang
mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.
Darah membasahi pipinya membasahi bajunya membasahi celananya,
membasahi sepatunya dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang
pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dnegan karbol yang
baunya bahkan masih tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi
gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para
wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan
penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu daris egala sudut sampai
menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredap membuat
suasana makin panas.
Terlalu!
Edan!
Sadis!
Bapak Hakim Yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-ngetukkan
palunya. dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan
keadaan.
Tenang saudara-saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu jalannya
pengadilan akan saya usir keluar ruangan!
Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin segera tahu,
apa yang sebenarnya telah terjadi.
Saudara Saksi Mata.
Saya Pak.
Di manakah mata saudara?
Diambil orang Pak.
Diambil?

Saya Pak.
Maksudnya dioperasi?
Bukan Pak, diambil pakai sendok.
Haa? Pakai sendok? Kenapa?
Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.
(masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)
Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?
Yang mengambil mata saya Pak.
Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara
pakai sendok?
Dia tidak bilang siapa namanya Pak.
Saudara tidak tanya bego?
Tidak Pak.
Dengar baik-baik bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu?
Sebelum amta saudara diambil dengan sendok yang katanya untuk dibuat
tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara masih
ada di tempatnya kan?
Saya Pak.
Jadi saudara melihat seperti apa orangnya kan?
Saya Pak.
Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yangs ekarang sudah
dimakan para penggemar tengkleng itu.
Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang pengadilan
menahan napas.
Ada beberapa orang Pak.
Berapa?

Lima Pak.
Seperti apa mereka?
Saya tidak sempat meneliti Pak, habis mata saya keburu diambil
sih.
Masih ingat pakaiannya barangkali?
Yang jelas mereka berseragam Pak.
Ruang pengadilan jadi riuh kembali seperti dengungan seribu lebah.
***
Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang.
Seragam tentara maksudnya?
Bukan Pak.
Polisi?
Bukan juga Pak.
Hansip barangkali?
Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.
Mukanya ditutupi?
Iya Pak, cuma kelihatan matanya.
Aaaah, saya tahu! Ninja kan?
Nah, itu ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan
sendok!
Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi. Lagilagi Bapak Hakim Yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya
orang banyak itu menjadi tenang.
Darah masih menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari
lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang
pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel

dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber


melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.
Tapi orang-orang tidak melihatnya.
Saudara Saksi Mata.
Saya Pak.
Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam saja ketika mata saudara
diambil dengan sendok?
Mereka berlima Pak.
Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat
saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong
saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah
rumah saja kedengaran, tapi kenapa saudara diam saja?
Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak.
Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi dengan marah.
Coba tenang sedikit! Ini ruang pengadilan, bukan Srimulat!
***
Ruang pengadilan itu terasa sumpek. Orang-orang berkeringat, namun
mereka tak mau beranjak. Darah di halaman mengalir sampai ke tempat
parkir. Hakim meneruskan pertanyaannya.
Saudara Saksi Mata tadi mengatakan terjadi di dalam mimpi. Apakah
maksud saudara kejadiannya begini cepat seperti dalam mimpi?
Bukan Pak, bukan seperti mimpi, tapi memang terjadinya dalam mimpi,
itu sebabnya saya diam saja ketika mereka mau menyendok mata
saya.
Saudara serius? Jangan main-main ya, nanti saudara harus
mengucapkannya di bawah sumpah.
Sungguh mati saya serius
Pak, saya diam saja karena saya pikir toh terjadinya cuma dalam mimpi
ini. Saya malah ketawa-ketawa waktu mereka bilang mau dibikin
tengkleng.

Jadi, menurut saudara Saksi Mata segenap pengambilan mata itu hanya
terjadi dalam mimpi?
Bukan hanya
mimpi.

menurut

saya

Pak,

memang

terjadinya

di

dalam

Saudara kan bisa saja gila.


Lho ini bisa dibuktikan Pak, banyak saksi mata yang tahu kalau
sepanjang malam saya cuma tidur Pak, dan selama tidur tidak ada orang
mengganggu saya Pak.
Jadi terjadinya pasti di dalam mimpi ya?
Saya Pak.
Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?
Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu
bangun kok ternyata betul-betul ya?
Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.
Absurd, gumamnya.
Darah yang mengalir telah sampai ke jalan raya.
***
Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi masih bisa
bersaksi? Tentu masih bisa, pikir Bapak Hakim Yang Mulia, bukankah
ingatannya tidak ikut terbawa oleh matanya?
Saudara Saksi Mata.
Saya Pak.
Apakah saudara masih bisa bersaksi?
Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu
ketimbang ke dokter mata Pak.
Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah
tidak bermata lagi?

Saya Pak.
Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?
Saya Pak.
Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan
mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai
mati?
Saya Pak.
Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak
ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali
saudara.
Saya Pak.
Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?
Saya Pak.
Kenapa?
Demi keadilan dan kebenaran Pak.
Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang bertepuk tangan, termasuk
Jaksa dan Pembela. Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang mulai
meneriakkan yel.
Bapak Hakim Yang Mulia segera mengetukkan palu wasiatnya.
Hussss! Jangan kampanye di sini! Ia berkata dengan tegas.
Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk mendengar kesaksian
saudara Saksi mata yang sudah tidak punya mata lagi!
Dengan sisa semangat, sekali lagi ia ketukkan palu, namun palu itu patah.
Orang-orang tertawa. Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil
karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya. Klikklik-klik-klik-klik! Bapak Hakim Yang Mulia diabadikan sedang memegang
palu yang patah.
***

Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakin Yang Mulia berkata pada


sopirnya,Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua
matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba
hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?
Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa
bersalah, semacam kalimat, Keadilan tidak buta.* Namun Bapak Hakim
Yang
Mulia
telah
tertidur
dalam
kemacetan
jalan
yang
menjengkelkan.
Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus menerus sepanjang jalan
raya samapi kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok
kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi
tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada
seorang pun melihatnya.
Ketika hari sudah menjadi malam, saksi
mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar
kehidupan yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu
berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam
Ninja mencabut lidahnyakali ini menggunakan catut.

Jakarta, 4 Maret 1992

Anda mungkin juga menyukai