AA Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada
simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan
sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di
depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang
tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga
surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari
sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia
mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu.
Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi
sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah
pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka
minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.
Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta
tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling
sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan
tinggallah
surau
itu
tanpa
penjaganya.
Hingga
anak-anak
menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang
disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka
mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang
sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat
perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa
bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di
jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan
yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah
berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal
padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan?
Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku?
Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah
membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan
pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak,
punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri.
Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin,
kuserahkan
kepada
Allah Subhanahu
wataala. Tak
pernah
aku
menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi
kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan
kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama
hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena
aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya
yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku
sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca KitabNya. Alhamdulillah kataku
bila
aku
menerima
karuniaNya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku
kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan
Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam
hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan
ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek
bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah
memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di
samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala
manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana
ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang
yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja,
karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua
tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan
Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku
katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.
Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang
kauceritakan tadi?
Ya, itulah semuanya, Tuhanku.
Masuk kamu.
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh
tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di
kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temantemannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia
tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang
dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada
salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar
syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa
mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang
itu pun, tak mengerti juga.
Bagaimana Tuhan kita ini? kata Haji Saleh kemudian, Bukankah kita di
suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita
kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkanNya ke neraka.
Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita
semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat, kata salah seorang
diantaranya. Ini sungguh tidak adil.
Memang tidak adil, kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.
Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke
neraka ini.
Benar. Benar. Benar. Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana? suatu suara
melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.
Kita protes. Kita resolusikan, kata Haji Saleh.
Apa kita revolusikan juga? tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia
menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
Itu tergantung kepada keadaan, kata Haji Saleh. Yang penting sekarang,
mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.
Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita
perolah, sebuah suara menyela.
Setuju. Setuju. Setuju. Mereka bersorak beramai-ramai. Lalu mereka
berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu.
Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.
Engkau rela tetap melarat, bukan?
Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.
Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?
Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar
mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.
Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke
hatinya, bukan?
Ada, Tuhanku.
Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi
antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri
yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena
beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang
aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau
kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti
masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah
mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh
ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah
atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja
pada malaikat yang menggiring mereka itu.
Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di
dunia? tanya Haji Saleh.
Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu
sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi
engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan
anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka
sedikit pun.
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang
memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa
aku tak pergi menjenguk. "Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja.
Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek
tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala
peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana
dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."
batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak
sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang
berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih
yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal
yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu
akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi
kenyataan. Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop
yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang
lebih dari sekedar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina,
dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan
menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah
kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan
selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di
dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang
lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan katakatanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa
makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa
diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta.
Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerahmerahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama
seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke
balik cakrawala. Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan
padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu. Sore itu aku
duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari
waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan
alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah
sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada
debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan
langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir
tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya. Kemudian tibatiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan
aku tiba-tiba teringat padamu. barangkali senja ini bagus untukmu,
pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat
sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa
abadi dan aku bisa memberikannya padamu. Setelah itu aku berjalan
pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya
karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita.
Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan
yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di
sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang
langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini
memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke
gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia
yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah. Satu mobil
terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung,
dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas
terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil.
Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa
lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memakimaki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit
semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah
senja ini kuserahkan Alina. Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang
kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku
tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa
senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung
bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak
ada gorong-gorong yang terbuka. Mobilku sudah kutinggal ketika
memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah
tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga
reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang
tak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Masuklah, katanya tenang,
disitu kamu aman. Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada
tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah.
Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter
dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain. Dan gelandangan itu
mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Goronggorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri
di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi
tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya
yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan.
Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga.
Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu.
Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi
lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat
anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka
berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan
kebahagian. Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan.
Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina. Di
ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke
bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin
benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus
membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah
kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi
sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina.
Jawaban Alina
Seno Gumira Ajidarma
sehingga dunia memang tidak akan pernah sama lagi. Kalu aku mati
nanti, bumi ini akan tetap tinggal senja selama-lamanya. Dengan
matahari terbenam separuh yang tidak pernah turun lagi. Langit merah
selama-lamanya, lautan jingga selama-lamanya, tetapi tiada seorang
manusia pun memandangnya. Segenap burung sudah punah karena
kelelahan terbang tanpa henti. Tinggal ikan-ikan menjadi penguasa bumi.
Di kejauhan, ku lihat Ikan Paus Merah yang menjerit dengan sedih.
Sukab,
Aku akan mengakhiri surat ini, akan ku lipat menjadi perahu kertas, dan
ku layarkan ke laut lepas. Buakn tidak mungkin surat ini akan terbaca
juga, entah bagaimana caranya, namun siapa pun yang menemukannya
akan membaca kesaksianku. Jika tidak, aku pun tidak tahu apa nasib
waktu(3). kupandang senja yang abadi sebelum melipat surat ini. Betapau
semua ini terjadi karena cinta, dan hanya karena cinta betapa besar
bencana
telah
ditimbulkannya
ketika
kata-kata
tak
cukup
menampungnya. Kutatap senja itu, masih selalu begitu, seprti
menjanjikan suatu perpisahan yang sendu.
Selamat berpisah semuanya. Selamat tinggal.
Alina
Kamu kok bisa, sih? Kamu terga sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak
mencintai aku.
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak
peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.
Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang
lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan
ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena
cinta.
Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai
dua orang sekaligus?
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan
sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta
yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang
wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang
wanita?
Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di
mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang
yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di
seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah
menjadi gelisah?
Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya
cinta?
Jeglek! Tuuuuuuttt
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh
dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu
dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan
setengah memaksa. Pengantri yang lain pun mendekat dengan wajah
mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun
peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya
SARMAN
Seno Gumira Ajidarma
Ceritakanlah padaku tentang kejenuhan, kata Alina pada juru cerita itu.
Maka Juru cerita itu pun bercerita tentang Sarman:
Pada suatu hari yang cerah, pada suatu hari gajian, Sarman membuat
kejutan. Setelah menerima amplop berisi uang gaji dan beberapa
tunjangan tambahan, dan setelah menorehkan paraf, sarman termenungmenung.
Tak
lama.
Ia segera berteriak dengan suara keras.
Jadi, untuk ini aku bekerja setiap hari, ya? Untuk setumpuk kertas sialan
ini, ya?!
Ia berdiri dengan wajah tegang. Tangan kirinya mengenggam amplop,
tangan kanannya menuding-nuding amplop itu, dan matanya menatap
amplop itu dengan penuh rasa benci.
Kamu memang bangsat! Kamu memang sialan! Kamu brengsek! Kamu
persetan! Memble! Aku tidak sudi kamu perbudak! Aku menolak Kamu!
Kantor yang sehari-harinya sibuk, sejuk, saling tak peduli, dengan musik
yang lembut itu, pun mendadak jadi gempar.
Lho ada apa Man? Kok pagi-pagi sudah nyap-nyap?
Eh, Sarman kenapa dia?
Jangan-jangan ia belum makan.
Kesurupan barangkali.
Man! Sarman! Sabar man! Nanti kamu dimarahi!
Tapi Sarman tidak hanya berhenti disini. Ia melompat ke atas meja. Ia
robek amplop cokelat itu. Ia keluarkan uang dari dalamnya. Ia robek
bundel uangnya. Dan sebagian uangnya ia lemparkan ke udara.
Nih! Makan itu duit! Mulai hari ini aku tidak perlu di gaji! Dengar tidak
kalian!? Tidak perlu digaji! Aku akan bekerja suka rela, tetap rajin seperti
biasa! Dengar tidak kalian monyet-monyet?!
Berpuluh-puluh uang lembar Rp 10.000,- berguling-guling di udara
dihembus angin AC. Kantor itu seperti dikocok-kocok. Para pegawai tanpa
malu-malu berebutan uang gaji Sarman. Pria maupun wanita saling
berdesak, bersikutan, dorong mendorong, berlompatan meraih rejeki yang
melayang-layang diudara. Mereka cepat sekali memasukkan uang itu
sekenanya dalam kantong bajunya. Lantas pura-pura tidak tahu.
Sarman menendang semua benda yang berserakan di mejanya, map-map
yang bertumpuk, mesin tik, segelas the, bahkan foto keluarganya ia
tending melayang. Layer monitor computer pun pecah digasaknya
Sarman! Kamu gila!
Sarman melompat dari meja ke meja denganr ingan seperti pendekar
dalam cerita silat. Ia tendang semua barang-barang di atas meja
karyawan-karyawan lain, sambil terus memaki-maki. Tak jelasa benar apa
yang
dimaki.
Dalam waktu singkat, kator yang terletak di tingkat 17 itu pun
berantakan. Sekretaris-sekretaris wanita menjerit: Aaaa! Dan para
karyawan pria memperlihatkan jiwa pengecut mereka, tidak berani
berbuat apa-apa. Meski dalam hati mengharap Sarman melempar-lempar
lagi sisa uang yang dipegangnya. Dan Sarman bukannya tak tahu.
Kalian mau uang? Ha? Kamu mau uang? Sukab! Kamu mau uang? Nih!
Kamu mau uang? Nih! Kalian semua mau uang? Nih! Nih! Nih! Makan!
kebapakkan
ia
mencoba
Apakah kamu mau cuti Sarman? Kamu boleh ambil cuti besar, cutilah
satu bulan. Kamu sudah bekerja sepuluh tahun.
Tapi Sarman malah menjejak meja, menendang sisa tumpukan kertas di
meja itu, lantas melompat lagi ke meja lain. Seorang wanita yang duduk
disitu terpaku dengan ketakutan, tidak berani bergerak.
Jangan mendekat! Saya sudah coba jelaskan mulai hari ini saya menolak
apa saja! Mengerti tidak? Saya menolak apapun kemauan kalian!
Kepala bagian itu sebetunya ingin marah, dan mengusir Sarman, tapi
Sarman terlalu penting untuk perusahaan. Lagi pula alangkah tak layak
memecat seorang pegawai yang sangat berjasa seperti Sarman.
Sementara itu berdatanganlah para karyawan dari bagian lain. Kejadian
itu begitu cepat tersebar. Beberapa petugas keamanan memasuki
ruangan. Mereka akan bertindak, tapi Kepala Bagian menahan.
Tunggu! Biar saya yang mengatasinya! Saya kenal dia, saya kenal dia,
Sarman anak buah saya selama bertahun-tahun.
Maka petugas-petugas keamanan pun hanya sibuk dengan HT mereka.
Telepon berdering disalah satu meja, memecahkan keheningan, tapi
Sarman keburu melompat kesana dan menendangnya. Ia masih
menggenggam sebundel uang. Gajinya memang termasuk tinggi di kantor
itu. Maklumlah ia sudah bekerja disana selama sepuluh tahun.
Untuk apa kamu lakukan semua ini Sarman? Untuk apa? tanya Kepala
Bagian.
Itu sama sekali tidak penting!
Lantas kamu mau apa, aku sudah menawarkan cuti besar, langsung
mulai hari ini, tunjangannya bisa kamu ambil hari ini juga. Kamu juga
boleh pakai hotel milik perusahaan kita di Bali, pakai Vila kantor kita di
Puncak, pergilah dengan tenang biar kami selesaikan pekerjaanmu. Terus
terang, selama ini kami memang terlalu
Apa? Cuti? Cuti kata Bapak tadi? Ujar Sarman sambil meletakkan tangan
ditelinga, Cuti besar setelah sepuluh tahun bekerja. Cuti? Ha-ha-ha-ha!
Cuti? Hua-ha-ha-ha! Cuti besar lantas masuk lagi, dan bekerja sepuluh
tahun lagi? Huaha-ha-ha! Hua-ha-ha-ha! Ambillah cutimu Pak!
Dan Sarman dengan lompatan karate menerjang jendela. Jendela tebal di
tingkat 17 itu tidak langsung pecah. Sarman meninjunya beberapa kali
sampai
tangannya
berdarah,
lantas
ia
mengambil
kursi,
lupakan kejadian ini! Lenyap hilang seperti debu! Seperti gombal di pojok
gudang! Seperti oli di lantai bengkel! Seperti sekrup.
Sementara Sarman masih terus berpidato, para petugas keamanan tidak
kehilangan akal. Mereka memanggil petugas pemadam kebakaran, tapi
kedatangannya menimbulkan geger.
Mana yang kebakaran Pak?
Bukan kebakaran!
Ada apa?
Ada orang mau bunuh diri!
Di mana?
Tuh!
Syahdan diketinggian tingkat 17, tampaklah jendela yang terbuka itu
menganga. Sarman tampak kecil, tapi jelas, menghadap kedalam sedang
berteriak-teriak. Orang-orang yang sedang berada dibawah berhenti,
menatap kesana. Mobil-mobil juga berhenti. Jalanan macet. Dengan
mendadak, Sarman jadi tontonan. Beberapa orang menggunakan
teropong. Bahkan ada yang memotret dengan lensa Tele. Petugas
pemadam kebakaran membentangkan jala. Tangga mobil pemadam
kebakaran, yang Cuma 40,9 meter, diulurkan. Semprotan air disiapkan,
untuk menaha laju kejatuhan tubuh Sarman, kalau jadi melompat. Jalanan
macet total. Helikopter polisi merang-raung diudara. Para penonton duduk
di atap mobil. Beberapa orang bertaruh dengan jumlah lumayan, Sarman
jadi bunuh diri atau tidak. Namun kru televisi terlambat datang.
Jalan lain untuk mencegah Sarman juga diambil. Di Helikopter polisi itu
terdapatlah keluarga Sarman, istri Sarman dan anaknya yang bungsu.
Sarman, lihat itu anak istrimu! teriak para karyawan dalam gedung.
Ya, itu anak istrimu! Ingatlah mereka Sarman! Jangan berbuat nekad!
Sarman! Sarman! Aku istrimu Sarman! Aku mencintai kamu! Anak-anak
juga mencintai kamu! Jangan melompat Sarman! teriak istrinya sambil
menangis, Suaranya menggema lewat penegeras suara di celah raungan
helikopter.
Bapak! Bapak! seru anaknya.
Sarman berbalik. Dilihatnya wanita itu melambai dengan air mata tumpah
ruah. Hatinya tercekat. Ia ingin melambai kembali. Seperti dilakukannya
setiap pagi ketika berangkat kantor. Namun ini mengingatkannya pada
segepok uang yang masih digenggamnya. Sarman kumat lagi. Tapi dari
dalam kantor, dua petugas kemanan merayap perlahan ke jendela.
Ingat anak-anak kita Sarman! Mereka mebutuhkan kamu! Ingat ibumu, ia
mau datang minggu ini dari kampung! Sarman, o Sarman, jangan
tinggalkan aku Sarman! teriak istrinya lagi.
Apa? Pulang untuk ketemu kamu?! Ketemu dengan segenap tetekbengekmu?! Pulang utnuk menemui segenap omong kosongmu?! Kamu
tidak pernah mau tahu perasaanku! Kamu Cuma tahu kewajibankewajibanku!
Kamu
Cuma
tahu
ini!
Sarman mengacungkan uang ditangannya,
Kamu Cuma tahu ini kan?!
Bukan begitu Sarman, aku tidak bermaksud begitu, kamu salah sangka
Sarman, aku
Ini uang kamu! Makan!
Dan Sarman melempar ratusan ribu rupiah ke udara. Uang ditangannya
sudah habis. Lembaran-lembaran uang itu berteberan ditiup angin,
berguling-guling dan berkilauan dalam siraman cahaya matahari.
Sarman, o Sarman Istrinya menangis tersedu-sedu. Anaknya hanya
bisa berteriak,
Bapak! Bapak!
Angin masih bertiup kencang diketinggian itu. Sarman melihat uang
gajinya berguling-guling melayang kebawah. Kertas-kertas itu belum
sampai tanah. Masih melayang-layang menyebar. Orang-orang dikantor
yang ada ditingkat bawah dari kantor Sarman terkejut melihat uang
berterbangan di udara. Dibawah anak-anak maupun orang dewasa
bersiap-siap menangkap uang itu. Suasana sangat meriah. Sarman
termenung.
Sekilas
terlintas
untuk
megakhiri
sandiwara
ini.
Saat itulah kedua petugas keamanan yang merayap, tiba di jendela. Salah
seorang meyergap, berusaha merangkul Sarman, namun gerakkan yang
abru pertama kali ia lakukan dalam hidupnya itu kurang sempurna.
Sarman malah jadinay terpeleset, ketika membuat gerakan refleks
menghindar. Petugas itu hanay mencengkeram sepatu sarman.
O, dasar gemblung!
Orang Jakarta kan memang gemblung Nyonya.
Ah, sudahlah, yang jelas aku ini baru bingung, kehabisan cerita buat Sari.
Anak itu kok ya hafal semua cerita yang sudah kuceritakan. Bingung aku.
Coba, semua versi cerita Asal Mula Padi dari Jawa,Bali, Lombok, sampai
irian sudah kuceritakan, aku tidak bisa mengingat cerita apa-apa lagi
sekarang. Katak Hendak Jadi Lembu sudah. Burung Punguk Merindukan
Bulan sudah. Calon Arang sudah. Bandung Bandawasa sudah.
Sangkuriang sudah. Asal Mula Gunung Batok juga sudah. Aku sudah tidak
punya cerita lagi, sudah lupa, sudh tua, apa kuputerin laser-disc saja,
kuputerin Beauty and the Beast begitu?
Lho jangan Nyonya, dongeng seorang ibu sebelum tidur itu lain dengan
laser-disc yang mekanis, diputar untuk siapapun keluarnya sama, Nyonya
boleh saja canggih, tapi harus tetap jadi manusia. Bercerita kepada anak
tetap harus ada hubungan personal.
Eh, kamu kok pinter?
We lha, jelek-jelek gini kan droup-out dari universitas lho Nyonya.
Wah universitas mana?
Salatiga!
Universitas Salatiga? Droup-out apa dipecat?
Aduh Nyonya, mbok jangan menyindir.
Siapa yang menyindir? Kamu yang merasa sendiri kok!
Sebelum tiba di rumah, sopir yang jebolan universitas itu berhasil
meyakinkan ia punya majikan, agar mengarang saja cerita untuk Sari. Ibu
Sari setuju. Masalahnya, ia tidak merassa bisa mengarang. Pandai
bercerita tidak harus berarti pandai mengarang bukan?
Tapi aku tidak bisa mengarang.
Ah, kalau Cuma cerita menarik, di koran juga banyak.
Itu bukan cerita kan Nyonya, maksud saya juga bisa diceritakan?
Apa ada berita menarik di koran?
nafas.
Di
manakah
batas
antara
dongeng
dan
kami rusak semua, kami tidak memiliki apa-apa lagi. Seharusnya mereka
tidak membiarkan kami seperti ini. Kami juga tidak tahu harus kemana
setelah ini.
Apa yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah mengungsikan sebagian
anak-anak saya. Saya kini menunggu kepastian. Uang Rp 400.000 untuk
kontrak sebuah keluarga yang layak, sangat tidak cukup. Uang sebesar itu
hanya bisa dipakai untuk kontrak rumah alakadarnya selama tiga bulan.
Ini pun kalau belum naik, dan jika uang itu hanya dipakai untuk kontrak
rumah saja. Bagaimana jika kami harus menyewa truk untuk mengangkut
sisa barang kami? Saya juga meragukan bisa tinggal di rumah susun.
Untuk membayangkan saja belum pernah, apalagi mempercayai janji
bahwa kami bisa hidup lebih baik di rumah susun itu nanti
Lantas, ibunya mencoba bercerita berdasarkan foto-foto yang ada di
koran itu, begitu asyik, sampai tak tahu betapa Sari terperangah.
Dongeng-doneng sebelum tidur yang diceritakan ibunya biasanya sangat
romantis, indah, dan membayangkan suatu alam yang tenang. Tapi kini
debu mengepul dalam bayangan Sari, bulldozer menggasak rumah-rumah
penduduk, dalam waktu singkat satu kampong menjadi rata dengan
tanah. Ibu-ibu diseret, anak-anak menangis, dan bapak-bapak berkelahi
melawan petugas. Sari memejamkan mata, namun ibunya terus bercerita
tentang kebakaran yang berkobar-kobar, jeritan orang-orang yang
kehilangan rumah, dan terik matahari yang seakan menjadi lebih
menyengat dari biasanya.
Ketika mengakhiri ceritanya, dengan gambaran matahari senja yang
bulat,merah, dan besar turun perlahan-lahan di balik siluet jalan laying
yang berseliweran, ibunya merasa bagai habis berlari lama sekali dan kini
terengah-engah.
Jadi, mereka tidur sambil memandang rembulan, Mama?
Sari masih ingat, ibunya hanya tersenyum, memandang rembulan di luar
jendela, menahan sesuatu yang hampir dikatakanya, lantas mengecup
pipi. Sari memandang rembulan itu. Kali ini dongeng ibunya membuat ia
tidak bisa memejamkan matanya sama sekali.
Ayahnya, yang baru pulang menjelang dini hari, terkejut melihat Sari
belum tidur ketika membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Sari memandang
rembulan sambil menyedot ibu jari.
Ada apa? Ia bertanya pada istrinya yang masih menonton CNN.
Tangan-Tangan Buntung
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin
pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera
disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka
akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit
kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat
mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada
memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia
menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat,
lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai
menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan Hidup
Presiden Nirdawat, terus-menerus berkumandang dengan nada penuh
semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat,
dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat
untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat
merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain
dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat
melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan
salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama
negaranya diambil dari nama presidennya).
Cobalah kita tengok peta dunia ini, kata Nirdawat dalam sebuah
pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah
peta dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah
nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara
yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini
berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik
Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul
oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai
dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar
seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan
gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera
bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal
negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di
negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak
mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan
negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan
sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara
juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil
menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah
menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin
oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak
menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang,
semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undangundang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar
tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka
dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun
dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan
dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus
menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya,
maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan
dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik
demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu
dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan
karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang
dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai
akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam
otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada
undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh.
Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak
menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang
memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak
Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak
presiden negara republik demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik
Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai
penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam
otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan
undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara,
maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan
Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan
karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena
sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk
menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka
main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak
mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka
Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan
menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong
sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan
siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah
lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau
perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung,
berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal
pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka
dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara
mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat
mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi
pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik
Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar
ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum
mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir
tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh
Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan
pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatancatatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji
keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan
kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden
Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara
yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum
memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong
tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat
terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga.
Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi
pemimpin, dan tetap dihormati.
Hueeeeeeekkkk!!!
Perempuan itu masih tetap berada di sana ketika menteri tersebut muncul
kembali dengan mata berair.
Bapak muntah?
Menteri yang kini rambutnya seperti baru tertiup angin kencang, meski
hanya ada angin dari pendingin udara di ruangan itu, membasuh air di
matanya dengan tissue.
Sayang sekali tidak, jawabnya, kok masih di sini Bu?
Kan Bapak belum bilang mau menghadiri undangan yang mana.
Hadir? Untuk apa? Cuma foto bersama terus pergi lagi begitu, kata
menteri itu seperti ngedumel lagi.
Jadi, seperti biasanya? Kirim karangan bunga saja?
Iyalah.
Bapak tidak ingin tahu siapa-siapa saja yang mengundang?
Huh!
Sekretaris tua itu segera menghilang ke balik pintu. Menteri itu
menggeleng-gelengkan kepala tak habis mengerti. Kadang-kadang orang
yang mengawinkan anak ini tak cukup hanya mengirim undangan,
melainkan datang sendiri melalui segala saluran dan berbagai cara, demi
perjuangan untuk mengundang dengan terbungkuk-bungkuk, agar bapak
menteri yang terhormat sudi datang ke acara pernikahan anak mereka.
Apakah pengantin itu yang telah memohon kepada orangtuanya, agar
pokoknya ada seorang menteri menghadiri pernikahan mereka?
Jelas tidak!
Menteri itu terkejut mendengar suaranya sendiri. Ia merasa bersyukur
karena sekretaris tua yang tiba-tiba muncul lagi itu tidak mendengarnya.
Apa lagi Bu?
Karangan-karangan bunga untuk semua undangan tadi.
Ya kenapa?
Menteri itu melihat sekilas senyum merendahkan dari perempuan
berseragam pegawai negeri tersebut.
Mau menggunakan dana apa?
Menteri itu menggertakkan gerahamnya.
Pake nanya lagi!
***
Seperti penulis skenario film, Siti bisa membayangkan adegan-adegan
selanjutnya.
Pertama tentu pesanan kepada pembuat karangan bunga. Karangan
bunga? Hmm. Maksudnya tentu bukan ikebana yang artistik karena
sentuhan rasa, yang sepintas lalu sederhana, tetapi mengarahkan
pembayangan secara luar biasa. Bukan. Ini karangan bunga tanpa
karangan. Tetap sahih meskipun buruk rupa, karena yang penting adalah
tulisan dengan aksara besar sebagai ucapan selamat dari siapa, dan dari
siapa lagi jika bukan dari Menteri Negara Urusan Kemajuan Negara Bapak
Sarjana Pa.B (Pokoknya Asal Bergelar), yang berbunyi SELAMAT &
SUCCESS ATAS PERNIKAHAN PAIMO & TULKIYEM, putra-putri Bapak
Pengoloran Sa.L (Sarjana Asal Lulus) Direktur PT Sogok bin Komisi & Co.
Lantas karangan bunga empat persegi panjang yang besar, memble,
hanya mengotor-ngotori dan memakan tempat, boros sekaligus mubazir,
dalam jumlah yang banyak dari segala arah, berbarengan, beriringan,
maupun berurutan, akan berdatangan dengan derap langkah maju tak
gentar diiringi genderang penjilatan, genderang ketakutan untuk
disalahkan, dan genderang basa-basi seperti karangan bunga yang
datang dari para menteri, memasuki halaman gedung pernikahan yang
telah menjadi saksi segala kepalsuan, kebohongan, dan kesemuan dunia
dari hari ke hari sejak berfungsi secara resmi.
Satu per satu karangan bunga itu akan diurutkan di depan atau di
samping kiri dan kanan pintu masuk sesuai urutan kedatangan, agar para
tamu resepsi bisa ikut mengetahui siapa sajakah kiranya yang berada
dalam jaringan pergaulan sang pengundang.
Bukan ikut mengetahui, pikir Siti, tapi diarahkan untuk mengetahui.
Tepatnya dipameri. Ya, pamer. Karangan bunga untuk pamer.
Siti jadi mengerti, tak jadi soal benar jika tidak dihadiri menteri, asal para
tamu melihat sendiri, bahwa memang ada karangan bunga dari menteri.
Ini juga berarti para pengundang seperti berjudi, tanpa risiko kalah sama
sekali, karena meski yang diundang adalah sang menteri, yang datang
karangan bunganya pun jadi!
Begitulah, saat karangan-karangan bunga itu datang, Siti telah
mengaturnya sesuai urutan kedatangan. Ia mencatat dari siapa saja
karangan bunga itu datang, karena ia merasa sepantasnyalah kelak
membalasnya dengan ucapan terima kasih, atau mengusahakan datang
jika diundang pihak yang mengirim karangan bunga, atau setidaknya
mengirimkan karangan bunga yang sama-sama buruk dan sama-sama
mengotori seperti itu.
Ah, dari Sinta!
Ternyata ada juga yang tulus. Mengirim karangan bunga karena merasa
dekat dan betul-betul tidak bisa datang. Sinta, sahabat Siti semasa SMU,
mengirim karangan bunga seperti itu. Dengan terharu, Siti menaruh
karangan bunga dari Sinta di dekat pintu, antara lain juga karena tiba
paling awal. Di sana memang hanya tertulis: dari Sinta; bukan namanama dengan embel-embel jabatan, nama perusahaan atau kementerian
dan gelar berderet.
Tiga karangan bunga dari menteri, karena datangnya cukup siang, berada
jauh di urutan belakang, nyaris di dekat pintu masuk ke tempat parkir di
lantai dasar. Siti tentu saja tahu suaminya telah mengundang tiga orang
menteri, yang proyek-proyek kementeriannya sedang ditangani
perusahaan suaminya itu. Suaminya hanya kenal baik dengan para
pembantu menteri tersebut, meski hanya tanda tangan menteri dapat
membuat proyeknya menggelinding. Tentu pernah juga mereka berdua
berada dalam suatu rapat bersama orang-orang lain, tetapi sudah jelas
bahwa menteri yang mana pun bukanlah kawan apalagi sahabat dari
suaminya itu. Sama sekali bukan.
Maka, dalam pesta pernikahan putri mereka, bagi Siti pun karangan bunga
dari menteri itu tidak harus lebih istimewa dari karangan bunga lainnya.
Namun ketika
perilakunya.
suaminya
datang
memeriksa,
Siti
terpana
melihat
Suaminya, yang agak gusar melihat tiga karangan bunga dari tiga menteri
saling terpencar dan berada jauh dari pintu masuk, memerintahkan
sejumlah pekerja untuk mengambilnya. Ia mengawasi sendiri, agar
terjamin bahwa ketika melewati pintu masuk, setiap tamu yang datang
akan menyaksikan betapa terdapat kiriman karangan bunga dari tiga
menteri.
Yang ini ditaruh di mana Pak?
Siti melihat seorang pekerja bertanya tentang karangan bunga dari Sinta,
sahabatnya yang sederhana, cukup sederhana untuk mengira karangan
bunga empat persegi panjang seperti itu indah, dan pasti telah
menyisihkan uang belanja agar dapat mengirimkan karangan bunga itu
kepadanya.
Terserahlah di mana! Pokoknya jangan di sini!
Siti melihat suaminya dari jauh. Suaminya juga minta dipotret di depan
ketiga karangan bunga itu!
Ia merasa mau muntah.
Hueeeeeeeeeekkkk!!!
***
Itulah yang terjadi saat Ira bertanya.
Emang elu bunting, Sit?
Kampung Utan, Sabtu 3 September 2011. 08:30.
Kumpulan Cerpen Kompas
arsip cerita pendek kompas minggu
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi
with one comment
11 suara
Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman
pemerintahan Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang
Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level
politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi dan partaipartai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota
Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak
kalah memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus
putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya.
Dimulai ketika Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi
kepala desa alias lurah di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan
seorang kapten TNI yang baru-baru ini pensiun, yang kabarnya akan
menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak
bersih lingkungan karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S.
Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab,
ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan camat
yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya.
Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang
kebetulan tanahnya adalah milik Sutarjo.
Negara memerlukan tanahmu, kata Camat. Jangan jual mahal.
Tapi, Pak, tanah ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir
jalan besar.
Ini demi pembangunan, lho.
Pada waktu itu kata pembangunan jadi hantu politik yang membuat
Sutarjo berpikir dua kali untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun
menyewakan tanahnya dengan harga sangat murah. Camat masih minta
supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut
mark up).
Coba tanda tangani kuitansi ini, pinta Camat.
Lha kok besar betul, katanya.
Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya
laut, punya tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli
pegawainya dengan harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja.
Daripada diberikan Cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung
ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup.
Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa
merahasiakan.
Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi
pemborong pembangunan gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat
sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga bangunan itu juga
digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia
tidak lulus.
Sutarjo menggunakan tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten
menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo
sudah diketahui alasannya, sedangkan kapten, ya, karena ia bekas
tentara, dan siapa berani tidak meluluskan tentara? Orang mesti
berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari
kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan
para kader. (Kader artinya juru kampanye).
Sutarjo yang juga sudah mendengar soal tidak bersih lingkungan
menjadi panik. Maka, ia pergi pada seorang tokoh yang dulu Ketua
Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua MDI, dan sekarang anggota
DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian
politiknya. (Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar? Orang itu
jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.)
Gampang saja, katanya. Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu
Lurah. Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape,
sebar luaskan. Kalau ada video tape, putarlah pada semua kesempatan
jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah. Kakeknya dulu adalah
lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti
mandraguna. Sutarjo merasa lega.
Ia mengundang tukang foto, dengan biaya besar [jer basuki mawa
beya] ia juga mengundang kameraman dari TVRI, dan membeli peralatan
untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi kuburan kakeknya,
lhadalah!
Haram, syirik, teriaknya.
Kusir dokar dan pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa
yang harus dilalui sebab mereka juga yang mengumumkan sepak bola,
bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar, layar tancep), komidi putar, dan
ketoprak di lapangan desa.
Mulailah kampanye. Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah
penduduk. Mereka akan memulai dengan, Apa panjenengan sudah punya
calon? Kalau belum, sebaiknya pilih Padi. Atau, Kalau belum, inilah
calon terbaik, tanda gambar Senapan.
Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan
tentang toleransi. (Dengan makanan kecil keluar dari kantongnya).
Semuanya
dimaksud
untuk
menunjukkan
bahwa
dia
orang
Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan
pidato-pidatoan. Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga
mengundang seorang kiai NU dan bukan ustadz Muhammadiyah.
Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan sarasehan
tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato dan
berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh.
Perintahnya pada seorang kader, Cetak banyak-banyak yang 45 menit
jadi. Buat papan pengumuman di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan
gambar-gambar itu. Jaga, jangan sampai Senapan mencopot gambargambar itu. Buatlah Padi banyak-banyak, tempel di tembok-tembok,
tiang listrik, dan pohon. Pendek kata, dia sudah merasa puas dan yakin
memenangkan pilihan.
Pesaingnya, Senapan, menggunakan strategi dan taktik lain yang
mungkin dipelajarinya dari masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub
dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk. Dua, wayangan dengan
waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa
yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang
kepada para pemilih. Uang ini didapat dari dua buah perusahaan real
estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran sebuah sungai
dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak
bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, Aman dulu, baru
membangun desa, didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua
peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda dan petrus
(penembak misterius).
Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung
bakmi. Orang indekos itu tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman
seindekos, ya ibu kosnya, kata penduduk asli kepada seseorang yang
mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-
Iya. Begini, lho. Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato
dan makan-makan seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa.
Kumpulkan kader-kader kedua belah pihak, wakil-wakil pemuda,
mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan kecamatan Muspika
untuk hadir dan memberi sambutan.
Ia pun bekerja, mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga
mendapat dukungan dalam rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri
dimintanya memasak, seekor kambing besar disembelih. Rumahnya akan
jadi rumah bersejarah di desanya.
Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah
lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan hidangan. Orang-orang berdatangan.
Muspika datang. Lurah baru datang meski agak terlambat. Tapi, lho! Yang
datang hanya orang-orang Padi. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu
Senapan mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya
tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga
bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis,
tapi ditahannya. Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru
pamit. Semua pulang. (Orang Senapan sudah menanti untuk mendaulat
supaya Muspika kemudian hadir di Balai Desa).
Sukses! kata Camat ketika bersalaman dengan Sutarjo.
Sukses! kata Danramil waktu pamitan.
Sukses! kata Kapolsek.
Hati Sutarjo seperti diiris-iris.
Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat.
Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?
Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali
tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti.
Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang,
kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang
tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan
momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga
jangan terlambat, komentar sang penasihat enteng.
Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. Ck, ck,
kata mulutnya, kemudian melongo.
Saya Pak.
Maksudnya dioperasi?
Bukan Pak, diambil pakai sendok.
Haa? Pakai sendok? Kenapa?
Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.
(masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)
Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?
Yang mengambil mata saya Pak.
Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara
pakai sendok?
Dia tidak bilang siapa namanya Pak.
Saudara tidak tanya bego?
Tidak Pak.
Dengar baik-baik bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu?
Sebelum amta saudara diambil dengan sendok yang katanya untuk dibuat
tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara masih
ada di tempatnya kan?
Saya Pak.
Jadi saudara melihat seperti apa orangnya kan?
Saya Pak.
Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yangs ekarang sudah
dimakan para penggemar tengkleng itu.
Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang pengadilan
menahan napas.
Ada beberapa orang Pak.
Berapa?
Lima Pak.
Seperti apa mereka?
Saya tidak sempat meneliti Pak, habis mata saya keburu diambil
sih.
Masih ingat pakaiannya barangkali?
Yang jelas mereka berseragam Pak.
Ruang pengadilan jadi riuh kembali seperti dengungan seribu lebah.
***
Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang.
Seragam tentara maksudnya?
Bukan Pak.
Polisi?
Bukan juga Pak.
Hansip barangkali?
Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.
Mukanya ditutupi?
Iya Pak, cuma kelihatan matanya.
Aaaah, saya tahu! Ninja kan?
Nah, itu ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan
sendok!
Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi. Lagilagi Bapak Hakim Yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya
orang banyak itu menjadi tenang.
Darah masih menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari
lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang
pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel
Jadi, menurut saudara Saksi Mata segenap pengambilan mata itu hanya
terjadi dalam mimpi?
Bukan hanya
mimpi.
menurut
saya
Pak,
memang
terjadinya
di
dalam
Saya Pak.
Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?
Saya Pak.
Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan
mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai
mati?
Saya Pak.
Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak
ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali
saudara.
Saya Pak.
Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?
Saya Pak.
Kenapa?
Demi keadilan dan kebenaran Pak.
Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang bertepuk tangan, termasuk
Jaksa dan Pembela. Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang mulai
meneriakkan yel.
Bapak Hakim Yang Mulia segera mengetukkan palu wasiatnya.
Hussss! Jangan kampanye di sini! Ia berkata dengan tegas.
Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk mendengar kesaksian
saudara Saksi mata yang sudah tidak punya mata lagi!
Dengan sisa semangat, sekali lagi ia ketukkan palu, namun palu itu patah.
Orang-orang tertawa. Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil
karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya. Klikklik-klik-klik-klik! Bapak Hakim Yang Mulia diabadikan sedang memegang
palu yang patah.
***