Disusun oleh:
Offering G
FAKULTAS SASTRA
2022
I. Pendahuluan
Pada kesempatan kali ini pembaca akan mengulas secara garis besar salah
satu novel terbaik karya Mochtar Lubis yaitu Jalan Tak Ada Ujung. Novel ini
berlatar perang kemerdekaan Indonesia tahun 1946 dan menceritakan tentang
masalah ketakutan batin pemeran utama pada masa revolusi kemerdekaan.
Pemeran utama dalam novel ini adalah seorang guru sekolah dasar yang
bernama Isa. Isa di gambarkan sebagai sosok yang lemah lembut, baik,
menyukai musik, pesimis, dan ia diselimuti rasa takut akan konflik-konflik
revolusi kemerdekaan pada saat itu, tetapi Guru Isa turut andil membantu para
pemuda dalam ber gerilya. Suatu pagi pada bulan September tahun 1946, di
jalan Gang Jaksa, para serdadu NICA datang. Semua orang yang berada di
lokasi tersebut segera bersembunyi untuk menyelamatkan diri dari ubel-ubel.
Namun, ada saja yang tetap terkena tembak oleh serdadu NICA. Saat itu, Guru
Isa sedang berjalan menuju sekolah nya di Tanah Abang untuk mengajar, lalu
suara tembakan memecah kesunyiannya dan ia bersembunyi di rumah Semedi
(warga setempat). Pada saat bersembunyi ia teringat pada keselamatan
istrinya (Fatimah) dan anak angkatnya (Salim). Pada saat itu masyarakat
Indonesia banyak yang menderita karena dihadapkan oleh perekonomian yang
mengalami penurunan. Begitu pun dengan Guru Isa, sampai pada akhirnya ia
terpaksa mencuri buku-buku yang ada di sekolahnya dan dijual ke pasar pada
seorang tionghoa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya yang tak
kunjung membaik. Tidak hanya masalah ekonomi yang dihadapi, Isa juga
mengalami tekanan batin dan ketakutan yang amat dikarenakan konflik
revolusi dan tidak bisa menafkahi istrinya secara batin. Sebab itu istri guru Isa
berselingkuh dengan Hazil, yang merupakan rekan revolusioner Isa. Hazil dan
Isa bertemu saat di adakannya perkumpulan (organisasi untuk melawan para
serdadu) pemuda antar daerah yang ada di Jakarta. Mereka juga mempunyai
hobi yaitu sama-sama suka bermain musik (salah satunya biola), sejak saat
itulah Hazil sering berkunjung ke rumah Isa. Suatu hari, Isa menunggu
kedatangan Hazil untuk memberi informasi penting tentang rencana
perjuangan mereka. Semakin hari ketakutan Isa akan rencana perlawanan
tersebut bertambah, biarpun merasa takut Isa tetap harus menyembunyikan
nya karena ia telah terlanjur menjadi anggota organisasi untuk melawan
serdadu-serdadu NICA. Guru Isa dan Hazil pun mendapatkan tugas untuk
menyelundupkan senjata dan bom ke Karawang. Penyelundupan tersebut
berhasil berkat bantuan dari rekan seperjuangan nya salah satunya yang
bernama Rakhmat. Sampai pada klimaks nya mereka bertiga; Guru Isa, Hazil,
dan Rakhmat melakukan penyerangan di bioskop dengan melemparkan granat
ke tengah-tengah kerumunan pengunjung bioskop yang telah bubar, alhasil
beberapa serdadu NICA mengalami luka-luka. Berita mengejutkan datang
seminggu setelahnya, pagi itu saat Guru Isa sedang membaca koran di warung
Gang Jaksa, Begitu terkejut ia saat berita yang dibaca amat menakutkannya,
dan melandanya sebagai sambaran kilat: Seorang dari pelempar granat tangan
tertangkap. Berita tersebut tidak menyebutkan nama orang yang ditangkap itu,
tetapi mengatakan, bahwa dia telah mengaku melemparkan granat tangan, dan
polisi masih meneruskan pemeriksaan dan penyelidikan. Dua hari setelah guru
Isa mengetahui berita tertangkapnya salah satu dari mereka, seorang polisi
militer diiringkan oleh dua orang preman yang berpakaian preman, polisi
tersebut berhasil membawa guru Isa ke kantor. Di dalam penjara ternyata ada
Hazil yang sudah ditangkap terlebih dahulu, mereka disiksa habis-habisan dan
di interogasi. Keadaan berbalik dulu Hazil yang begitu pemberani berubah
menjadi sangat amat ketakutan sedangkan guru Isa sudah mampu mengatasi
ketakutannya. Guru Isa telah bebas dari rasa takut yang menggerogoti jiwa dan
raga nya selama ini.
Dalam memahami karya sastra dapat dilihat dari dua persepsi, yaitu
persepsi sastra dan persepsi pembaca. Pertemuan antara pembaca dan teks
sastra menyebabkan terjadinya proses penafsiran atas teks oleh pembaca
sebagai objektif, yang hasilnya adalah pengakuan makna teks (Nuryatin, 1988:
135). Persepsi menurut pembaca dalam novel Jalan Tak Ada Ujung adalah
ditemukannya sesuatu tersirat yaitu sikap berani yang tersembunyi di dalam
ketakutan Isa selama ini. Dari segi sastra Jalan Tak Ada Ujung mengusung
tentang nilai sosial dan dapat dikaji dengan metode sosiologi sastra,
berdasarkan metode tersebut karya dilihat dari cerminan atau gambaran
masyarakat pada zaman karya sastra tersebut dibuat. Dilihat dari kondisi sosial
dan keadaan yang tergambar pada novel Jalan Tak Ada Ujung menceritakan
keadaan masyarakat sosial saat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
ber latar waktu tahun 1946 mempengaruhi kondisi sosial budaya, masyarakat,
pendidikan, ekonomi, dan politik masyarakat Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan dan kembalinya NICA (Hindia Belanda) ke Indonesia guna
merebut kembali Indonesia agar jatuh ke tangannya.
Kemenarikan novel Jalan Tak Ada Ujung ini terletak pada alur yang begitu
mengejutkan dan dalam karya nya kali ini Mochtar Lubis berhasil membawa
pembaca turut merasakan suasana mencekam pasca kemerdekaan. Penulis
juga sukses dalam merefleksikan karakter penokohan sehingga pembaca
dapat merasakan apa yang penulis coba sampaikan dalam novel Jalan Tak
Ada Ujung. Rasa takut yang dirasakan guru Isa nyaris membuat pembaca kesal
dikarenakan ketakutan yang sangat berlebihan terhadap apapun yang terjadi
dalam hidupnya. Namun, dibalik itu ada pula rasa kagum yang pembaca
rasakan terhadap guru Isa yaitu begitu besar tanggung jawab akan apa yang
telah ia ambil dan menjalaninya dengan rasa takut, bimbang, pesimis, dan
tabah yang beriringan. Pembaca juga salut akan rasa sabar yang Isa punya
saat mengetahui pengkhianatan oleh istri (Fatimah) dan sahabat nya (Hazil), ia
memendam seolah tak ingin menghancurkan perasaan istrinya tetapi ia juga
tidak memikirkan perasaannya sendiri. Jalan tak ada ujung yang guru Isa
tempuh berhasil membawanya melawan ketakutan yang sangat amat. Bebas.
II. Pembahasan
Novel karya Mochtar Lubis yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung tergolong
novel psikologis yaitu tokoh yang terjun langsung dalam masyarakat, golongan,
dan lingkungannya. Dalam novel psikologis persoalan dilihat dari sudut
golongan masyarakat dan kepentingan orang banyak. Berdasarkan isi cerita
novel Jalan Tak Ada Ujung ini membahas tentang psikologis guru Isa,
bagaimana ia melawan rasa takut yang terus menggerogoti jiwa dan raga
mencoba untuk mencapai kebebasan pikiran akan segala hal. Novel Jalan Tak
Ada Ujung ini mengusung tema perjuangan akan rasa takut yang di alami, alur
yang dipakai adalah alur maju, tokoh utama dalam novel ini adalah guru Isa
dan rekan nya Hazil adapun peran pembantu seperti Rakhmat, Fatimah, Salim,
Mr. Kamaruddin, Tuan Hamidi, Pak Damrah, serdadu NICA, Abdullah, Ontong,
Kiran, dan Imam. Berlatar tahun 1946 pasca kemerdekaan, menggunakan
bahasa keseharian dan ada beberapa bahasa yang tidak efektif bisa dikatakan
bahasa yang digunakan novel ini jauh dari estetika atau kata-kata yang indah.
a. Resepsi terhadap cerita
Cerita yang diangkat dalam novel ini adalah tentang ketakutan
yang dialami pasca kemerdekaan dan kondisi zaman revolusi. Setiap
individu pada zaman itu pasti dilanda ketakutan yang sama, takut akan
kematian, kelaparan, dan sebagainya. Terlihat jelas pada kutipan yang
dibubuhkan Mochtar Lubis di halaman awal novel itu, yaitu :
“Apakah yang harus kita punyai, agar kita bebas dari ketakutan?”
Jules Romains
“Di warung Pak Damrah enam orang sedang duduk minum-minum. Empat
orang opas Kantor Kotapraja di Kebon sirih. Mereka hendak masuk kerja.”
“Kemaren kampung tanah Tinggi digeledah lagi sama ubel-ubel,” cerita tukang
loak, mulutnya penuh pisang goreng. Tukang beca yang sedang menghirup
kopinya yang panas, menghapus mulutnya dengan lengan kirinya yang kotor.”
“Tidak banyak yang diingatnya dari rapat yang penuh bersemangat itu. Semua
orang bersumpah berani mati dan berani berkorban untuk kemerdekaan.”
“Mereka akan melempar granat tangan itu bersama-sama, dan kemudian lari.
Melempar granat ke tengah-tengah serdadu Belanda yang berdesak-desak
keluar dari bioskop.”
Tidak lama dari setelah berita tersebut diketahui oleh guru Isa
tentang tertangkapnya pelaku pelempar granat. Polisi datang ke rumah
guru Isa untuk menangkap dan membawanya ke kantor polisi untuk di
Interogasi. Sesampainya disana ternyata sudah ada Hazil sebagai
pelaku pelempar granat yang telah tertangkap, ia sudah di habisi oleh
polisi sampai wajahnya penuh akan bekas luka dan ditahan disebuah
ruangan.
“Kemudian dia hanya merasa tiba-tiba sesuatu yang besar, yang berat dan
keras memukul dadanya dan tulang dadanya serasa remuk. Jantungnya
menjerit perih, dan Ketika tendangan kedua datang, akhirnya dia hanyut dalam
kegelapan.”
Di tahap akhir novel ini ketakutan guru Isa yang telah memudar,
dan ia seperti belajar hidup bersama akan rasa takutnya, dan seolah
telah bebas dari penjara.
“Dan Ketika Guru Isa mendengar derap sepatu datang ke pintu kamar mereka,
dia merasa damai dengan rasa takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka
tidak akan bisa menyentuhnya lagi. Dia telah bebas.”
“Semenjak dia melewati masa kanak-kanak yang tidak suka berkelahi, maka
Guru Isa selama hidupnya tidak pernah memakai kekerasan terhadap orang
lain. Atau mengalami dirinya ditundukkan dengan kekerasan badan oleh orang
lain.Tinjunya tidak pernah dikepalkan untuk memukul orang. Dan tinjunya tidak
pernah dikepalkan untuk memukul orang. Dan tinju orang tidak pernah
memukul biru dikulit mukanya.”
“Dan Ketika dia mulai mengerti, mula-mula dia sangat marah. Marah dan ingin
menghancurkan Hazil dan Fatimah.”
“Dari dalam kamar tidur Guru Isa dapat mendengar mereka berkata-kata.
Suara sampai padanya, tetapi tidak jelas hingga dia dapat mengerti apa yang
mereka bicarakan. Sebentar api menyala kembali dalam hatinya, api yang
menyala di hatinya, ketika dia mula-mula mendapat pipa di bawah bantal.
Tetapi api lekas menjadi redup.”
Awalnya guru Isa tidak terima dan marah akan hal tersebut akan
tetapi ia pasrah lantaran merasa bersalah dan malu tidak bisa menafkahi
Fatimah (Istrinya) secara batin. Peran Fatimah dalam novel ini cukup
penting, ia adalah istri dari guru Isa. Selama hidup bersama guru Isa ia
menjalani rumah tangga yang tidak harmonis, Fatimah hanya ingin
menjadi istri yang baik. Fatimah tak lagi mencintai Guru Isa.
“Apa yang tinggal dari perkawinan kita kalua demikian?” Guru Isa bertanya
malam itu.
Dan Fatimah menjawab, “Aku akan menjadi istri yang baik bagimu. Hanya itu.”
“Tidak ada cinta?” desak Guru Isa.
“Tidak ada cinta,” jawabnya.
“Saya juga takut mana ada orang yang tidak takut? Tapi ini perjuangan harus
dijalankan. Karena pemberontakan terus biar dibawa mati, adalah satu
kemenangan. Musuh tidak bisa kuasai selama-lamanya.”
Rasa juang yang Hazil miliki ini patut untuk diteladani, yang
berjuang demi bangsanya dan terlepas dari jajahan bangsa asing.
“Engkau jangan lupa Mojokerto yang diserbu Belanda beberapa hari sebelum
perjanjian itu ditanda tangani,” kata Hazil Ketika Guru Isa membantah dan
mengatakan bahwa sekali ini tentu perdamaian akan tiba.
Dan ada satu kutipan lagi didapat dari dalam novel ini yang
menurut pembaca menarik karena pesan yang disampaikan bahwa
ketakutan ada dibawah kendali setiap individu, rasa takut itu takkan
hilang sampai kapan pun tapi kitab isa menetralisir ketakutan tersebut
adapun yang bisa mengendalikan hanya lah diri kita sendiri. Pada intinya
rasa takut tidak bisa dihilangkan namun bisa dikendalikan oleh setiap
individu. Kutipan itu berbunyi sebagai berikut:
Lutfiyani, Vivi. “Analisis Novel Jalan Tak Ada Ujung: Mochtar Lubis” Diakses
pada https://vivilutfiyani.blogspot.com/2013/06/ Pada 07 Desember
2022 pukul 10.30 WIB
Identitas Novel :
ISBN : 978-979-461-980-3
Keterangan :
Cetakan ketiga sampai kedelapan diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya
Itulah “setting” novel Jalan Tak Ada Ujung ini, yang mengisahkan pejuang-
pejuang seperti Hazil, pemusik yang bersemangat berapi-api, Guru Isa yang
lembut hati dan tidak suka pada kekerasan, istrinya yang merindukan kasih
lelaki. Perlawanan terhadap tantara Belanda yang hendak menjajah Indonesia,
kehangatan cinta, semangat perjuangan berkobar, ketakutan, kejahatan
manusia terhadap manusia, penemuan diri di bawah siksaan, dan kemenangan
manusia dalam pergaulan dengan dirinya sendiri, dan kekejaman peperangan.