Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN HASIL PKL

SOSIOLOGI SASTRA

(Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Sosiologi Sastra Kelas A)

Oleh:

Devi Masita Lisnasya 121411131024

Maleek Jourdan AhmadSyah 121411131042

Muhammad Fahmi Ardiansyah 121411131094

Putri Keyne Zerlinda Hulalata 121411131096

Achmad Sigit Syarifuddin 121411133030

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2017
PENDAHULUAN

Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil


terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir
perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa
sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal
keadaan masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan
motodologis (Suekanto, 1982: 4 ).

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun
waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.
Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula ( Luxenburg, Bal, dan
Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23).Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan
antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:

Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini
menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan
seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak
dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.

Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti dengan
metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil
sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca.

Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana system
masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.

Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan masyarakat,
literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.
Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup
( Wellek and Werren, 1990: 110 ).
Sedangkan Sastra kontemporer sendiri adalah sebutan untuk karya sastra yang
berkembang di masa sekarang ini. Sastra kontemporer pada awalnya dianggap sebagai sastra
yang muncul mengobrak-abrik tatanan sastra terdahulu dengan alasan sastra kontemporer
tidak sesuai dengan konvensi-konvensi yang telah ditetapkan dalam sastra. Sastra
kontemporer juga dikatakan sebagai sastra yang memiliki sifat-sifat menyimpang dari sastra
yang berlaku pada umumnya.
Kelahiran sastra kontemporer merupakan gebrakan awal yang diusung oleh Sutardji
Calzoum Bachri. Pada dasarnya sastra kontemporer lahir karena adanya pergeseran nilai
kehidupan dan tatanan dalam masyarakat secara menyeluruh dan tidak dipengaruhi oleh
kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Oleh sebab itu perlu ada penyampaian mengenai sastra
kontemporer kepada masyarakat yang lebih luas.
Secara teoretis penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk
pengembangan teori kebahagiaan, budaya, serta adat istiadat dan menambah informasi
khasanah penelitian kajian Sosiologi Sastra sebagai disiplin ilmu sastra yang memusatkan
perhatiannya pada gejala kebahasaan, budaya, adat istiadat di masyarakat. Agar mata kuliah
ini bisa berakhir sukses dengan nilai yang bagus perlu adanya banyak referensi dan banyak
praktek, salah satunya yakni dengan Praktek kuliah lapangan (PKL). Maka dari itu,
mahasiswa Sastra Indonesia berencana untuk mengadakan Praktek Kuliah lapangan untuk
menunjang mata kuliah Sosiologi Sastra.
PEMBAHASAN

 JENIS KEGIATAN
Kuliah Tamu

 TEMPAT DAN WAKTU KEGIATAN

Tempat : UK2JT Surabaya

Waktu : 10 Juni 2017

 LAPORAN HASIL KEGIATAN

Kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan kami yang berkaitan dengan bidang kerja
atau jurusan yang kami tekuni. Kami berharap dengan adanya kegiatan kunjungan pameran ini
kami dapat meningkatkan keatifitas kami sehingga kami dapat menciptakan karya yang lebih
baik dari sebelumnya. Dengan melihat karya dari orang-orang yang lebih pandai dari kami,
tentunya kami akan belajar untuk dapat menjadi lebih baik.

Bagi saya pribadi, menulis puisi itu juga ngibadah. Mengapa demikian?

Sebab selama puisi yang ditulis, dan kemudian dibaca oleh pembacanya, lantas pembaca
itu merasa ada kebenaran yang ditulis penyairnya; apa lagi bisa mengubah perilaku pembaca
lebih baik, maka sang penyair dapat pahala. Dan jika pahala itu banyak jumlahnya, insya Allah
penyair masuk surga! Amin YRA!

Tapi menulis puisi bisa juga masuk neraka, jika puisi itu berisi soal yang tidak baik,
bahkan mengarah ke persoalan ajakan membenci orang lain, apalagi membenci Tuhan YME.
Sungguh, jangan menulis puisi semacam itu. Tulislah puisi berdasar intuisi kebeningan hati.

Beberapa waktu yang lalu, mungkin sepuluh tahun yang lalu, saya termasuk yang diolok-
olok secara guyonan oleh teman-teman di kompleks Balai Pemuda Surabaya, yang mengatakan
bahwa penyair yang paling awal masuk neraka, adalah Aming.

“Mengapa?” kata saya.


“Karena kamulah penyair yang mengajak pembaca Berjamaan di Plaza,”tandasnya!

Padahal puisi itu, secara ide penulisan adalah karena banyaknya orang-orang masuk ke
plaza, hingga berjubel jumlahnya. Tepatnya, ketika Tunjungan Plaza Surabaya baru dibuka,
sekitar 1922. Sementara pada waktu itu harinya Jum’at, seakan mereka tidak lagi hirau akan
masjid yang mengumandangkan adzan sholat Jum’at, ajakan untuk bersholat jamaah. Plaza,
menurutku jadi semacam berhala baru. Sehingga banyak orang ikut berjamaah di dalamnya.
Lewat peristiwa itu, maka lahirlah puisi itu, yang secara komplit, bunyinya.

BERJAMAAH DI PLAZA

Kata seorang kyai, belajar ngaji

Adalah amalan yang patut dipuji

Dan sholat berjamaah

Dapat pahala berkah

Berlipat-lipat jumlah

Tapi kenapa banyak orang

Belajar nyanyi, belajar tari

Dan baca puisi?

Tapi kenapa banyak orang berjamaah

Hanya di plaza-plaza

Hamburkan uang berjuta-juta

Adakah ini dapat dipuji, dan


Adakah plaza menyimpan pahala

Berlipat ganda?

Ah… barangkali saja, plaza-plaza

Telah jadi berhala baru

Yang dipoles gincu

Begitu indah

Dan banyak orang ikut berjamaah

Surabaya, 1992

Setahun sebelumnya, 1991, saya juga menulis tentang kota Surabaya. Tentu beda lagi
peristiwa yang saya coba angkat ke dalam bentuk puisi. Ketika itu, kemarau nan panas, air
Kalimas susut, hitam, kotor, serta airnya berbuih sisa limbah industry. Seakan-akan Kalimas
menangis, tapi orang-orang tak peduli. Sementara mobil-mobil juga menebar polusi, juga pabrik-
pabrik menebar sesak udara kota. Orang-orang diam, anggota dewan diam, walikota diam. Dan
saya hanya bisa teriak lewat puisi. Surabaya Musim Kemarau, entah didengar atau tidak, saya
juga tidak peduli.

SURABAYA MUSIM KEMARAU

Surabaya kini lagi musim angin

Malam begitu dingin. Karena sahabat setia

Kemarau panjang ini adalah debu

Yang diterbangkan angin polusi selalu

Dengan cuaca begitu panas sekali


Di siang hari

Ke mana perginya awan dan hujan

Aku tiada pernah mengerti?

Daun-daun pepohonan sepanjang jalan kota

Telah berapa lama jatuh

Dahan dan rantingnya kering. Matahari

Dengan leluasa membakar bumi. Sangar sekali

Aii Kalimas susut, berwarna keruh

Hitam dan menakutkan

Ini musim kemarau panjang. Tapi limbah industri

Terus mengapungkan busa. Putih-putih

Di atas sepanjang alur kalimas berbuih

Kalimas merintih!

Akulah saksi itu, Surabaya musim kemarau

Segalanya seperti risau, bahkan suara-suara

Mobil berlarian terdengar parau. Kacau!


Kota telah dibakar laju peradaban dunia

Barangkali mengejar mimpi teknologi

Bahkan mungkin ambisi dan ambisi

Tanpa batas tepi. Tanpa ada teraih di tangan

Seorang pemimpi. Ilusi!

Surabaya musim kemarau

Hijau daun pepohonan berganti warna

Asap cerobong pabrik terus mengobrak-abrik

Udara kota. Sesak terasa di dada

Sandiwara peradaban kota terus berlangsung

Tanpa ujung tanpa juntrung

Lantas ke mana rasa bimbang ini

Harus ditimbang?

Kepada dewan walikota. Atau pada

Pak walikota? Kepada angin, atau pada

Musim dingin?

Surabaya musim kemarau


Teriakanku semakin parau

Hati pun kian semakin risau

Surabaya, 1991

Dalam mengarungi perjalanan hidup di kota Surabaya, saya menangkap ada beberapa
persoalan yang terasa berubah pada individu manusianya. Ada yang suka angkuh, menjilat,
terbar maksiat, laku bejad, dan bahkan iklan-iklan yang terpampang di pinggir jalanan
berkejapan semalaman hanyalah palsu belaka. Bahkan di luar sana (Jakarta) ada juga anggota
Dewan yang mengajarkan tanpa aturan naik meja. Abad kian jumpalita, rakyat kian kesrakat.

Melihat ini semua, saya coba tuliskan puisi Surabaya Ajari Aku Tentang Benar.

SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya

Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat

Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap

Ajari aku tidak angkuh

Apalagi memaksa kehendak bersikukuh

Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya


Jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta

Jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja

Seperti orang-orang dewan di Jakarta

Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat

Lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani

Membuat kata putus benar-benar manusiawi

Menjalankan program dengan kendaraan nurani hati

Surabaya ajari aku. Ajari aku

Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat

Tanpa harus berbut, apa lagi saling sikut

Yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat

Menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad

Tanpa ada ujung, tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan

Bila malam lampu-lampu iklan warna-warni

Siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi

Senja meremang, mentarinya seindah pagi

Di antara gedubg tua dan Tugu Pahlawan kita


Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya

Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan

Kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar

Dan suara rakyat adalah suara kebenaran

Tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!

Surabaya, 21 November 2005

Sebagai penyair yang muslim, saya tak lepas bicara soal bulan puasa, dan kebetulan saat
ini kita semua sedang berpuasa. Dalam bulan puasa ada yang namanya malam lailatul qodar. Di
mana, jika seseorang mendapatkan lailatul qodar, maka pahalanya adalah seribu bulan. Lantas
saya coba puisikan, yang saya sendiri bertanya di penghujung sajak, adakah?

MATEMATIKA LAILATUL QODAR

Pakar matematika pernah berhitung

Jika seribu bulan

Adalah 83 tahun lebih umurnya

Sedang usia manusia

Tak lebihi angka sejumlah itu

Maka bersujud dan beramallah


Pada saat lailatul qodar

Hingga impaslah segala dosamu

Dibayar oleh sujud-amalan

Di malam qodar itu

Aku termangu (mungkin ragu)

Lantas kita semua terjaga

Apa benar begitu?

Canggu, 19/8/2010

Sebenarnya, saya tak hanya menulis puisi, tapi juga geguritan (puisi berbahasa Jawa). Hal
ini saya lakukan, karena saya dilahirkan Jawa, dan merasa tidak Jawa ketika tidak ikut menulis
bahasa Jawa. Di samping itu, saya juga lama berkawan dan ikut jadi pengurus Paguyuban
Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), sehingga merasa perlu ikut menulis sastra Jawa.
Berikut ini contoh tulisan geguritan yang saya pernah saya tulis.

NDHUK ANAKKU WADON

*mira aulia alamanda

Ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe

Dadi wong wadon iku kudu

Suci uni, suci rupi, lan suci ati


Amarga donya wis menehi tandha

Akeh wong wadon lambene bengak-bengok

Akeh wong wadon matane plerak-plerok

Akeh wong wadon aten-atene bosok

Lungguh methothok mlaku ora ndedelok

Kabeh iku aja mbok tiru, anakku

Aja mbok tiru!

Kegiatan ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi kami dalam mempelajari hal-hal baru
untuk menjadikan kami lebih maju. Kegiatan ini juga menunjukan kalau kami adalah anakmuda
yang masih sangat perduli dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat semacam ini. Dan
tentunya masih banyak manfaat lain yang sangat menguntungkan bagi kami.

PENUTUP
Setelah melakukan kunjungan pameran tersebut, saya mengetahui betapa sangat
bermanfaatnya pelajaran kejuruan yang telah kami dapatkan dari guru di sekolah. Kami atas
nama penyusun, ingin meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan bidang kompetensi
kami. Kami menyadari bahwa tak mudah untuk menjadi seorang yang profesional dibidangnya.
Seorang desainer grafis tidak hanya harus bisa membuat desain saja, tetapi ia juga harus bisa
menciptakan karya kreatif dan inovatif yang dapat menyenangkan bagi penikmat seni agar
karyanya dapat diterima di masyarakat. Dan untuk mewujudkannya kita harus mempuyai
kreatifitas dan kegigihan yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai